Fatwa MUI Tentang Produk Pangan yang Bercampur dengan Bahan Haram

Fatwa MUI Tentang Produk Pangan yang Bercampur dengan Bahan Haram

Kantor: Jl. Majelis Ulama No. 3 Sutomo Ujung Medan 20135.

Telp. (061) 451 4647  |  Fax. (061) 451 4647
Email :

Jakarta (Kemenag) --- Auditor halal adalah orang yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pemeriksaan terhadap kehalalan  produk. Agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai ruang lingkup yang dibebankan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), auditor halal harus punya kemampuan dan keahlian di bidangnya. 

Hal ini disampaikan Aminudin Yakub dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada peserta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Auditor Halal di Pusdiklat Kementerian Agama, Ciputat, Jakarta, Rabu (04/09).  Diklat substantif ini diikuti 60 calon auditor halal dari calon LPH Perguruan Tinggi Negeri berbagai provinsi di Indonesia. 

"Auditor halal harus memahami betul tentang tata cara pemeriksaan kehalalan produk," jelas Aminudin dalam kegiatan yang berlangsung 2-8 September 2019 itu. Setelah calon auditor halal mendapatkan pendidikan dan pelatihan tersebut, mereka harus mengikuti uji kompetensi auditor halal. Ini harus dilalui oleh seorang calon auditor halal dalam prosesnya untuk memperoleh sertifikat auditor halal. 

Ranah ini menjadi kewenangan MUI sebagaimana amanat UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).  Peserta yang lulus uji kompetensi akan mendapat sertifikat kompetensi dari MUI sebagai auditor halal. Setelah itu, mereka baru dapat dinyatakan bisa melaksanakan tugas sebagai auditor halal di LPH.

"Titik kritis halal dari setiap bahan harus dipahami dengan baik, jangan sampai auditor halal malah tidak memahami hal ini," jelas Aminudin. 

Pada kesempatan itu, peserta juga mendapatkan pencerahan dari Aminudin tentang standar penyembelihan, Fatwa MUI tentang bahan pangan, dan hal lainnya yang terkait produk halal. "Penetapan halal dan haram di negara kita, menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia," terangnya. 

"MUI yang menetapkan fatwa halal atau haram untuk sesuatu hal," sambungnya. 

Terkait penyembelihan, Aminudin menjelaskan bahwa penyembelihan hewan dan proses pengolahannya wajib sesuai ketentuan hukum Islam. Pengolahan hewan setelah penyembelihan meliputi pengulitan, pencincangan, dan pemotongan daging. Apabila penyembelihan hewan dilakukan dengan tidak memenuhi standar penyembelihan yang berkesuaian dengan syariat Islam, maka itu dinamakan gagal penyembelihan. 

"Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut asma Allah. Penyembelihan dilakukan dengan satu kali (penyembelihan) dan (dilakukan) secara cepat, di mana mengalirkan darah melalui pemotongan saluran makanan, saluran pernafasan dan dua pembuluh darah," terang Aminudin.

Aminudin juga menjelaskan mengenai kontaminasi makanan dan minuman oleh najis. "Setiap makanan dan minuman yang jelas bercampur dengan barang haram/najis hukumnya adalah haram. Setiap makanan dan minuman yang diragukan bercampur dengan barang haram/najis hendaknya ditinggalkan. Dan adanya makanan dan minuman yang diragukan bercampur dengan barang haram/najis hendaklah MUI meminta kepada instansi yang bersangkutan memeriksanya di laboratorium untuk dapat ditentukan hukumnya," terangnya. 

Sedangkan bahan yang bersumber dari babi dan yang terlahir darinya hukumnya tetap najis dan haram untuk dimanfaatkan atau dimakan atau digunakan.

Aminudin menegaskan, sudah menjadi  keharusan bagi auditor halal menguasai fatwa-fatwa yang ditetapkan MUI, khususnya terkait standar dan produk halal. "Auditor halal harus menguasai fatwa-fatwa MUI terkait standar dan produk Halal," tegasnya. (BPJPH)