Hukum berkhalwat bagi seorang Muslim dengan lawan jenis yang bukan mahramnya adalah

DAYAH MALIKUSSALEH

Show

15 Oktober 2018, Artikel,fiqh,hukum,dan mubah

Oleh ; Waled Blang Jruen

Hukum Khalwat dengan perempuan lain atau berduaan antara laki-laki dan peremuan yang bukan muhrim dalam Islam. Khalwat ada dua jenis: pertama, pertemuan laki-laki dan perempuan secara berduaan tanpa adanya kehadiran orang lain. Kedua pertemuan antara pria dan wanita namun dapat terlihat oleh orang lain.

Khalwat menurut Al-Qamus al-Fiqhiy;122 adalah tempat untuk menyendiri baik sendiri atau bersama dengan yang lain. Secara syariah khalwat adalah laki-laki berduaan dengan istrinya dalam situasi yang memungkinkan terjadinya hubungan jimak/ intim. Dalam definisi Ibnu Muflih dalam Kitab Al-Furuk 153 khalwat adalah di mana seorang laki-laki menutup pintu untuk berduaan dengan istrinya. Dengan demikian, khalwat terjadi di dalam rumah atau ruang tertutup. Sedang khalwat di jalan tidak disebut khalwat. Dan sama dengan rumah atau ruangan tertutup adalah setiap tempat yang orang lain tidak bisa masuk.

Namun, pengertian khalwat yang dimaksud di sini adalah adanya dua insan lawan jenis, yang bersiaft laki laki dan bersifat perempuan, yang tidak ada hubungan kerabat maupun perkawinan ikatan akad yang sah menurut agama yang berduaan dalam suatu ruang sunyi atau tertutup.

Menurut Menurut pendapat saya Intisari hadist di bawah ini;

Apabila seorang laki-laki dengan seorang perempuan telah berdekat, susah mengelakkan tumbuhnya gelora syahwat, karena pada diri laki-laki ada syahwat bersetubuh dan pada perempuan pun ada mendapat kesimpulan yang kuat tentang pengaruh naluri perempuan sebagai perempuan, yang membangkitkan nafsu berhubungan badan. Menurut saya tempat yang sepi berdekatan berdua, persinggungan kulit sesama kulit, persentuhan ujung jari sekalipun, apalagi disertai oleh rabaan dan ciuman, semuanya itu adalah pembangkit syahwat perempuan yang terpendam dalam diri seorang perempuan. Disaat itu tibalah waktu mereka tidak dapat menguasai diri lagi. Sehingga terjadilah sebuah persetubuhan (zina). Sebagaimana sabda Rasul SAW, larangan tentang khalwat berkhalwat;

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كِلَاهُمَا عَنْ سُفْيَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ و حَدَّثَنَاه أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ يَعْنِي ابْنَ سُلَيْمَانَ الْمَخْزُومِيُّ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya dari Sufyan - Abu Bakr berakata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah Telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar dari Abu Ma'bad ia berkata, saya mendengar Ibnu Abbas berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah seraya bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai muhramnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya." Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, "Ya, Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: "Pergilah kamu haji bersama isterimu." Dan Telah menceritakannya kepada kami Abu Rabi' Az Zahrani Telah menceritakan kepada kami Hammad dari Amru dengan isnad ini, semisalnya. Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Sulaiman Al Makhzumi dari Ibnu Juraij dengan isnad ini, semisalnya. Dan ia tidak menyebutkan; "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya."

A.I. HUKUM KHALWAT DALAM ISLAM

Yang dimaksud perempuan lain adalah wanita yang selain istri atau mertua, dan tidak ada hubungan keluarga (mahram) seperti dalam QS An Nisa 4:22-23. Termasuk haramnya khalwat dengan tunangan sendiri sebelum terjadinya akad nikah.

Hukumnya khalwat antara laki-laki dan perempuan lain adalah haram secara mutlak berdasarkan firman Allah QS Al Isra' 17:32.

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

Janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.

Ayat di atas mengharamkan dua hal sekaligus: (a) zina; dan (b) segala perilaku yang mendekati perbuatan zina termasuk di antaranya adalah berduaan antara dua lawan jenis yang bukan mahram yang disebut dalam istilah bahasa Arab dengan khalwat dengan yang selain mahram.

Juga berdasarkan pada hadits riwayat Ahmad dalam kitab Musnad hadits:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليست معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان

"Barangsiapa yang bermain pada Allah dan hari akhir maka hendaknya tidak berkhalwat dengan perempuan bukan mahram karena pihak ketiga adalah setan".

Menghindari dari haramnya khalwat antara lain adalah keharusan seorang wanita yang hendak bepergian agar ditemani oleh mahramnya seperti sabda Nabi s.a.w dalam Hadits riwayat Muslim ;

لا يحل لمرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر سفراً يكون ثلاثة أيام فصاعداً إلا ومعها أبوها أو ابنها أو زوجها أو أخوها أو ذو محرم منها

"Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman pada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih kecuali ditemani oleh ayahnya, atau anaknya, atau suaminya, atau saudara kandungnya atau mahramnya yang lain".

Adapun batasan dari khalwat menurut kitab Hasyiah Bujairami alal Manhaj 3:421; Hasyiah Al-Jamal 4:124 adalah:

وضابط الخلوة اجتماع لا تؤمن معه الريبة عادة بخلاف ما لو قطع بانتفائها عادة فلا يعد خلوة ع ش على م ر من كتاب العدد

"Batasan yang dinamai khalwat adalah pertemuan yang tidak diamankan terjadinya kecyrigaan kearah zina secara kebiasaan berbeda saat dipastikan tidak akan terjadi hal yang demikian secara kebiasaannya maka tidak dinamai khalwat".

B.II. KHALWAT YANG MUBAH (DIBOLEHKAN)

1.B. Mubah Secara umum melihat aurat orang lain hukumnya haram, namun dalam beberapa hal dan kondisi tertentu terdapat pengecualian dan pembolehan melihatnya. Hal ini terlihat dari metode al-Qur’an yang setelah memerintahkan menjaga pandangan dan organ reproduksi lalu melarang wanita menampakkan perhiasannya, dan kemudian mengecualikan beberapa kondisi dan orang-orang tertentu. Dalam pembahasan fiqh kita dapat mengklasifikasikan beberapa kondisi yang membolehkan melihat aurat. Pertama, ketika melakukan aktifitas sehari-hari. Kedua, ketika ada keperluan pengobatan, mu’amalah dan hadhanah. Ketiga, ketika berhadapan dengan orang yang sama jenis kelaminnya, berhadapan dengan mahram. Berikutnya kita akan membahasnya sesuai dengan klasifikasi ini:

1) Ketika melakukan aktifitas sehari-hari Dalam pembahasan sebelumnya sedikit banyaknya kita sudah menyinggung tentang kondisi seseorang yang sedang dalam aktifitas kesehariannya. Seorang wanita yang sedang beraktifitas di luar rumah tentunya akan besar kemungkinannya berpapasan dengan lelaki ajnabi, wanita non muslim, dan anak-anak yang menjelang baligh (al-Murahiq). Berkaitan dengan lelaki ajnabi sudah jelas dalam pembahasan kita sebelumnya, menurut pendapat yang kuat jika dalam kondisi normal (bukan darurat dan keperluan mu’amalah) tidak boleh terlihat bagian tubuhnya. Sedangkan dalam pendapat kedua yang berpendirian bahwa wajah dan telapak tangan adalah bagian yang dikecualikan, maka si wanita boleh membuka wajahnya dalam arti sunat menutupnya tetapi si lelaki yang berpapasan dengannya dituntut untuk menundukkan pandangannya. Demikian pula halnya wanita yang melihat kaum pria yang sedang melakukan aktifitasnya, hanya saja para ulama mentolerir kondisi ini karena sudah menjadi hal yang umum wanita melihat pria yang beraktifitas di tempat umum, selama tidak menimbulkan fitnah. Dalam kondisi ini yang boleh dilihat wanita dari pria hanyalah bagian dalam kondisi mihnah, yaitu wajah, kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki sampai batas lutut. Menurut al-Mahallî, ada pendapat ashah yang membolehkan wanita melihat tubuh pria ajnabi pada selain batas pusar dan lutut, karena bagian ini bukanlah aurat. Dengan syarat tidak ditakutkan timbulnya fitnah. Namun al-Mahallî sendiri menguatkan pendapat yang mengatakan haram. Dalam hal berhadapan dengan wanita non muslim, seorang muslimah yang sedang beraktifitas hanya boleh terlihat wajah, kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki sampai batas lututnya. Sedangkan al-Murahiq (anak laki-laki yang menjelang baligh) dipandang sama dengan lelaki dewasa, sehingga wanita harus menjaga auratnya terhadap si murahiq, sama halnya jika berhadapan dengan laki-laki dewasa.

2).Ketika ada keperluan pengobatan, mu’amalah, syahadah dan ta’lim Adakalanya manusia berhadapan dengan keadaan darurat, di mana kehidupan seseorang sedang dalam kondisi tidak normal. Pada saat ini hukum tidak dapat diterapkan sebagaimana dalam kondisi normal, kondisi darurat membolehkan keringanan-keringanan yang berkaitan dengan kondisi itu. Jika seseorang sedang sakit dan butuh penanganan medis, maka baginya berlaku rukhsah dalam ketentuan tentang aurat. Orang yang mengobati boleh melihat dan menyentuh –sesuai kebutuhan- bagian tubuh yang akan diobati walau organ intim sekalipun. Seorang dokter pria boleh mengobati pasien wanita, demikian juga sebaliknya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal keharusan hadirnya mahram. Hal ini akan kita bahas lebih detil dalam pembahasan tentang hukum menyentuh aurat. Selain darurat, kondisi lain yang di dalamnya berlaku keringanan dalam hal aurat adalah ketika ber-mu’amalah -misalnya jual beli-, syahadah (persaksian) dan dalam pendidikan. Namun para ulama menekankan bahwa keringanan ini hanya untuk kadar kebutuhan saja, mereka mengatakan “Setiap yang dibolehkan karena dharurah/kebutuhan, dikadarkan sesuai dengan kadar kebutuhan;

• Keringanan dalam ber-mua`amalah Dalam ber-mu`amalah misalnya jual-beli, baik si wanita yang membeli atau lelaki yang membeli dari wanita, berlaku keringanan yaitu boleh melihat wajah si wanita. Al-Mawardi dan para ulama yang sependapat dengannya menetapkan bahwa yang boleh terlihat dari si wanita dalam bermu’amalah hanyalah wajah saja. Dalam hal seseorang yang akan membeli seorang budak, si pembeli hanya boleh melihat bagian tubuh selain antara pusar dan lutut dari budak tersebut. Al-Mawardi menambahkan, seseorang tidak boleh melebihkan pandangannya setelah sekali melihatnya, kecuali jika perlu untuk memastikan sekali lagi, itu boleh untuk kali yang kedua. Dalam hal mu’amalah ini, logika yang digunakan oleh al-Mawardi adalah, jika seseorang telah mengenal si wanita itu dengan melihat sebagian wajahnya, maka ia tak perlu untuk lebih jelas lagi melihat seluruh wajahnya. Jadi inti kebolehan melihat wajah adalah untuk mengenalnya, guna memudahkan proses hukum jika ada kecurangan.

• Keringanan dalam persaksian Imam al-Syafi’i mengatakan, saya tidak mengetahui adanya orang yang diakui umum keilmuannya yang pendapatnya berbeda dengan pendapat yang membolehkan kesaksian wanita pada sesuatu yang tidak boleh dilihat lelaki. Pembahasan asy-Syafi`i ini adalah mengenai diterimanya kesaksian wanita, di mana dalam kondisi tidak adanya saksi lelaki, kesaksian wanita dapat diterima. Tentang ini bukanlah bagian dari pembahasan kita dalam tulisan ini. Mengingat urgennya masalah peradilan di mana segala macam intrik dapat ikut mewarnainya, para ulama menetapkan kelonggaran dalam batasan aurat untuk keperluan ini. Maka seorang saksi boleh melihat faraj si wanita dalam hal saksi zina atau kelahiran anak, sebaliknya jika ia melihat faraj untuk keperluan selain syahadah, maka ia dipandang fasiq dan ditolak kesaksiannya. Dalam hal syahadah untuk, seandainya wanita tersangka enggan memperlihatkan wajahnya, maka wajahnya boleh dibuka oleh wanita yang lain supaya orang yang menjadi saksi dapat melihat untuk mengenalnya dengan pasti. Kebolehan melihat dalam syahadah disesuaikan dengan kasus yang terjadi, untuk zina si saksi dibolehkan melihat faraj, demikian pula untuk saksi wiladah (kelahiran). Sementara untuk saksi ridha’ (menyusui) yang konsekwensinya adalah ditetapkannya hubungan keluarga akibat sesusuan, saksi dibolehkan melihat payudara penyusu si anak. Sedangkan hakim hanya dibolehkan melihat kepada wajah. Demikian juga sebaliknya wanita, dibolehkan melihat zakar si lelaki yang dituduhnya tidak memiliki organ intim. Asy-Syarbînî mengingatkan, bahwa semua ini dibolehkan jika tidak ditakutkan fitnah, jika ditakuti terjadinya fitnah tidak boleh.

• Dalam proses belajar mengajar Satu hal yang juga perlu mendapat perhatian adalah mengenai ketentuan aurat dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini al-Subki mengatakan; “Saya telah membuka kitab-kitab mazhab tentang masalah ini, jumlahnya sekitar dua belas karangan, tetapi saya tidak mendapatkannya. Namun tampaknya mereka membolehkan pada sesuatu yang wajib mempelajari dan mengajarkannya, seperti membaca al-Fatihah. Atau mengajarkan suatu ketrampilan yang dibutuhkan oleh seorang wanita, dengan syarat pengajaran itu tidak bisa dilakukan jika memakai hijab/tirai. Selain dari dua hal ini, kandungan pembahasan mereka mengarah kepada pelarangan” Imam an-Nawawi menetapkan kebolehan bertatap muka dalam mengajarkan amrad (anak yang belum tumbuh jenggotnya) dan memandang pada selain pusar dan lutut sesuai kebutuhan dalam pembelajaran. Adapun perempuan tidak boleh di pandang oleh lelaki ajnabi untuk alasan pembelajaran, karena masih ada mahram atau wanita lain yang dapat mengajarkannya. Namun Qulyûbî melihat adanya celah yang membolehkan pria mengajarkan wanita, yaitu ketika tidak ada mahram atau wanita yang dapat mengajarkannya. Qulyûbî mengatakan ada pendapat yang dapat dipegang tentang bolehnya pria mengajarkan wanita. Hanya saja pada kasus suami isteri yang sudah bercerai yang tidak dibolehkan, karena ikatan jiwa antara keduanya dapat menjerumuskan pada hal yang dilarang, berbeda dengan wanita ajnabiyah yang tidak punya hubungan apa-apa dengan pengajarnya. Qulyubi menambahkan, bahwa dalam mengajarkan amrad tidak disyaratkan hadirnya mahram, -berbeda dengan mengajarkan wanita ajnabi- dan disyaratkan sifat `adalâh pengajarnya pada semua kasus di atas. Dalam hal suami isteri yang sudah bercerai, para ulama mengandaikan jika seorang pria menikahi seorang wanita dengan ketentuan mengajarkan al-Qur’an sebagai maharnya. Namun ia mentalak isterinya sebelum sempat mengajarkannya, maka -menurut pendapat yang kuat- ia tidak boleh lagi megajarkannya karena hal itu dianggap `uzr. Si suami tidak boleh mengajarkan isterinya yang telah ditalak, karena antara keduanya masih terikat kecenderungan jiwa satu sama lainnya, maka kondisi ini akan memunculkan hasrat antara keduanya, oleh karena itu harus dicegah.

3). Ketika berhadapan dengan mahram, berhadapan dengan orang yang sama jenis kelaminnya Aurat sesama jenis kelamin antara lelaki dengan lelaki adalah antara pusar dan lutut. Demikian juga antara wanita dengan wanita. Maka melihat selain antara pusar dan lutut antara sesama jenis kelamin hukumnya boleh. Mahram adalah orang yang dikecualikan oleh al-Qur’an dari daftar orang-orang yang wanita dilarang menampakkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut. Mahram adalah mereka yang terikat hubungan kekerabatan, baik secara keturunan (nasb), sesusuan (ridha`), atau perkawinan (mushaharah). Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas aurat antara mahram. Sebagian ulama menetapkan bahwa seorang lelaki normal diharamkan melihat kepada mahram-nya kecuali selain antara pusar dan lutut. Mereka beralasan, bahwa mahramiyah adalah suatu hal yang mewajibkan haramnya pernikahan. Oleh karena keduanya haram menikah, maka keadaan keduanya sama dengan dua orang lelaki atau dua orang perempuan, maka boleh melihat kepada selain batasan antara pusar dan lutut. Sementara itu kelompok ulama yang lain menetapkan bahwa yang boleh dilihat seorang lelaki dari mahramnya hanyalah apa yang biasanya tampak dalam beraktifitas (mihnah), yaitu wajah, kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki sampai batas lutut. Kelompok ini beralasan, bahwa tidak ada keperluan untuk melihat pada selain mihnah, kecuali kondisi darurat. Maksud dengan mihnah di sini adalah ketika melayani (khidmah) kebutuhan keluarga sehari-hari. Dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa seorang lelaki yang melihat kepada mahramnya pada batas mihnah, boleh secara qath`i. Sedangkan melihat kepada sesuatu di antara pusar dan lutut disepakati oleh ulama haram hukumnya secara qath`i. Yang diperselisihkan hanyalah melihat kepada sesuatu di antara dua batasan ini. Selain itu tidak kita temukan perbedaan pendapat lainnya, termasuk antara apakah mahram itu Islam atau bukan. Hanya saja al-Zarkasyi mengingatkan, jika ia adalah golongan kafir yang menghalalkan hubungan intim antara dua saudara –seperti Majusi- maka hukumnya haram, baik si lelaki melihat wanita, ataupun wanita yang melihat lelaki. Semua hal-hal yang dibolehkan pada uraian diatas, hanya sebatas keperluan saja, sedangkan bila telah selesai kembali pada hukum yang lain menurut keadaannya masing-masing. Juga perlu diingat bahwa keringanan di atas hanya berlaku jika melihatnya tanpa diiringi oleh syahwat, jika diiringi syahwat maka hukumnya haram.

C.III.TERKAIT DENGAN PERSAHABATAN DENGAN LAWAN JENIS (LAKI-LAKI

bahwa pada dasarnya Islam mengajarkan tiap orang untuk saling mengasihi sesamanya dan membangun jalinan persahabatan. Semua itu tidak terbatas hanya kepada sesama jenis, namun juga kepada lawan jenis.

Hanya saja khusus dengan lawan jenis, maka Islam menggariskan hal-hal pokok agar niat dan maksud baik persahabatan itu tidak dikotori dengan fitnah dan nafsu rendah. Untuk itu Islam telah telah membuat aturan dan ketentuan yang berlaku umum serta menjelaskan hal-hal apakah yang dilarang.

Islam menggariskan hal-hal berikut :

1.A. Jangan berdua-duaan

Hal ini berlandaskan pada Sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:

“Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian bersunyi-sunyi dengan

perempuan lain, kecuali disertai dengan muhrimnya.” . [HR. Muslim juz 1, hal. 76

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَ هُوَ مُؤْمِنٌ. وَ لاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَ هُوَ مُؤْمِنٌ. وَ لاَ يَشْرَبُ اْلخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَ هُوَ مُؤْمِنٌ. مسلم 1: 76

"Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berzina seorang yang berzina ketika dia berzina itu dalam keadaan iman. Dan tidaklah mencuri seorang pencuri ketika mencuri itu dalam keadaan iman. Dan tidak pula meminum khamr (seorang peminum khamr) ketika meminumnya itu dalam keadaan iman"

2.B. Menundukkan pandangan

Maksudnya adalah memandang kepada yang bukan aurat dari lawan jenis dan

memandang selain aurat tidak dengan syahwat.

Jangan dan jangan ini, untuk kebaikan manusia sendiri. Apabila suka

pandang- memandang, dari mata jatuhlah ke hati. Salah. Dari mata jatuhlah ke NAFSU.

Timbullah keinginan-keinginan tertentu. Akhirnya bila bertemu jalan

buntu, zinalah menjadi jalan keluar paling mudah. Dalilnya adalah al-Qur’an Surat An-Nuur : 30-31.:

قُلْ لِلْمُؤْمِنينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصارِهِمْ وَ يَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذلِكَ أَزْكى‏ لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبيرٌ بِما يَصْنَعُونَ

"Katakanlah kepada 0rang-0rang beriman (laki-laki) itu, supaya mereka menekurkan sebahagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian adalah lebih bersih bagi mereka, Sesungguhnya Tuhan Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan".

وَ قُلْ لِلْمُؤْمِناتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصارِهِنَّ وَ يَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ ما ظَهَرَ مِنْها وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلى‏ جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبائِهِنَّ أَوْ آباءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنائِهِنَّ أَوْ أَبْناءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني‏ إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني‏ أَخَواتِهِنَّ أَوْ نِسائِهِنَّ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُنَّ أَوِ التَّابِعينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى‏ عَوْراتِ النِّساءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ ما يُخْفينَ مِنْ زينَتِهِنَّ وَ تُوبُوا إِلَى اللهِ جَميعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan katakan pula kepada 0rang- orang yang beriman (perempuan) supaya mereka pun , menekurkan pula sebahagian pandang mereka dan memelihara kemaluan mereka. Dan janganlan mereka perlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada yang zahir saja. Dan hendaklah mereka menutup dada mereka dengan selendang. Dan janganlah mereka nampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka sendiri atau kepada ayah mereka , atau bapa dari suami mereka, atau anak mereka sendiri, atau anak-anak dan suami mereka (anak tin) atau saudara laki-laki mereka , atau anak dari saudara laki-laki mereka , atau anak dan saudara perempuan mereka, atau sesama mereka perempuan atau siapa-siapa yang dimiliki oleh tangan mereka, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum melihat aurat perempuan. Dan janganlah mereka hentak kan kaki mereka supaya diketahui orang perhiasan mereka yang tersembunyi. Dan taubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar supaya kamu mendapat kejayaan" .

3. Tidak masuk ke tempat tinggal wanita

Dalilnya adalah sabda Rasulullah, dari Uqbah bin Amir ra.,

bahwasannya Rasulullah saw. bersabda:

“Takutlah kalian untuk bertamu kepada wanita!"seorang laki-laki Anshar bertanya: “bagaimana kalau saudara ipar (besan)?”

Rasulullah bersabda: “Ipar sama dengan kematian.” (Mutafaqu a'laih).

4. Berinteraksi hanya pada keadaan yang dibenarkan oleh syara’,

misalnya dalam hal pendidikan, jual beli, dan pengobatan (dalam beberapa kasus)

5. Berteman karena Allah swt semata.

Rasulullah memerintahkan hal ini dengan jelas. Berdasarkan hadist dari Abdullah bin Mas’ud riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak. Rasullulah bersabda:

“Wahai Abdullah bin Mas’ud! Ibnu Mas’ud berkata: “Ada apa ya Rasulullah? (Ia mengatakannya tiga kali)” Rasulullah bertanya: “Maukah Engkau tahu, tali keimanan manakah yang paling kuat?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.

WALLAHU A'LAM BISSAWAB