Menjelaskan perbandingan pendidikan di daerah pelosok daerah setengah kota dan daerah kota

Menjelaskan perbandingan pendidikan di daerah pelosok daerah setengah kota dan daerah kota

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Menjelaskan perbandingan pendidikan di daerah pelosok daerah setengah kota dan daerah kota

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada masa seperti sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan sangatlah penting peranannya. Orang-orang berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar teknologi yang semakin canggih. Tetapi disisi lain ada sebagian masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak, baik dari strata tingkat dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. Selain itu juga ada sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada akhinya putus sekolah juga. Ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya keterbatasan adana pendidikan karena kesulitan ekonomi, kurangnya niat seseorang individu untuk mengenyam pendidikan, kurangnya fasilitas pendidikan di daerah terpencil atau daerah tertinggal dan selain itu karena adanya faktor lingkungan ( pergaulan ).

Tujuan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah uapaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manuasia Indonesia yang beriman , bertaqwa dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan beradab berdasarksan pancasila dan UUD 1945.

Permasalahan pendidikan dewasa ini terus muncul seiring upaya untuk penyempurnaan sistem pendidikan nasional. Permasalahan terbaru yaitu pro dan kontra terhadap penyelenggaraan Ujian Nasional terlebih dengan adanya praktik kecurangan yang dilakukan siswa maupun guru yang terjadi diberbagai daerah dan jenjang pendidikan. Ini berarti upaya meningkatkan pendidikan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan harapan. Kesenjangan ini disebabkan oleh berbagai kendala baik keterbatasan dana, kendala geografis mengingat luasnya negara Indonesia dengan ribuan pulau sementara sarana komunikasi belum memadai. Di negara yang berkembang seperti Indonesia ini guru memberi konstribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34 % sedangkan management 22 % waktu belajar 18 % sarana fisik 26 %. Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan perbaikan kualitas guru dan menelaah kondisi sekolahan khususnya Sekolah Dasar di desa terpencil.

Suatu Sekolah Dasar di daerah terpencil dan di perbatasan masyarakat didaerah ini tertinggal dalam pembangunan baik itu ekonomi, insfratuktur maupun pendidikan. Disinilah diperlukan suatu terobosan untuk menjangkau daerah-daerah tersebut ikut serta dalam akselerasi pembangunan nasional. Disuatu daerah sendiri masih banyak SD yang terpencil dan memiliki komposisi masyarakat miskin tinggi sehingga menyebabkan angka drop out tinggi.

B.  Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini, agar para pembaca mengtahui berapa pentingnya pendidika bagi penerus bangsa ini. Dan para pembaca mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia pendidikan saat sekarang ini. Sebab banyak masalah-masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan saat sekarang ini.

C.       Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud dengan pendidikan ?

2.    Apa fungsi pendidikan ?

3.    Bagaimana strategi pendidikan ?

4.    Ada berapa jenis pendidikan di Indonesia ?

5.    Bagaimana mutu pendidikan saat ini ?

6.    Bagaimana realita pendidikan di desa ?

7.    Bagaimana peluang masyarakat desa ?

8.    Bagaimana pendidikan dan perubahan sosial ?

9.    Bagaimana pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.                Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah hak setiap orang. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan sistem pendidikan tidak boleh ada disriminasi/ membedakan suku, agama, ras, kepercayaan. Sistem Pendidikan juga harus diselenggarakan dengan tujuan untuk memenuhi hak setiap orang atas pendidikan tanpa bermaksud sedikitkan memberikan peluang bagi terciptanya diskriminasi/ membeda-bedakan seseorang dalam memperolah pendidikan hanya karena alasasn politik, ekonomi, social, budaya, dan hukum. Pengakuan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap orang tidak hanya pengakuan hak secara internasional namun juga pengakuan yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia.

Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak. Hak yang wajib dipenuhi dengan kerjasama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah. Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan.

Namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan, khususnya menuntaskan wajb belajar 9 tahun. Banyak faktor yang menjadi kendala agar pendidikan dapat terealisasikan. Seperti misalnya saja dari faktor orang tua, tidak semua orang tua mau menyerahkan anaknya untuk bersekolah. Mayoritas dari mereka berasal dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan putra-putrinya di sekolah formal. Faktor yang lainnya yaitu faktor lembaga pendidikan yang menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Dengan menyediakan fasilitas yang memadai tentu akan menimbulkan adanya biaya. Beban inilah yang harus dibayar oleh orang tua. Tentu tidak mudah bagi para orang tua siswa yang tergolong ekonomi menengah kebawah untuk membayar biaya tersebut.
Menurut Roger A Kaufman (dalam Danim, 2008), pendidikan dapat dipandang sebagai proses mempengaruhi individu (learner) dengan (at least minimal), skills, knowledges and attitudes sehingga mereka dapat hidup dan berproduksi dalam masyarkaat setelah mereka secara legal keluar dari lembaga pendidikan, setidaknya berwujud keterampilan, pengetahuan, dan sikap minimal yang dibutuhkan masyarkat sesuai dengan tujuan lembaga.

Kebutuhan dan tuntutan akan pengetahuan, keterampilan dan sikap semacam itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada kecenderuangan mutu hidup di kemudian hari.

Menurut Soepardjo (dalam Danim, 2008), meningkatnya aspirasi pendidikan tidak hanya dalam aspek kualitatif tetapi juga aspek kuantitatif yang menyebutkan bahwa aspirasi memasukkan anak ke sekolah semakin besar, khususnya untuk memasuki perguruan tinggi, mereka cenderung dari desa ke kota dan dari luar Jawa ke Jawa.

Menurut Coombs dan Ahmed (dalam Danim, 2008), kesenjangan kuantitatif dan ketimpangan kualitatif antara pendidikan di desa dan kota sejak dahulu sangat menonjol, lebih-lebih untuk saat ini. Dampak langsung dari gejala itu adanya mobilitas pendidikan yang timpang.

Badan pembina pendidikan internasional (1984) dalam laporannya mengatakan bahwa di kota-kota bukan hanya tersedia banyak sekolah, akan tetapi relatif lebih mudah dimanfaatkan dari pada di pedesaan. Di kota-kota banyak tersedia kegiatan ekonomi modern, media (surat kabar, buku, majalah, televisi, siaran radio, film) dan semua barang modern yang kesemuanya merupakan barang konsumsi modern.

Kesenjangan menurut Danim (2008) adalah sebab dari krisis pendidikan, itu akan nampak jelas di pedesaan di mana modernisasi rakyatnya berjalan lamban, tidak ada motivasi belajar, kolot, kurang gizi, mempertahankan warisan budaya masa lampau, dan segalanya.

Coombs dan Ahmed (dalam Danim, 2008) mengemukakan bahwa pada umumnya usaha pembangunan nasional mengalami akibat krisis pendidikan ini, lebih-lebih di perdesaan. Alasan krisiis itu ada tiga :

1.    Daerah perkotaan memperoleh lebih banyak jatah sumber daya yang memang serba langkah,

2.    Ketidaksesuaian apa yang dipelajari dengan apa yang seharusnya dipelajari di pedesaan, gejala itu sangat kelihatan, dan

3.    Kebijaksanaan pendidikan yang lebih banyak menempatkan arti persekolahan formal, oleh karena itu apa yang mayoritas dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan diabaikan sama sekali.

Kesempatan pendidikan luas sekali di kota. Banyak lembaga pendidikan dan jenis pilihan spesialisasi yang dapat dipilih lebih dari itu, anak didik di kota lebih banyak mendapatkan infomasi dari segala sumber, baik langsung maupun tidak langsung.

Di desa, kondisi itu jauh berbeda dan sulit diubah, lebih-lebih bagi Indonesia yang wilayahnya sangat luas, rumit, dan kompleks, di samping kemampuan ekonomi, komunikasi dan motivasi warga belum menunjang.

Di Indonesia penduduk tersebar tidak merata dan sebagian besar tinggal di desa dalam kondisi yang memperihatinkan. Hasil obsevasi singkat menunjukkan berbagai gejala buruk dari aktivitas pendidikan anak di desa terpencil, antara lain :

1.    Tingkat ketidakhadiran murid tinggi, terutama pada saat penggarapan lahan pertanian dan musim panen.

2.      Proses belajar anak di sekolah ditunjang hanya dengan alat seadanya. Bangku yang reot, ruang kotor, buku tulis yang kumal, sepatu penuh lumpur pada musim hujan atau debu pada musim kering.

