Apakah seseorang yang melanggar uu tentang penyelenggaraan haji dan umrah bisa dipidana

Merdeka.com - Sebuah foto dari surat kabar Warta Kota beredar di media sosial Facebook. Surat kabar tersebut memuat sejumlah berita. Namun judul berita "Nekat Pergi Haji Bakal Dipidana" justru menjadi perhatian. Foto surat kabar ini diunggah oleh akun Facebook Isma.

Show

Apakah seseorang yang melanggar uu tentang penyelenggaraan haji dan umrah bisa dipidana

Facebook

Penelusuran

Menurut penelusuran merdeka.com, berita terkait pidana bagi yang nekat naik haji memang benar. Berita tersebut dibuat Wartakota pada 3 Juni 2020 berjudul "Nekat Pergi Haji Bakal Dipidana".

Dikutip dari Facebook Wartakota, artikel tersebut menjelaskan tentang dana haji para jemaah dan juga sanksi pidana yang akan diterapkan.

"Calon jemaah haji berjumlah 221 ribu orang batal berangkat menunaikan ibadah haji tahun 2020. Padahal mereka sudah melunasi ongkos naik haji atau biaya penyelenggaraan ibadah haji sebesar Rp 25 juta sudah dilunasi.

Bagaimanakah pengelolaan dana tersebut, adakah manfaatnya untuk Jemaah?

Lalu sanksi pidana apa yang akan diterapkan, bila nekat menunaikan ibadah haji?"

Dalam artikel Tribunnews berjudul "Jemaah yang Nekat Berangkat Haji Tahun Ini Bakal Kena Sanksi Pidana dan Denda" pada 2 Juni 2020, dijelaskan maksud dari hukuman ini.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Nizar Ali menegaskan jemaah yang memaksakan berangkat haji secara ilegal pada tahun ini akan dikenakan sanksi pidana dan denda.

Nizar mengungkapkan pada Undang-undang nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh terdapat aturan mengenai sanksi kepada para pelanggar.

"Saya rasa kita bisa membaca undang-undang nomor 8 tahun 2019 karena kita sudah di amanat undang-undang menyatakan bahwa jamaah haji mujamalah harus diberangkatan melalui PIHK," ujar Nizar di Kantor Kemenag, Jakarta, Selasa (2/6/2020).

"Apabila ini dilanggar maka ada ketentuan pasal sanksi yang ada di akhir-akhir uu tadi, bahkan saksinya pidana dan juga denda sekian miliar," tambah Nizar.

Pada Pasal 121 UU 8/2019 disebutkan "Setiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah haji khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar".

Nizar mengungkapkan kepada biro perjalanan haji untuk tidak nekat memberangkatkan jemaah haji secara ilegal.

"Bahkan ada aturan untuk orang atas nama individu atau lembaga menarik biaya itu haji secara ilegal maka kena sanksi pidana dan sanksi finansial," tutur Nizar.

Sementara itu, dalam artikel merdeka.com berjudul "Haji 2020 Batal, Kemenag Sebut Saudi Belum Beri Kepastian Kapan Akses Layanan Dibuka" pada 2 Juni 2020, dijelaskan bahwa Arab Saudi masih menutup ibadah haji tahun ini dikarenakan pandemi corona.

Kementerian Agama memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah haji 1441H/2020M. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Nizar, mengatakan keputusan diambil karena melihat Arab Saudi belum membuka akses layanan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1441H/2020M hingga sekarang.

"Pemerintah Arab Saudi sampai saat ini belum memberikan kepastian kapan akan dibukanya akses layanan penyelenggaraan haji 1441H/2020M, tidak hanya Indonesia tapi negara-negara pengirim jemaah haji lainnya," kata Nizar di Jakarta, Selasa (2/6).

Nizar mengatakan, pihaknya memahami jika Arab Saudi hingga kini belum membuka akses tersebut. Sebab hingga Covid-19 masih menjadi pandemi sebagaimana di Indonesia. Hal itu pun juga berpengaruh pada proses persiapan penyelenggaraan haji yang mereka lakukan.

Apalagi, Covid-19 juga dapat mengancam keselamatan jemaah. Sementara agama mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan.

"Pandemi Covid-19 tentu juga menjadi pertimbangan, baik Saudi maupun Indonesia, karena itu terkait kesehatan jemaah," ujarnya.

Kesimpulan

Berita dalam surat kabar Wartakota berjudul "Nekat Pergi Haji Bakal Dipidana" memang benar. Hukuman pidana diberikan pada jemaah yang berangkat haji secara ilegal. Padahal Kementerian Agama memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah haji 1441H/2020M.

Hal ini terkait kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang belum memberikan kepastian tentang dibukanya akses layanan penyelenggaraan haji 1441H/2020M.

Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan, pastikan itu berasal dari sumber terpercaya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

30-10-2020 / BADAN LEGISLASI

Apakah seseorang yang melanggar uu tentang penyelenggaraan haji dan umrah bisa dipidana

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf. (Foto : Oji/Man)

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf mengatakan, sejumlah asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mengeluhkan pidana kurungan hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp 5 miliar dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 tentang Keagamaan pasal 125 dan 126.

Alasannya karena Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) dapat juga dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum, sesuai bunyi pasal 118A dan pasal 119A, sehingga sanksi yang diterima nantipun berlapis-lapis.

"Berat sekali konsekuensinya (bagi PIHK dan PPIU) bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administrative, bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun,” kata Bukhori dalam pernyataan tertulis yang diterima Parlementaria, Jumat (30/10/2020).

Pasal 118A dan 119A UU itu mencakup sanksi administratif dari yang ringan yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. Selain itu, PIHU juga berkewajiban mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian bukan materil lainnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan, pasal-pasal 118A dan 119A UU Ciptaker sesungguhnya memiliki maksud yang baik, yakni memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah Haji/Umrah yang merugikan jemaah, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.

"Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” pungkasnya.

Namun yang bermasalah ialah yang tercantum dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126. "Disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar," papar Bukhori.

Anggota Komisi VIII DPR RI itu menyampaikan konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi itu akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus.

Dari segi etika hukum, Bukhori menganggap pemberlakuan sanksi berlapis itu pun tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran. Hal itu karena kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.

Ia pun menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU itu, sesungguhnya karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Ciptaker. Bukhori mengklaim pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI secara terpisah, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU Nomor 8/2019 dengan menambahkan batas waktu lima hari.

“Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat PPIU yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim sebagaimana dalam UU No. 8/2019. Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,” imbuh Bukhori.

Alhasil, pihaknya bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg. “Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian memunculkan pasal tambahan, yakni pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan. Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini ternyata memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis,” ujarnya. (tn/sf)

Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah pada tanggal 26 April 2019 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly di Jakarta pada tanggal 29 April 2019. Dasar hukum UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah ini adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penjelasan Umum UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Dalam Penjelasan UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah dikatakan bahwa Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan yang mengatur tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti. Selain itu, semakin meningkatnya jumlah warga negara untuk menunaikan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah, perlu peningkatan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, selama ini masih ditemukan beberapa kelemahan, baik dalam aspek regulasi dan tata kelola kebijakan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan jemaah, maupun pengawasan terhadap pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan aturan dan perbaikan dalam praktik penyelenggaraannya, sehingga Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat dilaksanakan dengan aman, nyaman, tertib, lancar, dan sesuai dengan syariat, serta menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik untuk sebesar-besar kemanfaatan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan dan perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tidak cukup hanya sebatas pada perbaikan kualitas pelayanan terhadap jemaah tetapi perbaikan tersebut harus menyentuh seluruh aspek yang ada di dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Adapun pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Jemaah Haji, Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler, BPIH, KBIHU, Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, Penyelenggaraan Ibadah Umrah, koordinasi, peran serta masyarakat, penyidikan, larangan, dan ketentuan pidana.

  1. Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh Menteri.
  2. Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah diterbitkan dengan pertimbangan:

  1. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
  2. bahwa salah satu jaminan negara atas kemerdekaan beribadah ialah memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara yang menunaikan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat;
  3. bahwa semakin meningkatnya jumlah warga negara untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, perlu peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat;
  4. bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu diganti;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu.
  2. Ibadah Umrah adalah berkunjung ke Baitullah di luar musim haji dengan niat melaksanakan umrah yang dilanjutkan dengan melakukan tawaf, sai, dan tahalul.
  3. Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah.
  4. Jemaah Haji adalah warga negara yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  5. Jemaah Haji Reguler adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Menteri.
  6. Jemaah Haji Khusus adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus.
  7. Jemaah Umrah adalah seseorang yang melaksanakan Ibadah Umrah.
  8. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umum.
  9. Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat PPIH adalah petugas yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan pembinaan, pelayanan dan pelindungan, serta pengendalian dan pengoordinasian pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di Arab Saudi.
  10. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus.
  11. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disingkat PIHK adalah badan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk melaksanakan Ibadah Haji khusus.
  12. Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disebut Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.

  1. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
  2. Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi.
  3. Dana Efisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji.
  4. Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut Bipih Khusus adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh Jemaah Haji yang akan menunaikan Ibadah Haji khusus.
  5. Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji.
  6. Setoran Jemaah adalah sejumlah uang yang diserahkan oleh Jemaah Haji melalui BPS Bipih.
  7. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki izin dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.
  8. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang selanjutnya disingkat KBIHU adalah kelompok yang menyelenggarakan bimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah yang telah mendapatkan izin dari Menteri.
  9. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu yang selanjutnya disebut Siskohat adalah sistem pengelolaan data dan informasi penyelenggaraan Ibadah Haji secara terpadu.
  10. Kelompok Terbang yang selanjutnya disebut Kloter adalah pengelompokan rombongan Jemaah Haji Reguler berdasarkan jadwal keberangkatan penerbangan ke Arab Saudi.
  11. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat DPR RI adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  12. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  13. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
  15. Hari adalah hari kerja.
  16. Setiap Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum.

Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah berasaskan:

  1. syariat;
  2. amanah;
  3. keadilan;
  4. kemaslahatan;
  5. kemanfaatan;
  6. keselamatan;
  7. keamanan;
  8. profesionalitas;
  9. transparansi; dan
  10. akuntabilitas.

Pasal 3

Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertujuan:

  1. memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi Jemaah Haji dan Jemaah Umrah sehingga dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan syariat; dan
  2. mewujudkan kemandirian dan ketahanan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

  1. Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dapat mendaftar sebagai Jemaah Haji dengan membayar setoran awal dan menyerahkan salinan dokumen kependudukan yang sah.
  2. Warga negara Indonesia yang sudah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberangkatkan setelah memenuhi persyaratan.
  3. Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
  1. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:
    1. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah;
    2. memenuhi persyaratan kesehatan;
    3. melunasi Bipih; dan
    4. belum pernah menunaikan Ibadah Haji atau sudah pernah menunaikan Ibadah Haji paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak menunaikan Ibadah Haji yang terakhir.
  2. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikecualikan bagi:
    1. petugas penyelenggara Ibadah Haji reguler;
    2. pembimbing KBIHU; dan
    3. petugas PIHK.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
  4. Peraturan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri.

  1. Jemaah Haji berhak:
    1. mendapatkan bukti setoran dari BPS Bipih dan nomor porsi dari Menteri;
    2. mendapatkan bimbingan manasik haji dan materi lainnya di tanah air, dalam perjalanan, dan di Arab Saudi;
    3. mendapatkan pelayanan akomodasi, konsumsi, dan kesehatan;
    4. mendapatkan pelayanan transportasi;
    5. mendapatkan pelindungan sebagai Jemaah Haji Indonesia;
    6. mendapatkan identitas haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji;
    7. mendapatkan asuransi jiwa sesuai dengan prinsip syariat;
    8. mendapatkan pelayanan khusus bagi Jemaah Haji penyandang disabilitas;
    9. mendapatkan informasi pelaksanaan Ibadah Haji;
    10. memilih PIHK untuk Jemaah Haji Khusus; dan
    11. melimpahkan nomor porsi kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung yang ditunjuk dan/atau disepakati secara tertulis oleh keluarga dengan alasan meninggal dunia atau sakit permanen menurut keterangan kesehatan Jemaah Haji.
  2. Pelimpahan porsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k berlaku hanya untuk 1 (satu) kali pelimpahan.
  3. Ketentuan mengenai tata cara pelimpahan porsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Jemaah Haji berkewajiban:

  1. mendaftarkan diri ke kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota bagi Jemaah Haji Reguler;
  2. mendaftarkan diri ke PIHK pilihan jemaah yang terhubung dengan Siskohat bagi Jemaah Haji Khusus;
  3. membayar Bipih yang disetorkan ke BPS Bipih;
  4. melaporkan diri ke kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota bagi Jemaah Haji Khusus melalui PIHK; dan
  5. memenuhi persyaratan dan mematuhi ketentuan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji.

  1. Jemaah Haji diberangkatkan berdasarkan kuota haji Indonesia.
  2. Kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
  3. Kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kuota:
    1. haji reguler; dan
    2. haji khusus.
  4. Kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas kuota:
    1. Jemaah Haji; dan
    2. petugas haji.
  5. Kuota haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas kuota:
    1. Jemaah Haji Khusus; dan
    2. petugas haji khusus.
  6. Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional.
  1. Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Menteri menetapkan kuota haji tambahan.
  2. Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri.

  1. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler menjadi tanggung jawab Pemerintah.
  2. Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
  3. Pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui satuan kerja yang bersifat tetap dan terstruktur di tingkat daerah, di tingkat pusat, dan di Arab Saudi.

Perencanaan Ibadah Haji Reguler meliputi:

  1. penetapan dan pengisian kuota;
  2. penetapan BPIH;
  3. penyediaan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan kesehatan;
  4. pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji dan visa; dan
  5. penetapan PPIH.

  1. Menteri menetapkan kuota haji Indonesia dan kuota haji provinsi Jemaah Haji Reguler.
  2. Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional.
  1. Menteri membagi kuota haji reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a menjadi kuota haji provinsi.
  2. Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan:
    1. proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi; atau
    2. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi.
  3. Gubernur dapat membagi dan menetapkan kuota haji provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota haji kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan:
    1. proporsi jumlah penduduk muslim kabupaten/kota; atau
    2. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap kabupaten/kota.
  4. Pembagian dan penetapan kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah penetapan kuota haji Indonesia.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
  1. Dalam menetapkan kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Menteri memberi prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia yang berusia paling rendah 65 (enam puluh lima) tahun dengan persentase tertentu.
  2. Ketentuan mengenai pemberian prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
  1. Dalam hal kuota haji reguler tidak terpenuhi pada hari penutupan pengisian kuota haji kabupaten/kota, Menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota selama 30 (tiga puluh) Hari untuk:
    1. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;
    2. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya;
    3. Jemaah Haji lunas tunda;
    4. pendamping Jemaah Haji lanjut usia; dan
    5. Jemaah Haji pada urutan berikutnya;
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian sisa kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
  1. Menteri menetapkan masa pelunasan dana setoran pelunasan untuk pengisian kuota haji reguler.
  2. Dalam hal pengisian kuota haji reguler pada masa pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri memperpanjang masa pengisian sisa kuota paling lama 30 (tiga puluh) Hari untuk:
    1. Jemaah Haji yang saat pelunasan tahap sebelumnya mengalami kegagalan sistem;
    2. pendamping Jemaah Haji lanjut usia;
    3. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;
    4. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya; dan
    5. Jemaah Haji pada urutan berikutnya.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

  1. Visa haji di luar kuota haji Indonesia dilarang digunakan oleh Jemaah Haji.
  2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan Ibadah Haji.
  1. Visa haji Indonesia terdiri atas:
    1. visa haji kuota Indonesia; dan
    2. visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
  2. Warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berangkat melalui PIHK.
  3. PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada Menteri.
  1. PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. teguran lisan;
    2. teguran tertulis;
    3. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
    4. pencabutan izin.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Menteri melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

  1. Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji.
  2. Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
  3. Penyelenggaraan Ibadah Haji oleh Menteri dilakukan melalui satuan kerja dan PPIH.
  4. Satuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi satuan kerja di tingkat daerah, di tingkat pusat, dan di Arab Saudi.
  1. PPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dibentuk oleh Menteri.
  2. PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. PPIH pusat;
    2. PPIH Arab Saudi;
    3. PPIH embarkasi; dan
    4. PPIH Kloter.
  3. PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur:
    1. kementerian/lembaga terkait; dan
    2. masyarakat.
  4. PPIH Kloter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas:
    1. ketua kloter;
    2. pembimbing Ibadah Haji; dan
    3. tenaga kesehatan haji.
  5. Calon PPIH harus memenuhi syarat:
    1. beragama Islam;
    2. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;
    3. memiliki dokumen yang sah;
    4. PPIH yang bertugas memberikan bimbingan Ibadah Haji harus sudah melaksanakan Ibadah Haji; dan
    5. lulus seleksi dan/atau penunjukan sesuai kebutuhan.
  6. Biaya operasional PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
  1. Gubernur atau bupati/wali kota dapat mengusulkan calon petugas haji daerah kepada Menteri.
  2. Calon petugas haji daerah yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleksi oleh Menteri.
  3. Calon petugas haji daerah harus memenuhi persyaratan:
    1. beragama Islam;
    2. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;
    3. memiliki dokumen yang sah; dan
    4. lulus seleksi.
  4. Petugas haji daerah yang lulus seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Menteri.

Kuota petugas haji daerah menggunakan kuota haji Indonesia.

