Pertanyaan PENDIDIKAN karakter di masa Pandemi

pic from: Pinterst

Pendidikan karakter menjadi aspek penting guna mewujudkan generasi bangsa yang cerdas dan beretika. Keberhasilan pendidikan karater menjadi tanda bahwa sistem pendidikan tidak hanya dilihat dari penilaian kognitif saja. Namun, bukan hal yang mudah untuk mewujudkan pendidikan karakter apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini. Hampir semuanya di lakukan di rumah saja. Begitu pula dengan sekolah, banyak sekolah akirnya harus melakukan pembelajaran daring. Hal ini tentu bukan hal yang mudah karena pendidikan karakter tidak bisa serta merta di lihat dan di nilai hanya melalui kegiatan online. Hal ini menjadi tantangan untuk para tenaga pendidik dan juga orangtua murid.

Menghadapi tantangan jaman, saat ini adalah Era Revolusi 4.0 yang mana kemajuan teknologi digitalisasi menjadi sangat cepat sehingga penanaman dan penguatan karater menjadi sangat mendesak dan penting. Mudah masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila tentu menjadi ketakutan tersendiri bagi tenaga pendidik dan orangtua murid. Kemajuan teknologi informatika telah memunculkan gejala- gejala yang kontra produktif dengan jiwa nasionalisme seperti sikap narsisme, hedonisme, pemanfaatan waktu yang terbuang percuma, dan sejenisnya (Masrukhi, Maman Rachman, 2018: 97).

Saat ini saya akui anak-anak dan remaja di Indonesia mulai mengalami krisis moral yang kemudian berdampak pada perilaku sehari-hari. Pengembangan nilai karater siswa seharusnya tidak hanya pada sistem pembelajaran online, ini menjadi tantangan untuk negara. Di twitter banyak sekali contoh nyata dari krisis moral ini. Banyak anak-anak dan remaja yang tidak memiliki etika yang baik kepada guru dan teman-teman sebaya nya. Yang belum lama terjadi adalah banyaknya anak-anak SMA yang bertingkah laku tidak sopan pada saat pelaksanaan MPLS online. Hal ini tentu sangat disayangkan dan menjadi pertanyaan untuk saya, mengapa mereka sangat berani melakukan hal-hal yang tidak sopan di lingkungan umum? Apakah peran orangtuanya dalam mendidik karakter sangat kurang? Atau ini pure karena salah pergaulan?

Lalu, apa saja hambatan yang dialami oleh guru dan orangtua murid dalam penerapan pendidikan karater ini. Yang pertama adalah kurangnya pengawasan guru terhadapa muridnya membuat banyak murid menjadi bertindak semaunya. Yang kedua adalah tidak semua orang tua mampu untuk mengawasi anaknya dalam masa pendidikan daring.

Masalah lain yaitu tidak meratanya akses internet sehingga banyak siswa dan siswi yang tidak bisa fokus mendapatkan pendidikan karakter. Selanjutnya ada juga guru-guru yang belum lihai menggunakan teknologi. Kondisi rumah yang kurang memungkinkan untuk menerima pelajaran, dsb.

Sebenarnya dalam pemebentukan karakter anak, yang paling utama adalah pendidikan karakter yang di mulai dari kedua orangtua dan lingkungan keluarga. Selanjutnya guru akan membantu pendidikan karakter pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu sekolah. Namun masih banyak yang menganggap bahwa tugas tersebut adalah semata-mata hanya tugas guru di sekolah saja.

Pendidikan karakter di sekolah jarak jauh haru tetap dalam pengawasaan orang tua dan guru. Salah satu cara guru tetap mengontrol etika muridnya adalah dengan dibuatkan angket untuk penilaian diri. Namun bukan tidak mungkin siswa-siswa memanipulasi data yang ada. Maka dari itu pengawasan dari orang tua akan sangat membantu. Selain adanya angket assasemend dari guru, guru juga bisa memberikan apresiai apabila ada murid yang melakukan hal baik agar anak-anak semakin termotivasi untuk berbuat kebaikan juga. Selain itu, guru dan orangtua murid dapat memberikan reward berupa pujian dan tambahan nilai untuk anak-anak yang dapat bertanggung jawab mengerjakan tugas sesuai dengan yang di tentukan.

Tanggung jawab pendidikan karakter bukan hanya ada pada guru di sekolah saja, melainkan tugas kita semua sebagai teladan agara anak-cucu kita mampu dan mempunyai karakter berbudi pekerti, berakhlak baik, bertanggung jawab, dan kreatif.

Pendidikan karakter yang berhasil merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan tidak hanya dilihat dari segi kognitif melainkan ada hububungannya dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang tujuan akhirnya adalah menciptakan anak-anak yang mampu menjalankan dan mengamalkan isi pancasila dengan baik dan berintegritas. Semoga pandemi segera berakhir dan anak-anak dapat kembali beraktivitas di sekolah seperti sedia kala dan dapat merasakan pendidikan karakter secara langsung dengan guru-gurunya.

Ilustrasi: Ruang Belajar di Sekolah. Foto: Unsplash

“Orang tuanya tidak mau membelikan kuota internet untuk anaknya. Ia beralasan, takut kalau diselewengkan anaknya untuk bermain game,” ujar rekan sejawat guru. Perihal salah satu murid yang tidak bisa mengikuti pembelajaran dalam jaringan (daring). Saya pun mengernyitkan dahi, ketika mendengar keluh kesah semacam itu.

Memang, ada beberapa murid yang mengalami kendala dalam pembelajaran daring di sekolah. Mulai dari kesulitan menyediakan smartphone, jaringan internet hingga kuota internet. Belum lagi, soal orang tua yang tidak bisa mengawasi secara langsung pembelajaran daring anaknya. Dan, itu lazim juga terjadi di beberapa sekolah lainnya.

Namun, pengakuan seperti yang disampaikan rekan sejawat tadi, baru kali ini saya dengar. Saya tidak menyangka, ada orang tua yang dikategorikan ekonominya mampu, tapi tidak memfasilitasi anaknya lantaran khawatir anaknya malah bermain game. Dan bahwasanya, masalah-masalah kompleks seperti ini menjadi salah satu bukti ketimpangan yang terjadi dalam pendidikan di masa pandemi.

Sementara itu, menurut Ki Hajar Dewantara dalam Tri Pusat Pendidikan, bahwa sinergi antara lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Bila salah satu lingkungan pendidikan hanya berjalan sendiri, mustahil untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan yang ideal. Karena, setiap lingkungan memiliki peranan penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak.

Selain itu, pembelajaran daring juga memutus mata rantai pertemuan antara guru dan murid. Guru tidak bisa memantau perkembangan perilaku murid. Di mana guru tidak bisa membimbing secara langsung apabila murid melakukan kesalahan. Padahal, itu merupakan salah satu bentuk pendidikan karakter di sekolah.

Kondisi tersebut bertambah runyam, karena pada pembelajaran daring seperti ini seorang guru hanya bisa semampunya memonitor perilaku murid, yaitu dari kedisiplinan mengisi daftar hadir online dan keaktifan murid dalam berdiskusi di WhatsApp Groups. Selain itu, beberapa guru menyiasati dengan membuat angket kegiatan murid ketika melaksanakan pembelajaran dari rumah, namun hal tersebut rawan untuk dimanipulasi murid yang tidak mendapat kontrol penuh dari orang tua. Dan, ini jelas menjadi sebuah sinyal buruk dalam pendidikan karakter di masa pandemi.

Beda cerita dari sisi kognitif atau pengetahuan dalam pembelajaran daring, soal ilmu, ‘Google’ bisa menutupi kekurangan guru dalam penyampaian materi pembelajaran secara teori. Namun, hal tersebut hanya mencakup satu aspek saja. Sedangkan, menurut Taksonomi Bloom, yang merupakan konsep tentang tiga model hierarki yang digunakan untuk mengklasifikasikan perkembangan pendidikan anak secara obyektif, menyebutkan bahwa pendidikan harus meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Misalnya, pendidikan karakter dalam pelaksanaan praktik di sekolah, yang di dalamnya terkandung aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Di mana sikap kerja murid dalam praktik dinilai secara terukur, bagaimana keterampilan dan pengetahuan murid mampu dinilai, yang otomatis selama pembelajaran daring ini muskil untuk dilakukan.

Lantas, soal pendidikan karakter, sejauh mana teknologi mampu menjangkau? Karena, melihat kasus di awal tadi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pendidikan karakter mampu tercapai maksimal di lingkungan sekolah dan keluarga.

Bukankah sebuah bahaya besar apabila pendidikan karakter di masa pandemi ini hanya tersentuh ala kadarnya. Lhawong sebelum masa pandemi saja, tidak bisa dikatakan seratus persen tingkat keberhasilan pendidikan karakter di lingkungan sekolah ataupun keluarga. Apalagi di masa krisis seperti ini.

Bukan tanpa sebab saya mengatakan demikian, karena sebelum pandemi melanda Indonesia, telah beberapa kali terjadi peristiwa memalukan seperti oknum murid yang menghadiahi bogem mentah kepada gurunya. Atau sebaliknya, oknum guru yang melakukan pelecehan seksual kepada muridnya. Dan, ini merupakan sinyalemen ketidakberhasilan pendidikan karakter di lingkungan sekolah ataupun keluarga pada masa sebelum pandemi.

Bukankah ini mengerikan, apabila kondisi tersebut diperparah dengan semakin lemahnya pendidikan karakter di kedua lingkungan tersebut akibat pandemi. Bagaimana pun, pembelajaran tatap muka adalah keniscayaan. Meski, memaksakan pembelajaran tatap muka dengan embel-embel ‘sesuai protokol kesehatan’ juga merupakan langkah yang membahayakan. Mengingat, keselamatan murid beserta guru adalah hal yang utama. Buktinya, selepas pemerintah membolehkan dibukanya sekolah di zona kuning, lantas muncul klaster-klaster baru penyebaran Covid-19 di sekolah, seperti yang dilaporkan oleh akun @laporcovid beberapa waktu lalu.

Harus disadari juga, pembelajaran daring ini bersifat temporer. Namun, yang dikhawatirkan bila pandemi berlangsung lama, lantas pemerintah lamban dan tidak jelas dalam kebijakannya. Maka, para murid yang nantinya menjadi generasi penerus bangsa ini, akan berpotensi kehilangan nilai-nilai karakter yang tangguh akibat terbiasa dengan kemudahan yang tidak mendidik dalam pembelajaran daring.

Siapakah yang akan dirugikan dengan pendidikan karakter yang terabaikan? Secara jangka pendek adalah para murid. Tentu, jangka panjangnya Negara itu sendiri. Karena, bukankah para murid ini yang nantinya akan mengemban tampuk pimpinan di berbagai instansi pemerintahan suatu saat nanti. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah selaku pemangku kebijakan, merumuskan cara terbaik dalam penerapan pendidikan karakter selama masa pandemi ini.

Jangan sampai, keterabaian pendidikan karakter di masa pandemi, mengakibatkan degradasi mutu pendidikan karakter bagi murid seluruh Indonesia. Dan, akan menjadi sebuah kelaziman, yang akhirnya menjadi sebuah kebiasaan baru (yang buruk) dari era ‘kebiasaan baru’ itu sendiri. Lantas, sebagai guru dan orang tua, apa yang bisa kita perbuat sekarang?