3.      Belajar di rumah dengan menggunakan penerangan dari lampu lentera yang asapnya memnuhi lubang hidung.

4.      Sepulang sekolah membantu orang tua di tanah pertaniannya atau memburuh dan pulang menjelang atau sesudah waktu maghrib.

Citra pendidikan di kota lebih baik, kesempatan memperoleh pendidikan di kota lebih luas dan kemajuan dalam bidang komunikasi dan informasinya mudah dirasakan, perilaku keruangan menurut kaca mata pendidikan terjadi karena aspirasi masyarakat memasuki pendidikan di perkotaan semakin tinggi. Urbanisasi anak usia sekolah menjadi tidak terbendung. Ini merupakan gejala yang umum, lebih-lebih di negara berkembang. Penduduk desa dalam hal ini anak usia sekolah lebih-lebih tingkat pendidikan menengah atas secara otomatis membanjiri kota. Tidak ada kesempatan menambah pengetahuan lain melalui televisi, bimbingan belajar dari guru, apalagi membaca media masa seperti koran dan majalah.

B.     Fumgsi Pendidikan

Fungsi pendidikan adalah menyiapkan peserta didik. “Menyiapkan” diartikan bahwa peserta didik pada hakikatnya belum siap, tetapi perlu disiapkan dan sedang menyiapkan dirinya sendiri. Hal ini menunjuk pada proses yang berlangsung sebelum peserta didik itu siap untuk terjun ke kancah kehidupan yang nyata. Penyiapan ini dikaitkan dengan kedudukan peserta didik sebagai calon warga negara yang baik, warga bangsa dan calon pembentuk keluarga baru, serta mengemban tugas dan pekerjaan kelak di kemudian hari.

C.     Strategi Pendidikan

Strategi pelaksanaan pendidikan dilakukan dalam bentuk kegiatan bimbingan, pengajaran dan / atau latihan. Bimbingan pada hakikatnya adalah pemberian bantuan, arahan, motivasi, nasihat dan penyuluhan agar siswa mampu mengatasi, memecahkan masalah, menanggulangi kesulitan sendiri. Pengajaran adalah bentuk kegiatan di mana terjalin hubungan interaksi dalam proses belajar dan mengajar antara tenaga kependidikan (khususnya guru / pengajar) dan peserta didik untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pendidikan. Pelatihan prinsipnya adalah sama dengan pengajaran, khususnya untuk mengembangkan kerampilan tertentu.

Produk yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan adalah berupa lulusan yang memiliki kemampuan melaksanakan peranan-peranannya untuk masa yang akan datang. Peranan bertalian dengan jabatan dan pekerjaan tertentu, tentunya bertalian dengan kegiatan pembangunan di masyarakat. Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungai secara dekat dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dan perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

D.    Jenis Pendidikan Di Indonesia

Di Indonesia dikenal tiga jenis pendidikan yaitu :

1.        Pendidikan formal yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan di sekolah ini secara micro diartikan sebagai kelanjutan pendidikan keluarga, karena tanggung jawab utama keluarga pada segi kehidupan. Sedang arti pendidikan di sekolah secara macro adalah pendidikan berwawasan kepada masyarakat dan negara.

2.        Pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

3.         Pendidikan nonformal yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

E.   Mutu Pendidikan

Mutu pendidikan tentu diartikan pendidikan yang mampu meghasilkan lulusan yang terampil, mampu sesuai dengan tingkat pendidikannya, jujur dan yang terpenting lagi adalah moralnya baik. Peningkatan mutu pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.

F.        Realita Pendidikan Di Desa

Di sebuah dusun terdapat sebuah sekolah TK dan TK tersebut menempati sebuah ruang SD dengan bangku berwarna coklat kusam, sementara guru mengajarkan membaca, menulis dan berhitung seperti layaknya anak SD.  Lebih memprihatinkan lagi, guru tersebut lulusan dari SMP dan tidak pernah mengenyam   pendidikan keguruan. Padahal kehadiran suatu Taman Kanak-kanak sangatlah dibutuhkan, karena pendidikan melalui TK berfungsi meletakkan dasar-dasar yang penting bagi perkembangan anak seutuhnya.  Masa ini merupakan ‘golden periode’ bagi proses pembentukan karakter anak.  Paul Meier, seorang psikiater Kristen menyatakan bahwa sampai dengan usia 6 thn, 85% karakter anak telah terbentuk.  Penelitian lain yang dilakukan oleh Benyamin S. Bloom menguatkan pandangan ini.  Bloom menyatakan bahwa 50% potensi anak terbentuk sampai dengan usia 5 thn dan 30% lainnya akan terbentuk sampai dengan usia 8 thn.  Namun kalau kita cermati jumlah Taman Kanak-Kanak yang ada di Indonesia, hanyalah melayani sebagian kecil dari jumlah anak pada usia ini. Sebenarnya masyarakat desa memiliki peluang yang sama dengan masyarakat kota untuk memperoleh pendidikan. Peluang pendidikan dibuka oleh pemerintah sama lebarnya untuk masyarakat desa maupun kota. Bahkan, semangat juang masyarakat desa lebih tinggi daripada masyarakat kota.

Meskipun fasilitas di desa kurang memadai, tetapi sebenarnya jauhnya dari fasilitas itu sendiri menjadi pembelajaran yang sangat bagus bagi anak-anak desa karena mereka terbiasa dengan kerja keras, tantangan, dan untuk tidak patah semangat. Itu keuntungannya dari masyarakat desa. Masyarakat desa cenderung minder.  sebetulnya orang desa memiliki kekuatan dan daya tahan yang tinggi terhadap berbagai macam permasalahan dan goncangan. Jauh lebih tinggi dari masyarakat kota, mestinya kelebihan itu dimanfaatkan.

G.    Peluang Masyarakat Desa

Terkait dalam kebijakan ekonomi untuk masyarakat desa, sebenarnya pendidikan sendiri adalah bagian dari pemberdayaan masyarakat desa. karena rata-rata masyarakat yang cukup berpendidikan akan lebih responsif  dan tanggap terhadap berbagai rangsangan ekonomi yang diberikan kepada masyarakat itu. Bayangkan suatu desa yang masyarakatnya buta aksara semua, tentu akan tertinggal. Hal ini akan berbeda dengan suatu desa yang masyarakatnya pintar dan berpendidikan tinggi. Tentu akan lebih maju yang berpendidikan.

H.    Pendidikan Dan Perubahan Sosial

Sudah umum dianggap bahwa pendidikan merupakan sarana yang sangat penting bagi seseorang untuk sukses dalam usaha mobilitas vertikal untuk mencapai strata sosial yang lebih tinggi. Sementara itu penyelengaraan pendidikan dewasa ini di manapun di dunia didominasi oleh lembaga raksasa bernama sekolah. Saking kuatnya dominasi itu hingga mayoritas masyarakat merasa sekolah merupakan satu-satunya tempat yang paling kredibel bagi orang-orang muda dalam memperoleh ilmu.

Oleh sebab itu sekolah juga mendapat tempat yang istimewa dalam pemikiran tiap orang dalam usahanya meraih tangga sosial yang lebih tinggi. Sedemikian istimewanya hingga sekolah telah menjadi salah satu ritus yang harus dijalani orang-orang muda yang hendak mengubah kedudukannya dalam susunan masyarakat. Mudah diduga bahwa jalan pikiran seperti itu secara logis mengikuti satu kanal yang menampung imajinasi mayoritas mengalir menuju sebuah muara, yakni credo tentang sekolah sebagai kawah condrodimuko tempat agen-agen perubahan di cetak.

Pandangan di atas sama sekali tidak baru. Juga akan sangat berlebihan bila menganggap ide seperti itu sebagai suatu terobosan sebab tak akan lebih dari botol baru untuk kecap yang sama. Dalam konteks Indonesia ide tentang sekolah sebagai tempat dicetaknya agen-agen perubahan adalah pandangan lama yang sudah ada setidaknya pada pengembangan sekolah rakyat. Esensi dari sekolah adalah pendidikan dan pokok perkara dalam pendidikan adalah belajar. Oleh sebab itu tujuan sekolah terutama adalah menjadikan setiap murid di dalamnya lulus sebagai orang dengan karakter yang siap untuk terus belajar, bukan tenaga-tenaga yang siap pakai untuk kepentingan industri. Dalam arus globalisasi dewasa ini perubahan-perubahan berlangsung dalam tempo yang akan makin sulit diperkirakan. Cakupan perubahan yang ditimbulkan juga akan makin sulit diukur. Pengaruhnya pada setiap individu juga makin mendalam dan tak akan pernah dapat diduga dengan akurat.

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sedemikian pesat. Ekonomi mengalami pasang dan surut berganti-ganti sulit diprediksi. Konstelasi kekuatan-kekuatan politik juga berubah-ubah. Kita tak lagi hidup dengan anggapan lama tentang dunia yang teratur harmonis. Sebaliknya setiap individu sekarang menghadapi suatu keadaan yang cenderung tak teratur. Kecenderungan chaos seperti ini harus dihadapi dan hanya dapat dihadapi oleh orang-orang yang selalu siap untuk belajar hal-hal baru. Bukanlah mereka yang bermental siap pakai yang akan dapat memanfaatkan dan berhasil ikut mengarahkan perubahan-perubahan kontemporer melainkan mereka yang pikirannya terbuka dan antusias pada hal-hal baru.

Oleh sebab itu sekolah, di tingkat manapun, yang tetap menjalankan pendidikan dengan orientasi siap pakai untuk para pelajarnya tidak akan berhasil mengemban misi sebagai agent of changes tetapi sekedar consumers of changes. Dari sekolah dengan pandangan siap pakai tidak akan dihasilkan orang-orang muda yang dengan kecerdasannya berhasil memperbaiki kedudukannya dalam susunan sosial output dari sekolah semacam itu hanya dua. Pertama, orang-orang muda yang terlahir berada dan akan terus menduduki strata sosial tinggi, Kedua,  para pemuda tak berpunya yang akan tetap menelan kecewa karena ternyata mereka makin sulit naik ke tangga sosial yang lebih tinggi dari orang tua mereka. Sekolah yang tetap kukuh dengan prinsip-prinsip pedagogis, metode-metode pendidikan dan teknik-teknik pengajaran yang bersemangat siap pakai hanya akan menjadi lembaga reproduksi sosial bukan lembaga perubahan sosial. Indonesia perlu perubahan pendidikan yang lebih maju.

I.         Pemerataan Kuantitas dan Kualitas Pendidikan

Dari sudut pemerataan, menurut Danim (2008), pendidikan dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi kualitas (quality dimension) dan dimensi kuantitas (quality dimension). Pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan dibahas dalam kaitannya dengan upaya mengurangi urbanisasi anak usia sekolah; asumsinya, pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan mempunyai kaitan langsung dengan urbanisasi anak usia sekolah. Urbanisasi (berangkatnya anak usia sekolah dari desa ke kota) disebabkan oleh pendidikan yang belum merata di pedesaan., baik kuantitas dan lebih-lebih kualitasnya. Upaya rasional untuk mengatasi akibat logis itu adalah memberikan kesempatan kepada anak usia sekolah pada tingkat tertentu untuk dapat memasuki pendidikan di tempat mereka berdomisili tetap.

Pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan sebagai upaya mengurangi urbanisasi anak usia sekolah, menurut Danim (2008), bagian ini berawal dari asumsi sebagai berikut :

1.      Anak usia sekolah, khususnya tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah merupakan kelompok terbesar masyarakat indonesia.

2.      Aspirasi masyarakat dan anak didik memasuki pendidikan semakin tinggi, di satu pihak dan masih ada jurang pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan antara desa dan kota di pihak lain.

3.      Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membuat pendidikan semakin berarti bagi upaya pemerolehan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sulit dibendung sebagai akibat langsung dari keterbatasan fasilitas pendidikan.

1.       Aspek kuantitatif

Aspek kuantitatif pendidikan mengacu pada konsep pasal 31 UUD Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Pemerataan kuantitatif pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua secara integral, menurut Danim (2008), pemerintah dengan kemampuan yang ada telah bertekad memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang ingin menikmati pendidikan. Dewasa ini adanya program BOS untuk pemerataan pendidikan dasar, dengan harapan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan menurut Danim (2008), masyarakat dan orang tua juga mempunyai tanggung jawab besar dalam hal seperti ;

a.         Memberikan dana untuk lancarnya roda pendidikan persekolahan, baik di sekolah-sekolah pemerintah maupun sekolah swasta,

b.        Memilih pendidikan yang paling cocok, kalaupun anak mempunyai kebebasan lebih untuk memilih jenis pendidikan yang diinginkan, dan

c.         Memberikan kemudahan bagi anak (anggota keluarga) untuk memperlancar kegiatan pendidikan.

Untuk mencapai sasaran peningkatan mutu pendidikan dasr, menengah, dan luar sekolah dapat dilaksanakan melalui bidang pendidikan, dengan program utama peningkatan pemerataan, mutu, dan relevansi pendidikan. Upaya meningkatkan pemeratan pendidikan memperlihatkan tingkat capaian kinerja yang relatif lebih baik. Hal tersebut tampak dari pencapaian kinerja sasaran yang terdiri dari beberapa indikator, seperti di bawah ini :

1.        Angka Partisipasi Kasar (APK),

2.        Angka Partisipasi Murni (APM),

3.        Angka putus sekolah (aps),

4.        Tersedianya buku paket,

5.        Tercapainya pembangunan sekolah,

6.        Pemeliharaan bangunan sekolah,

7.        Meningkatnya kinerja sekolah yang diakreditasi,

8.        Meningkatnya rata-rata nilai un/us,

9.        Meningkatnya kinerja sekolah,

10.    Tingkat kelulusan siswa, dan lain-lain.

Menurut Danim (2008), bertambahnya tingkat partisipasi pendidikan membawa dampak yang tidak kecil, antara lain ;

a.         Banyaknya anak yang harus ditampung pada tingkat berikutnya, dari SD ke SMP dan seterusnya,

b.        Semakin banyak jumlah fasilitas fisik yang diperlukan pada tingkat pendidikan tertentu,

c.         Penambahan guru pada setiap tingkat pendidikan,

d.        Dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan orang tua, dan

e.         Tuntutan terhadap pelayanan pendidikan yang efektif dan efisien.

Untuk anak SD, pada umumnya dapat ditampung di desa tempat mereka tinggal, demikian juga anak usia SMP. Pada tingkat SMA dan Perguruan Tinggi masalahnya lebih rumit dan sampai saat ini masih sulit dicari pemecahannya. Pendidikan di kecamatan tertentu hanya ada SMA Umum, sesuatu yang masih diragukan kredibilitasnya. Pada tingkat Perguruan Tinggi lebih dari itu. Banyak perguruan Tinggi Nasional yang ditempatkan di daerah, namun belum banyak menolong, oleh karena terbatasnya daya tampung dan keinginan untuk memperoleh pendidikan tertentu yang lebih baik.

Sebagai akibat logis dari kemelut itu adalah banyaknya anak usia sekolah yang pergi ke kota (dari desa ke kota) dan dari pulau di luar Jawa ke Jawa. Penambahan institusi pendidikan pada tingkat kebutuhan tertentu adalah langkah efektif dalam upaya mengatasi urbanisasi anak usia sekolah, kalaupun jelas hal ini masih sulit dilakukan, namun patut dipikirkan.

2. Aspek Kualitatif

Aspek kualitatif pendidikan sangat sukar diukur, sebab kualitas itu berkenaan dengan penguasaan, pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam kehidupan sehari-hari diperlukan kreativitas dinamika, prakarsa dan lain-lain yang juga merupakan mutu keluaran pendidikan.

Santoso (dalam Danim, 2008) mengemukakan bahwa ditinjau dari pengembangan mutu atau kualitas penduduk, maka yang dihadapi oleh pendidikan nasional kita sekarang dan pada masa yang akan datang bukan hanya masalah derasnya penduduk usia sekolah, terbatasnya daya tampung dan hambatan-hambatan karena langkanya sumber, seperti tenaga, dana, sarana dan prasarana, tetapi juga hambatan-hambatan lain yang cukup asasi, yaitu kurangnya kreativitas dan dinamika dari sebagian para pengelola dan pelaksana pendidikan, pelaku sistem administrasi, birokrasi pendidikan yang sebagian cenderung berlaku terlalu formalistis sehingga kurang memberi peluang pada terobosan-terobosan inovatif yang cukup berbobot dan cukup lama untuk berakar dan menyegarkan sistem yang ada.

Menurut Danim (2008), indikator pendidikan yang berkualitas antara lain :

a.              Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mampu menempuh manusia-manusia pembangun yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama dapat membangun bangsa dan negara,

b.             Dalam arti praktis, pendidikan dapat dikatakan berkualitas jika subjek keluaran pendidikan mampu memenuhi kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan untuk anak-anak mereka.

Masih menurut Danim (2008), rendahnya kapabilitas pendidikan baik dalam jumlah maupun dalam mutu di pedesaan menyebabkan anak usia sekolah lebih cenderung memilih pendidikan tingkat tertentu di kota-kota dengan berbagai alasan, seperti ;

a.       kesempatan pendidikan di kota lebih besar,

b.      mutunya relatif tinggi,

c.       mudah daya jangkau,

d.      harga diri,

e.       keinginan menghindari diri dari pekerjaan keluarga dan beberapa alasan lain.

Langkah rasional dan praktis yang mungkin dilakukan untuk menghilangkan kesenjangan itu adalah dengan jalan meningkatkan mutu pendidikan di desa sejalan dengan mudahnya kesempatan memperoleh pendidikan.

3. Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan

Banyaknya macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bansa. Menurut Tirtorahardja dan La Sula (2000), langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan cara inovatif. Adapun cara konvensional antara lain ;

a.       Membangun gedung sekolah seperti : SD Inpres dan atau ruangan belajar,

b.      Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).

Sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat/keluarga yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya. Sedangkan cara inovatif yang bisa ditempuh antara lain ;

a.       Sistem pamong (pendidikan oleh masyarakat, orang tua dan guru).

b.      SD kecil pada daerah terpencil,

c.       Sistem guru kunjung,

d.      SMP Terbuka,

e.       Kejar paket A dan B,

f.       Belajar jarak jauh, seperti Universitas Terbuka.

Upaya pemecahan pemerataan pendidikan di atas merupakan upaya secara umumnya. Sedangkan banyaknya anak yang ingin mengikuti pendidikan di kota biasanya, menurut Danim (2008), menimbulkan sejumlah permasalahan, seperti ;

a.         Keterbatasan fasilitas pendidikan di kota-kota menyebabkan mereka sulit ditampung dan kalaupun dipaksa mereka harus menghadapi kenyataan, harus masuk lembaga pendidikan swasta dengan kemampuan ekonomi orang tua sangat terbatas,

b.        Munculnya masalah-masalah sosial, seperti kejahatan, kenakalan remaja, dan lain-lain,

c.         Dengan adanya anak muda meninggalkan kampung halaman, maka desa akan mengalami kekurangan tenaga kerja. Pada umumnya orang atau anak didik yang tinggal di desa masih dianggap tenaga produktif, dapat membantu orang tua menggarap tanah pertanian, menjadi buruh setengah hari, mengerjakan upah borongan, dan lain-lain,

d.        Dengan bertambahnya anak sekolah di perkotaan berarti harus disediakan pemondokan, hal ini sering meimbulkan kerawanan.

Upaya menggalang keharmonisan dimaksud itu, antara lain dengan jalan ;

1.      Permerataan pendidikan secara kuantitatif,

2.      Pemerataan pendidikan secara kualitatif,

Menurut Danim (2008), beberapa upaya pemerataan kualitas telah dilakukan, baik bersifat teknis maupun konsepsional. Beberapa usaha dimaksud, antara lain ;

1.      pengelolaan buku-buku baik buku paket maupun buku penunjang,

2.      penambahan fasilitas sumber belajar,

3.      penataan proses pendidikan (PBM) yang lebih efektif dan efisien melalui perubahan dalam metodologi, teknik penyampaian infomasi, sistem evaluasi, struktur materi, dan sebagainya,

4.      penataran guru dan para pengelola pendidikan,

5.      perubahan kurikulum dan memasukkan aspek teknologis (sains) ke dalam pendidikan,

6.      pembinaan disiplin karyawan,

7.      dan lain-lain usaha yang berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap upaya perbaikan kualitas pendidikan.

Dengan usaha itu, maka kecenderungan anak usia sekolah pindah ke kota atau dari luar Jawa ke Jawa dimungkinkan dapat dihindari. Sebenarnya masalahnya tidak hanya sampai di situ, akan tetapi juga perlu disertai penyediaan fasilitas lain, seperti fasilitas olah raga, media komunikasi, fasilitas rekreasi, dan lain-lain. Namun demikian faktor-faktor latar belakang siswa sangat menentukan kualitas dalam arti sangat spesifik ada pada masing-masing pribadi. Tidak jarang, orang-orang yang duduk pada posisi puncak (birokrat, tenaga profesional, usahawan, dan sebagainya) berasal dari desa dan dididik di desa pada tingkat awal dan hal ini tentu harus dijadikan cermin.

4. Keserasian Pendidikan

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa Bangsa Indonesia itu berbhineka. Bhineka yang dimaksud di sini tidak sama dengan makna Bhineka Tunggal Ika, seperti yang selalu tertuang pada benda yang jadi pijakan “Burung Garuda”. Berbhineka berarti adanya variasi atau kebhinekaan dilihat dari dimensi keterjangkauan, informasi, mata pencaharian, peluang, mobilitas, kemajuan wilayah, pencapaian pendidikan tertinggi, dan yang tidak pula kalah pentingnya yakni potensi pribadi.

Keserasian kuantitatif relatif mudah direalisasikan, sedangkan keserasian secara kualitatif walau bagaimanapun tidak mungkin, terutama pada tingkat SMA dan Perguruan Tinggi, keserasian keduanya akan tetap meruapakan keremangan.

Menurut Danim (2008), beberapa upaya praktis sebagai jembatan untuk meminimalkan ketidakserasian itu memang ada dan sebagian telah dilakukan, seperti : penataan muatan lokal, penentuan standar kurikulum dan buku paket, penentuan jam belajar, dan lain-lain, pola pengangkatan guru, ketentuan jumlah siswa per kelas, jam mengajar bagi guru, dan lain-lain ditentukan secara sama. Fasilitas sumber informasi umum, sarana transportasi, kebiasaan hidup dan pola persaingan, jangkauan pandang, dan lain-lain akan tetap berbeda secara kontras.

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

1.      Kesenjangan kuantitatif dan kualitatif antara pendidikan di desa dan di kota yang sangat menonjol yaitu terjadi urbanisasi dari desa ke kota pada anak usia sekolah.

2.      Pemerataan pendidikan secara kuantitatif adalah memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara agar dapat memperoleh pendidikan dalam hal ini anak usia sekolah. Pemerataan pendidikan, karenanya ditujukan kepada murid, mengingat besarnya anak usia sekolah di Indonesia.

3.      Pemerataan pendidikan secara kualitatif sangat sukar diukur sebab kualitas itu berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

4.      Keterkaitan antara pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan dengan upaya mengurangi urbanisasi dan segi-segi teknis yang mungkin dilakukan untuk mengatasi masalah itu.

5.      Untuk meminimalkan antara kesenjangan pendidikan di kota dan di desa dalam kualitas maupun kuantitas, diperlukan keserasian pendidikan seperti : penataan muatan lokal, penentuan standar kurikulum dan buku paket, penentuan jam belajar, pola pengangkatan guru, ketentuan jumlah siswa per kelas, jam mengajar bagi guru dan lain-lain ditentukan secara sama.

B.      Saran
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

·        

Achlis, 1992, Praktek Pekerjaan Sosial I, STKS , Bandung Gunarsa, Singgih D, 1988, Pendidikan 9 Tahun, Jakarta, BPK Gunung Mulya. Kartini, Kartono,1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Pelajar, Jakarta, Rajawali. Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta Karnadi MPWK Undip . Permasalahan Pembangunan Prasarana Pendidikan. 10 Nopember 2007, 8:59:24

Marsudi Djojodipuro, 1992, Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI

·         http://randi06.blogspot.com/2010/02/makalah-pendidikan.html

·         Danim, Sudarwan. 2008. Media komunikasi Pendidikan. Bumi Aksara : Jakarta.

·         Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Raja Grafindo Persada : Jakarta.

·         Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Rhineka Cipta : Jakarta.

·         http://tappkipmkng.wordpress.com./2007/05/03.Pemerataan Pendidikan.

·         http://roron.wordpress.com./2007/11/14.Pemerataan Pendidikan.


Page 2