Makna penerapan demokrasi liberal yang pernah dijalankan Indonesia adalah

Sistem demokrasi liberal di Indonesia pernah berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Jadi, Indonesia tidak selalu dipimpin oleh presiden, ada kepala negara dan kepala pemerintahan. Bahkan Indonesia juga pernah dipimpin oleh perdana menteri alih-alih presiden.

Hal ini terjadi ketika Indonesia memiliki sistem demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal diterapkan di indonesia dalam kurun waktu tahun 1950 sampai 1959. Sistem ini didasarkan pada hak individu.

Jadi, setiap warga mempunyai hak untuk berkuasa dalam demokrasi jenis ini tanpa memandang latar belakang, baik itu asal suku maupun agama. Lebih lengkapnya mengenai liberal, akan dijelaskan pada pembahasan berikut.

Penerapan Sistem Demokrasi Liberal di Indonesia yang Pernah Berlangsung

Sekarang ini, presiden menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun, pada zaman dahulu keduanya pernah memiliki perannya masing-masing. Apa beda keduanya? Kepala negara merupakan wakil negara, tingkat domestik maupun internasional.

Perannya akan menjadi representasi wilayah yang dipimpin. Jabatan ini tidak hanya ditempati oleh presiden, tapi juga raja seperti pada negara monarki, contohnya Inggris dan Arab Saudi. Sedangkan kepala pemerintahan berperan memimpin jalannya pemerintahan negara.

Biasanya jabatan ini ditempati oleh perdana menteri pada wilayah yang menganut sistem parlementer. Sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia yang pernah berlangsung adalah parlementer.

Pada saat itu pengangkatan jabatan perdana menteri dilakukan oleh presiden. Sedangkan penempatan badan legislatif saat itu lebih tinggi dibandingkan eksekutif. Ciri-ciri sistem demokrasi liberal di Indonesia, yaitu meliputi:

1. Adanya Kebebasan Individu

Ciri pertama yaitu adanya kebebasan individu. Salah satu implementasi dari kebebasan individu ini adalah dalam hal politik. Mengingat sistem demokrasi liberal di Indonesia saat itu memiliki banyak sekali partai.

Misalnya partai asas Islam ada lebih dari 3 jumlahnya, yaitu NU, Masyumi, Pergerakan Tarbiyah Indonesia dan PSI atau Partai Syarikat Islam. Banyaknya partai yang muncul karena kebebasan individu memang harus diberikan fasilitas.

2. Kekuasaan Pemerintah Terbatas

Pada demokrasi liberal, kekuasaan pemerintah terbatas. Hal ini bertujuan agar pemerintahan tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu saja. Sehingga, tetap terjadi check and balance yang diberlakukan.

3. Seluruh Masyarakat Boleh Berpartisipasi dalam Politik

Ciri sistem demokrasi liberal di Indonesia selanjutnya adalah seluruh masyarakat boleh berpartisipasi dalam politik, tanpa memandang latar belakang dari mana berasal. Partisipasi ini terlihat dari banyaknya partai yang terbentuk pada pemilu tahun 1955.

Pemilu tersebut merupakan yang pertama berlangsung di Indonesia. Kala itu pesertanya sangat beragam, bahkan tidak hanya partai saja, tapi ada juga yang menjadi peserta sebagai individu. Beberapa partainya seperti PKI, PSI, Acoma, Murba dan lain-lain.

4. Dilaksanakannya Pemilu Periode Tertentu

Pemilu pada sistem demokrasi liberal di Indonesia ini dilaksanakan pada periode tertentu dan secara rahasia. Kegiatan ini menjadi sangat penting karena sebagai jalan para peserta parpol untuk menduduki tempat di pemerintahan.

5. Pemerintahan Bisa Membentuk Hukum Sesuai Suara Mayoritas Parlemen

Ciri terakhir yaitu pemerintah bisa membentuk hukum sesuai suara mayoritas parlemen. Pemerintahan dikepalai perdana menteri dalam sistem demokrasi terpimpin. Biasanya perdana menteri ini asalnya dari pemenang pemilu.

Sedangkan pada demokrasi liberal, banyak kebijakan yang berubah. Apalagi mengingat pergantian kabinet sering terjadi. Dalam kurun waktu 9 tahun saja, kabinet sudah mengalami 7 kali pergantian.

Selain ciri-ciri, Anda juga perlu memahami kelebihan serta kekurangan sistem demokrasi liberal di Indonesia. Setiap sistem tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, begitu juga dengan demokrasi liberal ini.

Kelebihannya yaitu kekuasaan pemerintah lebih mudah diawasi karena terbatas, perbedaan pandangan bisa terkelola karena seluruh pihak boleh membuat sendiri partainya. Sedangkan untuk kekurangannya bagi kawasan politik, terlalu banyak partai tidak selalu berdampak baik.

Kekurangan lainnya dari sistem demokrasi liberal di Indonesia yaitu pembuatan partai lebih fokus terhadap cara mempertahankan kekuasaan. Jadi, tidak fokus dalam pembuatan kebijakan, padahal stabilitas itu penting.

Sistem tersebut akhirnya mengalami kegagalan karena tidak sesuai dengan kultur atau budaya bangsa Indonesia. Suasana yang ditimbulkan cenderung tidak kondusif karena kebebasan mengekspresikan seluruh pandangan serta paradigmanya.

Bila dipaksakan tetap diterapkan, akan membuat bertabrakan dengan budaya asli Indonesia yang menjunjung tinggi sopan santun dan etika. Mengingat sistem demokrasi liberal di Indonesia saat itu juga masih lemah, dengan sikap feodalistik sangat kuat.

Meta Keyword: Sistem demokrasi liberal di Indonesia, penerapan sistem demokrasi liberal di Indonesia, sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, ciri-ciri sistem demokrasi liberal di Indonesia
Meta Deskripsi: Sistem demokrasi liberal di Indonesia pernah berlangsung dalam kurun waktu tertentu, ciri utamanya adanya kebebasan individu dan kekuasan pemerintah terbatas.

tirto.id - Indonesia sempat menganut sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer. Namun, penerapan sistem demokrasi ini tidak bertahan lama. Berikut ini sejarah masa Demokrasi Parlementer di IndonesiaSejarah sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer atau Liberal diterapkan di Indonesia pada 1950-1959. Ketika menganut sistem ini, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh perdana menteri bersama presiden sebagai kepala negara.Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan di mana parlemen negara punya peran penting. Pada sistem ini, rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur urusan politik dan boleh membuat partai.
Tokoh-tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya Demokrasi Parlementer atau dikenal juga sebagai Demokrasi Liberal di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut keduanya, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.

Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122) menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.

Penerapan Demokrasi Parlementer

Tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan bentuk negara hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan dengan Belanda, resmi dibubarkan.

Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2015:48) menyebutkan bahwa RIS kemudian diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seiring dengan itu, sistem pemerintahannya pun berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Menurut tulisan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96), pada masa Demokrasi Parlementer, muncul partai-partai politik baru yang bebas berpendapat serta mengkritisi pemerintahan.

Kendati awal kelahiran semua partai ini merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan persaingan tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan ketika masa itu Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan.

Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Secara garis besar, kabinet-kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan perdana menteri.

Setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Berikut ini ketujuh masa tersebut:

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan.Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas.

Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi.

PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.
2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952) PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi.Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen. Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)

Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis.Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.
6. Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat , otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya.Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)

Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.

Akhir Demokrasi Parlementer

Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara.

Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.