Jelaskan apakah cat dapat digunakan sebagai alat komunikasi

BAHASA SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI PUBLIK

DAN PEMBANGUNAN WACANA

Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor Bidang Akademik, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris,

Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Jalan Gajayana No. 50 Telepon (0341) 551354, Faksimile (0341) 572533 Malang 65144

Abstract

Language is the most important tool we have for effective human

communication, and the efficacy of communication is therefore directly

related to the quality of this oral communication medium. The

effectiveness of communication depends on several factors, the most

important of which are the contents of the communication, the parties

involved in the communication and the setting in which the

communication takes place. Bad communication can lead to a complete

breakdown in relationship and cause misunderstandings which quite

often lead to conflicts between elements in the social structure. Effective

communication has a very important role in creating an environment for

reasoned debat, discussion and understanding in global society, and in

this regard the current American approach to creating conducive to

reasoned debate on the issue of global terrorisme is hypothesized to be

in the less-than-effective category.

Key words

Human, Communication, Discource

Pengantar

Salah satu hal yang memungkinkan manusia membangun

peradabannya adalah bahasa. Bahasa mempunyai kedudukan yang

sangat penting. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi jika manusia tidak

mempunyai bahasa. Bahasalah yang memungkinkan manusia hidup

dan berkembang sebagaimana yang dapat kita saksikan hingga saat ini.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa ibarat udara yang

setiap saat dibutuhkan manusia bagi kehidupannya.

Pun sebaliknya. Di mana ada manusia, di sana ada bahasa.

Keduanya tidak dapat dipisahkan. Bahasa tumbuh dan berkembang

karena manusia. Manusia berkembang juga karena bahasa. Keduanya

menyatu dalam segala aktivitas kehidupan. Hubungan manusia dan

bahasa merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan salah satunya.

Bahasa pula yang membedakan manusia dari mahluk ciptaan Tuhan

yang lain.

Bahasa merupakan warisan manusia yang sangat berharga

sepanjang sejarah kehidupannya. Warisan kebahasaan ini sangat

berbeda dengan warisan lain seperti harta benda, monumen-monumen

dan warisan kebendaan lainnya. Bahasa adalah warisan hidup bagi

manusia. Sebagai warisan hidup manusia bahasa harus dipelajari.

Seorang anak manusia tidak akan pernah bisa berbahasa jika kepadanya

tidak diajari bahasa.

Pada kesempatan ini, saya ingin memberikan beberapa

pemikiran yang berkenaan dengan bahasa dalam kaitannya dengan

pembangunan wacana. Secara sistematis pembahasan ini akan

mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) manusia dan bahasa, 2) bahasa dan

komunikasi, dan 3) bahasa dan pembangunan wacana.

Manusia dan Bahasa

Salah satu hal yang sering disebut adalah bahwa manusia

bereksistensi sebagai mahluk sosial (zoon politicon) di samping

eksistensinya sebagai mahluk ekonomi (homo economicus), mahluk yang

berakal (zoon logon echon) dan sebagainya. Penyebutan manusia sebagai

mahluk sosial didasarkan pada kenyataan bahwa manusia memerlukan

pihak lain di dalam memenuhi kebutuhannya.

Abraham Maslow (Djalali, tt:18) menjelaskan bahwa terdapat 5

(lima) hierarkhi kebutuhan manusia, yaitu: 1) kebutuhan fisiologis (basic

needs), 2) kebutuhan rasa aman (safety needs), 3) kebutuhan rasa cinta dan

memiliki (love and belonging needs), 4) kebutuhan akan harga diri (self

esteem needs), dan 5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).

Kalau kita mengacu pada pemikiran Maslow di atas, dapat dipastikan

bahwa dari semua kebutuhan manusia hampir tidak dapat dicapai

tanpa keterlibatan pihak lain. Bagaimana mungkin manusia dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) seperti makan, minum,

pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya tanpa ada peran serta pihak

lain? Bagaimana mungkin manusia dapat memenuhi kebutuhannya

dalam beraktualisasi dan mendapatkan pengakuan diri dengan hanya

mengandalkan dirinya sendiri? Pun juga dengan kebutuhan-kebutuhan

lainnya. Tidak ada satupun dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan

tersebut yang dapat abai dengan pihak lain.

Didorong kondisi tersebut, manusia memerlukan interaksi

dengan pihak lain. Dalam konteks inilah bahasa memainkan peran

penting, karena melalui bahasa manusia dapat berkomunikasi dalam

interaksinya dengan orang lain. Adalah sesuatu yang sangat sulit, untuk

tidak mengatakan mustahil, dilakukan jika manusia dalam berinteraksi

dan berkomunikasi tanpa melibatkan unsur bahasa. Tidaklah berlebihan

jika Bourdie (Rusdiarti, 2003:34) misalnya mengatakan bahwa fungsi

utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi di samping juga

memainkan fungsi-fungsi lainnya.

Memang harus diakui bahwa fungsi komunikasi hanyalah salah

satu fungsi utama yang dimiliki bahasa dan masih terdapat fungsi

bahasa yang lain. Sebagaimana dijelaskan Hymes (Suprapto, 1989)

bahwa dalam konteks sosial, bahasa mempunyai fungsi sebagai potret

kenyataan sosial dan sarana untuk menunjukkan identitas sosial-budaya

(representation function). Bagi mereka yang bergerak aktif di bidang

sosiolinguistik, sangat disadari bahwa bahasa dan kenyataan sosial

merupakan satu kesatuan. Karenanya, budaya berkomunikasi

sekelompok orang atau masyarakat dapat dijadikan representasi kondisi

sosial yang ada. Di Era Reformasi, misalnya, di mana budaya

transparansi dan euphoria demokrasi menjadi hal yang niscaya, kita

saksikan tumbuhnya budaya interupsi dan kekurangsantunan

berbahasa dalam komunikasi di kalangan elit politik yang tidak kita

saksikan di masa-masa lalu.

Berbahasa merupakan aktivitas rutin yang mesti dialami setiap

manusia dan bahkan menjadi bagian integral kehidupan manusia

sehari-hari tanpa kecuali, sejalan dengan keadaan manusia sebagai

mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan

bersosialisasi dan mengembangkan kebudayaannya dengan yang lain.

Dalam bersosialisasi dan berkebudayaan ini bahasa sangat diperlukan.

Bahasa dan Komunikasi

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahasa mempunyai kaitan yang

erat dalam proses komunikasi. Tidak ada satu peristiwa komunikasipun

yang tidak melibatkan bahasa. Komunikasi pada hahekatnya adalah

proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima. Hubungan

komunikasi antara pengirim dan penerima, dibangun berdasarkan

penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim (chiffrement) dan

pembongkaran kode atau simbol bahasa oleh penerima (dechiffrement)

(Rusdiarti, 2003:35). Lebih jelasnya lihat bagan berikut:

Mengingat kenyataan bahwa dalam berkomunikasi kita

dihadapkan oleh varian penerima yang sangat beragam, maka

keberhasilan komunikasi akan sangat ditentukan oleh bagaimana cara

kita menyampaikan pesan. Tidak jarang dalam kenyataan sehari-hari

kita dapati bahwa komunikasi yang kita lakukan tidak berhasil akibat

ketidaktepatan cara berkomunikasi yang kita lakukan. Wardhaugh

dalam bukunya An Introduction to Sociolinguistics (1986) menjelaskan

bahwa ketika orang akan mulai berbicara paling tidak ada tiga hal yang

mesti diperhatikan agar komunikasinya berlangsung efektif. Pertama,

apa yang akan dibicarakan. Kedua, dengan siapa dia akan bicara, dan

ketiga, bagaimana cara membicarakannya. Dalam hal ini terkait dengan

pemilihan ragam bahasanya, jenis kalimat, kosa kata, bahkan tinggi

rendahnya suara saat berbicara. Keputusan mengenai mana yang akan

dipakai sangat tergantung pada sejauh mana hubungan sosial dengan

lawan bicara.

Lebih lanjut, Badudu dalam bukunya Inilah Bahasa Indonesia yang

Benar (1995) menjelaskan berbahasa yang efektif ialah berbahasa yang

sesuai dengan lingkungan di mana bahasa itu digunakan. Menurutnya,

ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu: 1) orang yang

berbicara, 2) orang yang diajak bicara, 3) situasi pembicaraan apakah

formal atau non-formal (santai), dan 4) masalah yang dibicarakan

(topik).

Seorang Presiden yang sedang berdiri di depan forum resmi,

tentulah harus menggunakan bahasa formal (bahasa baku). Demikian

juga seorang guru yang sedang berdiri di depan kelas menyampaikan

pelajaran kepada para muridnya atau seorang dosen yang memberikan

kuliah kepada mahasiswanya. Hal ini mesti dilakukan karena situasinya

adalah situasi formal. Seorang presiden ketika berada dalam forum

resmi tentunya tidak tepat jika menggunakan ragam bahasa santai,

misalnya dengan menggunakan dialek lokal.

Demikian juga, seorang kuli bangunan di Surabaya, misalnya,

yang sedang bercakap-cakap dengan temannya sesama kuli, tentu

menggunakan ragam bahasa seperti yang biasa mereka gunakan.

Bahasa mereka tentu bukan bahasa baku, tetapi ragam bahasa santai

dan dengan dialek lokal yang kental seperti peno, koen, rek, untuk

mengganti anda atau saudara.

Kalau seorang ilmuwan bercakap dengan temannya sesama

ilmuwan dan yang dibicarakan adalah tentang sesuatu yang

menyangkut suatu ilmu, tentu harus menggunakan bahasa baku

(bahasa ilmiah). Demikian halnya kalau kita pergi ke pasar dan sedang

melakukan transaksi jual beli, tentunya kita akan menggunakan ragam

bahasa santai sesuai dengan dialek yang digunakan dalam masyarakat

itu. Kalau seorang anak akan berangkat ke kantor dan berpamitan

kepada orang tuanya, tentulah bahasa santai dan informal yang

digunakan. Perhatikan contoh dialog berikut:

Anak : Bapak dan Ibu yang saya hormati. Saya pagi ini akan

berangkat ke kantor. Untuk itu saya mohon do’a

semoga saya selalu berada dalam lindungan Tuhan

sehingga selamat pada saat berangkat dan pulang.

Orang tua : Anakku yang saya cintai. Silakan berangkat. Engkau

anak yang baik. Saya sebagai orang tua selalu berdoa

semoga engkau selamat sampai nanti kembali ke

rumah.

Jika komunikasi model seperti di atas benar-benar berlangsung,

maka betapa sulit dan kakunya hubungan antara anak dan orang tua

tersebut. padahal sebagai sarana komunikasi, bahasa hadir untuk

memudahkan komunikasi di antara pemakainya. Kerena itu, sekalipun

bahasa tersebut cocok dengan situasinya, tetapi ragamnya tidak cocok.

Menurut Burke dalam berkomunikasi manusia cenderung

memilih kata-kata tertentu untuk mencapai tujuannya (Eriyanto, 2000).

Pemilihan kata-kata tersebut bersifat strategis. Dengan demikian, kata

yang diucapkan, simbol yang diberikan, dan intonasi pembicaraan

tidaklah semata-mata sebagai ekspresi pribadi atau cara berkomunikasi,

tetapi dipakai dengan sengaja untuk maksud tertentu.

Berkenaan dengan hal di atas, pemilihan kosa kata terutama

untuk dialog yang melibatkan dua kebudayaan yang berbeda adalah hal

penting untuk diperhatikan dalam berkomunikasi. Sebagai contoh

adalah kosa kata mari dalam bahasa Jawa yang mempunyai pengertian

selesai, tetapi kata ini memiliki penggunaan yang berbeda di beberapa

daerah. Di Yogjakarta misalnya, kata ini tepat digunakan untuk

menyatakan sembuh dari sakit, sedangkan bagi masyarakat Malang dan

Surabaya, misalnya, kata ini dapat digunakan untuk menunjuk pada

selesainya pekerjaan.

Yogjakarta : Wis mari tugasmu? (tidak tepat)

Wis rampung tugasmu? (tepat)

Malang : Tiba’e wis mari lorone! (tepat)

Wis mari tugasmu? (tepat)

Meminjam pakar hermeneutika Gadamer (1977) bahwa ada

makna tersembunyi ketika orang berkomunikasi yang saling dipahami

(hidden communication). Itulah sebabnya, hal lain yang penting

diperhatikan adalah memahami konteks pembicaraan. Sejauhmana

hidden communication dapat dipahami itulah yang menentukan

efektivitas dan keberhasilan dalam berkomunikasi. Tidaklah berlebihan

jika Suparno (2000) menjelaskan bahwa komunikasi yang berhasil

adalah komunikasi yang berbekal kemampuan menyimpulkan apa yang

dilakukan oleh partisipan terhadap bentuk bahasa dan konteks

penggunaannya. Karena budaya kita berkomunikasi cenderung

menggunakan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act), maka

perlu kemampuan menarik kesimpulan yang tepat dari apa yang

dibicarakan.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengambil

pemahaman bahwa ketidakberhasilan dalam berkomunikasi disebabkan

oleh beberapa hal, yaitu: 1) kekurangmampuan menarik kesimpulan

dalam proses komunikasi, 2) ketidaktepatan pemilihan kosa kata, 3)

kekurangcermatan dalam melihat konteks dan situasi komunikasi; dan

4) ketidakefektivan dalam berbahasa baik yang mencakup siapa mitra

bicara, apa topik pembicaan dan bagaimana cara berkomunikasi.

Ketidakberhasilan dalam berkomunikasi inilah yang dalam

banyak hal telah menimbulkan masalah dan bahkan konflik. Masih

hangat dalam ingatan kita bagaimana konflik yang terjadi antara Dewan

Perwakilan Rakyat dengan Presiden Abdurrahman Wahid beberapa

tahun lalu. AlHumani dalam tulisannya di Harian Umum Kompas

Hilangnya Jiwa kenegarawanan (2000) memberikan analisis bahwa konflik

yang terjadi antara elit di Senayan dan Istana Negara dipicu oleh adanya

“kesalahan” dalam komunikasi. Dalam hal ini disebabkan oleh Gus Dur

yang cenderung obral pernyataan kontroversial, liar dan cenderung

sarkastik. Kata-kata seperti maling, biang keraok, DPR seperti Taman

Kanak-Kanak, dan sebagainya adalah kata-kata yang kurang tepat dan

cenderung bersifat sarkastik terlebih jika diucapkan seorang Presiden.

Dalam kapasitasnya sebagai presiden, tentu setiap tindakan dan

ucapan Gus Dur berdampak besar dalam kehidupan sosial-politik dan

ekonomi. Menurut Bourdie (1994) kekuatan kata atau ucapan tidak

sekedar terletak pada kata dan ucapan itu sendiri, tetapi pada siapa

yang mengucapkannya.

Bahasa dan Pembangunan Wacana

Dalam perspektif Bourdie, informasi dapat diterima dalam

hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima dikonstruksi dari

proses penyusunan simbol-simbol bahasa oleh pengirim dan

pembongkaran/pemahaman simbol-simbol bahasa oleh penerima.

Keberhasilan pertukaran bahasa dalam hubungan komunikasi tidak

hanya berhenti dan ditentukan oleh peristiwa komunikasi itu sendiri,

tetapi juga sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan pasar linguistik

yang sedang bekerja.

Dalam konteks pembentukan wacana, wacana yang dikirim

bukanlah sekedar pesan yang diharapkan dapat dipahami penerima.

Sebuah wacana juga merupakan kumpulan tanda dan simbol yang

bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi atau bertujuan untuk dipercaya

dan dipatuhi. Hal yang terakhir inilah yang menunjukkan otoritas yang

ingin dicapai oleh pengirim. Otoritas adalah bentuk kekuasaan tertinggi

(kekuasaan simbolik).

Bourdie membuat topologi arena sosial sebagai arena

pertarungan wacana, antara wacana dominan (doxa) dengan wacana lain

yang menggugatnya. Bourdie dalam hal ini membuat analogi arena

pertarungan wacana sebagaimana pertarungan dalam medan sosial,

yaitu: adanya kekuatan dominan dan marginal. Wacana dominan akan

terus mempertahankan dominasinya, sedangkan yang marginal akan

berusaha terus menggugatnya.

Doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai

kebenaran dan telah menjadi mainstream. Ia biasanya tidak pernah kita

pertanyakan lagi sebab-sebabnya, bahkan kebenarannya. Bentuk doxa

dapat berupa kebiasan yang sederhana seperti cara duduk, makan,

sampai hal yang lebih luas seperti ideologi dan kepercayaan. Dalam

kenyataan, medan wacana terus bergerak dinamis. Pertarungan antara

heterodoksa dan ortodoksa senantiasa terus berlangsung. Heterodoksa

adalah wacana yang berseberangan dengan wacana dominan. Ortodoksa

adalah wacana yang mendukung dan mempertahankan wacana

dominan. Mereka senantiasa saling berdialog dan bersaing untuk

memperebutkan posisi.

Dalam konteks inilah sebenarnya fungsi keberhasilan dalam

berkomunikasi memiliki kedudukan yang sangat signifikan. Wacana-

wacana yang bersifat heterodoksa bisa jadi akan menggantikan wacana

yang bersifat ortodoksa. Seringkali kegagalan dalam mempertahankan

wacana dominan (doxa) adalah karena kegagalan dalam berkomunikasi.

Dalam hal ini barangkali dapat kita ambil contoh kasus berikut: Pertama,

pada masa-masa awal reformasi, Gus Dur di awal kepemimpinannya di

anggap sebagai Dewa” penolong dan taruhan harapan dalam

memperjuangkan demokratisasi dan perbaikan kondisi bangsa yang

sedang dilanda krisis. Namun, pada akhirnya wacana ini dikalahkan

oleh wacana heterodoksa tentang otoritarianya, arogansinya dan

kekeraskepalaannya dalam memimpin. Hal ini terjadi karena

kegagalannya dalam berkomunikasi. Kedua, ortodoksa yang dilancarkan

Amerika Serikat dalam persoalan senjata pemusnah massal (mass

destruction weapon) yang dimiliki pemerintahan Saddam Hussein, dalam

kenyataannya belum dapat mengalahkan heterodoksa perihal

kebohongan informasi yang dilakukan agen-agen CIA tentang

keberadaan senjata tersebut. Hal ini dapat terjadi karena kejelian,

kecermatan, dan keberhasilan dalam berkomunikasi. Keberhasilan

komunikasi inilah yang kemudian mempengaruhi opini di masyarakat.

Penutup

Adalah penting dalam organisasi untuk menguasai cara

berkomunikasi yang tepat dan benar. Ketepatan dan kebenaran dalam

berkomunikasi sangat menentukan keberhasilan dalam berkomunikasi.

Keberhasilan dalam berkomunikasi adalah langkah awal menuju

kesuksesan karena dengan keberhasilan dalam berkomunikasi kita akan

dapat menghindari kegagalan dalam berkomunikasi yang dapat

menyebabkan kesalahpahaman (misunderstanding). Kesalahpahaman

inilah yang dalam banyak fakta merupakan awal dari terciptanya

sebuah malapetaka, kehancuran dan konflik.

Demikian halnya dalam konteks pembentukan wacana,

keberhasilan dalam berkomunikasi adalah keniscayaan. Tanpa

komunikasi yang berhasil mustahil sebuah organisasi mampu

membentuk wacana dan bahkan lebih jauh lagi menciptakan doxa.

Apalagi dalam iklim sekarang yang sarat dengan pertarungan-

pertarungan simbolik yang semakin meningkat seiring dengan

peningkatan media komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alhumani, Amich. 2000, 10 Juli. Hilangnya Jiwa Kenegarawanan”,

Kompas.

Badudu. 1995. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Bourdie, Piere. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge

Massachusetts: Harvard University Press.

Djalali, As’ad. Tanpa tahun. Psikologi Motivasi. Surabaya: PPS Psikologi

Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya.

Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoritas dari Gerakan Penindasan Menuju Politik

Hegemoni: Studi atas Pidato-pidato Politik Soeharto. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Gadamer. 1977. Philosophical Hermeneutics. Berkeley Los Angeles,

London: University of California.

Rusdiarti, Suma Riella. 2000. “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan

Kekuasaan”, dalam BASIS November-Desember.

Suparno. 2000, 18 April. “Wacana dalam Bahasa Cenderung

Paradoksal”.Kompas.

Suprapto, Riga Adiwoso. 1989. “Perubahan Sosial dan Perkembangan

Bahasa”, dalam Prisma, No. 1 Tahun XVII.

Wardhaugh. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil

Blackwell Ltd.