Menganggap suku sendiri lebih baik dari suku lain dapat mengakibatkan


Sukuisme adalah paham yang mengagung-agungkan suku bangsa sendiri dan tidak menghargai suku bangsa lain. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], sukuisme adalah paham atau praktik yang mementingkan suku bangsa sendiri.

2. Primordialisme


Primordialisme adalah paham yang memandang daerah asalnya lebih baik dari daerah lain. Dalam KBBI, primordialisme diartikan sebagai pandangan yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di lingkungan pertamanya.

3. Chauvinisme


Chauvinisme adalah paham yang mengagung agungkan bangsa/negara sendiri dan memandang rendah bangsa lain [nasionalisme yang sempit]. Chauvinisme mengakibatkan penjajahan dari satu bangsa ke bangsa lain.

KBBI mengartikan chauvinisme secara singkat dengan sebuah kecintaan terhadap tanah air yang sangat berlebihan.

4. Ekstremisme

Ekstremisme adalah paham/keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan yang melampaui batas kewajaran dan bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Berdasarkan KBBI, ekstremisme adalah keadaan atau tindakan menganut paham ekstrem berdasarkan pandangan agama, politik, dan sebagainya.

Perbedaan dengan Nasionalisme dan Patriotisme

Meski sukuisme, chauvinisme, primordialisme, dan ekstremisme merupakan sikap yang bisa mengancam, namun setiap warga negara terutama Indonesia bisa mengatasinya dengan menumbuhkan sikap positif untuk mempertahankan persatuan bangsa.


Adapun sikap positif yang bisa mempertahankan persatuan bangsa antara lain:

1] Nasionalisme

Nasionalisme adalah paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki rasa kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa.

Contoh sikap nasionalisme antara lain mematuhi dan menaati hukum, melestarikan budaya, mempertahankan produk dalam negeri, membanggakan negara dan seterusnya.


2] Patriotisme


Patriotisme adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.

Contoh sikap patriotisme adalah menjaga kerukunan atau ketertiban, menyanyikan lagu-lagu nasional dan memahami maknanya, mengikuti upacara bendera pada hari Senin maupun hari besar nasional, dan seterusnya.

Nah, itulah penjelasan mengenai sikap sukuisme, chauvinisme, primordialisme, dan ekstremisme. Agar bisa menghindari sikap tersebut maka detikers harus memupuk jiwa nasionalisme dan patriotisme ya!

Simak Video "Polri Amankan 392 Terduga Teroris Sepanjang 2021 "



[pal/pal]

Menganggap kebudayaan dari sukunya lebih baik dari suku lain dapat menimbulkan

4 hours ago

Etnosentris? Benar atau Salah?

8 Juli 2020 11:27 |

Diperbarui: 22 Februari 2021 00:21


Wajar rasanya jika seseorang yang berasal dari suatu kelompok, ras, dan suku bangsa tertentu akan muncul rasa cinta dan bangga kepada kelompoknya serta terhadap budaya yang mereka miliki, hal ini sebenarnya memberikan dampak yang sangat positif bagi keberlangsungan komunitasnya di masa depan, generasi muda yang cinta akan identitas lokalnya sangat berperan sebagai pemegang estafet dalam lingkup menjaga kelestarian dari kebudayaan yang mereka miliki, namun hal ini juga bukan berarti menjadi tembok penghalang untuk mereka generasi muda menerima kemajuan zaman seperti yang saat ini terjadi.

Kita semua paham bahwa kebudayaan yang diwariskan oleh para leluhur kita kerap kali memiliki nilai seni, filosifi, bahkan religi. Sehingga tidak heran jika pemerintah begitu gencar memberikan perhatian khusus kepada aset negeri yang sangat berharga ini, dengan cara melakukan program-program yang pada intinya bertujuan untuk tetap menjaga eksistensi dari kebudayaan itu sendiri.

Salah satunya berupa pameran seni, perkenalan budaya dengan melakukan pertunjukkan hingga keluar negeri dan masih banyak lagi yang semua itu merupakan bentuk usaha memperkenalkan budaya kita kepada orang lain serta menghindari dari kepunahan budaya itu sendiri.

Rasa bangga dan kecintaan terhadap suku bangsa, bahasa daerah, serta berbagai macam kebudayaan yang dimiliki bukanlah suatu kesalahan, akan tetapi hal yang demikian dapat mejadi bencana jika dilakukan dengan cara yang berlebihan, maksud dari kata "berlebihan" disini adalah timbulnya rasa ego yang kemudian memberikan penilaian secara pribadi kepada suku bangsa, dan bahasa orang lain dengan penilaian yang lebih rendah dari pada sukunya sendiri. Hal ini dapat menjadi bom waktu jika dibiarkan terus terjadi.


Rasa bangga yang berlebihan seperti inilah yang kemudian condong kepada sikap etnosentris. Jika kita pelajari kembali, istilah etnosentris mulai dikenal pada awal abad ke-20, dan memiliki definisi sebagai sikap atau pandangan yang mengarahkan para pemeluk paham ini untuk menganggap budaya sendiri lebih baik daripada budaya lain dan mereka menilai budaya lain hanya berdasarkan nilai-nilai dan standar budaya sendiri.

Etnosentris kerap kali menjadi penyebab cara berfikir yang salah tetang budaya sendiri dan budaya kelompok etnis lain di masa lalu. Cara pandang etnosentrisme yang sangat berlebihan itu pernah menjadi pemicu adanya superioritas dan inferioritas yang dicontohkan oleh bangsa Arya terhadap bangsa dan penduduk asli India. Budaya Arya dianggap lebih tinggi karena dianggap masih berkaitan dengan budaya Eropa atau budaya Barat yang dianggap lebih unggul daripada budaya Timur.

Di Indonesia sendiri, paham etnosentris sangat tidak cocok untuk dikembangkan, mengingat negara ini merupakan negara yang majemuk dengan keanekaragaman suku bangsa, dan bahasa, serta adat budaya yang berbeda pula. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup dalam harmoni toleransi sehingga tak heran jika kehidupan pluralisme di Indonesia dinilai kondusif, karena rasa saling menghormati dan menghargai masih dijunjung tinggi sebagai pelindung dari perpecahan.

Mengingat semakin hari semakin meningkatnya globalisasi, maka pengaruh berupa adanya pertemuan antara budaya satu dengan budaya lainnya yang terkadang saling berasimilasi dan hidup berdampingan menuntut kita untuk belajar mengatasi pemikiran egois kita dan melihat masyarakat manusia dari perspektif yang lebih luas dengan mengakui adanya relativisme budaya, dan tidak menghakimi budaya lain dengan standar budaya sendiri.

29 Februari 2020 20:36 |

Diperbarui: 29 Februari 2020 20:41


Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum kita memahami apa itu etnosentrisme-relativisme kultural, baiklah kita melihat peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. mungkin dari beberapa pembaca telah mengetahui, bahwasanya di dalam suku batak toba, terdapat tradisi yang mungkin dianggap "nyeleneh" bagi masyarakat etnis lain yang melihatnya.

Tradisi tersebut adalah proses pemakaman orang yang telah meninggal, atau disebut tradisi Saur Matua. Seperti yang dikemukakan oleh Vivi Hotmiani sidauruk [dalam tulisannya di kompasiana], bahwasnya masyarakat batak memperlakukan orang mati dengan khusus, dimana kematian orang batak dilakukan dengan pesta dan sukacita.

Yang bisa dijadikan alasan mengapa dikatakan sukacita, karena pada prosesi tersebut, ada momen di mana mereka menari [manortor] sambil mengelilingi jenazah. ini bertolak belakang dengan kebudayaan etnis yang lain, yang biasanya mereka menangis atau berduka saat ada orang yang meninggal. Bahkan orangtua saya pun merasa heran dengan prosesi seperti itu.

Sikap manusia yang merasa heran dengan prosesi pemakaman tersebut dapat dikatakan sebagai Etnosentrisme. Pada dasarnya, Etnosentrisme adalah paham yang dimiliki oleh individu suatu suku bangsa yang menganggap bahwa kebudayaan suku itu lebih baik ataupun bertolak belakang dengan kebudayaan suku yang lain.

Menurut Harris [1985], etnosentrisme merupakan kecenderungan bahwa individu menganggap kelompoknya lebih baik dibandingkan kelompok lain yang dianggap liar, inhuman, menjijikkan bahkan tidak rasional.

Menurut penulis, ada beberapa faktor yang mendukung individu mempunyai paham etnosentrisme, yaitu ikatan primordial yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, interaksi sosial yang cenderung "berjalan di tempat", kurangnya pengetahuan yang dimiliki individu dan keadaan individu untuk menutup diri dari kebudayaan luar.

berbeda dengan etnosentrisme, Relativisme kultural berbanding terbalik dengan etnosentrisme. Secara garis besar, Relativisme Kultural adalah paham dimana semua unsur dari suatu kebudayaan bersifat relatif bagi setiap orang. tidak ada yang benar dan salah, namun relatif. artinya, apa yang kita lakukan di suatu ruang lingkup kebudayaan tertentu belum tentu benar di ruang lingkup kebudayaan lain. Contohnya, saat di pantai.

Bila seorang wanita memakai bikini pada saat musim panas di amerika dan negara negara di eropa, itu adalah hal yang wajar. Namun, ketika wanita tersebut menggunakan bikini di pantai di Aceh, itu adalah suatu hal yang buruk, karena tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di Aceh.

Menurut Jaya dan Arafat [2017] Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati {Donelly [dalam Jaya dan Arafat, 2017]}. Sebagai salah satu Mahasiswa di Program Studi Pendidikan Antropologi Universitas Negeri Medan, penulis bersifat anti terhadap etnosentrisme, dan lebih menganut paham relativisme kultural.

Lalu, bagaimanakah dengan masyarakat di Indonesia? Apakah masyarakat di Indonesia bersifat etnosentrisme atau relativisme kultural? sejak bangsa dan negara ini berdiri, sebenarnya para pendiri bangsa sudah berada di jalan yang benar, yaitu dengan membentuk ideologi pancasila, dan UUD 1945. pada lambang garuda pancasila, terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "berbeda beda tetapi tetap satu jua. artinya, semua suku adalah bagian dari indonesia.

Tidak ada Etnis yang superior, ataupun inferior. semua suku bangsa harus saling bahu membahu untuk membangun indonesia. terbukti dalam pergerakan pemuda pemudi indonesia dalam lahirnya Sumpah Pemuda, yang memunculkan jong java, jong sumatranen bond, jong ambon, jong celebes, dan lain sebagainya. namun, kenyataannya di abad ke-21 ini, masih banyak individu yang menganggap sukunya lebih baik dari suku yang lain.

Halaman Selanjutnya

Salomo Panjaitan dalam Jurnal Darma Agung [2013] menjelaskan bentuk-bentuk primordialisme sebagai berikut.

1. Primordialisme Suku

Primordialisme suku adalah suatu sifat kekeluargaan yang didasarkan pada suku. Seseorang lebih terikat pada sukunya sendiri daripada suku lainnya. Misalnya, orang Jawa yang tinggal di Papua lebih cenderung terikat dengan sukunya dan tidak mau mengikuti suku Papua.

Bentuk primordialisme suku menunjukkan kecenderungan dalam memilih atau mendahulukan orang-orang yang berasal dari suku yang sama apabila terdapat suatu kepentingan. Oleh sebab itu, primordialisme suku juga bisa diartikan sebagai pengelompokan yang terjadi dalam masyarakat yang didasarkan pada suku asalnya.

Baca Juga

2. Primordialisme Agama

Primordialisme agama adalah suatu sifat yang memegang teguh pada agama yang dianutnya dan cenderung membentuk kelompok [fanatik] berdasarkan agamanya serta menganggap aliran agamanya paling benar.

Penganut paham primordialisme agama menganggap agama yang dianutnya paling benar dan tidak menerima pendapat dari agama lain. Jika dalam satu agama terdapat organisasi kemasyarakatan, maka masing-masing orang yang mengikuti kelompok tersebut cenderung fanatik dengan kelompoknya.

Baca Juga

3. Primordialisme Kedaerahan

Primordialisme kedaerahan merupakan sifat kekeluargaan dan kesukuan yang didasarkan pada asal daerah seseorang di mana ia lebih terikat dengan daerahnya sendiri dibandingkan daerah lain.

Misalnya seperti dalam menyewa rumah kontrakan atau kos, mahasiswa cenderung hanya ingin tinggal dengan teman dari daerahnya sendiri. Contoh lainnya terlihat dalam pemilihan ketua organisasi.

Sebuah organisasi terdiri dari anggota yang berasal dari berbagai daerah. Penganut paham primordialisme kedaerahan akan memilih calon ketua atau pemimpin yang memiliki asal daerah sama dengannya.

Dampak Positif dan Negatif dari Primordialisme

Menurut Koentjaraningrat dalam Moeis [1993], sikap primordialisme memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Dampak positif primordialisme meliputi:

  • Meneguhkan perasaan cinta tanah air.
  • Mempertinggi kesetiaan terhadap bangsa.
  • Meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme.
  • Menjaga keutuhan dan kestabilan budaya.

Baca Juga

Adapun dampak negatif primordialisme antara lain:

  • Mengganggu kelangsungan hidup suatu bangsa.
  • Menghambat modernisasi dan proses pembangunan.
  • Merusak integrasi internasional.

Video yang berhubungan