Mengapa kita harus bekerja dan berusaha Padahal Allah sudah menjamin rezeki bagi semua makhluk Nya?

Rezeki itu harus dijemput dengan cara berusaha.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap manusia telah memiliki rezekinya masing-masing, Allah SWT telah menjamin akan hal itu. Rezeki bisa berupa harta, teman, keluarga, hingga jodoh.

Pakar tafsir terkemuka Quraish Shihab mengatakan, Allah SWT memang telah menjamin setiap rezeki umat-Nya. Kendati demikian, rezeki itu harus dijemput dengan cara berusaha.

“Kalau anda tidak bergerak (berusaha), bagaimana anak-istri anda? Jodoh pun, harus diusahakan,” kata Quraish, di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, Sabtu (30/11) lalu.

Beliau menyebutkan bahwa di dalam Alquran pun Allah SWT telah menegaskan perihal penjaminan rezeki setiap hambanya. Di dalam Surah Hud, penggalan ayat 6, Allah SWT berfirman:

“Wa min dabbatin fil-ardhi illa ‘alallahi rizquha wa ya’lamu mustaqoroha wa mustawda’aha kullu fi kitabin mubin. Yang artinya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhil Mahfuz),” katanya mengutip Surah Hud, penggalan ayat 6.

Jaminan rezeki dari Allah SWT kepada setiap manusia adalah jaminan yang pasti. Allah SWT dengan segala sifat rahman dan rahimnya tak akan melupakan barang satu makhluk ciptaan-Nya pun di bumi dalam perkara rezeki.

Hal ini dicontohkan dengan bagaimana burung-burung yang terbang pada pagi hari dari sangkarnya dalam keadaan lapar. Dan kembali pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang. Usaha yang dilakukan burung itulah yang kemudian disebut sebagai usaha mencari jaminan yang telah diberikan Allah SWT.

Berusaha, lanjut beliau, adalah upaya mendatangkan rezeki. Sedangkan usaha dalam proses menghasilkan rezeki tersebut dapat bermuara kepada perolehan hasil rezeki yang beragam.

Adapun sebaik-baiknya rezeki adalah yang diperoleh dari usaha yang baik (halal), dan dapat dimanfaatkan kepada seluas-luasnya orang atau minimal diri dan keluarga sendiri. Sebaliknya, beliau menyebut, jika seorang manusia telah berusaha namun rezeki itu ternyata tidak bermanfaat, maka itu bukanlah rezekinya.

Kendati Allah telah membagi-bagi rezeki kepada setiap manusia, kerap kali syaithan datang untuk menggoda manusia. Godaan tersebut umumnya datang di kala manusia mencari rezeki dengan bisikan untuk melakukan dengan cara-cara yang tak direstui Allah.

Pada umumnya masyarakat kerap kali muncul istilah rezeki yang berkah dan rezeki yang tidak berkah. Terkait hal ini, beliau memaparkan dengan rinci terlebih dahulu arti berkah itu sendiri.

Menurutnya, berkah adalah melimpahnya kebaikan dari sesuatu yang sedikit dari yang biasanya. “Sedikit yang anda peroleh bisa jadi lebih baik dari pada banyak yang diperoleh orang lain,” ungkapnya.

Beliau pun menggarisbawahi bahwa hendaknya setiap umat tidak mengukur rezekinya dengan ukuran materi. Karena, seperti yang telah diuangkapkan di atas, rezeki sudah pasti tak hanya berbentuk sebuah materi.

“Misalnya, menjemput rezeki itu bisa berupa mencari jodoh. Jemput jodoh ada caranya, seperti dandan yang baik, berilmu yang baik, berkarir yang baik. Cara-caranya yang baik, cari jodohnya halal,” katanya.

Perkara mencari rezeki yang baik memang kerap dianjurkan agama. Untuk itu, agar rezeki yang dihasilkan dapat bernilai berkah, ada baiknya membaca doa berikut di pagi hari sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dalam hadis riwayat Imam An-Nasa’i berikut.

“Allahumma ma asbahabi min ni’matin aw biahadin min khalkiqa faminka wahdaka, la syarika lakal hamdu wa lakal syukru. Yang artinya: “Ya Allah, pada pagi ini apakah ini nikmat yang ada padaku atau setiap makhuk-Mu, semuanya dari-Mu? Milik-Mu segala pujian dan kepada-Mu terima kasih kami,” ujarnya mengutip Hadis riwayat Imam An-Nasa'i.

Doa ini juga berarti adab dalam pengertian akidah dan tauhid bahwa, akhlak kita perlu terus di-upgrade sebelum kita memulai aktivitas mencari rezeki. Sebab, manusia adalah makhluk yang lemah namun unik bagi Allah. Sehingga segala usaha yang diperbuat manusia, akan selalu diawasi Allah dengan segenap cinta kasih-Nya yang tak berujung.

KLIK PENDIDIKAN - Ketika manusia itu sudah berada di rahim seorang ibu, maka mulai dari sanalah Allah SWT telah menetapkan rejeki hamba tersebut.

Ini adalah salah satu bentu rasa sayang Allah SWT kepada hambanya sehingga telah ditetapkan rejeki bagi tiap-tiap hamba.

Dan Allah SWT tidak akan menukar dan rezeki tiap orang tidak akan ada yang tertukar, hal ini sebab Allah SWT telah menetapkannya.

Baca Juga: Ustad Abdul Somad Menjelaskan Tentang Hukum Pacaran Dalam Islam, Simak Penjelasannya

Maka sudah patutlah kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala kenikmatan yang diberikan kepada kita hambannya.

Lantas mengapa manusia masih harus bekerja padahal rezeki Allah sudah mengaturnya? Berikut ini penjelasan Ustaz Adi Hidayat.


Banyak orang berpikir mengapa kita masih saja harus bekerja jika rezeki sudah ditetapkan oleh yang diatas.

Baca Juga: Amalan yang Tepat Dilaksanakan Saat Hati Sedang Gundah Menurut Ustad Hanan Attaki

Sementara itu manusia yang hidup di dunia ini dianjurkan untuk mencari rezeki salah satunya dengan bekerja.

Pada dasarnya bekerja merupakan salah satu usaha manusia dalam mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhanya.

Hal itu dapat beripa uang sebagai upah yang diterima setelah mengeluarkan tenaga dan pikiran dalam pekerjaan tertentu yang dilakukan.

Baca Juga: Jauhi Dosa Zina, Begini Penjelasan Ustad Abdul Somad

Lantas, mengapa manusia masih harus bekerja jika rezeki sudah ditentukan?

Untuk meluruskan pertanyaan itu, mari simak penjelasan Ustaz Adi Hidayat dilansir klikpendidikan.com yang dibagikan melalui kanal Youtube Fanas Ustadz Berbakat berikut.

Terkait antara bekerja dan rezeki, Ustaz Adi Hidayat memberi ketegasan melalui kandungan dari ayat Alquran.


Page 2

Baca Juga: Menjelang Bulan Suci Ramadhan, Lakukan Hal Ini Ketika Ziarah Kubur Orang Tua, Kata Ustad Abdul Somad

Rezeki sudah ditetapkan, betul, ada di Quran surah ke-51 ayat 22," ujar Ustaz Adi Hidayat.

Di dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa rezeki sudah ditetapkan dan dijanjikan oleh Allah akan diberikan kepada tiap hambanya.

"Jadi mustahil ada manusia yang lahir ke muka bumi ini tanpa rezeki itu mustahil," ungkap Ustaz Adi Hidayat.

Baca Juga: Inilah 5 Hal yang Harus Diketahui Sebelum Ziarah Kubur Menjelang Bulan Ramadhan, Kata Ustad Abdul Somad

Kalau rezeki sudah ditetapkan sebelum seseorang dilahirkan ke dunia dan pasti akan diberikan di dunia, lantas mengapa kita masih harus kerja?

UAH memperkuat penjelasannya dengan kandungan Quran surah Al Baqarah ayat 168.

Didalamnya disebutkan bahwa manusia dipersilakan bekerja dan beraktivitas di muka bumi untuk mencari makan yang halal dan baik, Jelas UAH dalam Ceramahnya.****


Page 3

KLIK PENDIDIKAN - Ketika manusia itu sudah berada di rahim seorang ibu, maka mulai dari sanalah Allah SWT telah menetapkan rejeki hamba tersebut.

Ini adalah salah satu bentu rasa sayang Allah SWT kepada hambanya sehingga telah ditetapkan rejeki bagi tiap-tiap hamba.

Dan Allah SWT tidak akan menukar dan rezeki tiap orang tidak akan ada yang tertukar, hal ini sebab Allah SWT telah menetapkannya.

Baca Juga: Ustad Abdul Somad Menjelaskan Tentang Hukum Pacaran Dalam Islam, Simak Penjelasannya

Maka sudah patutlah kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala kenikmatan yang diberikan kepada kita hambannya.

Lantas mengapa manusia masih harus bekerja padahal rezeki Allah sudah mengaturnya? Berikut ini penjelasan Ustaz Adi Hidayat.


Banyak orang berpikir mengapa kita masih saja harus bekerja jika rezeki sudah ditetapkan oleh yang diatas.

Baca Juga: Amalan yang Tepat Dilaksanakan Saat Hati Sedang Gundah Menurut Ustad Hanan Attaki

Sementara itu manusia yang hidup di dunia ini dianjurkan untuk mencari rezeki salah satunya dengan bekerja.

Pada dasarnya bekerja merupakan salah satu usaha manusia dalam mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhanya.

Hal itu dapat beripa uang sebagai upah yang diterima setelah mengeluarkan tenaga dan pikiran dalam pekerjaan tertentu yang dilakukan.

Baca Juga: Jauhi Dosa Zina, Begini Penjelasan Ustad Abdul Somad

Lantas, mengapa manusia masih harus bekerja jika rezeki sudah ditentukan?

Untuk meluruskan pertanyaan itu, mari simak penjelasan Ustaz Adi Hidayat dilansir klikpendidikan.com yang dibagikan melalui kanal Youtube Fanas Ustadz Berbakat berikut.

Terkait antara bekerja dan rezeki, Ustaz Adi Hidayat memberi ketegasan melalui kandungan dari ayat Alquran.

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa rezeki memang sudah diatur oleh Allah swt sejak masih dalam kandungan. Lalu, mengapa manusia masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari? Sekelumit problematika dalam menyikapi persoalan yang tidak berbanding lurus dengan realitas ini dijawab dalam buku yang berjudul Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja karya dari Imam Al-Muhasibi.


Imam Al-Muhasibi adalah seorang sufi yang karya-karya fokus terhadap tasawuf yang berorientasi terhadap psikologi moral. Ia berhasil memadukan antara, ilmu, tasawuf dan hakikat. Maka tidak salah, jika jika Prof Abdul Kadir Riyadi menyebut kitab al-Makasib ini sebagai kitab yang membahas “Etika Ekonomi”. Sedangkan, Luis Massignnon mengategorikan pemikiran tasawuf Al-Muhasibi ke dalam genre moral psychology yaitu tasawuf yang merambah ke wilayah psikologi moral.


Kitab ini penting menjadi rujukan masyarakat hari ini karena terdapat beberapa relevansi dengan kehidupan nyata masyarakat yaitu sikap-sikap yang perlu disemai agar masyarakat tidak hanya berpikir bagaimana mendapatkan harta yang banyak, tetapi juga bagaimana cara masyarakat untuk mendapatkannya. Tidak hanya tentang mendapatkan harta itu sendiri, tetapi memperhatikan dan mempertimbangkan bagaimana harta itu didapatkan.


Di dalam buku ini, Imam Al-Muhasibi menyebutkan kiat-kiat cara mengonversi ikhtiar duniawi agar bernilai ukhrawi, mendapatkan rezeki halal dan berkah, menjelaskan secara rinci alasan syariat dan logika mengapa kita harus tetap berusaha mencari rezeki, motivasi untuk menjadikan kerja menjadi ibadah, serta mengurai bagaimana konsep “Allah telah mengatur rezeki manusia” dengan mudah dipahami oleh pembaca.


Buku terjemahan ini diawali dengan penjelasan bagaimana memahami hakikat ketentuan rezeki sesuai dengan keterangan yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadits. Salah satu penjelasan Al-Qur’an di antaranya adalah bagaimana menanamkan sikap tawakal dalam diri manusia. Karena sejatinya, kewajiban seorang Muslim sesudah Allah mencukupi rezekinya adalah menggunakan akal pikirannya untuk bertadabbur dan merenungkan penciptaan langit dan bumi, dan menumbuhkan sikap yang positif dalam dirinya (halaman 22). Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnu Athaillah As-Sakandari bahwa akal diciptakan untuk mengatur dan memikirkan urusan ibadah, bukan untuk mengurusi rezeki. Allah telah menjamin rezeki bagi setiap makhluknya.


Dengan demikian, melalui Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ para ulama, Allah telah menjelaskan bahwa manusia harus bekerja sesuai dengan perintah Allah. Jika tidak, sudah ada argumentasi (hujjah) yang tegas menyatakan kekeliruan mereka. Sebab itulah, perintah ini bukan hanya semata-mata bekerja akan tetapi juga mencari rezeki dengan tata cara yang benar seperti tidak melanggar batas-batas syariat, menerapkan prinsip wara’ dalam berbisnis, berkarya dan dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan, maka otomatis telah taat kepada Allah dan menjadi orang yang terpuji (halaman 40).


Buku ini menghadirkan kisah-kisah keteladanan dari para sahabat Nabi dalam menafkahi keluarganya. Sebagaimana kebijakan Abu Bakar As-Shiddiq saat menjadi khalifah agar menganjurkan umat Islam untuk bekerja dan mencari nafkah. Sebab bekerja untuk kebutuhan keluarga adalah perbuatan yang paling utama, paling merekatkan kekerabatan, dan ketaatan paling tinggi. Bahkan, Abu Bakar As-Shiddiq berujar, “aku tidak ingin menanggung dosa atas kelalaianku terhadap keluargaku (bila tidak sampai aku nafkahi). Berikan aku gaji yang layak!” (halaman 55). Kemudian ditentukanlah gaji yang layak untuk Abu Bakar oleh Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib agar dia fokus mengatur urusan umat Islam saat kewajiban menafkahi keluarga sudah terpenuhi.


Disebutkan pula di dalam buku ini tentang perdebatan di kalangan para ulama antara bekerja dan tidak bekerja. Ada sebagian ulama yang mengatakan agar tidak bekerja dengan alasan bahwa Allah telah mencukupi rezeki setiap makhluk sehingga bekerja atau berusaha menyiratkan keraguan atas jaminan Allah. Akan tetapi, pandangan ini bertentangan dengan argumen-argumen rasional dan dalil-dalil sahih yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Rasulullah telah mencontohkan dalam urusan tawakal agar tetap melakukan ikhtiar (halaman 61).


Imam Al-Muhasibi menegaskan bahwa Allah telah memastikan keutamaan bagi seseorang yang bekerja, dan Rasul-Nya telah memberi tuntunan bahwa bekerja bisa mendekatkan hati kepada Allah dan dapat menambah nilai ibadah, hati yang berserah diri kepada Allah pasti mendorongnya untuk bekerja sebagai bentuk kepatuhan kepada-Nya. Maka seharusnya bekerja tidak melemahkan frekuensi hati untuk mendekatkan diri dengan Allah (halaman 75).

 

Penjelasan etika dalam bekerja secara profesional dan proporsional di dalam buku ini dibuktikan dengan beberapa alasan ulama, kisah-kisah para sahabat, dan dalil Al-Qur’an. Dilengkapi dengan penjelasan bagaimana bersikap tawakal dan wara’ dalam menghadapi sesuatu yang masih subhat serta beberapa strategi para ulama dalam mendekati dan mendapatkan pemberian dari pemerintah.


Membaca buku ini dengan utuh akan mendapatkan kebijaksanaan bahwa rezeki yang sudah ditakar oleh Allah perlu untuk diikuti dengan sikap ikhtiar dan wara’ dalam mendapatkannya. Tidak hanya bagaimana kita mendapatkan rezeki, akan tetapi dengan cara dan strategi yang diperbolehkan oleh syariat. Hal ini dilakukan agar bekerja menjadi benar-benar bernilai ibadah di hadapan Allah dan mendapatkan keberkahan di tengah-tengah kehidupan umat manusia.


Peresensi adalah Abdul Warits, mahasiswa Pascasarjana Studi Pendidikan Kepesantrenan, Instika, Guluk-Guluk Sumenep Madura


Identitas buku

Judul: Jika Tuhan Mengatur Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?

Penerjemah: Abdul Majid, Lc

Penerbit: Turos Pustaka

Cetakan: Juli, 2022

Tebal: 181 halaman

ISBN: 978-623-732-77-07