Kebijakan apa saja yang diambil Presiden Soeharto dalam proses pembangunan di sektor ekonomi pada era Orde Baru?

KOMPAS.com - Orde Baru berlangsung dari 1966-1998 di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. 

Meskipun Indonesia mengalami pembangunan pesat selama Orde Baru, tetap ada sejumlah masalah perekonomian yang dihadapi bangsa.

Ada masalah inflasi, utang luar negeri, dan ketimpangan. Puncaknya yakni krisis moneter di tahun 1998 yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan Soeharto.

Baca juga: Kabinet Ali Sastroamijoyo I: Susunan, Program Kerja, dan Pergantian

Masalah

Kebijakan ekonomi Orde Baru diarahkan pada pembangunan di segala bidang.

Namun, pada pelaksanaannya tidak sesuai aturan sehingga berdampak pada kesenjangan ekonomi yang besar di masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh kebijakan ekonomi serta pembangunan yang dilakukan pemerintah sudah baik, tetapi tidak bersifat merata, sehingga muncul kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin.

Di awal pemerintahan Soeharto menjabat, ia dihadapkan oleh masalah yang cukup sulit di bidang ekonomi, yaitu:

  • Hiperinflasi hingga 650 persen
  • Utang luar negeri
  • Melonjaknya harga kebutuhan pokok
  • Kerusakan sarana dan prasarana
  • Rendahnya pendapatan per kapita penduduk Indonesia, hanya mencapai 70 dollar AS.

Baca juga: Kabinet Wilopo: Latar Belakang, Susunan, dan Program Kerja

Program atau Kebijakan

Untuk mengatasi permasalahan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru, pemerintah pun mengeluarkan beberapa kebijakan atau program untuk menanggulanginya, yaitu:

Program Jangka Pendek

Program ini dibuat berdasarkan dari Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 dengan dua cara:

Stabilitas

  1. Menyusun APBN Berimbang
  2. Pinjaman Luar Negeri

Rehabilitasi

Menjamin keamanan para investor asing

Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan sehingga stabilitas ekonomi juga tercapai serta kegiatan ekonomi dapat pulih sehingga produksi meningkat.

Program Jangka Panjang

Pada 1 April 1969, pemerintah Orde Baru mengeluarkan landasan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita sendiri dibagi menjadi lima periode, sebagai berikut:

Pada Repelita I pemerintah fokus melakukan rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha serta investasi.

Pembangunan sector pertanian menjadi prioritas guna memenuhi kebutuhan pangan sebelum membentuk sektor-sektor lain.

  • Repelita II (1979 – 1979) dan Repelita III (1979-1984)

Pada Repelita II dan III, pemerintah fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, serta pemerataan pembangunan dengan melakukan penekanan pada sector pertanian dan industry.
Sehingga pada 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras yang tadinya menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar dunia pada tahun 1970-an.

  • Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989 – 1994)

Selain berusaha untuk mempertahankan kemajuan sector pertanian, pada periode ini juga mulai berfous pada sektor industri khususnya industri barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, pengolahan hasil pertanian, dan menghasilkan mesin industri.

Program-program baru yang muncul pada Orde Baru dapat dikatakan memberikan hasil yang signifikan, akan tetapi masih ada sisi negatif yang juga muncul, salah satunya ketimpangan pertumbuhan antar ekonomi daerah dan antar golongan pekerjaan.

Krisis Moneter 

Krisis Moneter menghantam Asia pada 1997, tak terkecuali Indonesia. 

Pada bulan Juli 1997 otoritas moneter Indonesia memperluas perdagangan mata uang rupiah yang semula hanya 8 persen menjadi 12 persen. 

Kemudian pada 14 Agustus 1997, rupiah diserang secara hebat, sehingga nilai rupiah pun semakin melemah. 

Rupiah dan Bursa Efek Jakarta menyentuh titik terendah mereka pada bulan September 1997. Utang perusahaan semakin meningkat, terjadi inflasi, dan peningkatan besar harga bahan pangan. 

Melemahnya sektor keuangan di Indonesia ini semakin membuat kondisi perekonomian di Indonesia merosot, terlebih saat krisis sudah terjadi.

Demi mengatasi krisis ini, Indonesia pun mengajukan pinjaman langsung ke bank asing.

Namun, cara ini tidak menjamin Indonesia terlepas dari krisis moneter, justru krisis tetap meluas, karena faktor utama terjadinya krisis bukan dari sektor perbankan.

Terjadi demonstrasi besar-besaran yang memprotes pemerintah. Bahkan kerusuhan dan penjarahan berlangsung di mana-mana.

Situasi yang sangat panas ini akhirnya membuat Presiden Soeharto mundur pada 12 Mei 1998.

Baca juga: Kabinet Burhanuddin Harahap: Latar Belakang, Susunan, dan Kebijakan

Referensi:

  • Syukur, Abdul dan Diana Nomida Musnir. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Kebijakan apa saja yang diambil Presiden Soeharto dalam proses pembangunan di sektor ekonomi pada era Orde Baru?

Pemerintahan Soeharto mewariskan kondisi ketidak stabilan ekonomi, sosial dan politik . Tim ekonomi orde baru dibawah kepeminpinan wakil perdana menteri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan bantuan teknis dana moneter internasional atau international monetary found (IMF) menyiapkan

sejumlah langkah yang mendesak guna menstabilkan ekonomi nasional.

Dalam menghadapi tingginya inflasi dan menggerakkan kembali roda perekonomian, pemerintah menyusun rencana program stabilisasi ekonomi komprehensif yang diberi nama Paket Kebijakan

Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (Paket Oktober 1966).

Paket tersebut terdiri dari 4 fokus kebijakan antara lain, kebijakan ‘dekontrol’ merombak sistem komando menjadi mekanisme pasar, dengan Dengan membekukan peran investasi asing dan dalam negeri serta menerbitkan UU Penanaman Modal Asing/PMA (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN (1968). Kebijakan Disiplin Fiskal dan Anggaran Berimbang yang menekankan penghematan belanja Negara dan subsisi, kemudian kebijakan moneter sebagai pengendali uang beredar, yakni dengan menaikkan suku bunga bank, suku bunga kredit (rata-rata naik 6-9 persen

perbulan),Suku bunga simpanan (rata-rata naik 5 persen perbulan).

Memulihkan neraca pembayaran juga menjadi kebijakan ekonomi dengan cara memperlancar ekspor impor, sitem kurs tunggal melalui mekanisme pasar, meningkatkan arus dana masuk, dan negosiasi

utang luar negeri.

Atas kebijakan tersebut, Di era Soeharto Inflasi mengalami penurunan dari angka 635,3 persen pada tahun 1966 menjadi 9,9 persen pada tahun 1969. Uang yang beredar pun berkurang dari 763 persen (1966) menjadi 121 (1968). Pengurangan beredarnya uang dilakukan dengan cara menekan penciptaan

uang melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan kredit bank.

Kebijakan apa saja yang diambil Presiden Soeharto dalam proses pembangunan di sektor ekonomi pada era Orde Baru?

Pada pertengahan tahun 1960an, kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai keadaan yang sangat buruk. Perekonomian Indonesia menderita karena kekacauan politik yang dipicu oleh Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia. Masalah-masalah ekonomi tidak menjadi perhatian utama bagi Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari kebijakan-kebijakannya yang memberikan dampak negatif pada perekonomian adalah pemutusan hubungan dengan negara-negara Barat (dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan mencegah negara ini dari menerima bantuan-bantuan asing yang sangat dibutuhkan) dan deficit spending melalui pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di luar kendali. Namun, setelah Suharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di pertengahan 1960an, kebijakan-kebijakan ekonomi mengalami perubahan arah yang radikal.

Pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru Suharto bisa dibagi dalam tiga periode, setiap periode dikenali dengan kebijakan-kebijakan spesifiknya yang ditujukan untuk konteks ekonomi spesifik. Periode-periode ini adalah:

Pemulihan ekonomi (1966-1973)


Pertumbuhan ekonomi secara cepat dan intervensi Pemerintah yang semakin kuat (1974-1982)
 Pertumbuhan didorong oleh ekspor dan deregulasi (1983-1996)

Pemulihan Ekonomi (1966-1973)

Yang menjadi misi dasar pemerintahan Orde Baru Suharto adalah pembangunan ekonomi; langkah pertama adalah reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia dengan cara bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an. Ini memulai aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara-negara Barat dan Jepang masuk ke Indonesia. Permusuhan dengan Malaysia (politik konfrontansi Soekarno) juga dihentikan. Langkah kedua adalah memerangi hiperinflasi. Suharto mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi (sebagian besar dididik di Amerika Serikat) untuk membuat sebuah rencana pemulihan ekonomi. Di akhir 1960an stabilitas harga diciptakan melalui sebuah kebijakan yang melarang pendanaan domestik dalam bentuk hutang domestik ataupun pencetakan uang. Kemudian sebuah mekanisme pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua udang-undang ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para investor untuk berinvestasi di negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.

Pertumbuhan Ekonomi Cepat dan Intervensi Pemerintah yang Makin Kuat (1974-1982)

Sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5% dijaga. Fakta lain yang juga penting adalah Indonesia diuntungkan secara siginifikan dari dua oil boom yang terjadi di tahun 1970an. Oil boom yang pertama terjadi di tahun 1973/1974 ketika Organization of Petroleum-Exporting Countries (OPEC), yang anggotanya termasuk Indonesia, memotong ekspornya dengan drastis dan menyebabkan kenaikan harga minyak yang besar. Oil boom kedua terjadi di tahun 1978/1979 ketika Revolusi Iran mengganggu produksi minyak dan kembali terjadi kenaikan harga yang besar. Karena kedua oil boom ini, pendapatan ekspor Orde Baru dan pendapatan Pemerintah meningkat tajam. Ini memungkinkan sektor publik untuk memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian dengan melakukan investasi-investasi publik yang penting dalam pembangunan daerah, pembangunan sosial, infrastruktur dan pendirian industri-industri (dasar skala besar), diantaranya termasuk industri-industri substitusi impor. Barang-barang modal dan bahan-bahan mentah bisa diimpor karena pendapatan devisa yang makin membesar. Hal ini membangkitkan sektor manufaktur yang berkembang. Namun, kemudian terjadi kerusuhan besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang di tahun 1974 karena anggapan bahwa ada terlalu banyak proyek-proyek investasi asing di negara ini. Masyarakat Indonesia merasa frustasi karena orang-orang pribumi tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah perekonomian. Pemerintah merasa terguncang karena kerusuhan ini (yang dikenal sebagai Peristiwa Malari) dan memperkenalkan aturan-aturan yang lebih ketat mengenai investasi asing dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakukan khusus yang menguntungkan penduduk pribumi. Meningkatnya pendapatan pemerintah yang didapat dari oil boom pertama berarti Pemerintah tidak lagi bergantung pada investasi-investasi asing, dan karenanya pendekatan intervensionis bisa dimulai.

Pertumbuhan Ekonomi Didorong Ekspor dan Deregulasi (1983-1996)

Pada awal 1980an, harga minyak mulai jatuh lagi dan reposisi mata uang di tahun 1985 menambah hutang luar negeri Indonesia. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha baru untuk memulihkan stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah didevaluasi di tahun 1983 untuk mengurangi defisi transaksi berjalan yang bertumbuh, UU pajak yang baru diterapkan untuk menambah pendapatan dari pajak non minyak dan tindakan-tindakan deregulasi perbankan dilakukan (credit ceilings untuk suku bunga dihapuskan dan bank diizinkan untuk menentukan tingkat suku bunga dengan bebas). Terlebih lagi, perekonomian telah diarahkan ulang dari perekonomian yang tergantung kepada minyak kepada sebuah perekonomian yang memiliki sektor swasta yang kompetitif yang berorientsi pada pasar ekspor. Ini menyebabkan adanya tindakan-tindakan deregulasi baru untuk memperbaiki iklim investasi bagi para investor swasta. Waktu harga minyak jatuh lagi di pertengahan 1980an, Pemerintah meningkatkan tindakan-tindakan untuk mendukung pertumbuhan yang didorong oleh ekspor (seperti pembebasan bea cukai-bea cukai impor dan pengulangan devaluasi rupiah). Perubahan kebijakan-kebijakan ini (dikombinasi dengan paket deregulasi di tahun 1990an) juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia. Investasi asing yang berorientasi pada ekspor disambut secara khusus.

Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam adalah sektor keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-bank yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing bebas beroperasi di luar Jakarta. Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir 1990an. Namun sebelumnya, tindakan-tindakan ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian Indonesia. Ekspor produk-produk manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia. Antara 1988 dan 1991 produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh rata-rata 9% setiap tahunnya, melambat menjadi 'hanya' rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun selanjutnya.

Masalah-masalah di Horison

Penjelasan di atas memberikan gambaran positif tentang perekonomian pada masa Orde Baru. Memang betul bahwa perekonomian berkembang dengan cepat dan bersama dengan itu ada perbaikan-perbaikan dalam pembangunan sosial (walapun dalam kecepatan yang lebih lambat). Secara khusus, pengurangan kemiskinan absolut adalah pencapaian Pemerintah yang luar biasa. Di pertengahan 1960an setengah dari populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan namun pada tahun 1996, angka ini telah berkurang menjadi 11% dari total populasi Indonesia. Kendati begitu, gaya pemerintahan Pemerintah Orde Baru mengimplikasikan konsekuensi-konsekuensi berbahaya yang akan memuncak pada Krisis Finansial Asia pada akhir 1990an.

Yang menjadi isu pertama adalah inti dari karakteristik pemerintahan Orde Baru. Orde Baru adalah rezim otoriter yang didukung militer dan tidak menghormati hak asasi manusia. Selama periodenya yang lebih dari 3 dekade, Pemerintah tampaknya semakin tidak selaras dengan warganegaranya. Pembuatan keputusan-keputusan politik dan ekonomi pada dasarnya direbut dari masyarakat umum dan diberikan kepada sekelompok kecil elit pendukung Suharto. Namun, karena masyarakat Indonesia menjadi lebih berpendidikan berkat perkembangan-perkembangan sosial, kalangan-kalangan berpendidikan secara natural ingin suara mereka didengar dan berpartisipasi baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Meskipun begitu, Suharto tidak mendukung hal ini dan menempatkan lebih banyak batasan dalam masyarakat Indonesia (contohnya dengan pembatasan demonstrasi mahasiswa yang hanya bisa dilaksankan di dalam universitas-universitas saja). Kemacetan politik ini menimbulkan frustasi berat dalam sebagian besar dari populasi Indonesia.

Kedua - dan terkait dengan paragraf-paragraf sebelumnya - Orde Baru baru berdasarkan pada sistem nepotisme dan korupsi membuat sekelompok kecil elit pendukung Suharto luar biasa diuntungkan dalam menikmati manisnya buah-buah perekonomian negara. Kelompok ini terutama terdiri dari mitra-mitra bisnis keturunan Tionghoa (mendorong sentimen etnis) dan kemudian anak-anak Suharto juga ikut di dalamya. Janji-janji keterbukaan dan transparansi kebijakan Pemerintah tak pernah dipenuhi. Terlebih lagi, korupsi membuat ekonomi tidak bisa berfungsi efektif. Hal ini akan terungkap ketika Krisis Asia terjadi di tahun 1997.

Ketiga - juga berhubungan dengan paragraf-paragraf sebelumnya - sistem finansial sudah mulai kehilangan kontrol setelah tindakan-tindakan deregulasi di sektor perbankan di akhir 1980an. Dengan sedikit batasan-batasan untuk membuka bank dan cabang-cabangnya, menjadi semakin sulit untuk memonitor aliran uang dalam sistem perbankan Indonesia. Kekurangan data finansial yang serius, peraturan dan kerangka hukum yang lemah dan aliran uang ilegal berkontribusi pada fakta bahwa Indonesia mengalami pukulan paling keras saat Krisis Keuangan Asia melanda Indonesia.

Bacalah detail penjelasan mengenai Krisis Keuangan Asia.