Padahal sudah seminggu sejak atau resmi bersekolah disana

GADIS PEJALAN KAKI

#cerpen

Pukul tujuh kurang 25 menit, kupacu sepeda motorku menuju sekolah tempat aku mengajar. Jalanan di kompleks tempat tinggalku masih terlihat lengang. Jarak rumahku dengan sekolah cukup dekat sehingga biasanya perjalanan ke sekolah kutempuh hanya dengan waktu kurang lebih 10 menit.

Hari ini adalah jadwal piket aku. Setelah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk keperluan pencatatan siswa yang terlambat, akupun bergegas ke gerbang sekolah.

Disana kudapati security sekolah telah lebih awal datang ketika aku memasuki gerbang sekolah tadi.

"Assalamualaikum bu", sembari menjulurkan tangannya menyalami aku. Keringat mengucur di sekujur tubuhnya, nampak dari separuh pakaiannya yang basah, juga hijab putih yang dipakainya.

"Waalaikum salam, apa kabar gadis cantik?".

Aku selalu menyapanya seperti itu ketika setiap pagi kami bertemu.

Namanya Dian Andini, saat ini duduk di bangku kelas sebelas Mipa. Anak seorang tukang cuci di kampung sebelah, karena ayahnya telah di panggil yang Maha Kuasa sejak usianya masih kanak2. Sejak itu Dian hidup bersama ibu dan kedua adiknya yang masih sekolah di sekolah menengah dan sekolah dasar.

Parasnya memang tidak secantik bidadari, tapi manis dan sangat menyejukan hati bila dipandang mata. Sikapnya yang santun, bahasanya yang sopan dengan suara yang lembut, serta pribadinya yang bersahaja, semakin menambah ketertarikan kita kepadanya.

Pandai secara akademik dan selalu aktif dalam setiap kegiatan di sekolah selain ektrakurikuler Paskibraka yang ditekuninya, yang kemudian memberinya kesempatan untuk mengibarkan Sang Merah Putih di HUT Proklamasi 17 Agustus yang lalu.

Sosoknya yang ceria menjadi keistimewaan tersendiri bagi teman2nya, terlebih bagi guru2nya.

Tak pernah terlambat tiba di sekolah walaupun hanya berjalan kaki. Padahal jarak rumah dan sekolahnya cukup jauh. Tak nampak perasaan malu diwajahnya di saat teman2nya berlomba seakan bersaing menonjolkan segala kemewahannya. Mulai dari HP Android sampai sepeda motor.

Hingga suatu pagi, di jadwal piket yang sama, aku belum mendengar sapaan salamnya di pagi ini.

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh, sebentar lagi apel pagi.

Apa memang belum datang atau sudah datang dan tidak sempat bertemu aku.

Sejenak aku terlupa akan sosok Dian, gadis manis pejalan kaki.

Sehari, dua hari, sepekan, sampai lagi di jadwal piketku, gadis manis Dian tak ada lagi beri aku salam. Kemana kamu gadis manisku? Ku bertaya kepada ibu wali kelasnya, teman2nya bahkan teman sebangkunya, semua menjawab tidak tahu.

Rasa ingin tahuku membawaku untuk berkunjung ke rumahnya bersama ibu wali kelas. Dan setibanya kami disana kami tidak menemukan siapa2. Rumahnya yang jauh dari layak nampak lengang dengan pintu dan jendela yang terkunci. Tanpa terasa air mataku menetes dipipiku. Gadis manisku yang tegar begitu pandai engkau menyembunyikan kepedihan hidupmu.

Masih larut dalam kesedihan dan pikiranku sendiri, tiba2 tetangga dekat rumahnya datang membawa kabar, kalau seminggu yang lalu, ibunya berpulang ke Rahmatullah dan Dian bersama kedua adiknya di bawa oleh pamannya pindah ke kota lain.

Ya Allah....semoga kalian baik2 saja gadis manisku. Gadis manis pejalan kaki yang telah memberi banyak warna keceriaan dalam nuansa sekolah yang sangat dicintainya. Selamat jalan Dian....sosokmu tetap menjadi cahaya meraih masa depan sahabatmu.

Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih

Padahal sudah seminggu sejak atau resmi bersekolah disana

Perlu anda ketahui bahwa novel ini adalah seri ke 3. Jadi saya sarankan anda untuk membaca seri ke 1 "Jingga dan Senja" dan seri ke 2 "Jingga dalam elegi" terlebih dahulu. Terima kasih dan selamat membaca ! BAB 1 **** Tari menggigit bibir bagian bawahnya. Sedikit tegang ia duduk di belakang orang yang selama ini sangat dibencinya, yang telah memorakporandakan hidupnya, tapi tanpanya… Tari hampa. Dan Tari tidak akan pernah menyangka, bahwa kali ini, di dekat Matahari Senja bisa terasa begitu menenangkan. Meski ada yang mengganjal hatinya. Omongan Ata tadi… Apa maksudnya? Apa yang akan dilakukan Ata nanti? Mengapa? Lalu apa hubungannya dengan Tari? Dengan sekali tatap Tari sudah bisa tahu bahwa Ata sama sekali bukan orang jahat. Sama sekali bukan. Tetapi Tari juga tahu. Sorot mata itu, nada bicara itu… Seperti pertanda bahwa nanti hidupnya tak akan pernah sama lagi. Ya Tuhan… akan ada apa lagi? Apakah belum cukup drama yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini? “Pegangannya yang bener, Tar. Kalo nggak, lo bisa jatuh.” Kata-kata Ari yang lembut namun dengan nada memerintah sontak membuyarkan lamunan Tari. “Yee, gue juga pegangan, kok!” elak Tari, yang memang memegang bagian belakang motor – yang sebenarnya percuma saja karena di belakang jok tidak ada pegangannya. “Pertama, gue bukan tukang ojek. Kedua, bagian situ nggak ada pegangannya. Jadi nggak usah malu-malu, peluk gue aja.” Tari memukul bahu Ari pelan. ”Idiiiih, apaan sih? Nggak usah aneh- aneh, deh!” “Gue suka cewek hardcore.” Ari tergelak ketika cubitan Tari melayang di pinggangnya. ”Wah... Ternyata lo genit ya sekarang, udah berani nyubit-nyubit – “ “Kak Ari!” jerit Tari kesal. “Makanya... peluk! Atau nanti gue nggak pake rem pas bawa motornya,” ancam Ari. Tari menghela napas. Pasrah. Tuan Besar memang keukeuh kalo sudah ada maunya. Setelah meletakkan tas antara tubuhnya dan tubuh Ari, dengan malu-malu Tari melingkarkan tangannya di pinggang Ari. Sedetik… dua detik… tiga detik… Tari merasa tak bisa bernapas. Jantungnya berdetak tidak karuan, seakan ingin melesak dari tempatnya. Meski terhalang tas, Tari takut Ari bisa mendengar degup jantungnya. Ari tersenyum. Dengan tangan kirinya, ia memegang erat tangan Tari yang memeluk pinggangnya. Motor mereka melesat melalui ramainya jalanan di pagi yang sibuk ini. * Seperti yang sudah bisa Ari duga, kehebohan melanda SMA Airlangga. Kali ini bukan karena preman sekolah jadi dua, tetapi karena kedatangan Ari dengan gadis yang biasanya lari darinya. Ari tersenyum geli melihat muka-muka terkejut, masam, ketakutan bahkan prihatin saat ia melintas sambil menggandeng Tari. Tari yang menyadari hal itu menjadi rikuh. Ia hanya menunduk sepanjang jalan. “Kak, kayaknya gue bisa jalan sendiri deh tanpa perlu digandeng- gandeng gitu,” ucap Tari lirih. “Jingga Matahari,” Ari memandang Tari dengan tatapan mata tajam. ”Lo pikir gue tipe cowok yang bakal ngebiarin cewek yang gue suka jalan sendirian ke kelasnya, sementara dia datang ke sekolah bareng gue? Kan udah gue bilang, gue bukan tukang ojek yang cuma nganterin lo sampe sekolah. Gue juga harus mastiin lo selamat sampe kelas.” “Berlebihan,” balas Tari, tetapi ia tersenyum juga. ”Lagian siapa yang berani gangguin gue? Perasaan yang selama ini gangguin gue itu cuma elo, deh.” “Oh iya, ya...” Ari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ”Mana ada yang berani gangguin Ibu Negara.” “Hah?” Tari terperangah. Sebelumnya Ari tidak pernah seterang- terangan ini. Ari tertawa, kemudian mengacak rambut Tari, pelan. ”Sudah sampai di kelas, Tuan Putri. Sekarang, hamba mohon diri…” Tari menjulingkan matanya, tapi senyum masih tersungging di bibirnya. Ia memasuki kelas. Tanpa perlu memandang ke belakang, Tari tau Ari masih disana. di tempat yang sama dimana ia melepas Tari menuju kelas. Tari berusaha tidak menatap ke arah Ari, karena selain takut akan tercipta drama lagi pagi ini, ia… nervous. Tapi tatapan itu masih dapat ia rasakan. Sedikit enggan, ia memalingkan wajah agar dapat melihat pintu kelas. Senyum lebar tersungging di bibir pentolan sekolah itu dengan mata tak lepas dari Tari. Senyuman yang sangat jarang dilihat Tari. Senyuman yang membuat orang-orang menatap aneh sekaligus takut pada pentolan