Mengapa organisasi MIAI tidak dibubarkan pada masa pendudukan Jepang?

YUNIK INDRAWATI - NIM. 03121482, (2008) PERAN MAJELIS ISLAM A'LA INDONESIA (MIAI) DALAM BIDANG KEAGAMAAN DI INDONESIA 1937-1943M. Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Full text not available from this repository.

Abstract

Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) dibantu oleh umat Islam dilatarbelakangi dengan kebijakan Belanda membentuk Undang-Undang perkawinan pada tahun 1937. Undang-Undang tersebut dianggap oleh umat Islam bertentangan dengan umat Syari'at islam, sehingga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang mewakili umat Islamberinisiatif mendirikan MIAI, sehingga pada tahun 1937 didirikanlah Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Kongres al-Islam pertama yang di selenggarakan MIAI pada tanggal 26 Februari-1 Maret 1938 di Surabaya. Pada kongres pertama ini membahas tentang Undang-Undang Perkawinan yang diajukan pemerintah. Masalah ini dibicarakan dalam kongres kesatu antara lain: soal hak waris umat Islam, raad agama, permulaan bulan puasa, dan perbaikan perjalanan haji. Kongres ke-2 lebih banyak mengulang materi kongres pertama. Dengan penekanan pada masalah perkawinan dan artikel yang berisi tentang penghinaan terhadap umat Islam. Untuk masalah penghinaan tersebut, kongres membentuk komisi yang diketuai Persatuan Islam Indonesia (PERSIS), dengan maksud untuk melakukan penelitian terhadap masalah tersebut dan mempersiapkan pembelaannya. Kongres ke-3 di selenggarakan di Solo pada tanggal 7-8 Juli 1941. Pada kongres ini, materi yang dimusyawarahkan tentang perjalanan haji, tempat shalat di Kereta Api, penerbitan surat kabar MIAI, Fonds MIAI, zakat fitrah, raad agama, dan tranfusi darah. Sebagai fedarasi yang didirikan dengan tujuan untuk mempersatukan umat Islam dan konflik-konflik keagamaan. Kegiatan keagamaan MIAI mulai nampak sejak kekuasaan kolonel Belanda digeser oleh Jepang. Hal ini tidak lepas dari politik Jepang terhadap umat Islam yang berpolitik.Peran MIAI cukup besar dalam mempersatukan umat Islam di dalam suatu komunitas umat yang berlandaskan dengan al-Qur'an dan sunnah, sehingga perbedaan yang timbul pad asaat itu mengenai hal-hal keagamaan dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya perdebatan yang panjang antara umat Islam sendiri., sehingga umat Islam tidak terpecah-belah pada saat penjajah melakukan penindasan terhadap mereka. Pada tahun 1943 MIAI dibubarkan, karena penjajah yang berkuasa pada saat itu menganggap MIAI sudah tidak relevan dengan kebijakan penjajah. Oleh sebab itu dibuat kebijakan baru yang bisa mengakomodasi kebijakan penjajah terhadap umat Islam. Untuk merealisasikannya, maka diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi baru yang menjadi salah satu tempat aspirasi umat Islam. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Historis untuk mengkaji Peran Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) Dalam Bidang Keagamaan.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Pembimbing I : Drs. H. Jahdan ibn Hurnam, S.Ms. Pembimbing II: Siti Maimunah, S.Ag., M.Hum.
Uncontrolled Keywords: Peran, Majelis Islam A'la, Keagamaan, Indonesia
Depositing User: Edi Prasetya [edi_hoki]
Last Modified: 04 May 2012 23:39
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/792

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

Mengapa organisasi MIAI tidak dibubarkan pada masa pendudukan Jepang?
View Item

KOMPAS.com - Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tak menyukai umat Islam di tanah jajahannya.

Masalah ini dimanfaatkan oleh Jepang ketika mengambil alih Nusantara dari tangan Belanda. Jepang ingin mengambil simpati muslim agar mau mendukung Jepang dalam perang melawan negara-negara Barat.

Untuk itu, Jepang menghidupkan kembali MIAI, federasi ormas Islam yang didirikan oleh KH Mas Mansyur dan rekan-rekannya pada 1937 di Surabaya.

Namun MIAI akhirnya mati lagi. Jepang menggantikannya dengan Masyumi. Berikut sejarah singkat MIAI dan Masyumi seperti dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019):

Baca juga: Jawa Hokokai, Organisasi Pergerakan pada Masa Pendudukan Jepang

Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)

Pada Mei 1942, Kolonel Horie, pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama yang dibentuk oleh Jepang mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam dari seluruh Jawa Timur di Surabaya.

Horie ingin berkenalan dengan para pemuka agama Islam. Ia hendak meminta umat Islam tidak melakukan kegiatan politik.

Di Jawa Barat, Kolonel Horie mengerahkan para pembantunya, orang Jepang yang beragama Islam, seperti Abdul Muniam Inada serta Moh Sayido Wakas agar secara bergiliran mengunjungi beberapa masjid besar di Jakarta untuk mengadakan ceramah dan khotbah Jumat.

Sebagai gantinya, Jepang mengarahkan ulama dan umat Islam mencurahkan kegiatan keagamaan dan keumatannya lewat organisasi.

MIAI pada masa pendukung Jepang diperbolehkan berkembang karena Jepang membutuhkan bantuan dan tenaga umat Islam.

Baca juga: Putera, Organisasi Propaganda Jepang Pimpinan Empat Serangkai

MIAI bertujuan agar ormas-ormas Islam yang bernaung di bawahnya bisa memobilisasi umat untuk keperluan perang.

Jepang pun mengaktifkan kembali MIAI pada 4 September 1942. Markasnya di Surabaya dipindah ke Jakarta.

Adapun tugas MIAI saat itu yakni:

  1. Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat
  2. Indonesia.
  3. Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
  4. Ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

MIAI membuat sejumlah program yang berfokus pada pergerakan Islam. Mereka berencana membangun Masjid Agung di Jakarta dan mendirikan universitas.

Baca juga: Gerakan Tiga A dan Propaganda Jepang

Namun Jepang tak menyutujuinya. Jepang hanya menyetujui rencana MIAI membentuk baitulmal atau lembaga pengelola amal.

MIAI terus berkembang menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.

Pada bulan Mei 1943, MIAI juga berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Ir Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah.

Pada 1943, MIAI bahkan diperbolehkan menerbitkan majalahnya yaitu Soeara MIAI. MIAI pun mendapat simpati yang luar biasa dari umat Islam.

Baca juga: Pemerintahan Sipil Jepang di Indonesia

Melihat hal itu, Jepang menjadi waspada terhadap perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul di Baitulmal disalurkan ke umat alih-alih diserahkan ke Jepang.

Para tokoh Islam di daerah sempat diawasi. Jepang sampai mengadakan pelatihan bagi para kiai selama satu bulan.

Dari hasil pelatihan kiai itu, pemerintah Jepang berkesimpulan bahwa para kiai tidak membahayakan kedudukan Jepang di Indonesia. Namun MIAI tidak berkontribusi terhadap perang Jepang.

MIAI akhirnya dibubarkan pada November 1943 dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Baca juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira?

Masyumi

Masyumi didirikan pada November 1943. Ketua Pengurus Besarnya KH Hasyim Asy'ari. Wakilnya dari Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim, dan Kartosudarmo.

Sementara Wakil Masyumi dari Nahdatul Ulama yakni KH Nachrowi, Zainul Arifin, dan KH Muchtar.

Masyumi berkembang dengan cepat karena di setiap karesidenan ada cabangnya. Tugas Masyumi di antaranya meningkatkan hasil bumi dan mengumpulkan dana.

Masyumi jadi wadah bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat.

Masyumi juga berani menolak budaya Jepang yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satunya yakni seikerei atau posisi membungkuk 90 derajat ke arah Tokyo.

Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan

Ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah menolak sebab umat Islam hanya melakukan posisi itu ketika rukuk saat shalat dan menghadap kiblat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Mengapa organisasi MIAI tidak dibubarkan pada masa pendudukan Jepang?

Latar belakang diaktifkannya kembali MIAI karena Jepang ingin mengambil simpati umat muslim Indonesia agar mau mendukung Jepang dalam perang melawan negara Barat. Hal ini karena pemerintah Belanda tak menyukai umat Islam di Indonesia dan masalah ini dimanfaatkan oleh Jepang. Untuk itu, Jepang menghidupkan kembali MIAI pada tahun 1942, federasi umat Islam yang didirikan oleh KH. Mas Mansyur di Surabaya tahun 1937, disaat organisasi pergerakan lain yang bersifat politis dibubarkan. Berdasarkan penjelasan tersebut jawaban yang tepat adalah D.