Menurut ketentuan syariat Islam yang sudah pasti berkedudukan sebagai ashabah adalah

Menurut ketentuan syariat Islam yang sudah pasti berkedudukan sebagai ashabah adalah
Oleh :
Ahyar Siddiq, S.E.I., M.H.I.

Prof. Dr. HAZAIRIN, SH

Tokoh Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Tentang Kewarisan[1]

Oleh Ahyar Siddiq

Di tengah-tengah pemikir muslim Indonesia abad ke-20, ia merupakan salah seorang yang gigih menyuarakan dan memperjuangkan pelaksanakan hukum Islam di Indonesia. Ia mengatakan bahwa bangsa Indonesia akan bahagia apabila hukum yang berlaku di Indonesia adalah syariat agama atau sekurang-kurangnya hukum yang tidak bertentangan dengan syariat agama.

Ia juga menyerukan agar pintu ijtihad dibuka lebar. Di abad ke-20 ini menurut beliau, pintu ijtihad masih tetap terbuka dan tidak pernah ditutup. Beliau pun mengkritik sikap taklid ulama. Menurutnya, penyebab utama kebekuan pemikiran fiqh bukan hanya karena hukum fiqh diproduksi oleh para teoritis hukum di “belakang meja” (bukan oleh praktisi hukum di lapangan), tetapi juga karena sikap taklid ulama. Sebagai akibatnya, hukum fiqh membeku selama seribu tahun dan tidak bergerak lagi. Sedangkan pada pihak lain, kemajuan iptek bergulir begitu cepat. Lebih parah lagi ulama menganggap bahwa kitab-kitab fiqh itu begitu suci dan keramat sehingga mampu menggantikan kedudukan al-Quran.

Ia mengatakan bahwa manusia tanpa sengaja telah menambah rukun iman, yakni beriman kepada ulama masa lalu, padahal pikiran mereka itu tidak dapat terjamin kekal dan aktual sepanjang zaman. Menurutnya, hanya dengan menghilangkan taklid dan menggantikannya dengan kebebasan ijtihad, kita dapat dengan sempurna mempertautkan hukum adat dengan kehendak Ilahi. Di sinilah perlu diadakan kajian ulang terhadap fiqh yang ada.

Oleh sebab itulah, ia menjadi penggagas pertama pembentukan Mazhab Nasional, yaitu mazhab baru yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan keperluan zaman, dengan selalu merujuk kepada al-Quran dan Sunnah. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pemikiram Hazairin tentang kewarisan?
  2. Apa yang melatar belakangi pemikiran Hazairin?
  1. II.BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
    1. A.Biografi Prof. Dr. Hazairin, SH

Haizairin, lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 28 November 1906 dan meninggal di Jakarta, 11 November 1975, bertepatan dengan 9 Zulhijjah 1395. [2] Beliau adalah salah seorang pakar hukum Adat serta hukum Islam Indonesia. Beliau merupakan salah seorang pendiri partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) pada tahun 1948 dan pernah memangku jabatan menteri dalam negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo Wongsosuseno–Muhammad Roem (Juli 1953-Agustus 1955). Nama lengkapnya Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap.

Hazairin adalah keturunan Persia dan merupakan putra tunggal. Ayahnya, Zakaria Bahari adalah seorang guru yang berasal dari Bengkulu, sedangkan Ibunya berdarah Minang (Bukit Tinggi). Kakeknya, Ahmad Bakar adalah seorang pemuka Agama (manti) yang terkenal pada saat itu. Pendidikan formalnya adalah HIS (Hollands Inlandsche School; di Bengkulu, tamat tahun 1920), MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs; di Padang, tahun 1924), AMS (Algemene Middelbare School; di Bandung, tahun 1927), dan RHS (Rechtskundige Hooge School/Sekolah Tinggi Hukum) Jurusan hukum Adat di Batavia, hingga mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada tahun 1935. Setahun kemudian beliau memperoleh gelar Doktor dengan disertasi berjudul De Redjang (mengenai adat-istiadat Rejang di Bengkulu).[3]

Di samping belajar pendidikan umum, beliau juga belajar pendidikan agama dan bahasa Arab dari ayahnya dan terutama dari kakeknya. Untuk memahami lebih lanjut tentang ajaran Islam, ia belajar sendiri. Beliau menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Perancis secara aktif, serta bahasa Arab, Jerman, dan Latin secara pasif.

Hazairin mengawali karirnya sebagai asisten dosen hukum Adat dan etnologi (antropologi) pada fakultas hukum Sekolah Tinggi Hukum di Batavia, antara tahun 1935 sampai 1938. Kemudian ia dingkat oleh pemerintahan Hindia Belanda sebagai pegawai yang diperbantukan pada ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Sumatera Utara, sekaligus pada Keresidenan Tapanuli (1938-1942). Pada Oktober 1945–April 1946, ia menjabat ketua Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan (ketua pengadilan negeri pertama setelah kemerdekaan), merangkap ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) dan anggota Pusat Pemerintahan Tapanuli. Setelah bertugas di daerah Tapanuli Selatan, beliau dipindahkan ke Bengkulu untuk menjadi residen Bengkulu (1946-1950), merangkap wakil gubernur militer Sumatera Selatan hingga tahun 1953. Selanjutnya ia ditarik ke Jakarta untuk menjabat kepala bagian (kabag) hukum sipil/perdata yang diperbantukan pada Kementerian Kehakiman (1953-1959) dan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan sebagai guru besar ilmu hukum.[4]

Setelah tidak aktif di dunia politik praktis, ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk dunia ilmu. Selanjutnya, beliau lebih dikenal sebagai seorang ilmuwan daripada seorang politisi. Beliau menjadi guru besar hukum adat sekaligus hukum Islam di Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Jakarta (UIJ), Akademi Hukum Militer (AHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Pada tahun 1950, ia mendirikan Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam di Jakarta, yang kemudian diubah namanya menjadi Yayasan Universitas Islam Jakarta. Ia dipercaya sebagai ketua yayasan sekaligus Rektornya. Selain itu, beliau merupakan salah satu anggota Dewan Kurator IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1960-wafat) dan pada tahun 1962, beliau ikut serta dalam membidani lahirnya Majelis Ilmiah Islamiyah yang diketuainya.[5]

Atas semua sumbangannya, pemerintah mengenugerahkan empat penghargaan kepadanya, yakni Satyalancana Widya Setia, Bintang Gerilya, Bhayangkara Kelas III, dan Bintang Kartika Eka Paksi III. Namanya pun diabadikan pada Universitas Hazairin (Unihaz) di Bengkulu.

Haizairin termasuk penulis produktif, setidaknya beliau mewarisi 17 buku. Karyanya yang paling penting dalam bidang hukum adalah De Redjang (disertasi doktoralnya, 1936), De Gevolgen van de Huwelijksontbinding in Zuid Tapanuli (Akibat Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan, 1941), Reorganisatie van het Rechtswesen in Zuid Tapanuli (Reorganisasi Hukum di Tapanuli Selatan). Atas jasanya yang besar di bidang adat-istiadat, raja adat di Tapanuli Selatan menganugerahnya gelar “Pangeran Alamsyah Harahap”.

Selanjutnya, karya-karya beliau adalah Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam (1952), Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an (1958), Hendak ke Mana Hukum Islam (1960), Hukum Kekeluargaan Nasional (1962), Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraidl, Hukum Pidana Islam ditinjau dari Segi-Segi, Dasar-Dasar, dan Asas-Asas Tata Hukum Nasional, Demokrasi Pancasila (1970), Tujuh Serangkai tentang Hukum (1973) yang merupakan kumpulan dari tujuh karya, yaitu Negara Tanpa Penjara, Sekelumit Persangkut-pautan Hukum Adat, Fungsi dan Tujuan Pembinaan Hukum dalam Negara RI yang Demokratis dan Berdasarkan Hukum, Muhammad dan Hukum, Kesusilaan dan Hukum, Hukum Baru di Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat. Karya beliau yang terakhir adalah Tinjauan mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. [6]

  1. B.Latar Belakang Pemikiran

Sejak akhir abad kesembilan belas upaya pihak kolonial untuk merenggangkan umat Islam dari agamanya semakin digalakkan. Snouck Hurgronje misalnya, menganjurkan kepada pemerintahan Belanda untuk memanipulasi kesetian masyarakat aceh terhadap Islam dengan cara mempertentangkannya dengan kesetian terhadap adat. Dengan kata lain, para Orientalis Barat memanipulasi bahwa Islam selalu bertentangan dengan Adat, teori ini dikenal dengan teori receptie.[7] Hazairin sangat menentang teori ini dan mengatakannya sebagai teori iblis sehingga beliau berusaha membuktikan bahwa Adat (antropologi) tidak selalu bertentangan dengan Islam.

Dapat dikatakan, bahwa Hazairin berupaya memanfaatkan hasil ilmu kontemporer (antropologi) ketika mengijtihadkan hukum-hukum Fiqh (kewarisan), dalam rangka menciptakan sebuah sistem yang lebih padu dan menyeluruh. Menurut beliau, kelahiran dan perkembangan ilmu antropologi telah membuka peluang untuk melihat ayat-ayat kewarisan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu sistem kekeluargaan dalam berbagai masyarakat di dunia. Pendapat ini beliau anggap pantas diketengahkan, karena al-Quran itu bersifat universal, untuk semua manusia di semua tempat dan pada setiap waktu. Beliau tidak puas dengan kenyataan yang selama ini berkembang, yang menerapkan kaidah-kaidah Quran langsung ke dalam kehidupan praktis sesuatu masyarakat sambil mengubah sekedarnya secara tambal sulam hal-hal yang dirasa bertentangan. Bahkan lebih tidak puas lagi terhadap pandangan-pandangan yang lebih sempit, yang melihat ayat-ayat kewarisan dalam kerangka adat masyarakat Arab zaman Nabi Muhammad saw. saja, yang menurut beliau telah menyebabkan “berbenturan dan dirasa asing” oleh masyarakat dengan sistem atau bentuk kekeluargaan yang berbeda.

Penggunaan ilmu kontemporer tersebut sebagai “kerangka acu” (frame of reference) tambahan, yang menyebabkan penalaran Hazairin tidak bertumpu kuat pada kerangka ushul fiqh, walaupun secara formal beliau masih mengaku memperhatikan dn menggunakan kaidah-kaidahnya. [8]

Beliau pertama-tama mengumpulkan semua ayat yang dianggap berhubungan dengan kewarisan dan menyusunnya menjadi satu kesatuan yang saling menerangkan. Dalam upaya penafsiran ini, beliau menjadikan konsep-konsep atau hasil penelitian ilmu antropologi sebagai “batu uji atau kerangka acunya”. Yang pertama beliau cari sistem kekeluargaan mana di dalam ilmu antropologi yang selaras dengan al-Quran, yang akan dijadikan landasan untuk pengembangan selanjutnya, sehingga tercipta sebuah sitem yang padu dan menyeluruh. Menurut beliau, sistem tersebut adalah sistem Bilateral, karena berintikan prinsip memberikan warisan kepada anak laki-laki dan perempuan serta kedua orang tua, namun tidak secara sekali persis sehingga beberapa tambahan dan penyempurnaan. Pada akhirnya beliau menamakan sistem yang diajukannya itu dengan sistem kewarisan bilateral yang sui generalis (yang khas dengan al-Quran). Lantas di bawah sorotan sistem bilateral inilah, beliau menjelaskan konsep-konsep dan menyelesaikan kasus-kasus. Aturan yang beliau hasilkan ini berbeda dengan aturan kewarisan fiqh sunni (dan juga syiah) yang beliau identifikasi sebagai sistem patrilineal karena berintikan prinsip memberikan warisan hanya kepada pihak laki-laki saja.[9]

Mengenai Hadis (sunnah), beliau anggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari al-Quran dan menjadi penjelas atau keterangan tambahan untuknya. Dalam fungsi ini Hadis tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, baik dalam arti zahir maupun dengan tafsir yang dihasilkan melalui kegiatan pertama di atas. Lebih dari itu, Hadis mesti dibedakan antara yang bersifat umum dan bersifat sementara, yaitu yang diberikan Rasul dalam ketiadaan dan menunggu datangnya wahyu.

  1. III.BENTUK MASYARAKAT YANG DI MAKSUD AL-QURAN

Menurut Hazairin, sistem kewarisan tidak dapat dilepaskan dari bentuk kekeluargaan dan bentuk kekeluargaan berpangkal pada sistem (prinsip) keturunan yang pada gilirannya dipengaruhi pula oleh bentuk perkawinan. Pada pokoknya terdapat tiga macam sistem keturunan, yaitu:

Sedangkan pada Patrilineal yang beralih-alih setiap orang menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada ibunya, tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuanya, sehingga dia mungkin menjadi keturunan ayahnya dan mungkin pula menjadi keturunan ibunya, seperti pada masyarakat Rejang dan Lampung.

  1. Bilateral atau Parental. Dalam bentuk ini setiap orang dapat menghubungkan dirinya baik kepada ibunya maupun ayahnya. Misalnya masyarakat Jawa.

Menurut Hazairin, prinsip Patrilineal atau Matrilineal akan melahirkan kesatuan kekeluarga yang dalam ilmu pengetahuan kerap kali disebut klan. Sedangkan prinsip Bilateral tidak akan melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu. Sebaliknya, dapat melahirkan golongan-golongan kekeluargaan yang mempunyai fungsi kesatuan dengan corak tertentu dan dapat dinamakan dengan tribe (rumpun).

Menurut Hazairin, benteng untuk mempertahankan bentuk masyarakat yang klan (Patrilineal atau Matrilineal) adalah bentuk perkawinan yang disebut exogami, yaitu larangan kawin antara laki-laki atau perempuan yang satu klan. Dalam masyarakat Bilateral antara orang yang bersaudara sepupu tidak ada larangan kawin. Jadi semua orang yang bersaudara sepupu, baik silang maupun sejajar diizinkan untuk kawin.[12]

Dalam surat an-Nisa ayat 23 dan 24, jika diperhatikan akan ditemukan adanya keizinan untuk saling kawin antara orang-orang yang bersaudara sepupu. Dengan kenyataan ini merupakan petunjuk bahwa al-Quran menginginkan sistem kekeluargaan yang Bilateral. Namun beliau menegaskan bahwa sistem yang diinginkan Islam adalah sistem Bilateral yang khas al-Quran, bukan sistem Bilateral yang ditemukan dalam berbagai masyarakat manusia itu.

Dalam hubungannya dengan kewarisan, beliau mengemukan bahwa Quran tidak memberikan penjelasan tentang nama dari sistem yang ditempuhnya, sehingga istilah yang ada dalam dunia antropologilah yang digunakan. Dalam dunia antopologi terdapat tiga sistem kewarisan, yaitu sistem kewarisan individuil (yang cirinya harta warisan dapat dibagi-bagikan pemiliknya di antara ahli waris, seperti di Jawa), kollektif (yang cirinya harta warisan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris, seperti di Minangkabau), dan mayorat (yang cirinya hanya anak tertua yang mewarisi harta warisan, seperti di Bali dan Tanah Semendo). Atas dasar itulah aturan tentang kewarisan sebagai tafsir dari ayat-ayat pun harus mengarah kepada sistem Individual Bilateral.

  1. IV.SISTEM KEWARISAN MENURUT HAZAIRIN
    1. A.Garis Pokok Hukum Kewarisan

II      : 180

Jika seseorang dekat kepada mautnya dengan meninggalkan harta, maka diwajibkan baginya menentukan wasiat bagi ibu-bapaknya (bagi kedua orang tuanya, bagi ayah dan maknya) dan keluarga dekatnya secara yang sepatut-patutnya. [13]

II      : 240

Seseorang yang dekat kepada mautnya dengan meninggalkan isteri seorang atau lebih, berwasiatlah bagi isterinya itu guna pemeliharaan hidup isteri (isteri-isteri) itu selama setahun, dengan isteri (isteri-isteri) itu berhak menetap tinggal selama itu ditempat kediaman suaminya itu.

IV    : 7

Bagi seorang laki-laki, demikian juga bagi seorang perempuan, sebagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan keluarga dekatnya, sedikit atau banyak, secara pembagian yang pasti.

IV    : 11

  1. Anak laki-laki bagiannya sebanyak dua kali bagian anak perempuan.
  2. Jika anak-anak itu hanya anak perempuan saja, dua orang atau lebih, maka baginya duapertiga dari harta peninggalanmu.
  3. Jika anakmu hanya seorang perempuan saja maka baginya seperdua dari harta peninggalannya.

IV    : 11

Ketentuan Allah mengenai ibu-bapakmu ialah:

  1. Jika ada anak (walad) bagimu maka bagi ayah dan makmu masing-masingnya ialah seperenam dari harta peninggalanmu.
  2. Jika tidak ada anak (walad) bagimu sedangkan ayah dan makmu kedua-duanya mewarisimu, maka bagi makmu sepertiga dari harta peninggalanmu yaitu manakala bagimu tidak ada saudara (ikhwatun).
  3. Jika tidak ada anak (walad) bagimu sedangkan ayah dan makmu kedua-duanya mewarisimu, maka bagi makmu seperenam dari harta peninggalanmu yaitu manakala bagimu ada saudara (ikhwatun).

IV    : 11

  1. Pembagian yang dimaksud dalam IV : 11 huruf a sampai dengan f itu adalah setelah dikeluarkan wasiat atau/dan hutangmu.[14]

IV    : 11

  1. Ibu-bapakmu dan anak-anakmu, tidak tahu engkau siapa dari mereka itu yang terlebih dekat kepadamu dalam penilaian kegunaannya bagimu.

IV    : 12

  1. Bagimu (suami) seperdua dari harta peninggalan isteri-isterimu, jika bagi isteri-isterimu itu tidak ada anak.
  2. Bagimu seperempat dari harta peninggalan isteri-istermu jika bagi isterimu itu ada anak.
  3. Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperempat dari harta peninggalanmu, jika bagimu tidak ada anak.
  4. Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperdelapan dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada anak.

IV    : 12

  1. Pembagian yang dimaksud dalam IV : 12 huruf a sampai dengan d itu adalah setelah dikeluarkan wasiat atau/dan hutangmu.

IV    : 12

  1. Jika seseorang (laki-laki maupun perempuan), diwarisi secara kalalah dan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan maka bagi saudaranya itu masing-masing seperenam dari harta peninggalannya.
  2. Jika seseorang (laki-laki maupun perempuan), diwarisi secara kalalah dan baginya ada beberapa orang saudara, semuanya laki-laki atau semuanya perempuan atau semuanya campuran antara laki-laki dan perempuan, maka semua saudara itu berbagi sama rata atas sepertiga bagian dari harta peninggalannya.

IV    : 12

  1. Pembagian yang dimaksud dalam IV : 12 huruf f dan g itu adalah setelah dikeluarkan wasiat atau/dan hutangnya, dengan tidak boleh seorangpun mengumpat karena terasa dirugikan (ghaira mudarrin) atau dengan tidak boleh ada diskriminasi yang merugikan.

IV    : 32

Jangan beriri hati karena Allah melebihkan seseorang dari yang lain. Baikpun bagi laki-laki maupun bagi perempuan, bagiannyalah apa yang diperolehnya, baik karena usahanya, maupun kewarisannya.

IV    : 33

  1. Dan bagi setiap orang itu Allah telah mengadakan ahli waris (mawali) bagi harta peninggalan ibu bapa dan keluarga dekat (al-aqrabun).

IV    : 33

  1. Dan bagi setiap orang itu Allah telah mengadakan ahli waris (mawali) bagi harta peninggalan seseorang dengan siapa kamu telah mengikat janji.

IV    : 33

  1. Karena itu (atas alasan tersebut dalam IV : 33 huruf a dan b itu) maka berikanlah kepada mereka itu, yakni kepada mawali itu, bagiannya masing-masing.[15]

IV    : 176

  1. Atas pertanyaan mereka kepadamu (Muhammad) jawablah bahwa penjelasan
  2. Allah mengenai orang mati ”kalalah” ialah jika seorang laki-laki atau perempuan, meninggal dunia dengan tidak ada baginya anak (walad).

IV    : 176

  1. Dan jika orang yang mati kalalah itu ada baginya seorang perempuan maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta peninggalannya.

IV    : 176

  1. Dan jika yang mati kalalah itu seorang saudara perempuan dan ia hanya mempunyai seorang saudara laki-laki saja (atau lebih dari seorang) maka saudara laki-laki itu mewarisinya.

IV    : 176

  1. Jika bagi yang mati kalalah itu ada dua orang saudara perempuan (atau lebih dari dua orang) maka bagi mereka itu duapertiga dari harta peninggalannya. [16]

IV    : 176

  1. Jika bagi yang mati kalalah itu ada beberapa saudara, baik laki-laki maupun perempuan. Maka pembagiannya ialah seorang laki-laki mendapat dua kali sebanyak bagian seorang perempuan.

XXXIII           : 4

Allah tidak menjadikan anak angkatmu (ad’iya’akum) jadi anak bagimu.

XXXIII           : 5

  1. Panggillah anak angkat itu dengan nama yang disertai nama ayahnya
  2. Anak yang telah terlanjur engkau angkat sebagai anak sedangkan engkau tidak dapat ketahui lagi siapa orang tuanya sebenarnya, adalah saudaramu dalam agama dan mawali bagimu.

IV    : 8

Jika pada pembagian harta peninggalan ada ikut hadir lain-lain keluarga (ulu al-qurba) dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah peragihan kepada mereka itu dari bagian-bagian yang telah diperoleh oleh ahli waris.

II      : 233

Tidak diberati ibu atau ayah karena anaknya, demikian pula ahli waris karena pewarisnya (la tudarra walidatun bi waladiha wa la mawludun lahu bi waladihi, wa ala lwarithi mithlu dzalika).[17]

  1. B.Hukum Kewarisan Bilateral

          Membicarakan tentang kewarisan bilateral tidak bisa dilepaskan dari sosok Hazairin yang dikenal sebagai pencetus ide bentuk kewarisan bilateral. Kiprah Hazairin lebih dikenal dalam bidang ilmu hukum, terlebih dalam hukum adat. Selain itu pengetahuannya tentang tentang hukum Islam juga begitu mendalam. Melalui keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam inilah, senat guru besar Universitas Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai guru besar hukum adat dan hukum Islam pada fakultas hukum pada tahun 1952. Dengan keahliannya dalam kedua bidang hukum ini, ia tahu betul bagaimana kondisi hukum Islam di Indonesia bila dikaitkan dengan hukum adat. Teori Receptie[18] yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu Hazairin tidak segan-segan lagi untuk menyebut teori ini sebagai “teori Iblis”.[19] Sebagai sanggahan atas teori ini ia kemudian mencanangkan teori Receptie Exit[20], yang kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, SH, dengan teori Receptie a Contrario.[21]

          Pemikirannya tentang hukum kewarisan yang terkenal dengan teori hukum kewarisan bilateral menurut al-Qur’an telah dipresentasikan pada tahun 1957. Dalam teori ini Hazairin mempertanyakan kebenaran hukum kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila dihadapkan dengan al-Qur’an. Dengan keahliannya dalam bidang hukum adat dan antropologi sosial Hazairin mengkaji ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan. Menurutnya, al-Qur’an hanya menghendaki sistem sosial yang bilateral. Dengan demikian hukum kewarisan yang digariskan di dalamnya juga bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang biasa dikenal selama ini. Hazairin telah memberikan pemahaman yang baru terhadap hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar sistem bilateral yang dikehendaki al-Qur’an. Tentu saja sistem ini mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam kehidupan. Yang menarik, agaknya teori ini lebih dekat dengan rasa keadilan dalam masyarakat kita, bila dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorak patrilineal yang selama ini dikenal.

Sistem kewarisan patrilineal yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang bercorak patrilineal. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Sehingga para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak patrilineal.[22]

          Menurut fiqh Sunni, terdapat tiga prinsip kewarisan: pertama, ahli waris perempuan tidak dapat menghijab (menghalangi) ahli waris laki-laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak dapat menghalangi saudara laki-laki. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki lebih diutamakan daripada garis perempuan. Adanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham merupakan contoh yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris menurut sistem patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan bukan pula ashabah.[23] Ketiga, tidak mengenal ahli waris pengganti, semua mewaris karena dirinya sendiri. Sehingga cucu yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya, tidak akan mendapat warisan ketika kakeknya meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang cucu tetap menerima warisan.

Menurut pengamatan Hazairin, sistem kewarisan sunni yang bercorak patrilineal tersebut kurang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak bilateral. Bagi masyarakat patrilineal seperti Batak, bukan berarti tidak ada konflik dengan sistem kewarisan kalangan sunni. Apalagi bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih berat lagi untuk menerima sistem kewarisan ini. Hal inilah yang menggugah Hazairin untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Menurutnya, tidak mungkin al-Qur’an memberikan ketentuan yang tidak adil. Berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa ayat tentang perkawinan dan kewarisan akhirnya dia mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an menghendaki sistem kekeluargaan yang bilateral.

          Adapun dasar yang mendukung teorinya adalah Q.S. al-Nisa (4): 22-24, juga didukung oleh ayat-ayat 11, 12, 176 dalam surat yang sama. Dari ayat 22-24 diperoleh petunjuk bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross-cousins[24] maupun parallel cousins[25]. Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti tanggallah syarat exogami[26] yang menjadi benteng bagi sistem clan dalam masyarakat yang patrilineal dan matrilineal. Jika clan telah tumbang maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. Ayat 11 menjadikan semua anak, baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan ibu. Hal ini merupakan bentuk sistem bilateral, karena dalam patrilineal prinsipnya hanya anak laki-laki yang berhak mewaris sedangkan dalam sistem matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari bapaknya. Kemudian ayat 12 dan 176 juga mendukung sistem bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli waris bagi saudaranya yang mati punah (tak berketurunan), tidak dibedakan apakah saudara itu laki-laki atau perempuan.[27]

          Berikutnya ayat 7, 8, 11, 12, dan 176 memberikan ketentuan bahwa sistem kewarisan yang dikehendaki oleh al-Qur’an di samping bilateral adalah individual. Maksudnya masing-masing ahli waris berhak atas bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada mereka. Di sini terdapat istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah) dalam ayat-ayat tersebut. Jadi sistem kewarisan yang dikehendaki dalam al-Qur’an adalah individual bilateral.[28] Dengan teorinya ini Hazairin agaknya ingin mengajak umat Islam untuk memperbaharui pemahaman terhadap ayat-ayat tentang kewarisan.

          Adapun ide pembaharuan dalam ilmu waris yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).[29]

          Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian. Adapun zawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris).[30]

          Yang dimaksud mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.[31]

          Selanjutnya secara rinci Hazairin membuat pengelompokan ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan secara hierarkhis, berdasarkan ayat-ayat kewarisan (Q.S. al-Nisa (4): 11,12,33, dan 176), sebagai berikut:

  1. Keutamaan pertama: anak, mawali anak, orang tua, dan duda atau janda.
  2. Keutamaan kedua: saudara, mawali saudara, orang tua, dan duda atau janda.
  3. Keutamaan ketiga: orang tua dan duda atau janda.
  4. Keutamaan keempat: janda atau duda, mawali untuk ibu dan mawali untuk ayah.

Masing-masing ahli waris dalam keutamaan ini berbeda-beda statusnya, ada yang sebagai zawu al faraid dan ada pula yang sebagai zawu al qarabat.[32]

          Setiap kelompok keutamaan di atas dirumuskan secara komplit, artinya kelompok keutamaan yang lebih rendah tidak dapat mewaris bersama-sama dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti dari kelompok keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau mawali-nya. Tidak adanya anak dan atau mawali-nya berarti bukan kelompok keutamaan pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya saudara dan atau mawali-nya. Sedang inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu dan atau bapak. Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok keutamaan, ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara kewarisan bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang cukup banyak dan lengkap.[33]

          Dengan sistem kelompok keutamaan seperti yang dikemukakan oleh Hazairin ini, saudara dapat mewaris bersama dengan orang tua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal. Di samping itu tidak mungkin menjadikan ayah dari ayah atau ibu dari ayah sebagai zawu al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem ilmu waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit, seperti ahli waris kakek bersama saudara (al-jadd ma’a ikhwan) yang banyak memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam sistem bilateral.[34]

  1. D.Tanggapan Pro dan Kontra

          Gagasan tentang sistem kewarisan bilateral yang dicetuskan Hazairin ternyata mendapat tanggapan pro dan kontra di kalangan umat Islam Indonesia. Fenomena ini merupakan hal yang wajar apabila ada yang masih belum bisa menerima ide pembaharuan yang dia kemukakan. Apalagi dengan mendekontruksi sesuatu yang telah lama mapan, akan sulit diterima meskipun hal yang baru ini cukup rasional dan argumentatif. Namun bukan berarti mereka yang menolak termasuk tidak rasional. Mereka yang menolak di samping didasarkan pada pengetahuan tentang sistem kewarisan yang selama ini mereka ketahui, juga tidak sedikit pula yang mensikapi dengan penuh curiga terhadap sesuatu yang dianggap baru.

          Meskipun pada awalnya banyak terjadi penolakan, namun tidak sedikit pula yang bersimpati dan mendukung ide kewarisan bilateral ini. Bahkan dewasa ini hampir setiap kali menbahas tentang ilmu waris hampir tidak melepaskan pemikiran Hazairin. Barangkali penolakan yang terjadi terhadap sistem kewarisan bilateral lambat laun berkurang seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya masyarakat untuk menerima perubahan.

          Dukungan terhadap pendapat Hazairin telah banyak dikemukakan dalam berbagai kajian ilmiah. Keberatan terhadap teori ini agaknya lebih disebabkan ketidakberanian mereka mengoreksi cara tafsir mazhab sunni yang lebih condong kepada sistem patrilineal dan terlanjur disakralkan.Untuk itu agar pemikiran Hazairin dapat diterima di kalangan sunni yang konservatif ini manakala dia mampu memahami bahwa sistem kewarisan Sunni merupakan salah satu hasil penalaran intelektual sebagaimana halnya yang dilakukan Hazairin.[35]

          Terlepas adanya sikap pro dan kontra di atas, perlu diketahui bahwa pemikiran Hazairin ini telah turut memperkaya perkembangan hukum Islam di Indonesia terlebih tentang ilmu waris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk kodifikasi hukum Islam di Indonesia agaknya tidak luput dari pengaruh Hazairin, seperti telah diaturnya ketentuan tentang ahli waris pengganti pada pasal 185.            

  1. E.Terhadap Pembagian Harta Waris

          Mewarisi harta dari orang yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk cara yang sah untuk memperoleh hak milik terhadap suatu benda.[36] Sehingga pembagian harta dengan cara mewarisi merupakan salah satu bentuk pemilikan harta yang diakui dalam hukum Islam. Bahkan Islam mengatur distribusi harta kepada para ahli waris yang berhak dengan bagian jelas dan rinci. Sistem kewarisan yang bercorak patrilineal akan mencerminkan distribusi harta waris yang lebih didominasi dan lebih banyak memberi banyak peluang kepada kaum laki-laki. Hal sebaliknya terjadi bagi sistem kewarisan matrilineal. Adapun sistem kewarisan yang bercorak bilateral akan lebih memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam menerima distribusi harta warisan.  

          Apabila dilihat dari distribusi pembagian harta waris, sistem kewarisan sunni yang bercorak patrilineal dalam beberapa kasus tertentu kelihatan kurang dapat memberi penyelesaian yang adil terhadap para ahli waris. Berbeda dengan sistem kewarisan bilateral yang lebih memberikan keadilan. Satu contoh, misalnya, ada seorang yang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari beberapa anak laki-laki dan perempuan, seorang isteri dan beberapa cucu yang orang tuanya telah meninggal. Menurut sistem kewarisan Sunni, cucu tidak mungkin dapat warisan dari kakeknya karena masih ada anak (saudara dari orang tuanya). Sedangkan menurut sistem bilateral, sang cucu tetap dapat mewarisi harta peninggalan kakeknya sebesar yang diterima orang tuanya seandainya masih hidup, karena cucu di sini berkedudukan sebagai mawali bagi anak. Dari contoh sederhana ini tampak bahwa pembagian harta waris yang ditawarkan melalui sistem bilateral tampak lebih adil.

          Dengan demikian sistem kewarisan bilateral paling tidak telah memberi solusi bagi sistem kewarisan yang dianggap kurang dapat memenuhi keadilan, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Pembaharuan yang dicanangkan merupakan satu bentuk sistem yang padu dan menyeluruh, bahkan cukup berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia.

Dari pemaparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa pemiiran Hazairin tentang kewarisan dan kekeluargaan dilatar belakangi oleh teori recepsi sehingga secara tidak langsung beliau ingin membuktikan bahwa Adat tidak selamanya bertentangan dengan Syariat tetapi justru saling mendukung satu sama lainnya, dan pernyataan tersebut juga disebabkan, pandangan beliau bahwa al-Quran tidak memaparkan secara jelas bentuk keluarga yang diinginkan.

Jika dilihat lebih jauh hasil pemikiran Hazairin dihasilkan dengan mengesampingkan kaidah ushuliyah, hal ini mungkin dikarenakan keinginan beliau untuk membuktikan Antropologi dapat mendukung pernyataan yang ada dalam al-Quran.

Akhirnya, reinterpretasi terhadap sistem kewarisan bilateral pada dasarnya merupakan bentuk ketidak puasan menerima sistem kewarisan Sunni klasik. Doktrin Sunni yang selama ini dipegang oleh umat Islam di Indonesia bercorak patrilineal, padahal yang dikehendaki al-Qur’an adalah sistem kewarisan bilateral. Penafsiran hukum waris yang bercorak patrilineal kalangan Sunni sebenarnya merupakan pengaruh dari kultur bangsa Arab yang bercorak patrilineal. Sehingga perlu dirombak agar sesuai dengan kultur Indonesia yaitu menggunakan sistem bilateral yang lebih mencerminkan keadilan, terlebih dengan keberadaan mawali (ahli waris pengganti).

DAFTAR PUSTAKA

A. Sukris Sarmadi, 1997, Transendensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I

Abdul Aziz Dahlan dkk, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jil. II

Ahmad Azhar Basyir, 1993, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: FH-UII Press

Djuhana S. Pradja, 1994, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Rosda Karya, Cet. II

Hasan Shadily, 1980, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1980, jil. I

Hazairin, 1976, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, Cet. III

Hazairin, 1982, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, Cet. III

Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Quran dan Hadith, Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, Cet. IV

Muhammad Wahyuni Nafis, 1995, Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta: Paramadina-IPHI, Cet. I

Sayuthi Thalib, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia; in memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin, Jakarta: UI Press

Prof. Dr. HAZAIRIN, SH

Tokoh Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Tentang Kewarisan

Dibuat untuk memenuhi Tugas pada mata kuliah

Pembaharuan Hukum di Indonesia

Oleh

AHYAR SIDDIQ

Dosen Pengampu

Prof. Dr. Damrah Khair

PROGRAM   PASCASARJANA

INSTITUT   AGAMA   ISLAM   NEGERI   RADEN   FATAH

PALEMBANG

2006

[1] Diajukan sebagai tugas pada mata kuliah Pembaharuan Hukum Islam

[2] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jil. II, h. 537. Lihat juga, Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1980), jil. I, entri Hazairin

[3] Sayuthi Thalib, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia; in memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin, (Jakarta: UI Press)

[4] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi........., Loc. Cit

[5] Ibid, h. 538

[6] Loc. Cit

[7] Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 1982), cet. III, h. 8

[8] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Quran dan Hadith, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 1982), cet. IV, h. 3

[9] Ibid, h. 4

[10] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 1976), cet. III, h. 6

[11] Klan biasanya digunakan untuk menunjuk satu bentuk kelompok kekerabatan yang relatif besar, karena leluhur yang menjadi nenek moyang mereka telah hidup berpuluh-puluh angkatan yang lalu. Fungsi utama klan hanyalah sebagai alat pemersatu dan pengatur perkawinan exogami (larangan kawin dalam satu klan).

[12] Op. cit. h. 20

[13] Hazairin, Hukum Kewarisan ..........., op. cit, h. 6

[14] Ibid, h. 7

[15] Ibid, h. 8

[16] Ibid, h. 9

[17] Ibid, h. 10

[18] Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.

[19] Hazairin, Hukum Kekeluargaan……., op. cit, h. 5.

[20] Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 (pembukaan dan pasal 29) dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, cet. 2 (Bandung: Rosda Karya, 1994), hal. 102 dan 127-131.

[21] Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum yang berlaku bagi rakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, “Pengembangan”, hal. 131-136.

[22] Hazairin, Hendak Kemana Hukum…….., op. cit, hal. 3 dan 11-12. Di sini Hazairin menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kemasyarakatan yang dimaksud adalah anthropologi sosial (etnologi) yang baru ada pada abad XIX. Jadi jauh dari masa Islam klasik.

[23] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral ………., op. cit, hal. 76-77.

[24] Cross cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau sedatuk, manakala bapak dari pihak yang satu merupakan saudara dari ibu pihak yang lain. Lebih konkritnya, ibu suami adalah saudara dari ayah isteri ataupun sebaliknya. Hubungan persaudaraan ini bisa karena seibu, sebapak, atau sekandung. Lihat Hazairin, Hendak,…hal. 5 dan 20-21.

[25] Parallel cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau sedatuk manakala ayah mereka masing-masing bersaudara atau ibu mereka bersaudara, baik persaudaraan ini seibu, sebapak, maupun sekandung.

[26] Exogami artinya larangan untuk mengawini anggota se-clan, atau dengan kata lain keharusan kawin dengan orang di luar clan.

[27] Hazairin, Hukum Kewarisan, hal. 13-14.

[28] Ibid., hal. 16-17.

[29] Prinsip-prinsip dalam teori kewarisan bilateral ini hampir sama dengan yang terdapat dalam fiqh Ja’fari. Hanya saja dalam fiqh ini ahli waris pengganti hanya diakui adanya manakala para ahli waris sederajat di atasnya sudah meninggal seluruhnya. Jadi cucu akan tetap terhijab untuk memperoleh warisan dari kakeknya selama masih ada anak.

[30] Hazairin, Hukum Kewarisan, hal. 18 dan 28-36. konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang diberlakukan di beberapa negara Timur Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara tersebut, namun substansinya sama yaitu mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (baca: cucu), dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi saudara. Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., cet 1 (Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995), hal.316.

[31] Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan ....., op.cit, hal. 80-81.

[32] Hazairin, Hukum Kewarisan, hal. 37. Adanya konsep tentang kelompok keutamaan ini pada dasarnnya untuk menentukan ahli waris mana yang harus didahulukan manakala terdapat bagitu banyak ahli waris yang ada. Konsep ini dalam fiqh sunni lebih dikenal dengan konsep hijab di antara ahli waris.

[33] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan.. , op. cit, hal. 88.

[34] Hazairin, Hukum Kewarisan…op. cit.,hal.44.

[35] A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hal.278.

[36] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta:FH-UII, 1993), hal. 37.