sekolah itu. Tari menatap Ari lekat-lekat. Senyum itu… Kak Ari sedang bahagia. Sangat bahagia. Terbawa suasana, Tari ikut tersenyum dan kemudian melambaikan tangan pada Ari. Tari tau tindakannya norak, memang. Dan ia segera menyesali tindakannya itu, karena kemudian Ari tergelak dan melemparkan kissing in the air. Tari terkesiap. Ya Tuhan! Mau ditaruh dimana muka gueee! Seisi kelas berusaha keras menahan tawa melihat adegan tersebut. Pentolan sekolah kemudian meninggalkan kelas Tari, masih sambil memasang senyum jumawa. Tari benar. Ari sedang bahagia dan ia tidak pernah sebahagia ini. Ia hanya berharap agar setiap hari Ari seperti ini. Selalu seperti ini. Sudah cukup ia menahan beban seorang diri selama Sembilan tahun. Dan ia berhak untuk istirahat. Tapi manusia hanya bisa berharap, bukan? “Tariiii!!” Pekikan Nyoman membuyarkan lamunan Tari. “Apaaaa?” Balasnya ogah-ogahan. Nyoman ini memang benar- benar patut diacungi jempol. Radarnya untuk menangkap gosip terhangat seperti hiu yang mencium bau darah. Cepat sekali nyantolnya! “Galak banget, sih, Tar…” Rayu Nyoman sembari mengambil tempat duduk di sebelah Tari. “Hush! Lo ngapain duduk disini? Ini kan tempat Fio.” “Fio nggak masuk, baru aja dia SMS gue. Katanya dia udah SMS lo tapi nggak delivered,” jawab Nyoman cuek. ”Lagian lo kudu bersyukur gue mau nemenin lo saat Fio nggak ada. Jadi hari ini lo nggak menjanda.” “Ih, naïf amat gue kalo ngira niat lo setulus itu!” Tari tergelak. ”Bilang aja… gosip apa yang mau lo denger?” “Katanya lo dateng sama Kak Ari tadi pagi,” jawab Nyoman polos. ”Apa itu pertanda–“ "Pertanda apaaaa?”Tari tidak suka dengan omongan Nyoman yang berbelit-belit. Nyoman mengangkat bahu. ”Entah ya, Tar. Tapi menurut gue, sih… Sebaiknya elo hati-hati. Nggak tau kenapa gue berasa was-was aja. Kayak ada yang ganjel. Ada yang salah, tapi nggak tau dimana…” Tari mengernyit mendengar kata-kata Nyoman. Bahkan yang diindentifikasi sebagai orang luar saja berpikir yang tidak-tidak. Apakah Nyoman tahu sesuatu? Tari rasa tidak. Namun kata-kata Nyoman ini membuatnya kembali terpikir kata-kata Ata tadi pagi. Elo bakal banyak nangis. “Omongan lo ngaco!” tegur Tari, kemudian berdiri. ”Gue mau ke kantin... Sendiri,” tambahnya ketika melihat Nyoman ikut berdiri. Benar, Tari sangat pusing dan butuh minuman dingin untuk menyegarkan kepalanya yang sepagi ini sudah dijejali terlalu banyak peristiwa. * Ari tidak bisa berhenti tersenyum. Tidak bisa. Suasana hatinya sangat baik hingga ia seakan ingin menularkan kepada semua orang. Adik kelas yang memandangnya takut-takut, ia rangkul. Pak Gun, cleaning service yang biasa Ari jahili dengan menyembunyikan perlatan perangnya – kemoceng, lap, sapu lidi dan alat pel – ia peluk dan selipkan beberapa lembar uang ke dalam sakunya. Bu Sam, ‘mama’nya, ia sapa dengan ramah dan tak lupa dicium tangannya – yang membuat Bu Sam melongo beberapa saat. Bagaimana ia tidak menghilangkan senyum jumawanya? Mama dan kembarannya yang hilang selama sembilan tahun telah ia temukan kembali. Dan yang lebih membahagiakan lagi, ia didampingi oleh gadisnya. Mataharinya. Sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini hingga dadanya terasa sesak. Namun, rasa sesak ini... adalah rasa sesak yang menyenangkan. Ari tidak keberatan jika selamanya seperti ini. Bahkan tadi pagi ia berdoa sesuatu yang musykil: biarkan bahagia ini tetap begini! Walau hati kecilnya sendiri menyadari, bagaimanalah Tuhan mengabulkan hal absurd seperti itu. Tapi Ari bertekad untuk tidak merusak moodnya hari ini. Nun jauh disana, meski masih dalam jarak pandang namun tidak terlihat kentara, sepasang mata memandangi Ari dengan tajam. Jauh dari bahagia yang dirasakan oleh Ari sekarang. Sorot mata itu seakan menyimpan penderitaan juga dendam. Dan tak ada yang lebih buruk dibanding tatapan elang pembunuh yang sedang mengincar mangsanya. * Tari mendesah. Memang pusing kalau Fio nggak masuk sekolah! Kemana-mana harus sendiri. Fio memang nggak tepat nih milih waktu buat sakit! Padahal banyak cerita yang Tari akan utarakan. Bergegas Tari berjalan menuju kantin sebelum bel masuk berbunyi. Mendadak langkahnya terhenti. Melihat sosok yang rasanya ia kenal namun juga sama sekali tidak ia kenal keluar dari antor guru membuat detak jantung seakan berhenti. Sejenak ia merasa tak bisa bernapas. Tari berusaha menemukan kembali kesadarannya. Dengan tarikan napas yang panjang, ia berjingkat perlahan sebelum kemudian ambil langkah seribu. Tak bisa dibayangkannya apa yang sosok itu lakukan bila melihatnya melintas. Ini masih pagi dan Tari sedang tidak mau ada huru-hara pagi ini. Sudah cukup banyak drama di hidupnya tanpa diselingi kisah perang Barathayudha antar dua matahari. "Sedih juga, gue. Masih aja lo nggak bisa ngebedain antara gue atau Ari?" Dibisiki oleh seseorang dari belakang dengan kalimat yang seperti itu, tengkuk Tari meremang. Sungguh Tari berharap kalau yang dibelakangnya ini adalah setan. Ternyata bukan. Lebih parah malah. Ini sih bapaknya Setan! Horror! Kali ini Tari benar-benar kehilangan napasnya. Ia ingin berteriak namun dadanya sudah terlampau sesak. Ayo, Tar. Inget Lee Mong Ryeong. Inget Cha Dae Woong. Ingat Goo Jun Pyo. Tari menarik napas panjang, kemudian membalikkan badan. Dipaksanya bibirnya menyunggingkan senyum. Agak kelu. "Ada apa, Kak?" "Lo yang ada apa. Kenapa lari liat gue? Emang gue setan?" Bukan! Bapaknya Setan! "Terus kenapa Kakak ngejar gue? Kan gue udah bilang, gue sama sekali nggak punya urusan dengan Kakak maupun sodara kembar Kakak itu." Ata tersenyum. Bukan senyum manis, lebih tampak sebagai seringai. Tari sebenarnya lumayan keder juga. Tapi diberanikanlah dirinya. Ngeladenin kembaran setan nggak mungkin bakal lebih parah, kan? "Jingga Matahari..." Ata mendekatkan mukanya pada muka Tari hingga berjarak beberapa centi hingga napas Ata dan napas Tari seakan beradu. Tari mendorong tubuh Ata, kemudian ia sendiri mundur beberapa langkah. Ata tersenyum geli. Ia maju mendekati Tari kemudian mengusap rambut Tari, lembut. "Justru lo itu... segalanya. Ngerti?" Tari terdiam. Ia hanya memandangi Ata, dengan tatapan tak mengerti. Tari harus, dan berhak, untuk meminta penjelasan. Bukannya menjawab, Ata malah tersenyum kemudian menyudutkan Tari ke tembok. Ia dekatkan mukanya pada muka Tari. Tari mendelik, namun belum sempat ia berteriak, mulutnya sudah dibekap dengan jemari Ata. "Inget, Manis. Sekali lo teriak ... Hidup lo yang gue bikin heboh nantinya!" Pelan, Ata melepaskan bekapannya dan pergi. Tari yang masih shock hanya bisa terdiam. Napasnya memburu. Dadanya sesak. Air matanya melesak ingin keluar, tapi di tahannya mati-matian. Tak sadar tubuhnya melemas. "Hei... !!!" Tubuh Tari tak sampai jatuh ke tanah. Sepasang tangan menopangnya. Sepasang tangan menahannya agar tidak tunduk pada gravitasi. Sepasang tangan itu milik... "AAAAA!!!"Tari berteriak. Kencang. Kemudian histeris. "Hei, hei... Ini gue, woy! Guee!” Ari mengguncang-guncangkan bahu Tari kencang. Tapi tetap saja Tari histeris. Khawatir melihat keadaan Tari, juga khawatir disangka yang macam-macam, dipeluknya Tari erat di dadanya hingga suara Tari benar-benar teredam. "Biar lo kehabisan napas, asal lo cuma teriak di dada gue," ucap Ari, setengah bercanda. Tari terisak, namun kali ini isakan lega. Meski ia tak membalas pelukan Ari, tetapi tubuhnya melemas dan melunak dalam rengkuhan dada yang ia kenal. Aroma yang ia hafal. Degub jantung yang menyatu dengan degub jantungnya sendiri. "Tari terdiam. Ia hanya memandangi Ata, dengan tatapan tak mengerti. Tari harus, dan berhak, untuk meminta penjelasan. Bukannya menjawab, Ata malah tersenyum kemudian menyudutkan Tari ke tembok. Ia dekatkan mukanya pada muka Tari. Tari mendelik, namun belum sempat ia berteriak, mulutnya sudah dibekap dengan jemari Ata. "Inget, Manis. Sekali lo teriak ... Hidup lo yang gue bikin heboh nantinya!" Pelan, Ata melepaskan bekapannya dan pergi. Tari yang masih shock hanya bisa terdiam. Napasnya memburu. Dadanya sesak. Air matanya melesak ingin keluar, tapi di tahannya mati-matian. Tak sadar tubuhnya melemas. "Hei... !!!" Tubuh Tari tak sampai jatuh ke tanah. Sepasang tangan menopangnya. Sepasang tangan menahannya agar tidak tunduk pada gravitasi. Sepasang tangan itu milik... "AAAAA!!!"Tari berteriak. Kencang. Kemudian histeris. "Hei, hei... Ini gue, woy! Guee!” Ari mengguncang-guncangkan bahu Tari kencang. Tapi tetap saja Tari histeris. Khawatir melihat keadaan Tari, juga khawatir disangka yang macam-macam, dipeluknya Tari erat di dadanya hingga suara Tari benar-benar teredam. "Biar lo kehabisan napas, asal lo cuma teriak di dada gue," ucap Ari, setengah bercanda. Tari terisak, namun kali ini isakan lega. Meski ia tak membalas pelukan Ari, tetapi tubuhnya melemas dan melunak dalam rengkuhan dada yang ia kenal. Aroma yang ia hafal. Degub jantung yang menyatu dengan degub jantungnya sendiri. "Wah... Parah bener lo, Bos. Pagi-pagi udah bikin film biru aja!" Otomatis Tari langsung menjauh dari Ari. Mukanya bersemu merah karena malu, tetapi tidak menutup kepiasannya tadi. Ari menoleh kearah sumber suara. Diliriknya sumber suara itu dengan tatapan mata tajam, seakan memerintahkan untuk tidak berbicara lagi. Lelaki itu, Oji, yang memakai baju sedikit kebesaran dan celana jeans – mengikuti gaya Bos besarnya – hanya terkekeh. "Anak orang lo gangguin lagi?" Ridho datang dari belakang Oji dengan tangan penuh somay. "Lo jangan mau diajakin mesum sama Ari di sekolah, Tar. Suruh sewa hotel!" Terbahak, Ridho dan Oji melakukan tos. Tak tahan digoda, Tari pun pergi. "Permisi, Kak..." Memandangi Tari dengan hati masygul, seribu tanda tanya melayang di kepala Ari. Tanpa memedulikan dua sahabatnya yang masih terkekeh dan melanjutnya godaannya, Ari berlalu. Ia harus menemukan jawabannya! Untuk pertama kalinya sejak sekian tahun berlalu, akhirnya Ari bisa mendapat sambutan di depan rumah oleh Mamanya saat ia pulang sekolah. Untuk pertama kalinya sejak entah kapan, Ari mendapat perlakuan seperti anak normal lainnya: mengecup punggung tangan ibunya, mendapat usapan lembut di kepala. Yang terpenting, ada sosok yang menanyakan tentang kejadian di sekolah. Bagaimana guru- gurunya. Teman-temannya. Makanan di kantin. Untuk pertama kalinya sejak sembilan tahun terakhir, Ari merasa mendapatkan masa kanak-kanaknya kembali. “Kamu nggak pulang bareng Ata, Ri?” Tanya Mama sambil menuangkan lauk pauk ke piring Ari. "Pulang sekolah tadi Ata langsung pergi, Ma. Katanya ada tempat yang mau dikunjungi. Ari disuruh pulang duluan aja,” Ari duduk di depan meja makan sambil memandangi setiap pergerakan mamanya saat menuangkan makanan ke piring. Saat mama meletakkan piring yang berisi lauk kesukaannya di hadapannya, Ari mengucapkan, “Makasih, Ma,” lalu makan dengan lahap. Mama tersenyum lembut, seraya mengusap kepala anak yang selalu dirindukannya. “Tante Lidya kemana, Ma?” “Tante Lidya pergi ke rumah sakit, pulang sekolah tadi Dede demam.” Ya, untuk sementara waktu, Mamanya dan Ata tinggal di rumah Tante Lidya. Ke depannya, masih belum dibicarakan. Semuanya masih terhanyut dalam euforia pertemuan kembali. Namun hal ini seharusnya segera didiskusikan, mengingat Ata sudah resmi menjadi siswa di SMA Airlangga. Inilah topik pembahasan malam ini di ruang keluarga rumah Tante Lidya. “Rumah kita yang lama sudah menjadi milik orang lain, Ri,” Itu penjelasan Mama saat Ari menyarankan untuk kembali ke rumah lama mereka yang terletak persis di sebelah rumah Tante Lidya. Ata pun angkat bicara. “Tadi Ata sempat keliling-keliling untuk nyari kontrakan sekitar sini. Ada beberapa pilihan, Mama mau liat-liat dulu?” Ari tertegun. Separuh hatinya sangat ingin mengajak mereka semua tinggal di rumah yang ia tempati dengan papanya. Tapi semuanya sadar kalo hal itu nggak mungkin untuk diwujudkan. Sementara, tinggal di rumah Tante Lidya untuk jangka waktu yang tidak ditentukan juga bukan merupakan ide bagus, walau Tante Lidya sendiri tidak pernah protes tentang hal tersebut. Mama mengangguk setuju pada Ata. Kemudian tatapannya berpindah menuju Ari. “Maafin Ari, Ma,” ucapnya, lirih. “Ari bisa bantu apa untuk Mama?” Wanita itu merangkul anak bungsunya, erat sekali. Dengan suara sedikit bergetar, beliau menjawab. “Cukup dengan Ari selalu ada di samping Mama. Itu semua sudah cukup membantu Mama, membuat Mama merasa sangat bahagia, Nak...” * Jam isitirahat di kantin kelas dua belas. Banyak siswa mencuri pandang ke satu sudut kantin pada sosok yang begitu identik dengan pentolan SMA Airlangga. Padahal sudah seminggu sejak Ata resmi bersekolah disana, tapi masih banyak yang nggak percaya kalo Ari punya kembaran. Semua kalangan mulai berspekulasi mengenai sosok Matahari yang satu ini. Bandel nggak sih? Brutal, kah? Apakah Ata akan seperti saudara kembarnya, yang terkenal bikin pusing para guru karna tingkahnya yang selalu bikin onar kemana-mana? Karena selama seminggu ini Ata tidak menunjukkan gejala apapun yang dapat membuat kepala dewan guru makin cenat-cenut. Yang dilakukannya hanya diam di kantin. Sesekali bergabung dengan Ari dkk untuk bermain basket di lapangan sekolah. Namun Ata nggak pernah bikin onar di kelas. Benar-benar seperti siswa normal. Ata sama sekali nggak ambil pusing dengan semua tatapan yang mengarah padanya. Hak mereka untuk menebak kepribadiannya. Yang tidak ditentukan juga bukan merupakan ide bagus, walau Tante Lidya sendiri tidak pernah protes tentang hal tersebut. Mama mengangguk setuju pada Ata. Kemudian tatapannya berpindah menuju Ari. “Maafin Ari, Ma,” ucapnya, lirih. “Ari bisa bantu apa untuk Mama?” Wanita itu merangkul anak bungsunya, erat sekali. Dengan suara sedikit bergetar, beliau menjawab. “Cukup dengan Ari selalu ada di samping Mama. Itu semua sudah cukup membantu Mama, membuat Mama merasa sangat bahagia, Nak...” * Jam isitirahat di kantin kelas dua belas. Banyak siswa mencuri pandang ke satu sudut kantin pada sosok yang begitu identik dengan pentolan SMA Airlangga. Padahal sudah seminggu sejak Ata resmi bersekolah disana, tapi masih banyak yang nggak percaya kalo Ari punya kembaran. Semua kalangan mulai berspekulasi mengenai sosok Matahari yang satu ini. Bandel nggak sih? Brutal, kah? Apakah Ata akan seperti saudara kembarnya, yang terkenal bikin pusing para guru karna tingkahnya yang selalu bikin onar kemana-mana? Karena selama seminggu ini Ata tidak menunjukkan gejala apapun yang dapat membuat kepala dewan guru makin cenat-cenut. Yang dilakukannya hanya diam di kantin. Sesekali bergabung dengan Ari dkk untuk bermain basket di lapangan sekolah. Namun Ata nggak pernah bikin onar di kelas. Benar-benar seperti siswa normal. Ata sama sekali nggak ambil pusing dengan semua tatapan yang mengarah padanya. Hak mereka untuk menebak kepribadiannya. Yang "Siapaa?" Fio langsung celingukan kanan-kiri. "Oh, jangan-jangan... Kak Ari?" "Yee... Kenapa Kak Ari harus ngamatin gue? Orang kita lagi nggak ada masalah, kok. Lagian kesadaran gue udah sangat terlatih untuk mendeteksi dia, thanks banget itu karena kelakuannya dia sendiri. Tapi ini beda, Fi..." Tari langsung teringat pada ucapan Kak Ata saat datang ke rumahnya dulu. Ancaman yang keliatannya sangat serius namun membuatnya bingung. Rangkaian kalimat yang benar-benar membuatnya cemas bahkan sampai susah tidur. Sekarang aja sampai ngerasa lagi diamatin, pasti oleh Ata. Kedua saudara kembar ini... Bagaimana sebenarnya dia harus bersikap pada keduanya? Dua cowok yang penuh luka. Dua cowok yang membentengi dirinya sendiri agar tetap kuat. Satu benteng telah berhasil ditembus olehnya. Benteng milik Ari. Namun Ata... Masih misteri. "Fio..." panggil Tari pelan. "Hmm?" "Menurut lo... Kak Ata yang satu ini... Mungkin nggak sih bakal menunjukkan sikap seperti Kak Ata yang dulu pernah coba dilakoni sama Kak Ari?" "Kalo dari cerita lo kemarin-kemarin sih..." Fio tercenung. Gorengannya sudah habis. Sekarang tangannya berganti memegang teh kotak. "Kecil kemungkinan, Tar..." Tari menarik napas panjang. Ya iyalah. Kalo di pertemuan awal aja dia udah ngasih ultimatum gitu, gimana mungkin dia akan terlihat seperti Kak Ata sang Malaikat Penyelamat yang dulu Kak Ari lakuin? Bantahnya dalam hati. "Apapun itu, Tar.. Lo harus hati-hati. Kalo emang muka dia keliatannya seserius itu waktu ngomong sama lo.. Lo harus jaga jarak banget dari dia." "Iya, Fi... Gue tau." "Satu lagi," kali ini Fio benar-benar menampakkan raut wajah khawatir pada sahabatnya. "Sebaiknya Kak Ari jangan tau mengenai hal ini sampe lo nemuin titik terangnya." "Hmm..." Tari menghela napas, lagi. "Gue tau, Fi. Gue nggak akan ngomong dulu sama Kak Ari. Gue juga nggak mau hubungan mereka jadi semakin renggang. Dipisahin dari kecil sekian lamanya aja pasti udah bikin mereka harus menempuh hari-hari berat untuk mengakrabkan diri lagi." Keduanya sama-sama terdiam. Fio menatap Tari dengan cemas, sekaligus prihatin. Juga nggak habis pikir. Kasian Tari. Bentuk hubungannya sama Kak Ari sang Pembuat Onar nomor satu aja udah bikin satu sekolahan heboh dalam setiap interaksi mereka , apalagi kalo kembarannya secara frontal juga ikut ber"interaksi" dengan Tari... Kayaknya sekolah bakal heboh seheboh-hebohnya lagi, nih! Fio memandangi sahabat yang duduk di depannya dengan gamang. Prihatin! Dia ikut sedih dengan apa yang menimpa sahabatnya itu. Entah dosa apa yang sudah Tari lakukan di masa lalu sampai bisa mendapat ‘cobaan’ yang bertubi-tubi itu. Tanpa sadar pandangannya tertumbuk pada seseorang yang berjalan menuju kursi mereka. Tari tidak melihat, karena Tari memunggungi orang itu. Fio menahan napasnya agar tidak terlalu kentara terkejut. "Tar… gue kayaknya kudu pergi, deh,” ucap Fio sambil meringis. Tari mengernyitkan dahi, bingung. “Lho, lho… kenapa? Gue ikut –“ “Kayaknya nggak usah deh. Lo disini aja. Gue emang sayang ama elo, Tar. Tapi lo tau, kan, kalo gue baru aja sembuh? Elo nggak mau kan gue jantungan gara-gara deketan sama syaitonnirrojim?” “Well, said, Fio. Gue emang setan. Dan memang setan yang ini…” Yang dimaksud Fio langsung duduk di sebelah Tari, kemudian merangkulnya erat, ”butuh ngomong sama sahabat lo. Berdua.” Tari menoleh ke arah samping. Ia langsung melotot. ”Kak Ata!” Tari melirik Fio, seakan berkata awas aja lo ninggalin gue! Fio Ccuma bisa meringis, menampilkan ekspresi rasa bersalahnya setulus mungkin, kemudian berlalu. “Kak Ata maunya apa?” desis Tari pelan, namun tajam. “Mau gue?” Ata tergelak. ”Banyak, Tari. Banyak! Dan itu… termasuk elo!” “Hoy bro!” Suara lantang terdengar dari lapangan. Serempak, Tari dan Ata menoleh. Oji! Ia tersenyum lebar seraya mengacungkan bola basket, isyarat untuk menawari Ata bermain basket. Ata mengangguk, kemudian tersenyum dan berjalan menuju Oji. “Gimana, Tar? Setannya udah pergi, kan? Maaf, Tar, Cuma Kak Oji yang kepikiran di otak gue tadi...” Ucap Fio sembari terengah. Ia baru saja duduk di samping Tari. “Jadi lo yang tadi panggil bala bantuan? Lo bilang apa ke Kak Oji, coba? Duhh, kalo dia bilang macem-macem ke Ari gimana, Fioooo?” Tari berseru panik. Fio memandang sahabatnya dengan pandangan sebal. Untung dibantuin! “Terus lo maunya gue ninggalin lo berdua sama setan, gitu?” Tari mendesah. ”Ya enggak, sih. Gue makasih banget lo udah berusaha nyingkirin Ata. Tapi Ari…” “Gue nggak bego, tau…” Potong Fio sembari mendengus dengan penuh keangkuhan. ”Gue cuma bilang gini ke Kak Oji, ‘Kak Oji, itu Kak Ata tolong diajak ngapain, kek, daripada dia ikutan nimbrung gue ama Tari yang lagi girl’s talk.’ Gitu. Walaupun dia ge-er, ngerasa lagi diomongin sama kita... Yaudah, lah. Yang penting sekarang lo aman.” Tari menggigit bibir bagian bawahnya. ”Nggak terlalu aman juga, sih…” Tari kemudian menunjukkan ponselnya pada Fio. Tadi ngomong apa sama Ata? From : Ari Gue belum selesai. Ata. From : 086664441313 * Ari sengaja cabut pelajaran setelah istirahat. Ia butuh berpikir jernih. Melihat saudara kembarnya mengobrol pada jarak yang sangat dekat dengan gadisnya membuatnya pongah. Hatinya ambigu. Ia merasa sangat cemburu sehingga bisa mencabik-cabik Ata. Namun ia merasa menjadi saudara yang paling tidak tahu adab jika belum-belum sudah marah dengan Ata hanya karena persoalan sepele. Hanya gara- gara gadis. Meski gadis itu adalah gadis terpenting kedua setelah mamanya. Ari memacu motornya dengan kecepatan tinggi, berharap angin dapan membawa kabur segala keambiguan yang menerpanya. Segalanya begitu tiba-tiba. Kedatangan Mama dan saudara kembarnya. Hadirnya Tari dalam hidupnya. Seharusnya ia sudah tau, bahwa tidak ada satupun orang yang berhak menjadi sebahagia ini. Tidak ada. Tanpa terasa ia membelokkan motornya ke arah rumahnya. Ya, rumahnya. Bukan rumah Tante Lidya, bukan rumah Tari. Namun rumahnya. Yang megah namun dingin. Yang seperti istana namun sepi. Ya. Rumah itu. Sistine. Sebelum masuk ke dalam, ia pandangi rumahnya dari balik pagar. Lekat-lekat. Hatinya menjadi miris. Mengapa ayahnya membangun istana, bukan keluarga bahagia? Di kolong jembatan pun Ari rasa pasti akan jauh lebih baik. Asalkan ia bersama Mama, Ata dan Papa. Ah, Ari menjadi sangat melankolis. Ia menggelengkan kepala, kemudian memasuki rumahnya yang tidak terasa seperti rumah. “Kamu sudah pulang, Ari?” Suara berat yang sedikit serak akibat rokok, menyapa Ari dengan nada menegur. Ari terkejut. Astaga! Papanya! Papanya ada di rumah! Keajaiban apa lagi ini? “Papa tumben pulang.” Meski Ari marah pada Papanya, tapi bagaimanapun ia tidak bisa membenci Papanya. Lagipula, ia sudah terlalu lelah marah setelah bertahun-tahun. Ari sebenarnya marah untuk apa? Untuk siapa? Mamanya sudah disini. “Kebetulan, Ari, kebetulan kerjaan Papa sudah Papa selesaikan sebelum tenggat waktu sehingga Papa bisa beristirahat. Kamu kenapa sudah pulang? Bikin onar lagi? tuduh Papanya, namun dengan nada tidak menggurui. Malah terkesan sedikit tidak peduli. Ari sedikit sakit hati, sebenarnya. Cuma, mungkin Papanya sudah terbiasa dengan kelakuan abnormal Ari selama ini. "Nggak pa-pa. Lagi suntuk,” jawab Ari ringkas, memberi sinyal bahwa sekarang ia sedang dalam keadaan mood yang tidak baik untuk berbicara, berbincang, atau apalah namanya. Ia hanya ingin sendiri. ”Ari ke kamar, Pa…” “Sebentar, Ari… Papa mau bertanya. Tadi Kepala Sekolah menelepon Papa. Ada murid baru yang bernama Matahari Jingga, pindahan dari Malang. Ata datang ke Jakarta?” Pada akhirnya, tidak ada satu SMS pun dari si kembar yang Tari balas. Alhasil, konsentrasinya terhadap seluruh pelajaran di sisa hari itu buyar. SMS dari Ata jelas merupakan pernyataan perang, yang tidak membutuhkan jawaban. SMS dari Ari lah yang paling ia cemaskan. Kalo nggak dibales, pasti Ari bakal langsung menghampirinya dan menyebabkan keributan seperti dulu. Satu semester berhadapan dengan Ari cukup untuk membuatnya tahu gimana gigihnya cowok yang satu itu untuk memuaskan rasa penasarannya. Karena itu, Tari sudah siap lahir batin kalo misalnya Ari langsung mencegatnya sepulang sekolah nanti. Ia akan maju dengan beberapa skenario kebohongan, dengan harapan semoga Ari percaya, tentunya. Kejutan besarnya, bukan Ari yang sudah nongkrong di depan pintu kelas X-9 saat bel pulang sekolah berbunyi. Tapi Ata. Mati gue! “Kak Ata ngapain disini?” Tanya Tari langsung, tanpa basa-basi. Yang ditanya mengeluarkan seringai misterius. “Kak Ata ngapain disini?” Tari mengulangi pertanyaannya lagi, sambil tetap menjaga jarak dengan Matahari yang satu itu. Kali ini Ata menjawabnya dengan menarik tangan Tari. Tari terkesiap, lantas berusaha melepaskan genggaman tersebut – meskipun sudah pasti percuma. Disinilah masalahnya. Saat sekolah sedang padat-padatnya karena pulang sekolah, otomatis semua yang melintas di koridor kelas sepuluh memerhatikan adegan tersebut. Mulut-mulut jahil mulai berspekulasi, berbisik lirih tentang Tari. Entah ini disebut keberuntungan atau malapetaka. Tari tuh sebenernya siapa, sih? Cuma anak kelas sepuluh yang mendadak populer karena dikejar-kejar Matahari Senja, lelaki idaman nomor wahid seantero SMA Airlangga. Sekarang, satu matahari lagi, yaitu si Matahari Jingga juga mulai menunjukkan ketertarikan pada Tari. Gelagat-gelagatnya juga bakal ngejar Tari sampe dapet. Tari pake pelet apa sih untuk menarik perhatian kedua Matahari itu? “Lo pulang bareng gue. Sekarang.” Hanya itu yang diucapkan oleh Ata. Singkat saja. Genggaman tangannya yang kuat membuat Tari mau tak mau berhenti meronta dan menurut. Sementara di belakangnya, Fio hanya bisa menunjukkan pandangan iba karena tidak bisa membantu. “Kak Ata...” Tari memulai. Namun Ata langsung melayangkan pandangan tajam padanya, seakan pandangan itu menegaskan bahwa tidak boleh ada penolakan disini. Tari urung bicara. “Eh, kita nggak naik motor, Kak?” Tanpa sadar Tari nyeletuk demikian karena mereka melangkah langsung menuju gerbang, tidak belok ke parkiran. “Motor Ari? Dibawa sama dia, lah. Motor gue di Malang,” jawabnya tenang. “Kita naik bus. Lo nggak keberatan kan?” Sementara keduanya menunggu bus di halte, Oji dan Ridho memerhatikan mereka dari kejauhan. "Laporin nggak nih?” “Gue jadi bingung.” “Takutnya malah mereka berantem. Kan nggak lucu.” “Gue nggak mau liat Ari hancur kayak dulu lagi.” “Jadi... Kasitau aja nih?” Oji dan Ridho masih memandangi halte tempat Ata dan Tari baru saja menaiki bus. “Bagaimanapun juga,” Ridho menghela napas sejenak, “Ari tuh sahabat kita.” * Dalam keremangan kamar tidurnya, Ari terduduk di samping lemari pakaiannya. Sisa percakapannya dengan Papa masih menggantung segar di ingatannya. “Apakah Ata di Jakarta, atau di Malang.. nggak ada hubungannya sama Papa, kan?” “Sudah berapa lama kamu mengetahui keberadaan mereka? Kamu pasti sudah sering bertemu dengan mereka, kan?” “Papa nggak akan bertindak macam-macam kepada Mama dan Ata, kan?” Ari malah balik bertanya dengan sengit. Detik itu, pandangan mata mereka bertemu. Ari menatap Papanya dengan pandangan tajam, sedangkan Papa hanya membalasnya dengan tenang. Ketenangan yang mencekam. Pada detik berikutnya, Papa justru tertawa keras. “Astaga, Ari. Memangnya apa yang akan Papa lakukan? Papa hanya ingin tahu kabar mereka. Itu saja.” Tawa itu bukanlah tawa yang menyenangkan. Ari tahu, atau mungkin sekedar menebak-nebak, bahwa suara tawa Papa tadi siang itu bukanlah pertanda bagus.


Page 2