Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) melanjutkan kajian mengenai kisah Perang Ghazwah Mu’tah pada Kamis (28/8) bersama Ustadz Sulaiman Rasyid, S.T. Kajian ini membahas proses kemenangan kaum muslimin meskipun ketiga panglima perang yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw, yakni Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam peperangan. Ustadz Sulaiman mengatakan bahwa perang ini menjadi salah satu perang dahsyat kaum muslimin untuk mengajak orang kafir memeluk Islam. Dalam perang ini seperti tercatat dalam artikel kajian sebelumnya, bahwa jumlah pasukan musuh sebanyak 200.000 orang dengan senjata pernah banyak. Sedangkan kaum muslimin hanyalah 3.000 orang yang memiliki persediaan senjata terbatas. Allah berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 65 dan 66 yang berbunyi, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan, jika ada 100 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 1.000 orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu 100 orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang kafir; dan jika diantaramu ada 1.000 (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan 2.000 orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” “Meskipun tadinya satu banding 10, Allah meringankan menjadi satu banding dua. Tapi, di perang Ghaswah ini malah satu banding 70. Tapi, mereka tetap sepakat untuk melanjutkan peperangan karena rasa cintanya kepada Allah. Meskipun gugur, maka mati syahid yang didapat,” ucap Ustadz Sulaiman. Ustadz Sulaiman bercerita pagi harinya pukul delapan peperangan dimulai di daerah Mu’tah yang merupakan gurun tandus yang kering, terbuka, tanpa ada pohon satu pun. Meski demikian, menurutnya daerah tersebut menjadi satu sisi yang menguntungkan bagi kaum muslim sebab mereka lebih berpengalaman dari musuh, tujuan prajurit muslim berperang adalah mati syahid sedangkan prajurit musuh kebanyakan tidak mengetahui tujuannya karena hanya mengikuti pimpinan, sehingga dari sinilah mental kaum muslimin lebih kuat dan yakin. Dalam perang ini kata Ustadz Sulaiman terjadi selama dua ronde. Dalam ronde pertama ketiga panglima gugur secara bertahap. Panglima pertama, Zaid bin Haritsah wafat dalam keadaan syahid akibat ujung tombak penghujam tubuhnya. Lalu pasuka diambil alih oleh panglima kedua yakni Ja’far bin Abu Thalib. “Perang Mu’tah ini adalah perangnya Ja’far. Dalam perang ini ia tidak pernah mengambil langkah mundur sekalipun, jadi maju terus. Ini menunjukan keberanian beliau. Ia meloncat dari kudanya lalu membunuh kudanya. Alasannya agar dirinya tidak dapat kabur. Ini untuk menguatkan tekadnya berperang karena Allah,” kata Ustadz Sulaiman. Lebih lanjut, Ustadz Sulaiman berkisah bahwa tangan kanan Ja’far bin Abu Thalib yang sedang memegang bendera muslim terpotong oleh musuh. Seketika ia langsung mengambil bendera tersebut dengan tangan kirinya. Tidak berhenti, musuh memotong tangan kiri Ja’far. Lalu ia mengambil benderanya lagi dan menjepitkan tongkat bendera dengan sisa-sisa kedua lengannya yang telah bertetesan darah. Kuatnya Ja’far, musuh lalu memenggal lehernya. “Setelah perang, sahabat mencari jasad Ja’far. Dan ditemukan jasadnya di antara orang yang meninggal akibat perang. Lalu ditemukan juga ada 90 lubang bekas tusukan tombak, pedang, dan panah musuh mengenai tubuhnya kecuali punggungnya. Ini bukti kalau Ja’far tidak pernah melangkah mundur dalam perang, meskipun ditusuk dipotong tangannya ia tetap maju, hingga akhirnya mati syahid. Sebagai gantinya, dalam sabda Muhammad, bahwa Allah mengganti kedua tangannya dengan sayap bagaikan malaikat,” tambah Ustadz Sulaiman. Setelah gugurnya Ja’far, peperangan semakin sengit. Abdullah bin Rawahah pun langsung memimpin pasukan dengan mengambil bendera dari Ja’far. Saat itu juga, Abdullah berusaha meneguhkan dan memaksa dirinya untuk maju dan memimpin, sebab kata Ustadz Sulaiman ia sempat merasa ragu karena jumlah pasukan dan senjata perang muslimin kurang. Selain itu pula, kedua panglima perang sebelumnya telah meninggal. “Dikatakan Abdullah ‘aku bersumpah wahai jiwaku, turun sekarang ke medan tempur. Aku turun atau aku yang memaksamu turun?’ Dan ia berkata juga, ‘wahai jiwaku kalaupun tidak mati sekarang, maka engkau juga akan mati dalam keadaan lain.’ Jadi dia ngomong sama jiwanya sendiri. Kenapa engkau menunda-nunrda, maka majulah! Akhirnya ia meninggal dan mati syahid,” lanjut Ustadz Sulaiman. Setelah gugur ketiga panglima, perang pun menuju ronde kedua. Seperti pesan Rasulullah jika ketiga panglima gugur, maka pasukan harus memilih pemimpinnya sendiri. Lalu terpilihlah Khalid bin Al Walid yang baru tiga bulan masuk Islam namun sudah berpengalaman menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya, pasukan muslim memenangkan peperangan sebab ia membuat strategi memecah pasukan muslimin menjadi dua sayap. Ketika malam tiba, masing-masing sayap menempati posisi yang ditentukan hingga pada pagi harinya, dua sayap itu menyerang musuh secara berbarengan. Serangan tiba-tiba dari dua arah ini membuat pasukan musuh terkejut. Mereka mengira pasukan muslimin mendapat tambahan pasukan. Sehingga pasukan muslimin berhasil menghancurkan dan memukul mundur pasukan musuh. Mundurnya pasukan musuh, Khalid menginstruksikan pasukannya untuk tidak melakukan pengejaran. Namun, berbalik mundur ke Madinah. Pertimbangannya adalah apabila pasukan musuh menyadari strategi yang dilakukan pasukan muslim, maka pasukan musuh akan kembali menyerang mereka dengan kekuatan penuh. Berita pasukan muslim berhasil memukul mundur musuh disambuh suka cita oleh kaum muslimin lainnya. Rasulullah mengatakan bahwa mereka sama sekali bukan orang-orang yang melarikan diri dari medan perang, karena insya Allah mereka akan kembali berperang. “Meski pertempuran sangat besar, namun dilaporkan hanya 12 orang dari pasukan muslim yang terbunuh. Padahal jumlah total jumlah korban perang seluruhnya sangatlah banyak. Bahkan sembilan pedang Khalid bin Walid terputus dan hanya sisa satu pedang ke 10 dari Yaman,” ungkap Ustadz Sulaiman. Tak lupa, Ustadz Sulaiman menurutkan beberapa hikmat yang dapat dipetik dari kisah Perang Ghazwah Mu’tah, di antaranya adalah Ja’far rela kenikmatan fisiknya dikorbankan demi Allah hingga ia diberi gantinya dengan kedua sayap. Hal ini menunjukan dari ujung rambut sampai kaki dilangkahkan kemanapun akan dimintai pembalasannya. “Ketika masa muda, tumbuh dewasa dihabiskan untuk menjaga agama Allah dengan akal dan kecerdasannya maka Allah akan menjaga akal dan kecerdasannya di masa tua sehingga ia tidak pikun, bahkan menjaganya sampai akhirat,” ucap Ustadz Sulaiman. Selain itu, kata Ustadz Sulaiman dipilihkan Khalid bin Walid sebagai panglima ke empat perang padahal belum lama bergabung Islam menunjukan bahwa tidak ada senior junior dalam kehidupan, semua setara. Sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari saling menghargai antar usia, jabatan, bahkan prestasi. “Celakanya banyak orang yang rugi karena ia merasa terlalu pintar sehingga tidak berbagi ilmu dengan lainnya. Maka tidak akan bertambah ilmunya karena sombong dan malu,” tambahnya. Di akhir kajian, Ustadz Sulaiman berpesan bahwa zaman sekarang bukanlah perang fisik seperti zaman Rasulullah, melainkan sekarang perang ilmu. Meski demikian, kisah peperangan Rasulullah dengan sahabat penting utuk dapat diambil teladannya. Kebanyakan anak sekarang mengambil teladan dari fiksi atau dongeng yang tidak nyata. Sedangkan untuk perang menghadapi perang ilmu dapat diatasi dengan rutin mengikuti majelis ilmu yang terstruktur dan urut. “Semakin rutin mempelajari akidah dan tauhid maka akan makin paham bahwa bumi ini hanyalah semesta serta tumbuh rasa cinta kepada Allah yang begitu tinggi,” tutupnya. (SF/RS)
Munculnya Nabi Palsu, dan Sikap Menghadapinya serta Dalil-Dalil Penolakan Nabi Palsu Keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan penutup para Nabi dan Rasul sesungguhnya merupakan suatu keyakinan mutlak yang mesti melekat pada diri seorang muslim, jika keyakinan tentang ini goyah pada diri seorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan RasulNya, maka pada saat yang bersamaan berate imannya turut goyah, sehingga itu sudah menjadi keharusan /kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat untuk mempertahankan keyakinannya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir. Persoalannya kemudian adalah bagaimana semestinya kita menyikapi jika sekiranya pada zaman kita ada seorang yang mengaku sebagai nabi atau rasul, yang menyatakan diri sebagai penerima wahyu dan pembawa ajaran kebenaran lalu kemudian mengajarkan dan mendakwahkan ajaran-ajaran yang diterimanya hingga memiliki pengikut, penganut dan menjadi umatnya, maka pada saat sepertin ini seyogyanlah kita memiliki sebuah sikap yang kosnsisten sebagai sebuah jalan atau cara dalam menagkal berbagai fenomena yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan beragama kita sebagai penganut ajaran agama Islam.Maka sikap yang mesti dikedepankan adalah : 1. Jika ajaran yang dibawanya diakui sebagai ajaran Islam, maka tidak ada kata lain harus ditolak secara nyata karena telah masuk dalam kategori penistaan agama yang dalam hal ini diatur dalam peraturan perundang-udangan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah hal yang dilarang. Mereka harus diproses secara hukum berdasarkan ketentuan hokum yang berlaku, dan mewajibkannya untuk melakukan pertobatan hingga mereka sadar diri bahwa sesungguhnya apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan fatal. 2. Jika ajaran yang dibawanya tidak dinyatakan sebagai ajaran agama Islam tapi menyebarkan dan melakukan propaganda serta mengajak para penganut ajaran Islam untuk mengikutinya, pun juga harus diproses secara hukum karena bertentangan dengan ketentuan bahwa tidak dibenarkan berdasarkan undang-undang menyebarkan faham ajaran agama terhadap penganut ajaran agama lain. 3. Jika ajaran yang dibawanya tidak menyatakan sebagai ajaran agama Islam dan tidak pula melakukan gerakan dakwah terhadap penganut ajaran agama Islam termasuk ajaran agama lainnya yang ada di Indonesia maka berlakulah prinsip laakum diinukum waliyadien, 4. Seyogyanya sebagai seorang muslim agar dapat membentengi diri bersama dengan keluarga, masyarakat terutama para generasi muda agar mereka memiliki aqidah yang mantap serta sikap ketauhidan yang kuat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir sehingga iman mereka tidak mudah digoyahkan oleh propaganda, bujukan serta berbagai cara yang dilakukan orang lain untuk menyesatkan umat. 5. Masyarakat muslim harus terus waspada terhadap kemungkinan munculnya pengakuan nabi palsu yang dapat menggoyahkan iman para umat muslim, karena itu mestinya dilakukan pembinaan secara dini melalui pendidikan dan dakwah secara baik, nyata dan berkesinambungan melalui berbagai jalur pendidikan baik padapendidikan formal, non formal maupun jalur pendidikan informal dengan berupaya melibatkan segenap unsur masyarakat dan lembaga terkait secara terprogram, terstruktur dan berkualitas.
Maka di sini, -insya Allah- kami mengutip beberapa dalil seputar masalah ini, agar kaum muslimin selamat dari kesesatan yang dapat mengeluarkan mereka dari agamanya ini. Mudah-mudahan Allah membimbing kita semua di atas jalan yang lurus. Aamiin. 1. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam utusan Allah kepada seluruh manusia. Allah berfirman:
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [Saba :28] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Dan semua nabi (sebelumku) diutus hanya kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia. [HSR. Al-Bukhari no: 335; Muslim no: 521; An-Nasai no: 432, dari Jabir bin Abdullah]
2. Barangsiapa –dari bangsa atau agama apapun juga- telah mendengar dakwah nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian tidak beriman kepada agama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam maka dia akan menjadi penghuni neraka, kekal di dalamnya, selama-lamanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
3. Nabi Muhammad SAW adalah penutup seluruh para nabi, .Allah SWT berfirman:
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al-Ahzaab : 40]
Sesungguhnya perumpamaan diriku dan para Nabi lainnya sebelumku, seperti seorang lelaki yang membangun sebuah rumah. Ia mengerjakannya dengan baik dan indah, kecuali sebuah batu bangunan di pojoknya. Manusia-pun lantas mengelilinginya dan mengaguminya, dan mereka berkomentar: “Kenapa tidak diletakkan sebuah batu bangunan di tempat ini?”. Beliau bersabda: “Akulah batu bangunan itu. Dan akulah penutup para Nabi”. [HSR. Al-Bukhari no: 3535; Muslim no: 2286, dan lainya, dari Abu Hurairah]
“(Saya memiliki empat nama:) Saya Muhammad (yang terpuji). Saya Ahmad (yang banyak memuji atau dipuji). Saya Al-Mahi (penghapus), dimana dengan perantaraanku Allah menghapus kekufuran. Saya Al-Hasyir (Pengumpul), yang mana manusia nanti akan dikumpulkan dihadapanku. Saya juga bernama Al-‘Aqib (yang belakangan) yaitu yang tak ada Nabi lagi yang datang sesudahku”. [HSR. Al-Bukhari no: 3532; Muslim no: 2354, dan lainya, dari Jubair bin Muth’im. Lafazh ini pada riwayat Muslim, kalimat dalam kurung pada riwayat Bukhari]
Ketika kenabian telah ditutup dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dengan wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, wahyu telah terputus dari langit. Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:
Tidak tersisa dari kenabian kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi yang baik”. [R. Bukhari, kitab: Ta’bir, no:6990, dari Abu Hurairah]
Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada Rasul dan tidak ada nabi setelah aku. Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat. Lalu beliau bersabda: “Kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi seorang muslim, hal itu satu bagian dari bagian-bagian kenabian”. [HR. Ahmad III/267; Tirmidzi no: 2272, dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Irwaul Ghalil no:2473 dan Shahih Al-Jami’ush Shaghir no:1631]
Yang dimaksud wahyu di sini adalah arti secara istilah agama, bukan arti atau secara bahasa. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari (I/9): “Wahyu secara bahasa artinya memberitahukan secara rahasia/tersembunyi. Juga bisa berarti tulisan; sesuatu yang ditulis; mengutus; ilham; perintah; isyarat; dan menjadikan berbunyi sedikit demi sedikit. Juga dikatakan: asal artinya adalah memahamkan, dan apa saja yang engkau pakai untuk menjelaskan dinamakan wahyu, baik berupa: perkataan, tulisan, surat, atau isyarat. Sedangkan arti wahyu menurut istilah agama adalah: memberi-tahukan dengan agama”. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullh berkata: “Nabi Allah adalah orang yang diberi berita oleh Allah. Maka apa saja yang Allah beritakan itu adalah haq (benar dan bermanfa’at), sidhq (benar, sesuai dengan kenyataan), tidak ada kedustaan, atau kekeliruan, atau sengaja (dusta)”
Dan Kami wahyukan (maksudnya: ilhamkan) kepada ibu Musa: "Susuilah dia” [Al-Qashas : 7]
Ubadah bin Ash-Shamit berkata: “Mimpi seorang mukmin merupakan perkataan Allah yang Dia berkata-kata dengannya (mimpi tersebut) kepada hamba-Nya di dalam tidurnya”. Maka mereka itu, yaitu muhaddatsun (orang-orang yang diberi pembicaraan oleh Allah), orang-orang yang mendapatkan ilham, orang-orang yang mendapatkan pembicaraan Allah, Allah memberikan wahyu kepada mereka dengan pembicaraan tersebut, yang hal itu merupakan perkataan, dan ilham. Mereka itu bukanlah nabi, mereka tidaklah maksum (terbebas dari kesalahan), dan mereka tidaklah selalu benar di dalam setiap yang mereka dapatkan. Karena sesungguhnya syaithan dapat memberikan bisikan kepada mereka dengan perkara-perkara yang bukan merupakan wahyu Allah, tetapi dari wahyu (bisikan) syaithan. Dan untuk membedakan hal itu hanyalah dengan apa yang dibawa oleh para nabi. Karena sesungguhnya para nabi itu dapat membedakan antara wahyu Allah dengan wahyu (bisikan) syaithan. Karena syaithan merupakan musuh mereka, dan syaithan memberikan wahyu (bisikan) yang berbeda dengan wahyu (Allah) yang diterima para nabi. Allah Ta’ala berfirman: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ مَافَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَايَفْتَرُونَ
Ringkasnya bahwa wahyu menurut istilah agama adalah: pemberitahuan secara rahasia (bisikan) dari Allah kepada nabiNya, yang berupa syara’ (agama; peraturan; sesuatu yang harus diyakini beritanya dan ditaati perntahnya serta dijauhi larangannya), yang pasti kebenarannya. Wahyu ini khusus diberikan oleh Allah kepada nabiNya, dan dengan wafatnya nabi dan rasul terakhir, nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka terputuslah berita dari langit tersebut.
Demikian pula tidak ada satu keburukkan-pun yang dapat menjauhkan dari sorga, dan mendekatkan ke neraka, kecuali umat telah dilarang atau diperingatkan darinya. Dan termasuk keburukan tersebut adalah akan munculnya para pembohong yang mengaku sebagai nabi, hal itu termasuk tanda-tanda kecil hari kiamat, sebagaimana telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan datang kiamat sehingga beberapa qabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sehingga mereka menyembah berhala-berhala. Dan sesungguhnya akan ada di kalangan umatku ini tiga puluh orang pembohong besar yang masing-masing mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sama sekali sesudahku.” [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Tsauban, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir no: 7295]
Kemudian sejarah telah mencatat nama-nama pendusta yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, di antara mereka yang telah muncul ialah:[8] 1.Musailamah Al-Kadzdzab. Dia berasal ldari kota Yamamah, dan mengaku menjadi nabi pada akhir zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuratinya dan menamainya Musailamah Al-Kadzdzab. Orang ini memiliki banyak pengikut, dan bahaya yang ditimbulkannya terhadap kaum muslimin cukup besar, hingga ia dihabisi riwayatnya oleh para sahabat pada masa pemerintahan Abu-Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu 'anhu dalam perang Yamamah.
2. Di Yaman muncul pula Al-Aswad Al-‘Ansi yang mengaku sebagai nabi, lalu dibunuh pula oleh para sahabat sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 3. Dan muncul pula Sajah At-Tamimiyah, seorang wanita yang mengaku sebagai nabi, dan dia dikawini oleh Musailamah. Konon Sajah ini kemudian bertobat.
7. Termasuk para pendusta tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani dari India. Dia dilahirkan th 1839 M atau 1840 M di Qadiyan, India. Ia mengaku sebagai nabi, dan sebagai Al-Masih yang ditunggu. Ia juga mengatakan bahwa Isa tidak hidup di langit, serta lain – lain pengakuan dan ajaran batilnya. Para ulama telah membantah pendapatnya dan ajarannya-ajarannya, dan mereka menyatakan bahwa dia termasuk salah seorang pembohong besar. Para pengikut Qadiyaniyah ini (mereka sering menyebut sebagai Ahmadiyah) tersebar di Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan lainnya. Termasuk di Bogor, Semarang dan lainnya di Indonesia. Pendusta ini memulai pengakuannya dengan sedikit demi sedikit. Mula-mula dia mengaku mendapatkan ilham, lalu mengaku sebagai mujaddid (pembaharu agama), lalu mengaku serupa dengan nabi Isa, lalu mengaku sebagai nabi Isa yang dijanjikan akan turun di akhir zaman, lalu pada th 1901 M mengaku sebagai nabi yang sempurna kenabiannya, lalu pada th 1904 M mengaku sebagai Kresna. Sedangkan Kresna adalah salah satu tuhan yang disembah orang-orang Hindu.
Demi Allah, tidak akan datang kiamat sehingga muncul tigapuluh orang pembohong besar, dan yang terakhir dari mereka adalah (dajjal) yang buta sebelah matanya, sang pembohong besar.” [HR. Ahmad, dari Samurah bin Jundub]
“Akan muncul dikalangan umatku pembohong-pembohong besar sebanyak duapuluh tujuh orang, empat orang diantaranya adalah wanita. Sedangkan saya adalah penutup para nabi,tidak ada lagi nabi sesudahku.” 7. Membantah Syubhat:
Jawab: Perkataan ini terbantahkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang umum (Lihat pembahasan ke 3: Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup seluruh para nabi, tidak ada lagi nabi setelah beliau, dan ke 4: Wahyu sudah terputus), bahwa tidak ada nabi sesudah beliau, baik nabi pembawa syari’at atau bukan. Karena wahyu dari langit sudah terputus, sedangkan adanya nabi itu jika mendapatkan wahyu dari Allah. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib sebagaimana telah disebutkan di atas memperjelas hal itu.
Jawab:
Jawab: Masya Allah, perkataan ini tidak keluar kecuali dari orang yang jahil terhadap sifat berbicara bagi Allah, sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah Wal jama’ah. Karena sesungguhnya sifat berbicara bagi Allah adalah sifat dzitiyyah dilihat dari jenisnya, yaitu sifat yang selalu ada pada Allah, tidak pernah lepas dariNya. Dan sifat itu juga sifat fi’liyyah, yaitu sifat yang dilakukan sesuai dengan kehendak-Nya. Maka Allah berbicara kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhlukNya, baik malaikat, manusia atau lainnya. Dan dengan cara yang Dia kehendaki. Bukan harus berupa wahyu kepada nabi, karena Dia sudah memberitakan bahwa nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup seluruh para nabi, sehingga tidak ada nabi setelah beliau.
|