Contoh negara yang mengadopsi sistem pemerintahan presidensial adalah ….

Padang, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa adanya amandemen UUD 1945 dimaksudkan untuk  memperkuat sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Jimly saat menjadi narasumber pada kegiatan Seminar Nasional Kebangsaan Kajian Sistem Ketatanegaraan di Indonesia yang digelar

di Hotel Bumi Minang pada Jumat (21/11).

“Dengan kata lain, kita dapat menggunakan istilah memurnikan sistem presidensial atau purifikasi sistem pemerintahan presidensial sebagai salah satu ide yang terkandung dalam keseluruhan

pasal-pasal yang diamandemen,” jelas Jimly.

Dalam makalahnya yang berjudul Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensil, mantan Ketua MK (2003-2008) ini menjelaskan, bahwa salah satu prinsip penting dalam sistem presidensial adalah tanggung jawab puncak kekuasaan pemerintahan negara berada di tangan Presiden yang tidak tunduk dan bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan, pada era sebelum reformasi Presiden Indonesia menurut UUD 1945, harus tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang mengangkat dan

memberhentikannya menurut Undang-undang Dasar.

“ Presiden menurut UUD 1945 sebelum reformasi adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggung jawaban kepada MPR ini justru memperlihatkan adanya unsur parlementer dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Karena dapat dikatakan bahwa sistem presidensil yang dianut bersifat tidak murni, bersifat campuran, atau ‘quasi-presidensil’,”

urai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu.

Dalam acara yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Perwakilan Republik Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang ini, Ketua DKPP RI juga  mengatakan, sesudah reformasi, Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh UUD 1945 harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Peranan MPR untuk memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dibatasi hanya sebagai pengecualian, yaitu apabila terdapat lowongan dalam jabatan

presiden dan/atau wakil presiden.

Lebih lanjut, Jimly juga menjelaskan bahwa pengucapan sumpah jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden memang dapat dilakukan di depan sidang paripurna MPR, tetapi pada kesempatan itu MPR sama sekali tidak melantik Presiden atau Wakil Presiden sebagai bawahan. MPR hanya mengadakan persidangan untuk mempersilahkan Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sumpah atau janji jabatannya sendiri di depan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi berada dalam posisi tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR seperti masa sebelum reformasi, dimana oleh Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden harus bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden adalah mandataris MPR yang mandate kekuasaannya sewaktu-waktu dapat ditarik

kembali oleh MPR.

“Sedangkan dalam sistem yang baru, Presiden hanya dapat diberhentikan oleh MPR melalui proses ‘impeachment’ yang melibatkan proses hukum melalui peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi,”

tutupnya. (ry/sdr)

Menurut Prof. Miriam Budiardjo Di dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik, menjelaskan tentang apa itu negara. Menurut beliau, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.

Definisi tersebut adalah salah satu dari sekian banyak definisi negara yang dikemukakan para ahli. Antara satu definisi dengan definisi yang lain sebenarnya tidak terlalu banyak perbedaan. Untuk dapat berdiri, suatu negara harus memenuhi beberapa persyaratan. Nah, menurut Konvensi Montevideo yang diadakan pada tahun 1933, ada beberapa syarat bagi suatu negara untuk berdiri. Syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Memiliki warga
  2. Memiliki batas wilayah yang jelas
  3. Memiliki pemerintahan
  4. Dan memiliki kemampuan untuk mengadakan kerja sama dengan negara lain

Dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas salah satu dari syarat di atas yaitu bentuk dari sistem pemerintahan. Adanya pemerintahan adalah salah satu syarat berdirinya negara nih, sedikit informasi bentuk atau sistem pemerintahan yang dimiliki satu negara, berbeda dengan yang dimiliki negara lain. Apa saja itu? Nah, di artikel kali ini, kita akan bahas beberapa sistem pemerintahan yang ada di dunia.

Monarki Absolut

Monarki adalah sistem politik di mana kedaulatan atau kekuasaan dipegang oleh satu individu. Sedangkan monarki absolut adalah suatu sistem pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja/ratu. Dalam sistem ini, raja/ratu tidak hanya menjadi kepala pemerintahan tetapi juga sekaligus mengepalai negara. Contoh negara yang menganut sistem ini adalah Kerajaan Arab Saudi di mana raja yang memerintah menjabat sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

Monarki Konstitusional

Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan ini, kekuasaan tidak sepenuhnya dipegang oleh monarki melainkan juga dipegang oleh organisasi lain seperti misalnya parlemen. Sistem pemerintahan Inggris menggunakan monarki konstitusional di mana raja/ratu (saat ini oleh Ratu Elizabeth II) berperan sebagai kepala negara dan pemerintahan dikepalai oleh seorang perdana menteri.

Selain oleh Inggris, monarki konstitusional juga diterapkan oleh negara lain seperti Belgia, Kamboja, Belanda, Norwegia, dan juga Swedia.

Republik Presidensial

Di negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan dan kepala negara dipimpin oleh seorang presiden. Salah satu negara yang menerapkan sistem pemerintahan ini adalah negara kita, Republik Indonesia. Meski Indonesia menganut sistem republik presidensial, kalau dilihat dari sejarahnya, Indonesia sempat mengalami beberapa kali perubahan sistem pemerintahan loh. Kalau kalian cermati sejarah Indonesia, pemerintahan negara ini sempat dikepalai oleh perdana menteri pada era Presiden Soekarno.

Republik Parlementer

Dalam sebuah negara yang menganut sistem republik parlementer, kepala pemerintahan (dalam hal ini eksekutif dan legislatif) dikepalai oleh seorang perdana menteri. Meski kerja memimpin pemerintahan porsinya lebih banyak dipegang oleh perdana menteri, dalam sebuah republik parlementer juga terdapat sosok presiden tetapi perannya lebih sedikit.

Contoh negara yang menerapkan sistem pemerintahan republik parlementer adalah Estonia.

Republik Semi Presidensial

Dalam sebuah republik semi presidensial, pemerintahan dijalankan oleh presiden dan perdana menteri. Salah satu negara yang menjalankan sistem pemerintahan ini adalah Prancis.

Republik Konstitusional Federal 

Selanjunya adalah republik konstitusional federal. Sebuah nama yang mungkin masih asing di telinga kalian. Beberapa dari kalian mungkin lebih akrab kalau gue sebutnya secara singkat saja sebagai republik atau negara federal. Iyes, ini adalah sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Amerika Serikat.

Dalam sistem federal, otoritas politik dibagi ke dalam dua perangkat. Satu perangkat di tingkat nasional dan satu perangkat di sub nasional atau kalau dalam kasus Amerika Serikat sub nasional ini adalah negara bagian (Oklahoma, New York, dan 48 lainnya).

Demikianlah beberapa sistem pemerintahan yang ada di dunia. Satu sistem yang digunakan oleh satu negara seringkali berbeda dengan negara lainnya. Ada negara yang menerapkan sistem monarki absolut seperti Arab Saudi dan ada juga yang menerapkan sistem presidensial seperti Indonesia. Masing-masing negara memiliki alasannya sendiri dalam menentukan sistem mana yang diterapkan dalam wilayahnya.

Ambang batas pencalonan presiden kembali menjadi perbincangan hangat. Perdebatannya mendominasi media dari mulai stasiun TV nasional hingga media online, para pakar, pengamat politik bahkan politisi. Masing-masing mengemukakan pendapat disertai argumentasinya mengenai angka yang cocok untuk diterapkan pada syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Para pendukung ambang batas pencalonan 0% telah beberapa kali mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan yang digugat adalah Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Namun beberapa kali MK menolak permohonan tersebut. MK berargumen hukum, ambang batas pencalonan presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Artinya, yang bisa mengajukan ambang batas 0% hanyalah pembentuk undang-undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan atau Presiden. MK pun berpendapat, pasal tentang ambang batas pencalonan merupakan open legal policy yang bisa diubah kapan saja oleh para pembuat undang-undang.

Ambang batas pencalonan memang menjadi perhatian para pengamat politik dan ketatanegaraan. Harapan ambang batas pencalonan 0% bukan tanpa rujukan penerapan negara lain. Di Amerika Serikat dan Prancis, tidak ada ambang batas pencalonan presiden seperti di Indonesia. Bahkan, di Amerika Serikat ada pencalonan presiden dari jalur independen nonpartai politik.

Namun, apakah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 0% cocok untuk diterapkan di Indonesia? Apakah ini dapat menambah efektivitas pemerintahan dan memperkuat sistem presidensial di republik ini?

Jika kita komparasi sistem presidensial dan format pemilu, penerapan di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat. Meskipun sistem pemerintahan Amerika Serikat adalah presidensial murni, namun presiden AS tidaklah dipilih langsung, melainkan dipilih oleh perwakilan yang disebut electoral college yang dipilih dengan menggunakan sistem First Past the Post (FPTP) yakni peraih suara terbanyak langsung ditetapkan menjadi pemenang (IDEA, Desain Sistem Pemilu: 33). Selain itu format pemilu legislatif AS juga menggunakan sistem mayoritarian FPTP yang memungkinkan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi sistem dua partai dominan. Sistem dua partai yang ditopang oleh sistem pemilu mayoritarian seperti di AS dianggap lebih mampu menciptakan pemerintahan efektif (Didik Supriyanto, Demokrasi dan Pemilu: 216).

Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial namun menggunakan sistem multipartai dengan sistem pemilu proporsional representatif (PR). Sistem ini memungkinkan hasil pemilu tidak ada partai yang menjadi mayoritas tunggal sehingga untuk membentuk pemerintahan efektif, partai pemenang pemilu harus membangun koalisi ketika mencalonkan presiden dan wakil presiden. Koalisi ini bukan hanya untuk sekedar memenuhi syarat ambang batas 20% jumlah kursi DPR, tapi juga agar ketika pasangan calon tersebut berhasil memenangkan pemilu mendapatkan dukungan mayoritas di DPR untuk menghindari pemerintahan terbelah (divided government).

Sistem presidensial Indonesia pun berbeda dengan Prancis. Prancis menganut sistem pemerintahan semi-presidensial, di mana presiden memang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan popular vote, namun Prancis juga memiliki perdana menteri yang dipilih oleh parlemen tetapi juga bertanggung jawab kepada presiden. Sistem ini memungkinkan check and balancing antar lembaga pemerintahan yang membuat jalannya pemerintahan bisa efektif. Di satu sisi presiden memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat.  Di sisi lain juga kepentingan mayoritas parlemen merasa telah terwakili dengan adanya perdana menteri yang mereka pilih.

Selain itu, Prancis juga menggunakan format pemilu yang memungkinkan penguatan sistem presidensial. Presiden dipilih sekitar 1 bulan sebelum pemilu legislatif yang berdampak efek ekor jas. Pengaruh kemenangan presiden terpilih masih terasa pada pemilihan anggota parlemen, sehingga pemerintahan presiden terpilih bisa memiliki dukungan mayoritas parlemen. Situasi tersebut diperkuat oleh sistem pemilu Prancis yang menggunakan Two Round System yang membuka peluang bagi kandidat dari partai presiden terpilih mendapat dukungan besar dari pemilih.

Kondisi berbeda terjadi pada sistem dan format pemilu di Indonesia, dengan sistem PR Terbuka. Dukungan pemilih untuk calon anggota legislatif cenderung lebih merata ke berbagai partai politik karena terbentuk pola kandidat sentris dan rendahnya party-ID sehingga sulit terbentuk mayoritas tunggal pada hasil pemilu di Indonesia. Ini ditambah dengan format pemilu serentak yang menggabungkan pemilu presiden dan pemilu legislatif di hari yang sama, membuat coattail effect tidak begitu terasa.

Ambang batas pencalonan nol persen memang sangat baik bagi demokrasi. Ini memberikan kesempatan yang luas bagi warga negara yang potensial untuk dapat berkompetisi menjadi calon presiden dan wakil presiden serta memberikan banyak pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon presiden dan wakil presiden alternative. Namun, jika ambang batas pencalonan 0% dipadankan dengan sistem pemilu dan format pemilu yang tidak tepat maka menurut beberapa pakar bisa menyebabkan instabilitas pemerintahan karena bisa menjadi sebab pemerintahan terbelah atau pemerintahan minoritas yang bisa menyebabkan instabilitas pemerintahan atau bahkan menjurus ke instabilitas politik.

Ambang batas pencalonan presiden 0% sepertinya lebih cocok jika dijadikan padanan untuk sistem pemilu mayoritarian, terutama varian first past the post dan two round system. Pilihan sistem ini terbukti berhasil membentuk mayoritas tunggal di parlemen dan efektivitas pemerintahan presidensial setidaknya pada dua negara demokrasi mapan seperti di Amerika Serikat dan Prancis.

Sebaliknya, ambang batas pencalonan presiden dengan besaran 20% seperti di Indonesia memungkinkan terbentuknya efektivitas sistem presidensial. Presidensial Indonesia menjadi terjaga karena partai politik terkondisikan untuk berkoalisi pada awal atau prapemilu agar dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang pemilu. Selain ini, besaran 20% pun bertujuan untuk lebih memungkinkan pembentukan koalisi mayoritas pendukung presiden di DPR, sehingga tidak terjadi pemerintahan terbelah.

Jika dipaksakan pada sistem pemilu proporsional daftar terbuka dan sistem multipartai seperti di negara kita, ambang batas 0% pada kandidasi presiden bisa saja akan menjadi penyebab “politik dagang sapi” dan “politik belah bambu” bagi partai oposisi pascapemilu jika presiden dan wakil presiden terpilih berasal dari partai minoritas dan justru akan melemahkan sistem presidensial di republik ini. []

MUAMAR KADAFI

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Seribu

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA