Jelaskan 3 fase peran umat islam dalam memperjuangkan kemerdekaan indonesia

Ketika kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia, bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka datang, umat Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah bersabda :” Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku diberi pula warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan putih “. Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan bahasa ini bahasa pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa jurnalistik.

Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut fakta sejarah adalah seorang muslim.

Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada kewajiban bagi

Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.

Kaum penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis dengan semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan Gospel (penyebaran agama Nasrani).

Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha dengan menghalalkan semua cara. Apalagi saat itu mereka masih menyimpan dendamnya terhadap bangsa Timur (Islam) setelah usai Perang Salib.

Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952) mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”.  Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain :

Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar 8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)

Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh misalnya Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah, dan lain-lain

Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada tanggal 10 januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5 Maret 1942.

Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari bumi Indonesia, diganti oleh penjajah Jepang. Ibarat pepatah “Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya”, yang ternyata penjajah Jepang lebih kejam dari penjajah manapun yang pernah menduduki Indonesia. Seluruh kekayaan alam dikuras habis dibawa ke negerinya. Bangsa Indonesia dikerja paksakan (Romusa) dengan ancaman siksaan yang mengerikan seperti dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang, dimasukkan kedalam sumur, para wanita diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex tentara Jepang (Geisha).

Pada awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan mengklaim dirinya sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia). Mereka juga paham bahwa bangsa Indonesia kebanyakan beragama Islam. Karena itu pada tanggal 13 Juli 1942 mereka mencoba menghidupkan kembali Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang telah terbentuk pada pemerintahan Belanda (September 1937). Tapi upaya Jepang tidak banyak ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam tidak mau kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang bahkan melakukan gerakan bawah tanah misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin.

Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia baru saja diproklamirkan, tanggal 15 september 1945 datang lagi persoalan baru, yaitu datangnya tentara sekutu yang diboncengi NICA (Nederland Indies Civil Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan seolah-olah paling berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya. Kedatangan mereka tentu saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia. Seluruh umat Islam bergerak kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan tentara sekutu dan NICA yang bersenjatakan lengkap dan modern. Perlawanan terhadap sekutu dan NICA antara lain: Dengan taktik perang gerilya, pertempuran arek-arek Surabaya, Bandung lautan Api, pertempuran di Ambarawa dan lain-lain.

Sumber:

Prof.Dr. H. I. NURUL Aen, MA.Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Puistaka Setia, 2008.
H. Darsono. T. Ibrahim. Tonggak Islam Kebudayaan Islam, Solo: Tiga Serngkai Pustaka Mandiri, 2008.

Sejak tanggal 1 Januari 1800 hingga sekitar tahun 1942, sejarah mencatat wilayah seluas Indonesia dari Sabang hingga Merauke berada di dalam kekuasaan satu negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Indonesia yang saat itu disebut Belanda sebagai Nederlands Indie (Hinda Belanda) menjadi provinsi jauh Belanda. Para raja yang ditaklukkan di berbagai daerah statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Belanda dengan pangkat Regen (Bupati). Mereka diawasi oleh para residen yang berada di bawah kontrol Gubernur General sebagai pemimpin tertinggi penguasa kolonial di negeri jajahan. Tidak ada satupun residen atau gubernur jendral di Hindia Belanda yang pribumi, apalagi beragama Islam. Semuanya orang Belanda yang diangkat oleh Ratu Belanda. Periode inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Periode Kolonial (penjajahan) dalam sejarah Indonesia.

Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai oleh penjajah asing, kafir, dan—paling penting—menyebabkan taraf hidup masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abad-abad sebelumnya, maka alasan menjadi sangat lengkap bagi kaum Muslim untuk angkat senjata. Abad ke-19 akhirnya dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Pekik “Perang Sabil” alias jihad fii sabilillah terdengar di berbagai wilayah yang dikuasai Belanda. Perang terbesar terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro (1925-1930). Perang terlama dan paling sulit dihadapi Belanda adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan serangan balik menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong itu.

Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten (1888) ada perlawanan para santri dan kiai yang sekalipun tidak jadi meletus namun membuat pemerintah Hindia Belanda tidak bisa tidur nyeyak. Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak didukung para ulama dan santri. Perlawanan-perlawanan abad ke-19 itu selalu di­gerak­kan oleh para ulama, kiai, dan santri. Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan nyata kepada penguasa kolonial. Perlawanan-perlawanan itu lahir ketika mereka ditindas oleh penguasa asing, kafir, dan zalim.

Selama satu abad perlawanan meletus, giliran kemudian generasi muslim terdidik baru lahir pada sekitar awal abad ke-20. Perlawanan fisik kini ber­metamorfosis menjadi perlawanan yang lebih meng­andalkan kekuatan ilmu. Sejarah menyaksikan lahirnya Sarekat Islam (1911) yang memiliki gagasan-gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat Indonesia dari kungkungan Belanda. Organisasi yang didirikan HOS Cokroaminoto ini menjadi katalisator politik kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia yang ingin segara bebas dari ke­sengsaraan akibat kolonialis­me itu. Disusul kemudian dengan gerakan-gerakan lain yang turut melengkapi hadirnya SI. Di Yogja lahir Muhammadiyah (1912). Di Bandung lahir Persatuan Islam (1923). Di Surabaya lahir Nahdhatul Ulama (1926). Di Sumatra lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Di beberapa tempat yang lain pun lahir gerakan-gerakan serupa. Walaupun aksentuasi yang dibawa berbeda-beda, namun semuanya memiliki cita-cita yang sama: “Bebaskan Indonesia dari Belanda!”

Tidak dipungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain yang berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan sebagainya yang ikut juga dalam pergerakan membebaskan Indonesia. Namun, hal yang tidak bisa dielakkan mereka sebagian besarnya adalah umat Islam juga. Hanya saja, pilihan perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam, melainkan hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan pragmatis, atau agak lebih tinggi sedikit demi kepentingan ke­manusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan ini—Islam dan Sekuler—saling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan penjajah dan juga saling bersaing untuk mengendalikan negara baru nantinya.

Singkat cerita, Belanda tidak bisa mempertahankan wilayah Indonesia lebih lama setelah kekalahan pertama Sekutu pada Perang Pasifik. Kepulauan ini harus diserahkan kepada Jepang. Jepang selalu berkampanye akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia, walaupun kelihatannya tidak sungguh-sungguh. Jepang hanya mengulur waktu untuk mendapatkan bala bantuan tentara dan logistik untuk kepentingan Perang Pasifik yang tengah dihadapinya. Akhirnya, Jepang harus menyerah kepada Sukutu pimpinan Amerika pada tahun 1945. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia untuk memerdekakan negerinya. Kalangan Islam maupun sekuler untuk sementara bersatu memperjuangkan bebasnya negara baru dari penjajah kafir dengan diawali Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, suatu proklamasi berbekal kenekatan dan keberanian. Namun, akhirnya berbuah hasil yang manis, yaitu merdekanya wilayah kepulauan ini dari cengkeraman penguasa kafir.

Berkah Kemerdekaan dan Dakwah Islam

Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme, tentu tidak akan ada jejak-jejak Islam yang nyata dalam proses pendirian negara ini. Sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan Piagam Jakarta 22 Juli 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata yang dibuang: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila. Walaupun pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya adalah “Tauhid”. Sekalipun tidak berkonsekuensi hukum karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang. Namun, siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah ini. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI], 2005)

Kekuatan dan andil umat Islam dalam kemerdekaan ini juga terlihat saat dengan begitu percaya diri mendirikan partai-partai Islam, antara lain: Masyumi, NU, SI, Perti, dan politisi Muslim independen lainnya, mengajukan proposal tentang Islam sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959.

Politik pada akhirnya bukan selalu soal kebenaran, tapi masalah permainan belaka. Oleh sebab itu, kekalahan politiklah yang akhirnya harus mengubur harapan para pejuang Islam menjadikan negara baru ini berada di bawah naungan Islam. Bahkan, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam dari jalur politik begitu terasa. Berbagai intrik dan fitnah terus dilancarkan kepada gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh dari kekuasaan. Isu-isu seperti pemberontakan DI/TII tahun 60-an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan tahun 80-an, hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media anti-Islam untuk menjadi alasan sahih menyingkirkan Islam dari panggung kekuasaan.

Akan tetapi, dalam situasi yang tersudut seperti itu, bukan berarti umat Islam kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk tetap memperjuangkan agama yang diyakini akan membawa kamaslahatan di dunia dan akhirat. Walaupun secara politik umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam takdir Allah Swt. mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan, yaitu dakwah. Selama hampir setengah abad, umat Islam memang agak mengabaikan inovasi dalam dakwah. Hampir semua tersedot perhatiannya pada perkara-perkara politik. Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam disibukkan memikirkan bagaimana cara Indonesia terbebas dari penguasa kafir Belanda. Ini jihad nyata yang ada di hadapan mereka. Selepas itu, hampir semua disibukkan mem­persiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur Islam. Ini pun sesungguhnya bagian dari dakwah. Hanya saja, konsentrasinya terlalu banyak kepada kekuasaan. Banyak garapan dakwah lain yang diabaikan, terutama dalam bidang kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan ber­dasarkan Islam.

Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para politisi Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan. Pak Natsir setelah Masyumi dibubarkan dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam berbagai kesempatan sering mengatakan, “Dulu kita berpolitik untuk dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik”. Slogan ini pun rupanya diamalkan oleh banyak aktivis politik lainnya yang digusur dari kekuasaan. Mereka akhirnya kembali terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan di mana-mana. Perduruan tinggi sekuler dijadikan lahan dakwah baru menjadi kader-kader calon pemimpin melalui gerakan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Pesantren-pesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk menyaingi lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan sekuler. Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lembaga-lembaga dakwah pun berdiri di mana-mana, bahkan sampai menjangkau pelosok-pelosok negeri.

Hasilnya cukup meng­gembirakan. Akhir tahun 1980-an, umat Islam Indonesia mengalami “kebangkitan” baru setelah pada awal abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit memerdekakan Indonesia. Kali ini prestasi dakwah Islam telah sampai pada taraf yang belum pernah dicapai selama dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi menjangkau sampai ke berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai digarap pada er 1960-an mulai berbuah dengan lahirnya generasi-generasi intelektual muslim baru. Puncaknya, para cendekiawan muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan mereka dengan didirikannya Ikatan Cendeiawan Muslim Indonesia (ICMI). Penggunaan jilbab bagi muslimah yang sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-intelektual Muslim baru ini.

Intelektual muslim baru ini pun ter­sebar dalam berbagai keahlian hingga umat Islam kini memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor kehidupan, baik formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai tampil bukan lagi sebagai lembaga pendidikan kacangan, melainkan menjadi lembaga favorit dan unggulan. Media masa yang sebelumnya tidak terlalu percaya diri untuk mengangkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan barang aneh Islam dalam berbagai aspeknya yang positif menjadi pokok perbicangan di media massa. (Selengkapnya lihat Riclefs, Islamisasi Jawa, 2014).

Oleh sebab itu, secara performa, sejak tahun 70-an hingga saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi “agama” mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-sembunyi jauh dari ruang publik seperti pada zaman kolonial.

Perjuangan para mujahidin Islam untuk membebaskan negeri ini dari penguasa kafir yang sangat menindas, baik secara politik, ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai dirasakan saat ini. Walaupun ada yang pesimis melihat politik Indonesia yang hingga saat ini masih belum memberi peluang kepada gerakan-gerakan Islam untuk berkuasa sepenuhnya dalam bidang politik, namun sesungguhnya perkara itu hanya tinggal menunggu waktu. Kecerdikan dan kegigihan para pejuang Islam setelah kemerdekaan untuk kembali kepada dakwah, justru membukakan peluang besar semua bidang di negeri ini akan dapat dikendalikan umat Islam. Sebab, dakwah ini memang prasyarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa. “Politik kita tergantung pada dakwah kita,” demikian ungkap Pak Natsir lagi dalam satu tulisannya. Ini tentu patut disyukuri, dipertahankan, dan terus ditingkatkan intensitasnya. Ini adalah salah satu berkah dari kemerdekaan yang diperjuangkan para ulama dan mujahidin Islam terdahulu.

Wallâhu A’lam…