Pertanyaan tentang perlawanan PETA di Blitar

You're Reading a Free Preview
Page 4 is not shown in this preview.

Pertanyaan tentang perlawanan PETA di Blitar
Patung Bung Karno

Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat pimpinan Raja Amangkurat, Blitar jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan.  Penjajahan di Blitar berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta dan akhirnya rakyat Blitar pun kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda. Dan untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, pada tahun 1906 pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar. Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia antara lain kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean. Pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali. Pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu.  Pada tahun 1942, Jepang berhasil menduduki Kota Blitar dan istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, yang diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi. Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang.  Konon kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini dengan Ir. Soekarno yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun Soekarno ketika itu tidak memberikan dukungan secara nyata karena Soekarno beranggapan lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan.  Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot. Pemberontakan PETA ini walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia dan menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. 

Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar".

Pertanyaan tentang perlawanan PETA di Blitar

BismillahirohmanirohimJawabannya :Perlawanan peta di Blitar dipimpin oleh Supriyadi, seorang Shodanco (Komandan pleton). Pada tanggal 14 Februari 1945, perlawanan dipadamkan Jepang karena persiapan Supriyadi kurang matang. Para pejuan Peta yang berhasil ditangkap kemuadian diadili di Jakarta. Beberapa di antaranya dihukum mati, seperti dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mangkudidjaya, Sunanto, dan Sudarno. Supriyadi, sebagai pemimpin perlawanan tidak diketahui nasibnya. Kemungkinan besar Supriyadi berhasil ditangkap Jepang kemudian di hukum mati sebelum diadili

Semoga Membantu

Amirul Nisa Senin, 14 Februari 2022 | 13:00 WIB

Pertanyaan tentang perlawanan PETA di Blitar

Mantan anggota PETA yang bergabung mnejadi TNI setelah Indonesia merdeka. (Creative Commons/PPI TANGSEL)

Bobo.id - Pada masa penjajahan ada banyak organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan kemerdekaan salah satunya adalah Pembela Tanah Air atau PETA.

Untuk mengetahui lebih banyak informasi tentang PETA, teman-teman bisa mengamati contoh soal berikut.

Pada contoh soal ini akan diberikan pembahasan yang lengkap sehingga mudah dipahami.

Berikut lima contoh soal dan pembahasan tentang PETA.

1. Apa yang dimaksud dengan PETA (Pembela Tanah Air)?

Pembahasan:


Page 2


Page 3

Pertanyaan tentang perlawanan PETA di Blitar

Creative Commons/PPI TANGSEL

Mantan anggota PETA yang bergabung mnejadi TNI setelah Indonesia merdeka.

Bobo.id - Pada masa penjajahan ada banyak organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan kemerdekaan salah satunya adalah Pembela Tanah Air atau PETA.

Untuk mengetahui lebih banyak informasi tentang PETA, teman-teman bisa mengamati contoh soal berikut.

Pada contoh soal ini akan diberikan pembahasan yang lengkap sehingga mudah dipahami.

Berikut lima contoh soal dan pembahasan tentang PETA.

1. Apa yang dimaksud dengan PETA (Pembela Tanah Air)?

Pembahasan:

KOMPAS.com - Tindakan Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu rakyat melakukan perlawanan.

Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang bahkan ikut memberontak.

Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong.

Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan Jepang.

Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi.

Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang

Saat itu, Supriyadi dikenal sebagai pemrakarsa pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah Jepang.

Tak tahan melihat romusha

Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota Daidan Blitar baru pulang latihan.

Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan.

Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup. Mereka terancam kelaparan.

Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur.

Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan

Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan.

Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan dan tanpa upah.

Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.

Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan.

Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki.

Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang

Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari para tentara PETA Blitar.

Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan.

Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari.

Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945.

Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang

Lihat Foto Kementerian Sosial Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar. Pemberontakan Supriyadi

Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang.

Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap.

Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan.

Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota Blitar.

Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing.

Baca juga: Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang

Beberapa kesatuan tunduk pada perintah Jepang. Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang.

Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan.

Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.

Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan.

Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu muslihat.

Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang

Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan halus.

Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap Jepang.

Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan menyerahkan senjata.

Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer.

Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad.

Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia

Dijebak

Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam, Muradi dan pasukannya kembali ke daidan.

Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco Surakhmad.

Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal karena telah melawan Jepang.

Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan.

Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar.

Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap juga oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta.

Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo.

Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.