Pasal 25

  1. Petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) terdiri atas:
    1. petugas pelayanan umum;
    2. petugas pembimbing Ibadah Haji yang berasal dari KBIHU dan organisasi kemasyarakatan Islam; dan
    3. petugas pelayanan kesehatan.
  2. Petugas Haji daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu petugas Kloter dalam pelayanan bimbingan ibadah, pelayanan umum, dan pelayanan kesehatan di Kloter.
  3. Biaya operasional petugas haji daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai PPIH dan petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3 Pengawas

Pasal 27

  1. Pengawas Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas:
    1. pengawas internal; dan
    2. pengawas eksternal.
  2. Pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah.
  3. Pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
  4. Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan laporan hasil pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji kepada DPR RI.
  5. Biaya pengawas sebagaimana pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Pasal 28

  1. Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) paling banyak 4% (empat persen) dari jumlah kuota petugas.
  2. Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi pengawas internal sebanyak 40% (empat puluh persen) dan pengawas eksternal sebanyak 60% (enam puluh persen) dari jumlah kuota pengawas.
  3. Komposisi kuota pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dan ditetapkan dalam rapat pembahasan BPIH antara DPR RI dan Pemerintah.

Paragraf 4 Misi Haji Indonesia

Pasal 29

  1. Presiden menetapkan Menteri sebagai amirulhaj.
  2. Amirulhaj sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memimpin misi Haji Indonesia dan melaksanakan tugas diplomasi haji di Arab Saudi selama musim haji.
  3. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), amirulhaj dibantu oleh 12 (dua belas) anggota yang terdiri atas:
    1. 6 (enam) orang berasal dari unsur Pemerintah; dan
    2. 6 (enam) orang berasal dari unsur organisasi kemasyarakatan Islam.
  4. Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Keempat Pelaksanaan

Paragraf 1 Pendaftaran

Pasal 30

  1. Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan sepanjang tahun setiap Hari sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
  2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota domisili Jemaah Haji.
  3. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pelayanan sesuai dengan nomor urut pendaftaran.
  4. Nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar pelayanan pemberangkatan Jemaah Haji.
  5. Pemberangkatan Jemaah Haji berdasarkan nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan bagi Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberangkatan Jemaah Haji berdasarkan nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pengecualian pemberangkatan bagi Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2 Dokumen Perjalanan Ibadah Haji

Pasal 31

  1. Menteri bertanggung jawab terhadap pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji.
  2. Dalam melaksanakan pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji, Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait.

Paragraf 3 Pembinaan

Pasal 32

  1. Menteri bertanggung jawab memberikan pembinaan Ibadah Haji kepada Jemaah Haji.
  2. Menteri bertanggung jawab terhadap pembinaan kesehatan Jemaah Haji sebelum, selama, dan setelah melaksanakan Ibadah Haji.
  3. Pembinaan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan di bawah koordinasi Menteri.
  4. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan secara terencana, terstruktur, terukur, dan terpadu sesuai dengan standardisasi pembinaan.
  5. Standardisasi pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
    1. standar manasik Ibadah Haji; dan
    2. standar kesehatan.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 33

  1. Dalam menyelenggarakan bimbingan dan pembinaan manasik haji reguler, Menteri dapat melibatkan KBIHU.
  2. Ketentuan mengenai pelibatan KBIHU dalam penyelenggaraan bimbingan dan pembinaan manasik haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4 Pelayanan Kesehatan

Pasal 34

  1. Menteri bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebelum, selama, dan setelah melaksanakan Ibadah Haji.
  2. Pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan di bawah koordinasi Menteri.
  3. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan standardisasi organisasi kesehatan dunia yang sesuai dengan prinsip syariat.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pelayanan kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5 Pelayanan Transportasi

Pasal 35

  1. Menteri bertanggung jawab memberikan pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji selama penyelenggaraan Ibadah Haji.
  2. Pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi transportasi dari embarkasi pemberangkatan menuju Arab Saudi, selama di Arab Saudi, dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia.
  3. Menteri mengoordinasikan pelaksanaan tugas dari embarkasi pemberangkatan menuju Arab Saudi dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.

Pasal 36

  1. Transportasi Jemaah Haji dari daerah asal ke embarkasi dan/atau dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
  2. Tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk akomodasi dan penyediaan konsumsi Jemaah Haji.
  3. Tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 37

Pelayanan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 wajib memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi serta melaksanakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

  1. Pengadaan jasa transportasi Jemaah Haji ke Arab Saudi dilakukan oleh Menteri.
  2. Ketentuan mengenai pengadaan jasa transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6 Pelayanan Akomodasi

Pasal 39

  1. Menteri wajib menyediakan akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar Bipih yang telah ditetapkan.
  2. Akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan Jemaah Haji beserta barang bawaannya serta memiliki akses yang mudah ke Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
  3. Penyediaan akomodasi bagi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan menggunakan mekanisme tahun jamak dengan memperhatikan hasil evaluasi penyediaan akomodasi tahun sebelumnya.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 7 Penyediaan Konsumsi

Pasal 40

  1. Menteri bertanggung jawab memberikan penyediaan konsumsi kepada Jemaah Haji dengan memenuhi standar kesehatan, kebutuhan gizi, tepat waktu, tepat jumlah, dan cita rasa Indonesia.
  2. Dalam penyediaan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan ahli gizi.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 8 Pelindungan

Pasal 41

  1. Menteri bertanggung jawab memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebelum, selama, dan setelah Jemaah Haji dan petugas haji melaksanakan Ibadah Haji.
  2. Pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pelindungan:
    1. warga negara Indonesia di luar negeri;
    2. hukum;
    3. keamanan; dan
    4. jiwa, kecelakaan, dan kesehatan.
  3. Dalam memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

Pasal 42

  1. Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf d diberikan dalam bentuk asuransi.
  2. Besaran pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebesar Bipih.
  3. Masa pertanggungan asuransi dimulai sejak Jemaah Haji masuk asrama haji embarkasi atau embarkasi- antara untuk pemberangkatan sampai keluar asrama haji debarkasi atau debarkasi-antara untuk kepulangan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan asuransi kepada Jemaah Haji diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Evaluasi dan Pelaporan

Pasal 43

  1. Menteri melakukan evaluasi terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji.
  2. Menteri menyampaikan laporan hasil evaluasi dan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden dan DPR RI paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung setelah Penyelenggaraan Ibadah Haji berakhir.

BPIH bersumber dari Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

  1. BPIH digunakan untuk biaya:
    1. penerbangan;
    2. pelayanan akomodasi;
    3. pelayanan konsumsi;
    4. pelayanan transportasi;
    5. pelayanan di Arafah, Mudzalifah, dan Mina;
    6. pelindungan;
    7. pelayanan di embarkasi atau debarkasi;
    8. pelayanan keimigrasian;
    9. premi asuransi dan pelindungan lainnya;
    10. dokumen perjalanan;
    11. biaya hidup;
    12. pembinaan Jemaah Haji di tanah air dan di Arab Saudi;
    13. pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi; dan
    14. pengelolaan BPIH.
  2. Biaya selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji

Pasal 46

  1. Menteri menyampaikan usulan besaran BPIH kepada DPR RI untuk keperluan BPIH.
  2. Usulan BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada DPR RI paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah penyampaian laporan hasil evaluasi penyelenggaraan Ibadah Haji tahun sebelumnya.

Pasal 47

  1. Persetujuan DPR RI atas usulan BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diberikan paling lama 60 (enam puluh) Hari setelah usulan BPIH dari Menteri diterima oleh DPR RI.
  2. Dalam hal BPIH tahun berjalan tidak mendapat persetujuan dari DPR RI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran BPIH tahun berjalan sama dengan besaran BPIH tahun sebelumnya.

Bagian Ketiga Penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji

Pasal 48

  1. Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah usulan BPIH mendapatkan persetujuan dari DPR RI.
  2. Besaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari Bipih, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR RI.
  3. Besaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan sesuai dengan mekanisme ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat Pembayaran dan Pengembalian Setoran Jemaah Haji

Pasal 49

  1. Pembayaran setoran Jemaah Haji meliputi:
    1. dana setoran awal Bipih; dan
    2. dana setoran pelunasan Bipih.
  2. Pembayaran setoran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke rekening Badan Pengelolaan Keuangan Haji di BPS Bipih.
  3. Besaran pembayaran dana setoran awal Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri.
  4. Dana setoran pelunasan Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah besaran Bipih ditetapkan oleh Presiden.

Pasal 50

  1. Bipih yang telah disetorkan melalui BPS Bipih dikembalikan bersama Nilai Manfaat jika:
    1. porsinya tidak dimanfaatkan oleh ahli waris bagi Jemaah Haji yang meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan Ibadah Haji;
    2. Jemaah Haji membatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah; atau
    3. Jemaah Haji dibatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah.
  2. Pengembalian Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Jemaah Haji, orang yang diberi kuasa, atau ahli warisnya.
  3. Jemaah Haji yang dibatalkan keberangkatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus mendapatkan pemberitahuan secara tertulis dari Menteri.
  4. Pengembalian Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak Jemaah Haji meninggal dunia, membatalkan keberangkatannya, atau dibatalkan keberangkatannya.

Bagian Kelima Pelaporan

Pasal 51

  1. Menteri menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan Ibadah Haji kepada Presiden dan DPR RI paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya penyelenggaraan Ibadah Haji.
  2. Dalam hal terdapat Dana Efisiensi dalam laporan keuangan penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dana Efisiensi ditempatkan pada kas haji.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan pertanggungjawaban keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V KELOMPOK BIMBINGAN IBADAH HAJI DAN UMRAH

Pasal 52

  1. KBIHU wajib memiliki izin penyelenggaraan bimbingan dan pendampingan Ibadah Haji dari Menteri.
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah KBIHU memenuhi persyaratan.
  3. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama KBIHU menjalankan kegiatan penyelenggaraan bimbingan dan pendampingan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah.
  4. Menteri melakukan evaluasi terhadap KBIHU secara berkala.

Pasal 53

  1. KBIHU melakukan bimbingan dan pendampingan Ibadah Haji sesuai dengan standardisasi bimbingan dan pendampingan.
  2. KBIHU hanya melakukan bimbingan dan pendampingan kepada Jemaah Haji yang memerlukan jasa KBIHU.

Pasal 54

  1. Menteri melaksanakan akreditasi KBIHU.
  2. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan KBIHU.
  3. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun.
  4. Menteri menetapkan standar akreditasi KBIHU.
  5. Menteri memublikasikan hasil akreditasi KBIHU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik.

Pasal 55

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan memperoleh izin KBIHU, evaluasi, standardisasi bimbingan dan pendampingan, serta akreditasi KBIHU diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 56

  1. KBIHU berhak mendapatkan kuota pembimbing dari Menteri.
  2. Untuk mendapatkan kuota pembimbing dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KBIHU harus memenuhi persyaratan:
    1. memiliki pembimbing yang telah lulus seleksi dan memenuhi standar pembimbing; dan
    2. memperoleh Jemaah Haji paling sedikit 135 (seratus tiga puluh lima) orang untuk 1 (satu) orang pembimbing.
  3. Dalam hal KBIHU tidak memperoleh Jemaah Haji paling sedikit 135 (seratus tiga puluh lima) orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, KBIHU dapat bergabung dengan KBIHU lain untuk mendapatkan kuota 1 (satu) pembimbing.
  4. KBIHU bertanggung jawab atas biaya bimbingan dan pendampingan untuk pembimbing.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai kuota pembimbing, seleksi dan standar pembimbing, serta penggabungan KBIHU diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS

Bagian Kesatu Umum

Pasal 57

Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh PIHK.

Bagian Kedua Persyaratan

Pasal 58

Untuk mendapatkan izin menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan:

  1. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam;
  2. terdaftar sebagai PPIU yang terakreditasi;
  3. memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan bank; dan
  4. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.

Pasal 59

  1. Pelaksanaan Ibadah Haji khusus dilakukan oleh PIHK setelah mendapat izin dari Menteri.
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PIHK menjalankan kegiatan usaha Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.

Pasal 60

Pembukaan kantor cabang PIHK harus dilaporkan kepada Menteri melalui Kementerian Agama di kabupaten/kota setempat.

Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK, izin PIHK, dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Penyelenggara Ibadah Haji Khusus

Pasal 62

PIHK berhak mendapatkan:

  1. pembinaan dari Menteri;
  2. informasi tentang kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus;
  3. informasi tentang data Jemaah Haji Khusus pada tahun berjalan di setiap PIHK;
  4. identitas Jemaah Haji dan asuransi;
  5. penerimaan saldo setoran Bipih Khusus dari Badan Pengelola Keuangan Haji sesuai dengan jumlah Jemaah Haji Khusus yang telah melunasi Bipih Khusus dan yang akan berangkat pada tahun berjalan;
  6. informasi tentang hasil pengawasan dan akreditasi; dan
  7. kuota untuk penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus.

Pasal 63

  1. PIHK Wajib:
    1. memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan Ibadah Haji khusus;
    2. memberikan bimbingan dan pembinaan Ibadah Haji khusus;
    3. memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan;
    4. memberangkatkan, melayani, dan memulangkan Jemaah Haji Khusus sesuai dengan perjanjian;
    5. memberangkatkan penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus;
    6. memfasilitasi pemindahan calon Jemaah Haji Khusus kepada PIHK lain atas permohonan jemaah; dan
    7. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri.
  2. PIHK yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
    1. teguran tertulis;
    2. pembekuan izin; atau
    3. pencabutan izin.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Kuota Haji Khusus

Pasal 64

  1. Menteri menetapkan kuota haji khusus
  2. Kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari kuota haji Indonesia.
  3. Kuota haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kuota:
    1. Jemaah Haji Khusus; dan
    2. petugas haji khusus.
  4. Pengisian kuota haji khusus dilakukan berdasarkan urutan pendaftaran secara nasional.

Pasal 65

  1. Pengisian kuota haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah penetapan Menteri.
  2. Dalam hal kuota haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi pada Hari penutupan pengisian kuota, Menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota dalam waktu 7 (tujuh) Hari untuk:
    1. Jemaah Haji yang saat pelunasan tahap sebelumnya mengalami kegagalan sistem;
    2. pendamping Jemaah Haji Khusus lanjut usia;
    3. Jemaah Haji Khusus yang terpisah dari mahram atau keluarga;
    4. Jemaah Haji Khusus penyandang disabilitas dan pendampingnya; dan
    5. Jemaah Haji Khusus pada urutan berikutnya.
  3. Dalam hal kuota haji khusus tidak terpenuhi selama 7 (tujuh) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengisian sisa kuota akhir berdasarkan nomor urut berikutnya berbasis PIHK serta berdasarkan kesiapan jemaah dan setiap PIHK paling lama 7 (tujuh) Hari.

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian kuota haji khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan pengisian sisa kuota haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 67

  1. PIHK hanya memberangkatkan Jemaah Haji Khusus yang terdaftar dan yang telah melaporkan kepada Menteri.
  2. PIHK wajib memberangkatkan Jemaah Haji Khusus paling sedikit 45 (empat puluh lima) jemaah.
  3. Dalam hal PIHK memperoleh kurang dari 45 (empat puluh lima) jemaah, PIHK wajib menggabungkan jemaahnya dengan PIHK lain.
  4. Penggabungan Jemaah Haji Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan atas persetujuan jemaah yang dibuktikan dengan surat persetujuan dan dilaporkan kepada Menteri.
  5. Dalam hal Jemaah Haji Khusus tidak menyetujui penggabungan jemaah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jemaah Haji Khusus tersebut menjadi daftar tunggu tahun berikutnya.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan Jemaah Haji Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus

Pasal 68

  1. Menteri menetapkan setoran awal Bipih Khusus dan pelunasan Bipih Khusus untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
  2. Bipih Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus ke rekening Badan Pengelola Keuangan Haji di BPS Bipih Khusus melalui PIHK.
  3. PIHK dapat memungut biaya di atas setoran Bipih Khusus sesuai dengan pelayanan tambahan dari standar pelayanan minimum.
  4. Standar pelayanan minimum dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 69

  1. Badan Pengelola Keuangan Haji menyerahkan saldo setoran Bipih Khusus kepada PIHK.
  2. Saldo setoran Bipih Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan sesuai dengan jumlah Jemaah Haji Khusus yang telah melunasi Bipih khusus dan berangkat pada tahun berjalan.

Pasal 70

  1. Bipih Khusus yang telah disetorkan melalui BPS Bipih Khusus dikembalikan sesuai dengan perjanjian jemaah dengan PIHK jika:
    1. Jemaah Haji Khusus yang meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan Ibadah Haji;
    2. Jemaah Haji Khusus membatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah; atau
    3. Jemaah Haji Khusus dibatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah.
  2. Pengembalian Bipih Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Jemaah Haji Khusus, pihak yang diberi kuasa, atau ahli warisnya.
  3. Jemaah Haji Khusus yang dibatalkan keberangkatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus mendapatkan pemberitahuan secara tertulis dari Menteri.
  4. Pengembalian Bipih Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak Jemaah Haji Khusus meninggal dunia, membatalkan keberangkatannya, atau dibatalkan keberangkatannya.

Bagian Keenam Petugas

Pasal 71

  1. PIHK wajib memberangkatkan 1 (satu) orang penanggung jawab PIHK, 1 (satu) orang petugas kesehatan, dan 1 (satu) orang pembimbing Ibadah Haji khusus untuk paling sedikit 45 (empat puluh lima) Jemaah Haji Khusus yang diberangkatkan ke Arab Saudi.
  2. Petugas kesehatan dan pembimbing Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dirangkap oleh Jemaah Haji Khusus.

Pasal 72

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh Pendaftaran dan Penundaan

Pasal 73

  1. Pendaftaran Jemaah Haji Khusus dilakukan sepanjang tahun setiap Hari sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
  2. Pendaftaran Haji khusus dilakukan oleh Jemaah Haji Khusus melalui PIHK yang terhubung dengan Siskohat.
  3. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pelayanan sesuai dengan nomor urut pendaftaran.
  4. Nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar pelayanan pemberangkatan Jemaah Haji Khusus.
  5. Pemberangkatan Jemaah Haji Khusus berdasarkan nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan bagi Jemaah Haji Khusus lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
  6. Dalam hal Jemaah Haji Khusus menunda keberangkatan dengan alasan yang sah, Jemaah Haji Khusus tersebut menjadi jemaah daftar tunggu.

Pasal 74

Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran, pemberangkatan Jemaah Haji Khusus berdasarkan nomor urut pendaftaran, pengecualian bagi Jemaah Haji Khusus lanjut usia yang dapat diberangkatkan, dan penundaan keberangkatan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan Dokumen Perjalanan Ibadah Haji Khusus

Pasal 75

  1. PIHK bertanggung jawab memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan Ibadah Haji khusus.
  2. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paspor dan visa untuk pelaksanaan Ibadah Haji.

Bagian Kesembilan Pembinaan

Pasal 76

  1. PIHK bertanggung jawab memberikan pembinaan Ibadah Haji kepada Jemaah Haji Khusus.
  2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. bimbingan manasik Ibadah Haji;
    2. pelayanan kesehatan; dan
    3. pelayanan perjalanan.
  3. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara terencana, terstruktur, terukur, dan terpadu sesuai dengan standardisasi pembinaan.
  4. Standardisasi pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
    1. standar manasik Ibadah Haji;
    2. standar kesehatan; dan
    3. standar perjalanan.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi pembinaan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesepuluh Pelayanan Kesehatan

Pasal 77

  1. PIHK bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan Jemaah Haji Khusus sejak keberangkatan sampai dengan kembali ke tanah air.
  2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standardisasi organisasi kesehatan dunia yang sesuai dengan prinsip syariat.

Bagian Kesebelas Pelayanan Transportasi

Pasal 78

  1. PIHK bertanggung jawab memberikan pelayanan transportasi bagi Jemaah Haji Khusus dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, dan kenyamanan.
  2. Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. transportasi udara ke dan dari Arab Saudi; dan
    2. transportasi darat atau udara selama di Arab Saudi.
  3. Pelayanan transportasi dilaksanakan sesuai dengan standardisasi pelayanan minimal transportasi Ibadah Haji khusus.
  4. Ketentuan mengenai standardisasi pelayanan minimal transportasi Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Belas Pelayanan Akomodasi dan Konsumsi

Pasal 79

  1. PIHK bertanggung jawab memberikan pelayanan akomodasi dan konsumsi kepada Jemaah Haji Khusus.
  2. Pelayanan akomodasi dan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standardisasi pelayanan minimal akomodasi dan konsumsi Ibadah Haji khusus.
  3. Ketentuan mengenai standardisasi pelayanan minimal akomodasi dan konsumsi Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga Belas Pelindungan

Pasal 80

  1. Jemaah Haji Khusus mendapatkan perlindungan:
    1. warga negara Indonesia di luar negeri;
    2. hukum;
    3. keamanan; dan
    4. jiwa, kecelakaan, dan kesehatan.
  2. PIHK bertanggung jawab memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji Khusus dan petugas haji khusus sebelum, selama, dan setelah Jemaah Haji Khusus dan petugas haji khusus melaksanakan Ibadah Haji.
  3. Pemberian pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilaksanakan oleh PIHK sesuai dengan kebijakan Menteri.

Pasal 81

  1. Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf d diberikan dalam bentuk asuransi.
  2. Besaran pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebesar Bipih Khusus.
  3. Masa pertanggungan asuransi dimulai sejak pemberangkatan sampai dengan pemulangan.

Bagian Keempat Belas Pelaporan

Pasal 82

  1. PIHK melaporkan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri.
  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. paket program Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus;
    2. jadwal keberangkatan dan kepulangan Jemaah Haji Khusus;
    3. daftar nama Jemaah Haji Khusus dan petugas PlHK;
    4. daftar Jemaah Haji Khusus yang batal berangkat; dan
    5. Jemaah Haji yang menggunakan visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Bagian Kelima Belas Pengawasan dan Evaluasi

Pasal 83

  1. Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap PIHK paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
  2. Hasil pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada DPR RI.

Pasal 84

Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam Belas Akreditasi

Pasal 85

  1. Menteri melaksanakan akreditasi PIHK.
  2. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PIHK.
  3. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun.
  4. Menteri menetapkan standar akreditasi PIHK.
  5. Menteri memublikasikan hasil akreditasi PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi PIHK diatur dengan Peraturan Menteri.

  1. erjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau berkelompok melalui PPIU.
  2. Penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU.
  3. Selain oleh PPIU, penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan oleh Pemerintah.
  4. Penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud
  5. pada ayat (3) dilakukan jika terdapat keadaan luar biasa atau kondisi darurat.
  6. Keadaan luar biasa atau kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Presiden.

Setiap orang yang akan menjalankan Ibadah Umrah harus memenuhi persyaratan:

  1. beragama Islam;
  2. memiliki paspor yang masih berlaku paling singkat 6 (enam) bulan dari tanggal pemberangkatan;
  3. memiliki tiket pesawat tujuan Arab Saudi yang sudah jelas tanggal keberangkatan dan kepulangannya;
  4. memiliki surat keterangan sehat dari dokter; dan
  5. memiliki visa serta tanda bukti akomodasi dan transportasi dari PPIU.

Bagian Kedua Hak Jemaah Umrah

Pasal 88

Jemaah Umrah berhak memperoleh pelayanan dari PPIU meliputi:

  1. layanan bimbingan Ibadah Umrah;
  2. layanan kesehatan;
  3. kepastian pemberangkatan dan pemulangan sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. layanan lainnya sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah; dan
  5. melaporkan kekurangan dalam pelayanan penyelenggaraan Ibadah Umrah kepada Menteri.

Bagian Ketiga Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah

Pasal 89

Untuk mendapatkan izin menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan:

  1. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam;
  2. terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah;
  3. memiliki kemampuan manajerial, teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Umrah yang dibuktikan dengan jaminan bank;
  4. memiliki mitra biro penyelenggara Ibadah Umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin resmi dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi;
  5. memiliki rekam jejak sebagai biro perjalanan wisata yang berkualitas dengan memiliki pengalaman memberangkatkan dan melayani perjalanan ke luar negeri; dan
  6. memiliki komitmen untuk memenuhi pakta integritas menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri dan selalu meningkatkan kualitas penyelenggaraan Ibadah Umrah.

Pasal 90

  1. Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah mendapat izin dari Menteri.
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PPIU menjalankan kegiatan usaha penyelenggaraan Ibadah Umrah.

Pasal 91

  1. PPIU dapat membuka kantor cabang PPIU di luar domisili perusahaan.
  2. Pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota setempat.

Pasal 92

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah

Pasal 93

PPIU berhak mendapatkan:

  1. pembinaan dari Menteri;
  2. informasi tentang kebijakan penyelenggaraan Ibadah Umrah; dan
  3. informasi tentang hasil pengawasan dan akreditasi.

Pasal 94

PPIU wajib:

  1. menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang pembimbing ibadah setiap 45 (empat puluh lima) orang Jemaah Umrah;
  2. memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah;
  3. memiliki perjanjian kerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi;
  4. memberangkatkan dan memulangkan Jemaah Umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi;
  5. menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada Menteri secara tertulis sebelum keberangkatan;
  6. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia;
  7. membuat laporan kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) Hari setelah tiba kembali di tanah air;
  8. memberangkatkan Jemaah Umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan;
  9. mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi; dan
  10. mengikuti prinsip syariat.

Pasal 95

  1. PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dikenai sanksi administratif berupa:
    1. teguran tertulis;
    2. pembekuan izin; atau
    3. pencabutan izin.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Pelindungan

Pasal 96

  1. Jemaah Umrah mendapatkan pelindungan:
    1. warga negara Indonesia di luar negeri;
    2. hukum;
    3. keamanan; dan
    4. jiwa, kecelakaan, dan kesehatan.
  2. PPIU bertanggung jawab memberikan pelindungan kepada Jemaah Umrah dan petugas umrah sebelum, selama, dan setelah Jemaah Umrah dan petugas umrah melaksanakan Ibadah Umrah.
  3. Pemberian pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilaksanakan oleh PPIU sesuai dengan kebijakan Menteri.

Pasal 97

  1. Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf d diberikan dalam bentuk asuransi.
  2. Masa pertanggungan asuransi dimulai sejak keberangkatan hingga kembali ke tanah air.

Pasal 98

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pelindungan PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan Pasal 97 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam Pengawasan dan Evaluasi

Pasal 99

  1. Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah.
  2. Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur tingkat pusat dan/atau daerah terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah.
  3. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Menteri dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah Umrah.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tim koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 100

Pengawasan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilaksanakan secara terpadu dengan kementerian/lembaga terkait.

Pasal 101

  1. Hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah digunakan untuk dasar akreditasi dan pengenaan sanksi.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan evaluasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 102

Dalam hal hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah terdapat dugaan tindak pidana, hasil pengawasan dan evaluasi disampaikan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.

Bagian Ketujuh Akreditasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah

Pasal 103

Menteri menetapkan standar akreditasi PPIU.

Pasal 104

  1. Menteri melakukan akreditasi PPIU.
  2. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PPIU.
  3. Akreditasi terhadap PPIU dilakukan setiap 3 (tiga) tahun.

Pasal 105

Menteri memublikasikan hasil akreditasi PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 kepada masyarakat.

Pasal 106

Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII KOORDINASI

Pasal 107

  1. Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah.
  2. Tugas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

Pasal 108

  1. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2), Menteri mengoordinasikan:
    1. menteri/pimpinan lembaga pemerintah di tingkat pusat;
    2. gubernur di tingkat provinsi;
    3. bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota; dan
    4. Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi.
  2. Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan dan pelaksanaan pelayanan transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dokumen perjalanan, administrasi, dan pembinaan serta pelindungan.
  3. Selain mengoordinasikan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri bekerja sama dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan lembaga terkait di Arab Saudi.

Pasal 109

Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 110

  1. Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pembinaan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah.
  2. Pembinaan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penyuluhan dan pembimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah.
  3. Penyuluhan dan pembimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara perseorangan atau dengan membentuk KBIHU.
  4. Ketentuan mengenai penyuluhan dan pembimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 111

  1. Masyarakat dapat melaporkan dan mengadukan pelanggaran pelaksanaan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
  2. Tata cara pelaporan, pengaduan, dan penindaklanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X PENYIDIKAN

Pasal 112

  1. Selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana.
  2. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;
    3. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
    4. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;
    5. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana;
    6. membuat dan menandatangani berita acara; dan
    7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
  3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

BAB XI LARANGAN

Pasal 113

Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai penerima setoran Bipih.

Pasal 114

Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus.

Pasal 115

Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah.

Pasal 116

Setiap Orang dilarang memperjualbelikan kuota Haji Indonesia.

Pasal 117

Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah.

Pasal 118

PIHK dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus.

Pasal 119

PPIU dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah.

BAB XII KETENTUAN PIDANA

Pasal 120

Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran Bipih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 121

Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 122

Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 123

Setiap Orang yang memperjualbelikan kuota Haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 124

Setiap Orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 125

PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 126

PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 127

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. KBIH yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya izin dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun;
  2. PIHK yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun; dan
  3. PPIU yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 128

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 129

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh Menteri.

Pasal 130

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 131

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 132

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2019

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 April 2019
 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah