Contoh kasus KESADARAN pajak warga negara

Jakarta -

Sepuluh tahun lalu, saat saya baru di awal memulai usaha laundry, paling sebel rasanya jika ada petugas pajak dari pemda yang datang dan menagih pajak reklame untuk papan nama di outlet. Dalam hati saya, balik modal saja belum, ini pemerintah sudah minta duit duluan.

Maka, jika beberapa hari belakangan muncul wacana pengenaan PPN sembako dan jasa pendidikan, tak heran banyak pihak yang menolak. Karena sepertinya memang sudah jadi sifat dasar manusia yang paling susah untuk dimintai bayaran. Apalagi untuk hal-hal yang tak ada imbal balik langsung seperti pembayaran pajak.

Tapi logika ini sepertinya tak sepenuhnya berlaku di negara kita. Bukan soal mengeluarkan uang untuk membayar pajak, tapi soal kerelaan uang untuk berdonasi. Kita tentu masih ingat beberapa waktu lalu suatu penelitian yang dirilis secara internasional menyatakan bahwa masyarakat kita adalah salah satu yang paling murah hati di dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ya. Survei yang dilakukan Charities Aid Foundation (CAF), sebuah lembaga amal internasional yang berkedudukan di Inggris menunjukkan bahwa masyarakat kita memiliki nilai tinggi dalam kerelaan mengeluarkan uang untuk berdonasi. Fakta ini membuat saya berangan-angan. Jika kepedulian masyarakat kita untuk berdonasi kepada sesama begitu luar biasa, maka seharusnya kepedulian masyarakat kita kepada negara untuk membayar pajak juga bisa sama kuatnya.

Kepedulian masyarakat untuk membayar pajak tentu sangat penting di negara kita. Republik ini masih sangat butuh partisipasi rakyatnya dari pembayaran pajak. Tengok saja rasio pajak (tax ratio) negara kita yang masih cukup rendah. Data Kementerian Keuangan bahkan menunjukkan tax ratio Indonesia dalam tiga tahun terakhir terus mengalami penurunan.

Tax ratio kita tahun ke tahun menurun dari 10,24 persen di 2018 menjadi 9,76 persen pada 2019 dan semakin merosot jadi 8,33 persen pada 2020 karena pandemi. Nilai yang masih sangat jauh dibanding rata-rata penerimaan pajak yang diperoleh negara lainnya. Bandingkan dengan tax ratio rata-rata negara di dunia menurut World Bank yang mencapai 15,12 persen.

Lantas mengapa masyarakat kita gemar berdonasi, tapi masih enggan membayar pajak?

Prosedur dan administrasi yang berkaitan dengan pajak mungkin jadi satu alasan mengapa kesadaran membayar pajak tak sejalan dengan kemauan berdonasi. Segala tetek bengek yang harus dilalui masyarakat untuk mematuhi aturan perpajakan seperti pembuatan NPWP dan pelaporan SPT mungkin membuat rakyat enggan berurusan dengan pajak. Ini berbeda dengan mudahnya donasi yang bisa dilakukan di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja.

Tapi apa iya di era fintech ini mengurus pajak masih merepotkan? Sistem perpajakan yang serba daring seperti sekarang tentu membuat keribetan itu menjadi tidak begitu berarti. Pendaftaran NPWP maupun pengisian SPT bisa dilakukan secara online. Kalaupun butuh penjelasan dari petugas, tersedia layanan call center yang bisa dihubungi lewat telepon, live chat di website, bahkan bisa melalui chat di Whatsapp. Dengan semua saluran ini bisa dibilang mengurus pajak jaman sekarang tak ribet-ribet amat.

Bagaimana dengan besaran beban pajak yang harus dibayar? Apakah mungkin terlampau tinggi jika dibandingkan donasi yang sifatnya sukarela? Jika ingin membandingkan besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk membayar pajak dengan besarnya sumbangan yang biasa kita keluarkan, mari kita coba membuat hitung-hitungan sederhana.

Ambil satu contoh seorang karyawan singel dengan penghasilan diasumsikan sesuai rata-rata pendapatan penduduk Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik yakni 5 juta rupiah per bulan. Setelah dikurangi nilai Penghasilan Tak Kena Pajak (PTKP), pajak penghasilan yang harus ditanggung karyawan tersebut rata-rata 25 ribu sebulan atau hanya 0,5 persen dari total penghasilannya.

Sekarang kita bandingkan dengan besarnya uang yang dikeluarkan oleh masyarakat kita untuk berdonasi. Sebagai contoh, data yang dirilis oleh CEO salah satu website penggalangan donasi, kitabisa.com, menyatakan bahwa donasi dari para pekerja di Indonesia rata-rata mencapai 100 – 200 ribu rupiah.

Jika menggunakan hasil penelitian Tirto dan Jakpat bahwa dalam sebulan seorang milenial akan berdonasi satu kali, maka dengan pendapatan 5 juta rupiah per bulan dapat dihitung proporsi pengeluaran pekerja untuk berdonasi adalah 2 – 4 persen dari total penghasilan. Nilai yang lebih besar dari pengeluaran untuk membayar pajak, bukan?

Namun kita juga perlu menyadari bahwa dalam hidup keputusan manusia tidak sepenuhnya berorientasi pada besarnya nilai rupiah. Bisa jadi faktor utama yang membedakan antara gemarnya masyarakat kita berdonasi dengan rendahnya kesadaran membayar pajak adalah karena adanya perbedaan motivasi.

Motivasi untuk berdonasi tentu sangat terkait dengan rasa empati yang akhirnya memunculkan kepedulian dan menggerakkan keinginan untuk menolong orang lain. Rasa empati yang muncul akan mendorong kepedulian seseorang kemudian menggerakkan kerelaan untuk mengeluarkan uang secara cuma-cuma bagi sesama.

Sebaliknya, rasa kepedulian ini masih sulit ditemui sebagai satu faktor motivasi orang membayar pajak. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa motivasi seseorang membayar pajak banyak dipengaruhi oleh persepsi tentang untuk apa uang yang dibayarkan ke negara dan bagaimana uang tersebut dikelola.

Penelitian berjudul Tax Compliance in Indonesia: The Role of Public Officials as Taxpayers yang ditulis Abdul Rahman misalnya, menyebutkan bahwa persepsi pembayar pajak atas penggunaan uang pajak menjadi salah satu faktor non-ekonomi yang mempengaruhi kepatuhan membayar pajak.

Persepsi ini yang akan muncul secara spontan maupun melalui pemikiran rasional yang kemudian akan mengarahkan pada tindakan tertentu untuk patuh atau tidak patuh dalam membayar pajak.

Faktor Kunci

Tentu perlu pembuktian ilmiah untuk mengetahui apa sebenarnya yang menyebabkan rendahnya kesadaran membayar pajak masyarakat kita di tengah potensi kedermawanan yang sudah terbukti tinggi.

Namun terlepas dari segala penyebabnya, salah satu faktor kunci yang dapat menjadi motivasi orang membayar pajak yakni adanya rasa kepedulian masyarakat terhadap negara. Seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri Keuangan, membangun kepedulian terhadap negara terwujud dalam kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan. Motivasi membayar pajak dengan benar tidak dibangun atas rasa takut terhadap hukuman jika lalai namun patuh karena peduli.

Selain itu, pembenahan dalam administrasi perpajakan, tarif pajak yang adil dan kompetitif, serta perbaikan citra aparat pajak dan akuntabilitas pemerintah dalam pemanfaatan anggaran akan turut membentuk persepsi masyarakat bahwa uang yang mereka bayarkan untuk pajak akan digunakan dengan benar.

Jika kepatuhan pajak sudah baik, bukan tidak mungkin suatu saat pajak bisa menjadi kekuatan bangsa yang setara dengan dahsyatnya modal sosial masyarakat kita. Indonesia pun akan menjadi negara yang masyarakatnya tak hanya paling murah hati di dunia namun juga paling dermawan bagi sesama dan bagi negara.

Sandry Windiharto alumni program Master of Taxation Law dari The University Western Australia

(mmu/mmu)

Merdeka.com - Tingkat kesadaran warga Jawa Barat untuk membayar pajak masih terbilang rendah. Potensi kehilangan pendapatan negara pun hilang tinggi.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Jawa Barat I, Yoyok Satiotomo mengatakan, untuk Kanwil DJP I Jabar saja wajib pajak melapor baru setengahnya, dari 3 juta wajib pajak terdaftar.

"Wajib pajak ini ada di 3 juta, dari 40 juta warga (Jabar). Dari (wajib pajak) yang lapor pun belum tentu semua bayar. Jadi banyak potensi yang hilang," kata Yoyok di Gedung Sate, Bandung, Kamis (3/3).

Menurut yoyok, wajib pajak tidak patuh di antaranya perorangan bergerak di sektor perdagangan dan informal. "Kalau pekerja formal aman. Tapi banyak wajib pajak, dia jualan tekstil, sepatu, enggak punya NPWP," ujar Yoyok.

Yoyok mengaku terus menjaring wajib pajak buat meningkatkan pendapatan negara. Salah satunya dengan berkoordinasi dengan pihak lain, buat mengetahui wajib pajak mana saja yang belum patuh.

Karena itu, Yoyok mengaku akan memberikan sanksi kurungan penjara kepada wajib pajak yang tidak patuh. "Tapi yang enggak mau bayar, masih kita pelajari," ucap Yoyok.

Yoyok mengatakan, selain masih rendahnya para wajib pajak, tidak sedikit yang tidak terbuka dalam melaporkan transaksi keuangannya. Ini berdampak pada besaran nilai pajak yang tidak sesuai. Misalnya ada pemilik mobil mewah seperti Bentley.

"Tapi bayar pajak cuma sejuta (rupiah) setahun," imbuh Yoyok.

Yoyok berharap wajib pajak bisa lebih tinggi. Sebab pihaknya menargetkan tahun ini pendapatan pajak sebesar Rp 30 triliun.

[ary]

Contoh kasus KESADARAN pajak warga negara

Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu ciri-ciri dari negara maju ialah pada tingginya kesadaran rakyat dalam membayar pajak. Jika di presentasekan kurang lebih mendekati 100%, apabila di Indonesia bisa mencapai paling sedikit diangka 50% tentunya Indonesia akan lebih maju dari sekarang. Dalam hal ini, pemerintah pun terus berupaya dalam meningkatkan kedasaran dan kepatuhan masyarakat dalam hal perpajakan.

Dalam hal ini, tingkat kesadaran dan kepatuhan pajak dalam dikatakan berhasil apabila :

  • Realisasi penerimaan pajak terpenuhi negara sudah sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
  • Tingginya tingkat kepatuhan atas penyampaian SPT, baik Tahunan maupun Masa.
  • