Jelaskan alasan Muawiyah bin Abu Sufyan melakukan perlawanan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib

Sebelum menjelaskan bagaimana suasana politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terlebih dahulu penulis jelaskan bagaimana atmosfir politik pada masa Khalifah Utsman bin Affan (khalifah sebelum Ali). Karena bagaimana pun, instabilitas pemerintahan masa Utsman menjadi pekerjaan rumah besar bagi khalifah setelahnya.


Imam Suyuti dalam Tarikhu Khulafa menjelaskan dengan detail, Utsman bin Affan menjabat sebagai kepala negara selama dua belas tahun. Enam tahun pertama ia begitu cakap menjalankan amanah kekhalifahan. Pemerintahannya cukup stabil. Bahkan sifat Utsman yang lebih lembut dibanding khalifah sebelumnya (Umar bin Khattab) menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyatnya, tidak ada satu pun yang menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya.


Sungguh disayangkan, enam tahun terakhir masa kekhalifahannya tidak secakap dulu. Utsman dinilai lamban dan tidak tegas dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti enggan memecat pejabat-pejabat negara yang tidak berkompeten bahkan lalim. Lebih parah lagi, ia melakukan praktik nepotisme atau mengangkat pejabat negara dari kalangan keluarga sendiri.


Ia juga memberikan harta Baitul Mal (kas negara) kepada kerabat-kerabatnya sendiri. Instabilitas politik begitu terasa di masa pemerintahannya. Sejak saat itu, beberapa sahabat mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap Utsman.


Ringkas kisah, Utsman dibunuh oleh dua pemberontak yang identitasnya masih belum jelas. Dalam catatan As-Suyuti, Utsman terbunuh pada Jumat, 18 Dzulhijjah tahun 35 H. Jenazahnya dikebumikan di Baqi’ pada malam Sabtu, antara waktu Maghrib dan Isya. Ialah orang pertama yang dimakamkan di area yang kelak banyak keluarga Nabi dimakamkan di tempat itu.


Pambaiatan Ali bin Abi Thalib

Kondisi politik yang carut marut membuat masyarakat harus segera mengangkat kepala negara demi menjaga stabilitas. Orang-orang pun meminta Ali bin Abi Thalib untuk bersedia dibaiat menjadi pengganti Utsman. Alasan para sahabat memilih Ali adalah karena ia termasuk sahabat yang terlebih dulu masuk Islam dan paling dekat dengan Rasulullah.


Dengan tawadhu, Ali merasa belum layak untuk menerima penawaran itu. “Jangan begitu, aku lebih pantas menjadi seorang menteri daripada seorang kepala negara,” komplain Ali keberatan.


Ali meminta saran terebih dahulu pada ketiga sahabat yang terlibat Perang Badar, yaitu Thalhah, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ketiga sahabat itu setuju jika Ali maju menjadi khalifah. Mereka pun membaiat Ali. Berikutnya, sahabat-sahabat yang lainnya juga ikut berbaiat. 


Tapi ada beberapa sahabat yang tidak setuju dengan keputusan ini dan enggan untuk berbaiat, di antaranya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam (Suriah) yang juga masih keluarga Utsman.


Alasan Muawiyah enggan membaiat Ali adalah karena permintaan Muawiyah terhadap Ali untuk segera menuntut balas (qisash) atas pembunuh Utsman tidak terpenuhi.


Selain itu, Ali juga bermaksud mencopot jabatan Muawiyah selaku gubernur di Syam sebagai langkah sterilisasi negara dari aparatur lama yang tidak satu visi. Muawiyah tidak setuju dan berargumen, yang berhak menentukan jabatan pemerintah bukan orang Madinah saja, mengingat semakin luasnya kekuasaan politik Islam.


Sampai pada puncaknya, meletuslah pertempuran antara Ali dan Muawiyah yang disebut Perang Shiffin pada bulan Shafar tahun 37 H. Dari peristiwa ini, umat terpecah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang setia dengan Ali dan kemudian dinamakan sebagai Syi’ah. Kedua, kelompok yang setia kepada Muawiyah. Ketiga, kelompok sempalan dari tentara Ali yang kemudian dikenal dengan Khawarij.


Dari polarisasi politis segi tiga ini, berujung pada terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun kelima kekhalilfahannya oleh Ibnu Muljam, seorang pengikut Khawarij.


Utamakan prasangka baik

Melihat situasi politik yang cukup panas pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, hingga terjadi peperangan antara dua kubu Ali dan Muawiyah, tidak menuntut kemungkinan menyisakan tanda tanya besar. Dari dua kubu itu, siapa yang benar dan siapa pula yang salah? Mengapa sekelas sahabat Nabi bisa melakukan perang sesama Muslim? Apakah ini menodai citra sahabat yang digaungkan sebagai generasi terbaik?


Pada posisi seperti ini, sikap yang harus kita kedepankan adalah tetap berperasangka baik pada kedua kubu. Jangan sampai kita terburu-buru menyimpulkan sehingga mencela sahabat Nabi. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda,


لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ


Artinya: "Janganlah kalian mencela para sahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya sekalipun dari sedekah salah seorang dari mereka.” (HR Bukhari)


Mengacu pada hadits di atas, Lembaga Fatwa Mesir dalam salah satu fatwanya menegaskan, haram hukumnya mencela sahabat Nabi sebab kekeliruan ijtihad yang dilakukan oleh mereka. Jika pun ijtihad mereka keliru, dimaaafkan dan tetap memperoleh satu pahala.


Perkaranya menjadi jelas, kasus konflik Ali dan Muawiyah adalah perbedaan hasil ijtihad yang kemudian mengakibatkan tarik ulur untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Pihak Muawiyah berpendapat bahwa Ali berkewajiban untuk segara menuntut balas (qisash). Jika tidak, hemat Muawiyah, maka Ali termasuk orang yang zalim dan belum layak dibaiat sebagai khalifah.


Di sisi lain, ijtihad Ali berbeda dan lebih bijak. Baginya, kondisi negara yang sedang carut marut tidak bisa gegabah mengambil tindakan cepat untuk mengeksekusi pembunuh Utsman. Butuh suasana kondusif dan satu suara dari berbagai pihak. Belum lagi identias pembunuh Utsman yang belum jelas. Atas pertimbangan ini, Ali memutuskan untuk tidak bersikap buru-buru.


Muawiyah menganggap sikapnya sudah tepat dan Ali salah. Demikian juga Ali, sikap Muawiyah salah dan dirinya yang benar. Sikap yang berhadap-hadapan ini kemudian memicu ketegangan yang pada puncaknya memicu peperangan. (Dr. Inas Husni al-Bahji, Tarikhud Daulah al-Umawiyah, h. 98)


Menyikapi peristiwa Perang Shiffin, Imam An-Nawawi berkomentar, pertumpahan darah yang terjadi antara sahabat tidak masuk dalam ancaman hadits Nabi yang mengatakan, “Ketika dua Muslim bertemu (untuk berperang) saling menghunus pedang, maka baik yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka.” (HR Bukhari). Mazhab Ahlusunnah mengedepankan untuk tetap berperasangka baik kepada para sahabat. 


Dalam mazhab Ahlusunnah, ijtihad yang benar berada di pihak Ali. Dengan begitu, sikap Muawiyahlah yang salah. Meski begitu, karena ini ijtihad, pelaku ijtihad yang salah dimaafkan dan tetap mendapat satu pahala, tidak mendapat dosa. Sementara Ali mendapat dua pahala karena ketepatan hasil ijtihadnya. (An-Nawawi, Syarah Muslim, juz XVIII, h. 11)


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma’had Saidusshiddiqiyah Jakarta

Makalah Sejarah Islam Periode Pertengahan

Strategi Muawiyah Bin Abu Sufyan

Dalam Mengalahkan Ali Bin Abi Thalib

Jelaskan alasan Muawiyah bin Abu Sufyan melakukan perlawanan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib

Universitas Islam Negeri(UIN) Ar-raniry

Fakultas Adab Dan Humaniora

Prodi Sejarah Kebudayaan Islam

Setelah Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah yang pada akhirnya dibunuh dikarenakan fitnah yang terjadi sesama mereka. Dan pada selanjutnya Ali Bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah penerus daripada Utsman Bin Affan. Setelah Ali menjabat sebagi khalifah lalu ia memecat Muawiyah yang pada saat itu sedang menjadi gubernur di Syam. Selama menjadi gubernur di Syam, Muawiyah sudah menjabat sejak menjabatnya Umar sebagai khalifah dan periode utsman dalam masa jabatannya. Akan tetapi Muawiyah enggan dipecat oleh Ali dan meminta diselesaikan kasus kematian utsman terlebih dahulu. Lalu muawiyah mengalungkan baju Utsman di mimbar mesjid Damaskus dan mengajak para pendukungnya untuk meminta diprosesnya kasus kematian utsman.

Selama Ali dinobatkan menjadi khalifah banyak perselisihan yang terjadi termasuk pertentangan dari muawiyah dan kaumnya. Dari sebab itu terbentuklah kaum Khawarij yaitu kelompok orang-orang yang menentang Ali.

Menurut dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:

a.       Siapa Ali bin Abi Thalib tersebut?

b.      Siapa Muawiyah bin Abi Sofyan?

c.       Apa permasalahan yang terjadi diantar keduanya?

d.      Bagaimana strategi yang dilakukan Muawiyah?

      Dari beberapa rumusan diatas, kita akan mengetahui tentang:

a.       Biografi Ali bin Abi Thalib

b.      Biografi Mu’awiyah bin Abu Sofyan

c.       Permasalah yang terjadi antara keduanya

d.      Strategi yang dilakukan Muawiyah

A.    Biografi Ali Bin Abi Thalib

Nama Abu Thalib sendiri adalah Abdul Manaf Bin Abdul Muthalib ia bernama Syaibah Bin Hasyim . Dia bernama Amar bin Abdul Manaf. Dia bernama Al-Mughirah bin Quraisy. Nama aslinya adalah Zaid bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihl bin Malik bin Nadhr bin Kinanah. Ali bin Abi thalib dipanggil Abu Husein dan Abu Turab oleh Rasulullah. Sedangkan ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hasyim. Dia adalah seorang wanita Bani Hasyim yang melahirkan Bani Hasyim.

Ali adalah salah satu dari sepuluh orang yang mendapat jaminan dari Rasulullah untuk masuk syurga. Dia adalah saudara Rasulullah pada saat terjadi mu’akhat( jalinan ukhuwah di madinah) dia adalah menantu rasulullah karena Ali menikahi putrinya Fatimah, penghukum kaum wanita sedunia. Ali adalah satu diantara orang-orang yang masuk islam diawal lahirnya islam. Dia adalah salah seorang ulama rabbaniyyin. Seorang pejuang yang gagh berani. Seorang zuhud yang terkenal. Seorang orator ulum. Dia adalah seorang salah seorang pengumpul Al-Quran. Dan dia bacakan kepada Rasulullah.

Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, dia memerintahkan Ali untuk tinggal di Mekkah selama beberapa hari hingga dia mengembalikan semua barang titipan orang yang ada pada Rasulullah kepada pemiliknya dan dia lakukan tugas itu. Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi,seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan.

Tugas pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali adalah meghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah, yang telah dibagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya dalam kepemilikan negara. Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Bashrah Menggantikan ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta meletakkan jabatan, tetpai ia menolak perintah ali. Bahkan, ia tidak mengakui kekhalifahannya.

Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, Zubair. Meskipun masing-masing memiliki alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan ali, dengan membangkitakan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan dapat menghukum pembunuh yang sesungguhnya.

Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan khalifah. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, khalifah utsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Iraq, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan mareka tersebut.

Seiring perjalanannya waktu kekuatan Ali telah banyak menurun, kelompok Muawiyah sedapat mungkin untuk merebut massa islam dari pengikut Ali. tepat pada 17 Ramadhan 40 H, khalifah Ali terbunuh, pembunuhnya adalah Ibnu Muljam, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik. pada tanggal 20 Ramadhan 40 H masa pemerintahan khalifah Ali berakhir dan di lanjutkan oleh anaknya, Hasan. namun, tidak bertahan lama dikarenakan banyaknya pemberontakan.

B.     Biografi Muawiyah bin Abu Sufyan

Muawiyah bin Abu Sufyan Sharkhr bin Harb bin Umayyah bin Abdusyam bin Abdul Manaf bin Qusai. Panggilannya Abdurrahman Al Umawi. Muawiyah masuk islam bersama ayahnya pada peristiwa Fathu Makkah(penaklukan kota mekkah). ikut dalam perang hunain. ia termasuk muallaf yang ditundukkan hatinya. keislamannya sangat baik, kemudian menjadi salah seorang penulis wahyu.

Muawiyah meriwayatkan 163 hadits dari Rasulullah. diantara para sahabat dan tabi’in yang mengambil hadits darinya antara lain Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan lain-lain. dia orang yang cerdas. banyak hadis yang menyebutkan keutamaanya, namun dari hadits-hadits tersebut banyak yang tidak dapat diterima( tertolak).

Muawiyah dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di siffin dicapai melalui cara yang curang. lebih dari itu, Muawiyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuataan yang diwariskan secara-turun temurun.

Muawiyah berhasil mendirikan dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. melainkan sejak semula gubernur suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. gambaran dari sifat mulia Muawiyah setidaknya nampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun. situasi ketika Muawiyah naik kekursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan.

C.    Sebab-Sebab Adanya Perlawanan Oleh Muawiyah Terhadap Ali

Setelah adanya pembunuhan terhadap khalifah Utsman, seluruh keluarga Utsman. nailah kembali ke Damaskus. mereka kemudian menceritakan peristiwa pembunuhan terhadap khalifah utsman. tidak hanya itu, mereka juga membawa serta bukti berupa baju milik Utsman yang penuh dengan darah dan beberapa potongan jari-jari Nailah. sebagai salah seorang anggota keluarga Utsman, Muawiyah tentu saja sangat terpukul dengan adanya peristiwa itu. ia kemudian mempertunjukkan bukti-bukti itu di hadapan penduduk Syam, sehingga membuat penduduk setempat geram dan mengutuk pembunuhan tersebut. dendam Mu’awiyah terhadap para pembunuh telah menjadikan dirinya bersikukuh untuk tetap memegang jabatnnya. ia khawatir bila para pembunuh masih tetap berkeliaran dengan bebas tanpa adanya suatu hukuman terhadap mereka.

Tugas pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali adalah meghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah, yang telah dibagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya dalam kepemilikan negara. Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Bashrah menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali. bahkan, ia tidak mengakui kekhalifahannya.

Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, Zubair. meskipun masing-masing memiliki alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitakan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan dapat menghukum pembunuh yang sesungguhnya.

Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan khalifah. kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, khalifah Utsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Iraq, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.

D.    Strategi Muawiyah bin Abu Sofyan Dalam Melawan Ali bin Abi Thalib

Konflik antara Ali dan Mu’awiyah terletak pada keyakinan Ali atas keabsahan otoritas kekhalifahannya yang tak perlu di pertanyakan lagi dan tuntutan Mu’awiyah yang semakin meningkat atas haknya sendiri sebagai ahli waris (wali) Utsman dalam menuntut balas atas darahnya.Lebih dari itu, klaim ini menjadi dasar tuntutan Mu’awiyah atas jabatan Khalifah.Ibn Qutaibah meriwayatkan bahwa Mu’awiyah menerima baiat dari masyarakat Suriah sebagai pengganti Utsman, tak lama setelah Ali memangku jabatan sebagai khlifah.

             Titik – titik pertikaian itu di ungkap dengan sangat jelas dalam sebuah surat panjang yang di tulis Ali kepada Mu’awiyah, seperti di ceritakan oleh Nashr ibn Muzahim (213H/828M), salah seorang sejarawan paling awal tentang perang saudara di Shiffin.     

“ Baiatku dari masyarakat Madinah tetap mengikatmu, meskipun kamu berada di Suriah. Ini karena merekalah orang – orang yang juga membaiat Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Karena itu, orang lain yang hadir tidak memiliki pilihan dalam masalah ini dan orang yang jauh tidak berhak keberatan, karena hak Musyawarah hanya menjadi milik kaum Muhajirin dan Anshar. Jika mereka telah menyepakati mengangkat seseorang sebagai imam/khalifah dan menyebutkan namanya, keputusan mereka harus di terima.Jika ada orang yang menyimpang dari keputusan mereka, baik dengan menolaknya atau mendambakan jabatan Khalifah bagi dirinya sendiri, mereka harus membawanya kembali.Jika orang itu menolak, mereka harus memeranginya, karena ia tidak mengikuti jalan kaum mukmin”.

Bagi banyak orang, ketaatan Ali yang teguh terhadap ajaran agama tentang kesetaraan merupakan sebuah kekuatan bear.  Bagi yang lain, seperti telah kita lihat, sikap seperti itu bukan hanya merupakan kebodohan, melainkan pengkhianatan. Muawiyah memanfaatkan ketegangan ini demi keuntungan politiknya. Selain menyadari kedudukan Ali yang tinggi dalamn muslim serta keabsahan baiat Ali, Muawiyah juga menyadari kelemahan klaimnya sebagai penuntut balas darah Utsman yang sah, mewakili ahli waris sah Utsman. Pertama –tama ia membuat langkah hati –hati  dengan menyuarakan klaim ini dan kemudian menantang kekuasaan Khalifah Ali. Terdorong oleh perang Jamal oleh sebab dan akibat – akibatnya dan oleh semakin merosotnya dukungan terhadap Ali, Mu’awiyah menjadi semakin menekan.

Mu’awiyah semakin percaya diri oleh ketaatan mutlak tentaranya di Suriah, serta dukungan dan loyalitas masyarakat Suriah.Sebaliknya, sebagian besar tentara Ali adalah orang – orang semi nomadik dan independen yang tak terbiasa dengan kekuasaan seorang penguasa yang tak boleh di bantah.Perbedaan tajam antara masyarakat urban Suriah dan masyarakat Irak yang sangat bersikap kesukuaan di ungkapkan secara dramatis oleh seorang bernama Al-Hajjaj ibn Khuzaimah, yang mendatangi Mu’awiyah bersamaan dengan berita kematian Utsman, dengan menuduh orang Bani Hasyimlah yang bertamggung jawab atas kejadian itu.Al-Hajjaj konon merupakan orang pertama yang memanggil Mu’awiyah dengan amir al – mukminin. Ia berkata :

“Aku memberi tahu anda wahai amir al – mukminin, bahwa anda mempunyai sumber kekuatan untuk melawan Ali, yang tidak di milikinya untuk melawan anda. Anda memiliki masyarakat yang tidak akan berkata apapun ketika anda berbicara, ataubertanya mengapa ?ketika anda memerintahkan sesuatu. Akan tetapi bersama Ali terdapat orang – orang yang berbicara ketika ia berbicara dan memprtanyakan ketika ia memerintah. Oleh karena itu, sedikit orang yang bersamamu lebih baik dari pada banyak orang yang bersamamnya.

Lebih lanjut Al – Hajjaj menegaskan bahwa, jika Ali tidak bersedia mengorbankan Suriah demi Irak, Mu’awiyah sudah cukup bahagia dengan Suriah saja.

Mu’awiyah mendasarkan haknya atas pemerintahan Suriah pada alasan bahwa ia telah di angkat oleh Umar dan di kukuhkan oleh Utsman dan karenanya Ali tidak memiliki kewenangan atasnya. Jarir menolak argument ini dan menjawab bahwa praktik semacam itu jika di bolehkan akan membuat seorang penguasa tidak bisa mencabut keputusan pendahulunya dan akan membuatnyatidan akan memiliki kekuasaan nyata. Lebih jauh tidak terelakkan lagi hal itu mendorong pada kekacauan dan kekuasaan yang tidak sah.Mu’awiyah tidak memberikan memberikan jawaban kepada Jarir sambil meminta waktu lebih lama lagi untuk memikirkannya.

Sementara Jarir menunggu, diam – diam Mu’awiyah berupaya mengonsolidasikan kekuatannya. Untuk tujuan ini, ia mengumpulkan para pemuka rakyatnya di Suriah untuk mempertegas loyalitas mereka dan untuk melihat pendirian mereka dalam masalah kematiaan Utsman dan tentang haknya untuk menuntut balas atas darh Utsman. Ia berbicara pada mereka dengan mengatakan :

“ Segala puji bagi Allah yang telah mengukuhkan tiang – tiang Islam dan menjadikan hokum suci sebagai bukti iman , iman yang suluhnya akan selalu menyala di tanah suci, yang menjadikannya sebagai tempat tinggal para nabinya dan hamba –hambanya yang saleh. Kemudian Tuhan menjadikan masyarakat Suriah hidup di wilayah ini.Ia memperkenankan wilayah itu bagi mereka dan mereka bagi wilayah itu. Sebab, sebab sejak azali dia mengetahui ketaatan dan nasihat mereka yang tulus kepada para Khalifahnya yang memegang teguh perintahnya dan melindungi agamanya dan hokum – hukumnya yang tak boleh di langgar”.

Mu’awiyah kemudian mengingatkan orang – orang yang berkumpul bahwa ia adalah wakil (Khalifah) Umar dan Utsman atas mereka, bahwa ia adalah ahli waris Utsman dan bahwa Utsman telah di bunuh secara tidak adil. Mu’awiyah kemudian menuntut, Aku ingin tahu apa sesungguhnya yang kalian simpan dalam hati kalian tentang pembunuhan Utsman. Mereka semua membaiatnya dengan syarat ia harus menuntut balas atas darah Utsman.

Mu’awiyah semakin memperkuat peluang meraih kekuasaan dengan membujuk Amr ibn Al – Ash untuk menjadi sekutu dekatnya dalam perlawanan terhadap Ali.Amr adalah seorang sahabat terhormat dari Quraisy, ahli strategi militer terkemuka dan politisi yang lihay.Riwayat penerimaan Amr terhadap ajakan Mu’awiyah kemungkinan sangat di ragukan kebenarannya. Meskipun demikian, riwayat tersebut mengandung banyak pelajaran, karena menggambarkan secara gamblang persepsi umum tentang Karakter konflik antara Ali dan Mu’awiya, di samping kedudukan kedua orang ini dalam sistem nilai moral dan politik islam.

Konflik antara Ali dan Mu’awiyahtelah menimbulkan perpecahan dalam tubuh uamat muslim, suatu perpecahan yang kemudian segera meledak dalam perang saudara yang di kenal dengan perang Siffin.

Terdapat dua masalah yang terkait erat dengan hal ini, yang perlu kita perhatikan yang pertama adalah bagaimana dan kapankah Mu’awiyah mulai mendambakan jabatan Khalifah. Kedua apakah dia mengangkat haknya untuk menunutut balas atas darah Utsman hanya sebagai dalih demi mencapai tujuan ini, ataukah memang benar – benar tulus dalam menuntut balas atas adar Utsman. Terkait dengan masalah ke dua ini, Mu’awiyah sebagaimana telah kita lihat, sering di tuduh telah mengkhianati Utsman, karena ia tidak menolong ketika Utsman di kepung. Dalam kaitannya dengan masalah pertama, yang merupakan masalah yang paling penting, setelah terjadinya perang jamal, yang dia mengambil sikap “tunggu dan amati” mungkin Mu’awiyah telah mempertimbangkan kesempatan dirinya untuk menaiki jabatan Khalifah, atau paling tidak memperoleh kekuasaan mutlak atas Suriah.

Bagaimanapun, setelah terjadi berbagai peristiwa, tampaknyaMu’awiyah mempertimbangkan paling tidak dua scenario yang mungkin terjadi akibat oposisi aktifnya terhadap Ali.Skenario pertama terungkap dalam sarannya kepada Jarir, utusan Ali supaya Ali memberikan Suriah dan Mesir kepada Mu’awiyah dan Ali mengambil Irak dan Hijaz. Mu’awiyah mungkin berharaqp jika Ali meninggal atau di turunkan, otomatis dialah yang akan di pilih menjadi Khalifah. Harapan ini tampak pada tuntutannya agar boleh terbebas dari kewajinban berbaiat kepada siapapun, termasuk kepada Ali. Sebagaimana yang akan kita saksikan nanti, Mu’awiyah mengajukan tawaran yang sama dalam negosiasi tak langsungnya dengan Ali untuk mengakhiri konflik Siffin.Skenario kedua  adalah sebuah perlawanan panjang untuk menumbangkan Khalifah Ali dan menaikkan Mu’awiyah ke tampuk kekuasaan.

Klaim paling tegas dari Mu’awiyah atas Khalifah di sampaikan kepada rakyat Suriah tidak lama sebelum perang Sifffin. Mu’awiyah beragumen :

“ Katakan kepadaku, mengapa Ali bin Abi Thalib lebih layak menduduki jabatan itu dari pada aku ? Demi Allah, aku adalah juru tulis Rasulullah. Saudariku Ummu Habibah, putri Abu Sufyan adalah istri Rasulullah. Selain itu aku adalah Gubernur di bawah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Ibuku adalah Hindun bunti Utbah ibn Rabi’ah [ artinya dia berasal dari keturunan terhormat] dan Ayahku adalah Abi Sufyan ibn Harb. Meskipun rakyat Hijaz dan Irak berbaiat kepada Ali, rakyat Suriah berbaiat kepadaku.Rakyat ketiga wilayah ini setara [dalam masalah kehormatan] dan siapapun dapat merebut suatu kekuatan, maka sesuatu itu akan menjadi miliknya”.

Dari penjelasan diatas dapat kita Tarik kesimpulan bahwa konflik antara muawiyah dan Ali terletak pada keyakinan Ali akan keabsahan otoritas ke khalifahanya yang tak perlu dipertanyakan lagi dan tuntutan muawiyah yang semakin meningkat atas hak nya sendiri sebagai ahli waris(Wali) Utsman dalam menuntut balas atas darahnya. Mu’awiyah kemudian mengingatkan orang – orang yang berkumpul bahwa ia adalah wakil (Khalifah) Umar dan Utsman atas mereka, bahwa ia adalah ahli waris Utsman dan bahwa Utsman telah di bunuh secara tidak adil. Lebih dari itu, klaim ini menjadi dasar tuntutan Mu’awiyah atas jabatan Khalifah.Ibn Qutaibah meriwayatkan bahwa Mu’awiyah menerima baiat dari masyarakat Suriah sebagai pengganti Utsman, tak lama setelah Ali memangku jabatan sebagai khlifah.

Kami masih merasakan banyak kekurangan dari makalah yang telah kami susun. Untuk itu kami membutuhkan bimbingan yang lebih dari dosen pembimbing.

Al-‘Isy, Yusuf, 1998, Dinasti Umawiyah, Beirut: Dar Al-Fikr.

Amin, Samsul Munir, 2014, Sejarah Peradaban Islam, Cetakan Ke-4, Jakarta: Amzah.

As-Suyuthi, Imam, 2000, Tarikh Khulafa’, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar

As-Suyuthi, Jalaluddin, 2013, Rekam Jejak Para Khalifah, Beirut: Dar Al-Fikr.

Jafariyan, Rasul, 2003, Sejarah Islam, Jakarta: Lentera.

---------, 2006, Sejarah Khilafah, Jakarta: Al-Huda.

Mahmoud M. Ayob,2003, The Crisis of Muslim History, Bandung: Mizan.

Yatim, Badri, 2014, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers.

Yuwono, Budi, 2003, Hikayah Empat Khalifah, Jakarta: Khairul Bayaan.



Budi Yuwono, Hikayah Empat Khalifah, Jakarta: Khairul  Bayaan.. 2003, hal. 178-179

Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Modern II MAKNA SYAIR PERAHU DI SUSUN O LEH: Yuni Saputri   ( 140501008 ) Pembimbing : Imam Juwaini UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA PRODI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM TAHUN AJARAN 2016/2017 MAKNA  SYAIR  PERAHU  KARANGAN  HAMZAH  FANSURI 1.       Inilah gerangan suatu madah Mengarangkan syair terlalu indah Membetulkan jalan tempat berpindah, Disanalah I’tikaf di perbetul sesudah Maknanya : penulis yaitu Hamzah Fansuri ingin menyajikan sebuah syair dengan kata-kata indah  yang berisikan tentang perjalanan hidup manusia mencapai pulai kemenangan yaitu akhirat dan bagaimana membenahi iman agar ketika kita mengarungi jalan tersebut , kita  melaluinya dengan  sebaik-baiknya. Nilai yang terkandung dalam bait ini adalah nilai tauhid. 2.       Wahai muda, kenali dirimu, Ialah perahu tamsil tubuhmu, Tiadalah berapa lama hidupmu, Ke ahirat jua kekal diammu. Maknanya : pe

Makalah Sejarah Dan Kebudayaan Indonesia PENGARUH ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN INDONESIA DISUSUN O LEH: Yuni Saputri   (140501008 ) Marzatil Husna ( 140501009 ) Pembimbing : M.Yunus PRODI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR RANIRY TAHUN AJARAN 2015/2016 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan berkat rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Pengaruh Islam Terhadap Kebudayaan Indonesia ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamya. Dan kami juga berterima kasih pada dengan mata kuliah Sejarah Dan Kebudayaan Indonesia yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbai