Merdeka.com - Sebuah foto dari surat kabar Warta Kota beredar di media sosial Facebook. Surat kabar tersebut memuat sejumlah berita. Namun judul berita "Nekat Pergi Haji Bakal Dipidana" justru menjadi perhatian. Foto surat kabar ini diunggah oleh akun Facebook Isma. Show
Penelusuran Menurut penelusuran merdeka.com, berita terkait pidana bagi yang nekat naik haji memang benar. Berita tersebut dibuat Wartakota pada 3 Juni 2020 berjudul "Nekat Pergi Haji Bakal Dipidana". Dikutip dari Facebook Wartakota, artikel tersebut menjelaskan tentang dana haji para jemaah dan juga sanksi pidana yang akan diterapkan. "Calon jemaah haji berjumlah 221 ribu orang batal berangkat menunaikan ibadah haji tahun 2020. Padahal mereka sudah melunasi ongkos naik haji atau biaya penyelenggaraan ibadah haji sebesar Rp 25 juta sudah dilunasi. Bagaimanakah pengelolaan dana tersebut, adakah manfaatnya untuk Jemaah? Lalu sanksi pidana apa yang akan diterapkan, bila nekat menunaikan ibadah haji?" Dalam artikel Tribunnews berjudul "Jemaah yang Nekat Berangkat Haji Tahun Ini Bakal Kena Sanksi Pidana dan Denda" pada 2 Juni 2020, dijelaskan maksud dari hukuman ini. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Nizar Ali menegaskan jemaah yang memaksakan berangkat haji secara ilegal pada tahun ini akan dikenakan sanksi pidana dan denda. Nizar mengungkapkan pada Undang-undang nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh terdapat aturan mengenai sanksi kepada para pelanggar. "Saya rasa kita bisa membaca undang-undang nomor 8 tahun 2019 karena kita sudah di amanat undang-undang menyatakan bahwa jamaah haji mujamalah harus diberangkatan melalui PIHK," ujar Nizar di Kantor Kemenag, Jakarta, Selasa (2/6/2020). "Apabila ini dilanggar maka ada ketentuan pasal sanksi yang ada di akhir-akhir uu tadi, bahkan saksinya pidana dan juga denda sekian miliar," tambah Nizar. Pada Pasal 121 UU 8/2019 disebutkan "Setiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah haji khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar". Nizar mengungkapkan kepada biro perjalanan haji untuk tidak nekat memberangkatkan jemaah haji secara ilegal. "Bahkan ada aturan untuk orang atas nama individu atau lembaga menarik biaya itu haji secara ilegal maka kena sanksi pidana dan sanksi finansial," tutur Nizar. Sementara itu, dalam artikel merdeka.com berjudul "Haji 2020 Batal, Kemenag Sebut Saudi Belum Beri Kepastian Kapan Akses Layanan Dibuka" pada 2 Juni 2020, dijelaskan bahwa Arab Saudi masih menutup ibadah haji tahun ini dikarenakan pandemi corona. Kementerian Agama memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah haji 1441H/2020M. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Nizar, mengatakan keputusan diambil karena melihat Arab Saudi belum membuka akses layanan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1441H/2020M hingga sekarang. "Pemerintah Arab Saudi sampai saat ini belum memberikan kepastian kapan akan dibukanya akses layanan penyelenggaraan haji 1441H/2020M, tidak hanya Indonesia tapi negara-negara pengirim jemaah haji lainnya," kata Nizar di Jakarta, Selasa (2/6). Nizar mengatakan, pihaknya memahami jika Arab Saudi hingga kini belum membuka akses tersebut. Sebab hingga Covid-19 masih menjadi pandemi sebagaimana di Indonesia. Hal itu pun juga berpengaruh pada proses persiapan penyelenggaraan haji yang mereka lakukan. Apalagi, Covid-19 juga dapat mengancam keselamatan jemaah. Sementara agama mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. "Pandemi Covid-19 tentu juga menjadi pertimbangan, baik Saudi maupun Indonesia, karena itu terkait kesehatan jemaah," ujarnya. Kesimpulan Berita dalam surat kabar Wartakota berjudul "Nekat Pergi Haji Bakal Dipidana" memang benar. Hukuman pidana diberikan pada jemaah yang berangkat haji secara ilegal. Padahal Kementerian Agama memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah haji 1441H/2020M. Hal ini terkait kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang belum memberikan kepastian tentang dibukanya akses layanan penyelenggaraan haji 1441H/2020M. Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan, pastikan itu berasal dari sumber terpercaya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. 30-10-2020 / BADAN LEGISLASI
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf. (Foto : Oji/Man)Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf mengatakan, sejumlah asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mengeluhkan pidana kurungan hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp 5 miliar dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 tentang Keagamaan pasal 125 dan 126. Alasannya karena Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) dapat juga dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum, sesuai bunyi pasal 118A dan pasal 119A, sehingga sanksi yang diterima nantipun berlapis-lapis. "Berat sekali konsekuensinya (bagi PIHK dan PPIU) bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administrative, bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun,” kata Bukhori dalam pernyataan tertulis yang diterima Parlementaria, Jumat (30/10/2020). Pasal 118A dan 119A UU itu mencakup sanksi administratif dari yang ringan yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. Selain itu, PIHU juga berkewajiban mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian bukan materil lainnya. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan, pasal-pasal 118A dan 119A UU Ciptaker sesungguhnya memiliki maksud yang baik, yakni memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah Haji/Umrah yang merugikan jemaah, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel. "Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” pungkasnya. Namun yang bermasalah ialah yang tercantum dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126. "Disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar," papar Bukhori. Anggota Komisi VIII DPR RI itu menyampaikan konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi itu akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus. Dari segi etika hukum, Bukhori menganggap pemberlakuan sanksi berlapis itu pun tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran. Hal itu karena kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian. Ia pun menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU itu, sesungguhnya karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Ciptaker. Bukhori mengklaim pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI secara terpisah, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU Nomor 8/2019 dengan menambahkan batas waktu lima hari. “Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat PPIU yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim sebagaimana dalam UU No. 8/2019. Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,” imbuh Bukhori. Alhasil, pihaknya bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg. “Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian memunculkan pasal tambahan, yakni pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan. Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini ternyata memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis,” ujarnya. (tn/sf)
Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah pada tanggal 26 April 2019 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly di Jakarta pada tanggal 29 April 2019. Dasar hukum UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah ini adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan Umum UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan UmrahDalam Penjelasan UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah dikatakan bahwa Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang mengatur tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti. Selain itu, semakin meningkatnya jumlah warga negara untuk menunaikan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah, perlu peningkatan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, selama ini masih ditemukan beberapa kelemahan, baik dalam aspek regulasi dan tata kelola kebijakan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan jemaah, maupun pengawasan terhadap pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan aturan dan perbaikan dalam praktik penyelenggaraannya, sehingga Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat dilaksanakan dengan aman, nyaman, tertib, lancar, dan sesuai dengan syariat, serta menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik untuk sebesar-besar kemanfaatan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan dan perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tidak cukup hanya sebatas pada perbaikan kualitas pelayanan terhadap jemaah tetapi perbaikan tersebut harus menyentuh seluruh aspek yang ada di dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Adapun pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Jemaah Haji, Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler, BPIH, KBIHU, Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, Penyelenggaraan Ibadah Umrah, koordinasi, peran serta masyarakat, penyidikan, larangan, dan ketentuan pidana.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah diterbitkan dengan pertimbangan:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah berasaskan:
Pasal 3Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertujuan:
Jemaah Haji berkewajiban:
Perencanaan Ibadah Haji Reguler meliputi:
Menteri melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Kuota petugas haji daerah menggunakan kuota haji Indonesia. Pasal 25
Pasal 26Ketentuan lebih lanjut mengenai PPIH dan petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 PengawasPasal 27
Pasal 28
Paragraf 4 Misi Haji IndonesiaPasal 29
Bagian Keempat PelaksanaanParagraf 1 PendaftaranPasal 30
Paragraf 2 Dokumen Perjalanan Ibadah HajiPasal 31
Paragraf 3 PembinaanPasal 32
Pasal 33
Paragraf 4 Pelayanan KesehatanPasal 34
Paragraf 5 Pelayanan TransportasiPasal 35
Pasal 36
Pasal 37Pelayanan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 wajib memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi serta melaksanakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38
Paragraf 6 Pelayanan AkomodasiPasal 39
Paragraf 7 Penyediaan KonsumsiPasal 40
Paragraf 8 PelindunganPasal 41
Pasal 42
Bagian Kelima Evaluasi dan PelaporanPasal 43
BPIH bersumber dari Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 45
Bagian Kedua Pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah HajiPasal 46
Pasal 47
Bagian Ketiga Penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah HajiPasal 48
Bagian Keempat Pembayaran dan Pengembalian Setoran Jemaah HajiPasal 49
Pasal 50
Bagian Kelima PelaporanPasal 51
BAB V KELOMPOK BIMBINGAN IBADAH HAJI DAN UMRAHPasal 52
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan memperoleh izin KBIHU, evaluasi, standardisasi bimbingan dan pendampingan, serta akreditasi KBIHU diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 56
BAB VI PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUSBagian Kesatu UmumPasal 57Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh PIHK. Bagian Kedua PersyaratanPasal 58Untuk mendapatkan izin menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan:
Pasal 59
Pasal 60Pembukaan kantor cabang PIHK harus dilaporkan kepada Menteri melalui Kementerian Agama di kabupaten/kota setempat. Pasal 61Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK, izin PIHK, dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Penyelenggara Ibadah Haji KhususPasal 62PIHK berhak mendapatkan:
Pasal 63
Bagian Keempat Kuota Haji KhususPasal 64
Pasal 65
Pasal 66Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian kuota haji khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan pengisian sisa kuota haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 67
Bagian Kelima Biaya Perjalanan Ibadah Haji KhususPasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Bagian Keenam PetugasPasal 71
Pasal 72Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pendaftaran dan PenundaanPasal 73
Pasal 74Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran, pemberangkatan Jemaah Haji Khusus berdasarkan nomor urut pendaftaran, pengecualian bagi Jemaah Haji Khusus lanjut usia yang dapat diberangkatkan, dan penundaan keberangkatan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedelapan Dokumen Perjalanan Ibadah Haji KhususPasal 75
Bagian Kesembilan PembinaanPasal 76
Bagian Kesepuluh Pelayanan KesehatanPasal 77
Bagian Kesebelas Pelayanan TransportasiPasal 78
Bagian Kedua Belas Pelayanan Akomodasi dan KonsumsiPasal 79
Bagian Ketiga Belas PelindunganPasal 80
Pasal 81
Bagian Keempat Belas PelaporanPasal 82
Bagian Kelima Belas Pengawasan dan EvaluasiPasal 83
Pasal 84Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Belas AkreditasiPasal 85
Setiap orang yang akan menjalankan Ibadah Umrah harus memenuhi persyaratan:
Bagian Kedua Hak Jemaah UmrahPasal 88Jemaah Umrah berhak memperoleh pelayanan dari PPIU meliputi:
Bagian Ketiga Penyelenggara Perjalanan Ibadah UmrahPasal 89Untuk mendapatkan izin menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan:
Pasal 90
Pasal 91
Pasal 92Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah UmrahPasal 93PPIU berhak mendapatkan:
Pasal 94PPIU wajib:
Pasal 95
Bagian Kelima PelindunganPasal 96
Pasal 97
Pasal 98Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pelindungan PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan Pasal 97 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Pengawasan dan EvaluasiPasal 99
Pasal 100Pengawasan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilaksanakan secara terpadu dengan kementerian/lembaga terkait. Pasal 101
Pasal 102Dalam hal hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah terdapat dugaan tindak pidana, hasil pengawasan dan evaluasi disampaikan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Bagian Ketujuh Akreditasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah UmrahPasal 103Menteri menetapkan standar akreditasi PPIU. Pasal 104
Pasal 105Menteri memublikasikan hasil akreditasi PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 kepada masyarakat. Pasal 106Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII KOORDINASIPasal 107
Pasal 108
Pasal 109Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX PERAN SERTA MASYARAKATPasal 110
Pasal 111
BAB X PENYIDIKANPasal 112
BAB XI LARANGANPasal 113Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai penerima setoran Bipih. Pasal 114Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus. Pasal 115Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah. Pasal 116Setiap Orang dilarang memperjualbelikan kuota Haji Indonesia. Pasal 117Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah. Pasal 118PIHK dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus. Pasal 119PPIU dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah. BAB XII KETENTUAN PIDANAPasal 120Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran Bipih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 121Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 122Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 123Setiap Orang yang memperjualbelikan kuota Haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 124Setiap Orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 125PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 126PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). BAB XIII KETENTUAN PERALIHANPasal 127Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
BAB XIV KETENTUAN PENUTUPPasal 128Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 129Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 130Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 131Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 132Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah |