Orang jepang yang simpati terhadap perjuangan bangsa indonesia adalah

Jakarta -

Awal mula propaganda Jepang di Indonesia pada tahun 1942, pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai cara dan kebijakan untuk menarik simpati rakyat Indonesia, salah satunya semboyan 3A. Apa itu?

Saat itu, ambisi Jepang begitu besar untuk mendapatkan Indonesia. Bahkan, dikutip dari buku 'IPS Terpadu' karya Sri Pujiastuti, dkk, siaran radio Tokyo seringkali memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pidato-pidato nasionalis.

Jepang juga mengklaim diri sebagai saudara tua yang datang untuk melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Kemudian memberikan janji kemudahan bagi bangsa Indonesia seperti, menunaikan ibadah haji dan menjual barang dengan harga murah.

Untuk melancarkan misinya, Jepang pun membebaskan tokoh-tokoh Indonesia yang diasingkan Belanda, seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Berikut memperkenalkan pengibaran bendera merah putih bersama dengan bendera Jepang.

Propaganda Semboyan 3A

Melansir buku 'Ilmu Pengetahuan Sosial 3' karya Ratna Sukmayani, dkk, pada saat itu, semua partai politik dibubarkan. Kegiatan politik pergerakan nasional Indonesia dikendalikan oleh Jepang untuk membantu mereka dalam menghadapi perang.

Jawatan propaganda giat melancarkan propaganda. Isi propaganda yaitu mengklaim bahwa Jepang mengobarkan perang Asia Timur Raya untuk membebaskan seluruh Asia dari penjajahan bangsa Barat.

Selain itu, Jepang juga mengklaim mempersatukan Asia dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan Jepang.

Salah satu upaya agar rakyat dan pemimpin nasional Indonesia mau mendukung Jepang adalah dengan mendirikan beberapa organisasi dan perkumpulan. Organisasi dan perkumpulan yang didirikan pemerintah Jepang salah satunya adalah Gerakan Tiga A (Gerakan 3A).

Gerakan 3A didirikan pada bulan April 1942. Kantor propaganda Jepang mendirikan gerakan ini dengan semboyannya yakni:

  • 1. Jepang Cahaya Asia
  • 2. Jepang Pelindung Asia
  • 3. Jepang Pemimpin Asia

Melansir tulisan Dr. Nana Nurliana Soeyono, MA dan Dra. Sudarini Suhartono, MA dalam bukunya yang berjudul Sejarah, Jepang menggunakan semboyan 3A dalam menarik simpati rakyat Indonesia yang berarti guna mendekati para tokoh nasional agar mendukung Jepang dalam Perang Pasifik.

Sebab itu, mereka mengadakan kursus-kursus bagi para pemuda untuk menanamkan semangat pro Jepang demi menghadapi sekutu dalam perang.

Keruntuhan Gerakan 3A

Namun nyatanya, semboyan 3A ini hanya berumur beberapa bulan saja karena dianggap tidak menguntungkan bagi pihak Jepang. Bahkan, tidak berhasil dalam menarik simpati rakyat Indonesia.

Pada September 1942, Gerakan 3A dibubarkan karena terjadi perpecahan internal di antara penguasa Jepang. Staf gunseikan menuduh Gerakan 3A telah menjadi suatu organisasi massa. Padahal seharusnya merupakan gerakan propaganda.

Selain itu, Gerakan 3A dinilai kurang populer karena dipimpin oleh Mr. Syamsudin, seorang tokoh nasionalis yang disebut kurang dikenal masyarakat Indonesia.

Semoga penjelasan mengenai semboyan 3A yang digunakan Jepang dalam menarik simpati rakyat Indonesia dapat menambah sedikit wawasan detikers, ya!

Simak Video "Ilmuwan Jepang Kembangkan 'Kulit Manusia' pada Jari Robot"


[Gambas:Video 20detik]
(rah/pay)

Tadashi Maeda, Perwira Jepang yang Berjasa dalam Kemerdekaan Indonesia. Foto: Wikimedia

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 tidak lepas dari peran seorang perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang bernama Tadashi Maeda. Selama ini, Laksamana Maeda dikenal sebagai orang yang mempersilahkan kediamannya di Jl. Imam Bonjol, No.1, Jakarta Pusat sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi oleh Soekarno-Hatta.

Sungguh langkah yang mengejutkan, mengingat Maeda merupakan orang Jepang dengan posisi yang tidak main-main di angkatan bersenjata kekaisaran Jepang. Tindakannya pun bukan tanpa risiko. Ia mempertaruhkan posisinya demi menjamin bangsa Indonesia dapat memproklamirkan kemerdekaannya.

Untuk mengenang jasanya, berikut kami ulas kisah Tadashi Maeda, perwira Jepang yang turut berjasa dalam kemerdekaan Indonesia.

Bersimpati Terhadap Usaha Kemerdekaan Bangsa Indonesia

Laksamana Muda Tadashi Maeda menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Setelah tentara sekutu meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945, posisi Jepang dalam Perang Dunia II makin terdesak. Jepang pun akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Jepang kemudian dipaksa untuk menjaga status quo sampai sekutu tiba di Indonesia. Maeda bersimpati kepada bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan. Dalam buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksiaan, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang, Maeda pernah mendesak pimpinan Angkatan Laut Jepang Laksamana Shibata agar mengambil kebijakan yang menyimpang dari perintah Sekutu, yakni membiarkan Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Selain mengutarakan permohonan agar Indonesia diberi kesempatan untuk merdeka, Maeda juga berhubungan dekat dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan para pejuang muda. Ia juga mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih. Semua itu ia lakukan atas kehendak pribadi, bukan dari kebijakan Angkatan Laut atau perintah pemerintah Jepang.

Pasang Badan untuk Mengamankan Para Proklamator

Berita kekalahan Jepang membuat para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 16 Agustus 1945 dini hari, para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Karawang.

Achmad Soebardjo menjemput Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok. Mereka baru diperbolehkan kembali ke Jakarta dengan syarat Soekarno-Hatta harus segera mengumumkan proklamasi tanpa bantuan Jepang.

Awalnya, Soebardjo beserta Soekarno-Hatta akan menuju hotel Des Indes untuk meminta tempat rapat. Namun Jepang melarang adanya kegiatan apapapun setelah jam 10 malam, sehingga pihak hotel menolak.

Rumah dinas Maeda dianggap menjadi satu-satunya tempat aman yang bisa dipakai untuk rapat perumusan kemerdekaan. Rumah tersebut berada di wilayah kekuasaan Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang).

Tadashi Maeda. Foto: uniquecollection.wordpress.com

Perwira Angkatan Laut ini memang sering berhubungan dengan rakyat Indonesia. Maeda sendiri adalah seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat dunia lebih banyak dari rata-rata perwira Angkatan Darat. Karena itulah ia mempunyai pandangan yang lebih luas.

Laksamana Maeda pernah berdinas di Belanda sebelum dipindahtugaskan ke Indonesia tahun 1942. Saat di Belanda, ia bertemu dengan Mohammad Hatta dan menteri luar negeri, Achmad Soebardjo.

Sejak saat itu, ia memahami seberapa besar perjuangan para tokoh nasional Indonesia agar terlepas dari cengkeraman penjajah Belanda. Ia pun berhasil mengambil hati banyak tokoh nasionalis. Tokoh-tokoh ini pun tahu bahwa keluhan-keluhan mereka selalu bisa diceritakan kepada Maeda.

Para pemuda tentu tidak memercayai Maeda begitu saja. Sebelum Soekarno dan Hatta tiba, beberapa pemuda yang dipersenjatai pistol menyisir rumah Maeda untuk memastikan keamanan. Maeda pun meyakinkan mereka bahwa ia akan menjamin keselamatan Soekarno dan Hatta di kediamannya.

"Saya akan menjamin keselamatan Soekarno-Hatta. Tetapi diri saya, dan juga Kaigun, bukan penguasa tertinggi di Jawa dan Sumatera. Dengan begitu saya sama sekali tidak memiliki wewenang untuk bisa memberikan bantuan dalam proses kemerdekaan Indonesia," Ujar Maeda.

Di ruang makan rumah Laksamana Maeda-lah teks proklamasi kemerdekaan dirumuskan. Selama proses bersejarah tersebut berlangsung, Maeda, sang tuan rumah, menetap di kamar tidurnya di lantai dua.

Akhir Desember 1946, Maeda dan stafnya, Shigetada Nishijima dipenjara. Sebab, ia dianggap berperan dalam memerdekakan Indonesia.

Namun, ia mengelak dan beralasan bahwa orang seperti dirinya tidak mungkin mampu menggerakkan 80 juta orang rakyat Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan. Setahun kemudian, Maeda diadili oleh Mahkamah Militer Jepang.

Mahkamah Militer Jepang memutuskan Laksamana Maeda tak bersalah. Ia pun dibebaskan. Maeda memilih menjadi warga sipil biasa meski hidup miskin.

Kemudian, pada 17 Agustus 1973, Maeda diundang pemerintah Indonesia untuk menerima tanda kehormatan Bintang Jasa Nararya.

Tadashi Maeda. Foto: baltyra.com