Mengapa pada zaman Neolitikum telah terjadi revolusi kebudayaan?

KOMPAS.com - Revolusi Neolitik adalah transisi budaya manusia selama periode Neolitikum dari gaya hidup berburu dan meramu (food gathering) menjadi bermukim dan memproduksi makanan sendiri dengan bercocok tanam (food producing).

Peralihan zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing.

Istilah ini pertama kali diciptakan pada 1923 oleh V. Gordon Childe untuk menggambarkan revolusi pertanian dalam sejarah Timur Tengah.

Revolusi Neolitik juga dikenal sebagai Revolusi Pertanian atau Transisi Demografis Neolitik.

Bentuk pelajaran dari alam yang terjadi pada masa peralihan Zaman Mesolitikum ke Zaman Neolitikum yang menandakan adanya revolusi kebudayaan pada proses manusia purba mengenal kegiatan bercocok tanam adalah saat masyarakatnya mulai hidup menetap.

Mereka mengamati dan bereksperimen dengan tanaman untuk memelajari bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Pengetahun baru yang mereka dapatkan kemudian memungkinkan terjadinya domestikasi tanaman.

Baca juga: Zaman Mesolitikum: Peninggalan, Manusia Pendukung, dan Ciri-ciri

Oleh karena itu, masa bercocok tanam dianggap sebagai tonggak kemajuan manusia karena terjadi revolusi dari food gathering ke food producing.

Periode ini digambarkan sebagai revolusi untuk menunjukkan pentingnya dan tingkat perubahan yang memengaruhi masyarakat di mana praktik peranian baru diadopsi dan disempurnakan secara bertahap.

Pada masa ini, manusia mulai meninggalkan hidup nomaden untuk tinggal menetap karena telah mengenal budidaya tanaman dan penjinakan hewan.

Periode ini terjadi pada manusia prasejarah dalam kurun waktu berbeda di berbagai wilayah di dunia.

Namun, Revolusi Neolitik pertama diperkirakan terjadi pada Zaman Holosen, sekitar 12.500 tahun lalu.

Baca juga: Zaman Batu: Pembagian, Peninggalan, dan Kehidupan Manusia

Teori pendukung

The Oasis Theory

Teori ini dicetuskan oleh Raphael Pumpelly pada 1908 dan dipopulerkan oleh V. Gordon Childe pada 1928.

The Oasis Theory menyatakan bahwa ketika iklim semakin kering, masyarakat dipaksa untuk berhubungan erat dengan hewan, yang kemudian dijinakkan bersamaan dengan penanaman benih.

Hipotesis Hilly Flanks

Teori yang diusulkan oleh Robert Braidwood pada 1948 ini menunjukkan bahwa pertanian dimulai di lereng berbukit di pegunungan Taurus dan Zagros, di mana iklimnya tidak kering seperti yang diyakini Childe.

Malahan, tanah yang sangat subur mendukung pertumbuhan berbagai tanaman dan penjinakan hewan.

Teori-teori demografis

Teori-teori demografis dikemukakan oleh Carl Sauer dan diadaptasi oleh Lewis Binford juga Kent Flannery.

Teori ini menyatakan bahwa masyarakat yang hidup menetap terus berkembang hingga membutuhkan lebih banyak makanan daripada yang bisa dikumpulkan.

Berbagai faktor sosial dan ekonomi turut mendorong kebutuhan akan makanan.

Baca juga: Zaman Logam: Pembagian dan Peninggalan

Hasil Kebudayaan

Pada masa Revolusi Neolitik, manusia mengenal teknik pertanian yang sederhana, cara budidaya tanaman, dan penjinakan hewan.

Tanaman yang dibiakkan pada masa ini misalnya adalah gandum, padi, kentang, jagung, dan kedelai.

Selain mengembangkan kehidupan agraris, masyarakatnya diduga telah mengenal tradisi pertukaran barang atau dagang dan membuat kerajinan, seperti contohnya tembikar dan lumbung berukuran besar yang digunakan untuk menyimpan hasil panen mereka.

Sebagai tempat berlindung, masyarakatnya mampu membangun tempat tinggal permanen seperti rumah yang sangat sederhana.

Sedangkan alat-alat yang digunakan terbuat dari batu-batu yang telah dihaluskan.

Seperti contohnya kapak lonjong, kapak bahu, kapak persegi, dan mata panah yang telah diasah hingga halus.

Pemukiman dan lahan pertanian yang dibangun oleh masyarakat Neolitik inilah yang menjadi cikal bakal kota-kota dan peradaban tertua di dunia.

Referensi:

  • Eskelner, Mikael. (2019). Dari Revolusi Neolitik hingga Pertanian Kuno. Caceres: Cambridge Stanford Books
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

KOMPAS.com - Zaman Neolitikum atau Zaman Batu Muda adalah periode pada masa prasejarah ketika manusianya menggunakan alat-alat dari batu yang telah dihaluskan.

Pada zaman ini dikatakan terjadi revolusi kebudayaan yang sangat besar dalam peradaban manusia.

Sebab, pada Zaman Neolitikum terjadi perubahan yang cukup mendasar dari meramu atau food gathering menjadi food producing alias membuat makanan sendiri.

Masyarakatnya diduga telah mengenal tradisi pertukaran barang atau dagang, beternak, dan mengembangkan kebudayaan agraris walaupun dalam tingkatan yang masih sangat sederhana.

Selain itu, manusia purba yang hidup pada zaman ini telah membangun tempat tinggal permanen seperti rumah sederhana, membuat kerajinan.

Sementara kehidupan sosial Zaman Neolitikum ditandai dengan masyarakatnya yang telah mengembangkan gotong-royong, membuat aturan hidup bersama, dan memiliki kepercayaan terhadap arwah.

Baca juga: Revolusi Neolitik: Pengertian, Teori Pendukung, dan Hasil Kebudayaan

Ciri-ciri Zaman Neolitikum

  • Alat-alat batu sudah diasah dan dihias
  • Tempat tinggal manusianya sudah menetap
  • Perubahan dari food gathering ke food producing
  • Masyarakatnya mengenal bercocok tanam dan beternak
  • Ditemukannya kebudayaan kapak lonjong dan kapak persegi
  • Masyarakatnya telah mengenal kepercayaan

Manusia pendukung

Manusia yang sudah mulai hidup menetap terdapat pada masa Neolitikum.

Pada zaman ini telah hidup manusia purba jenis Homo Sapiens yang mendukung terjadinya revolusi kebudayaan.

Manusia pendukung kebudayaan Neolitikum adalah manusia Proto Melayu yang hidup pada 2000 SM, seperti Suku Nias, Toraja, Dayak, dan Sasak.

Hasil kebudayaan Zaman Neolitikum

Hasil kebudayaan yang terkenal pada Zaman Neolitikum secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu.

Nama kapak persegi pertama kali disebutkan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat yang ditemukan, yaitu berbentuk persegi.

Kapak persegi berbentuk persegi panjang dan ada pula yang berbentuk trapesium.

Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau cangkul, bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti bentuk cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah.

Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatera, Jawa, dan Bali.

Ada juga peninggalan Zaman Neolitikum semacam kapak persegi yang disebut sebagai kapak bahu.

Bentuk kapak bahu terbilang sama, hanya di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher sehingga menyerupai bentuk botol persegi.

Di Indonesia, kapak bahu hanya ditemukan di Minahasa.

Baca juga: Zaman Batu: Pembagian, Peninggalan, dan Kehidupan Manusia

Kebudayaan Kapak Lonjong

Nama kapak lonjong berasal dari bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong.

Bentuk keseluruhan alat ini lonjong sepeti bulat telur, di mana pada ujungnya yang lancip ditempatkan tangkai dan bagian ujung yang bulat diasah hingga tajam.

Kapak lonjong mempunyai berbagai macam ukuran, yang besar sering disebut walzenbeil, sedangkan yang kecil dinamakan kleinbeil.

Penyebaran jenis kapak lonjong terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, seperti di daerah Papua, Seram, dan Minahasa.

Peninggalan Zaman Neolitikum

Di samping kapak persegi dan kapak lonjong, ditemukan pula peninggalan Zaman Neolitikum yang tidak terbuat dari batu. Berikut ini beberapa contohnya.

Perhiasan

Perhiasan berupa gelang dan kalung dari batu indah banyak ditemukan di Jawa.

Pakaian

Di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu yang biasanya dipakai untuk membuat pakaian.

Dapat diambil kesimpulan bahwa manusia dari Zaman Neolitikum sudah berpakaian.

Tembikar

Peninggalan berupa barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra.

Walaupun hanya berupa pecahan-pecahan kecil, tetapi dapat dilihat bahwa tembikar tersebut sudah dihiasi gambar-gambar yang didapat dengan cara menekankan suatu benda ke tanah yang belum kering.

Di bukit-bukit pasir di pantai selatan Jawa antara Yogyakarta dan Pacitan juga ditemukan banyak pecahan periuk belanga.

Referensi:

  • Soekmono. (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Zaman Neolitikum atau zaman batu muda merupakan fase atau tingkat kebudayaan pada zaman prasejarah yang memiliki ciri-ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan dari batu yang diasah, pertanian menetap, peternakan dan pembuatan tembikar. Pada zaman ini terjadi revolusi kebudayaan dimana, bergantinya pola kehidupan berburu dan meramu (food gathering) menjadi bercocok tanam (food producing).

Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru. Homo Sapiens yang memiliki kemampuan otak yang lebih baik mendorong terjadi perubahan besar pada kehidupan manusia purba terutama memasuki masa food producing. Hal tersebut mempengaruhi alat-alat menjadi lebih halus untuk kebutuhan pertanian seperti kapak persegi yang diberikan gagang kayu mirip seperti pacul

Dengan demikian jawaban yang tepat adalah E.