Karya al ghazali dalam bidang tasawuf yang sangat terkenal adalah

Jakarta, CNN Indonesia --

Abu Hamid Al-Ghazali merupakan sastrawan sekaligus pemikir muslim yang memberikan kontribusi besar dalam keilmuan Islam. Hampir setengah dari usianya, ia habiskan untuk mendalami pengetahuan dan mengajarkan pengetahuan hingga banyak tokoh dunia terpukau oleh Al-Ghazali lewat, karya-karya, dan ajaran sufistiknya.

Mengutip tulisan Ahmad Atabik dalam jurnal Fikrah yang terbit 2014, Abu Hamid Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam.

Untuk gelarnya itu, nama Al-Ghazali masyhur karena perannya sebagai pendebat yang membela soal kebenaran Islam, terutama dari para filsuf batiniah. Argumentasinya yang juga ia tulis dalam ratusan kitab dinilai sangat mengagumkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia lahir di Thusi atau yang sekarang dekat Meshed yakni salah satu daerah di Iran pada tahun 450 H. Di tempat ini pula ia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H dalam usia yang relatif belum terlalu tua yaitu 55 tahun.

Ia mengenal sufisme dari ayahnya yang juga menekuni sufi, dan menjadi ahli tasawuf yang hebat di wilayahnya. Sebelum ajalnya tiba, ia berwasiat kepada sahabat dekatnya seorang ahli sufi bernama Ahmad bin Muhammad Al-Rozakani agar dia bersedia mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad.

Sepeninggal ayahnya, Al-Ghazali kecil belajar berbagai keilmuan dari beberapa tokoh besar sufisme seperti Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Razakani, Imam Abi Nasar Al-Ismaili, Imam Al-Haramain. Dari tokoh-tokoh tersebut, Abu Hamid al-Ghazali mendalami fiqih madzhab, ushul fiqih, manthiq, ilmu kalam, dan filsafat.

Tak hanya untuk dirinya sendiri, Imam Al-Gazali juga membagikan ilmunya dengan mengajar di beberapa perguruan tinggi, mulai dari Baghdad hingga Damaskus. Ia juga selalu hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari suasana baru, guna mendalami pengetahuan dan sisi religius dalam dirinya.

Selain aktif mengajar, Al-Ghazali merupakan salah seorang ulama besar yang sangat produktif dalam menulis buah pemikirannya. Kitab-kitab tersebut berisi berbagai ilmu yaitu ilmu kalam, tafsir Al-Qur'an, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, fiqih, filsafat, dan lainnya.

Abdurrahman al-Badawi, tokoh yang terakhir meneliti tentang jumlah judul buku yang menjadi karya oleh Al-Ghazali membuat klasifikasi kitab-kitab Al-Ghazali menjadi tiga kelompok.

Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan keasliannya sebagai karya Al-Ghazali terdiri dari 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya asli Al-Ghazali terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.

Adapun karya Al-Ghazali yang paling monumental adalah kitab Ihyal Ulum al-Din, yakni sebuah kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esoterik Islam.

Kitab ini dikarang Al-Ghazali selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Baitul Maqdis, Makkah dan Thus. Kitab ini merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu, diantaranya fiqih, tasawuf dan filsafat.

Kitab lain yang juga terkenal adalah Maqashid al-Falasifat. Kitab ini berisi tentang ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq atau logika, fisika, dan ilmu alam.

Karya Al-Ghazali ini memaparkan tentang tiga persoalan pokok dalam filsafat Yunani (logika, metafisika dan fisika) dengan bahasa yang sederhana. Dengan demikian kitab ini dapat memudahkan para pemula yang mengkaji filsafat Yunani, dengan susunan yang sistematis dan bahasanya yang sederhana serta mudah dicerna.

Tahafut al-Falasifah adalah kitab dari Al-Gazali yang mengemukakan tentang pertentangan dalam ajaran filsafat pada masa klasik dengan filsafat yang dikembangkan oleh filsuf muslim seperti Ibnu Sin dan Al-Farabi, serta ketidaksesuaiannya dengan akal.

Dalam kitab ini Al-Ghazali menunjukkan beberapa kerancuan pemikiran para filsuf Yunani terutama Aristoteles dan para pengikut mereka. Meski demikian, bukan berarti Al-Ghazali meniadakan filsafat dengan Islam dalam Tahafut al-Falasifah.

Sebaliknya, ia justru menambahkan khasanah yang lebih beragam dalam kajian filsafat dan kaitannya dengan Islam pada masa itu.

Di antara karya lain di bidang filsafat, logika dan ilmu kalam, maupun tasawuf antara lain, Mi'yar al-ilmi, Jawahir Al-Qur'an, Mizan Al-'Amal, Misykat Al-anwar, dan Faishal al-Tafriq baina al-Islam wa Al-Zindaqh.

Khusus untuk Misykat Al-anwar, banyak sekali edisi terjemahannya yang dilakukan oleh para sarjana muslim dunia. Karya Al-Ghazali ini lebih dari menuliskan tafsir Surat An-Nur ayat 35. Ghazali mentakwilkan atau meta-tafsir dari ayat-ayat tersebut.

Sementara karya kitab masyhur lainnya yang kerap menjadi pegangan untuk ilmu akhlak atau etika hidup adalah Ihya' Ulumuddin. Kitab ini bersama dengan Ihya' Ulumuddin masuk dalam rumpun kitab-kitab tasawuf Imam Al-Ghazali.

Karya-karya tersebut menjadi objek penelitian bagi akademisi, mulai dari kalangan umat Islam, maupun dari kalangan non-muslim.

(nly/bac)

[Gambas:Video CNN]

tirto.id - Imam Al-Ghazali adalah ulama dan pemikir besar dalam Islam. Selain menjadi akademisi, Al-Ghazali kesohor sebagai ahli tasawuf. Karyanya yang bertajuk Ihya Ulumuddin merupakan warisan intelektual abadi yang terus dipelajari hingga sekarang. Di masa mudanya, Al-Ghazali amat haus pada ilmu pengetahuan. Ia dikenal sebagai sosok polimatik, pandai di berbagai disiplin pengetahuan, mulai dari Tafsir Al-Quran, Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, dan lain sebagainya. Pemahamannya yang kuat menjadikan Al-Ghazali sebagai sosok intelektual terkenal di Iran kala itu. Atas prestasinya di bidang akademik, pada usia 34 tahun, Al-Ghazali diangkat menjadi rektor Universitas Nizhamiyah.
Nama asli Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi. Ia lahir di Thus, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil, Al-Ghazali sudah menjadi yatim karena ditinggal wafat ayahnya. Perjalanan hidupnya yang keras menjadikannya pembelajar tekun untuk menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman di masa itu. Awalnya, ia menuntut ilmu di negerinya sendiri, Iran. Al-Ghazali muda belajar fikih Imam Syafi'i, serta dasar-dasar logika. Setelah dirasa cukup, ia pun merantau ke Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah, Al-Ghazali menyerap secara mendalam ilmu logika, filsafat, tafsir, hadis, dan lain sebagainya.

Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali kemudian mengunjungi menteri Nizamul Mulk dari pemerintahan Dinasti Seljuk. Karena kapasitas ilmunya yang luar biasa, Nizamul Mulk menghormati Al-Ghazali sebagai ulama besar.

Pada saat bersamaan, ulama di masa itu juga mengakui ketinggian dan keahlian Al-Ghazali. Nizamul Mulk kemudian mengutus Al-Ghazali untuk mengajar di Universitas Nizhamiyah pada 484 H/1091 M.

Dalam masa pengabdiannya di dunia akademik, Al-Ghazali banyak menulis karya-karya ilmiah, termasuk buku filsafat menumental bertajuk Tahafut Al-Falasifah yang menerangkan kekeliruan filosof-filosof muslim di masa itu.

Namun, di tengah produktivitas akademik, Al-Ghazali malah mengalami krisis rohani. Padahal, ia sangat terkenal di masa itu dan sudah menjabat sebagai rektor Universitas Nizhamiyah, salah satu universitas tertua di dunia yang terletak di Iran. Merespons kekeringan jiwanya itu, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad ke Syam secara diam-diam. Pekerjaan mengajarnya ia tinggalkan dan ia pun memulai hidup sederhana, zuhud, dan warak. Di masa menyepinya itu, Al-Ghazali mendalami tasawuf dan menyimpulkan bahwa kebenaran yang hakiki dapat ditempuh melalui jalan sufistik. Inti dari ajaran tasawuf yang dilakoni oleh Al-Ghazali adalah tasawuf akhlaki untuk perbaikan akhlak.

Laman NU Online menuliskan bahwa konsep dari tasawuf akhlaki Al-Ghazali adalah hablum minallah (hubungan baik dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan baik dengan manusia). Jika sudah menempuh dua jalan tersebut, menurut Al-Ghazali, seorang muslim sudah menjadi sufi, tanpa harus mengenakan atribut kesufian, seperti jubah, bertongkat, janggut lebat, dan lain sebagainya.

Berikut ini sejumlah inti dari ajaran tasawuf menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip dari Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf yang ditulis oleh Ahmad Zaini.

1. Jalan (At-Thariq)

Jalan tasawuf yang dapat ditempuh seorang muslim terbagi menjadi lima jenjang (maqamat), yaitu tobat, sabar, kefakiran, zuhud, dan tawakal.

Kelima jenjang itu harus harus dilakoni dengan hidup menyendiri atau setidaknya diam sejenak, mengintrospeksi diri untuk membina kalbu agar tidak tergoda pada kenikmatan duniawi.

2. Makrifat

Makrifat adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam hal ini, pengetahuan yang dimaksud adalah zat Allah SWT dan sifat-sifatnya. Mencapai makrifat adalah esensi dari taqarrub atau pendekatan diri seorang hamba pada Tuhannya.

Sarana untuk mencapai makrifat, menurut Al-Ghazali adalah kalbu yang suci, bukan dari perasaan atau akal budi. Kalbu dalam tasawuf adalah percikan rohaniah ilahiah yang merupakan inti dari hakikat manusia. Kalbu yang suci ini akan menuntun pada hati nurani yang bersih. Namun, makrifat ini tidak boleh hanya bersandar pada intuisi semata, melainkan juga harus sejalan dengan syariat (Al-Quran dan hadis), serta bertujuan untuk menyempurnakan moral dan akhlak manusia.

3. Tingkatan Manusia

Dalam tasawuf Al-Ghazali, terdapat tiga tingkatan manusia, yaitu orang awam yang cara berpikirnya sederhana sekali, kaum pilihan yang berpikir tajam dan mendalam atau golongan khawas, dan kaum ahli debat yang dapat mempersuasi orang dan mematahkan argumen (al-mujadalah).

Dari tiga tingkatan tersebut, yang paling umum adalah golongan pertama dan kedua, yaitu orang awam dan orang khawas. Orang awam sering kali hanya dapat membaca tanda-tanda dan pengetahuan yang tersirat. Sementara itu, orang khawas dapat membaca yang implisit dan melihat gagasan di balik suatu peristiwa.

4. Kebahagiaan

Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir dari jalan sufi, sebagai buah perkenalannya dengan Allah SWT. Dalam konsep tasawuf, kebahagiaan itu dapat hadir melalui ilmu dan amal. Ketika seorang manusia paham dan mengerti suatu konsep, serta mempraktikkannya, maka ia akan menemukan kebahagiaan. Contohnya, permainan catur akan sangat memusingkan bagi orang yang tidak paham tata aturan permainannya. Sebaliknya, pecatur yang paham teori dan konsepnya akan menikmati permainan tersebut. Kebahagiaan permainan catur hanya dapat diraih melalui pengetahuan dan praktik bermain catur tersebut. Bagi Al-Ghazali, kehidupan manusia ini pun tak berbeda dari konsep catur di atas. Jika seseorang memiliki pengetahuan dunia dan akhirat, maka ia akan sampai pada kebahagiaan yang hakiki. Selain itu, bukankah kehidupan dunia ini juga permainan belaka, sebagaimana tergambar dalam surah Muhammad ayat 36:

"Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu," (QS. Muhammad [47]: 36).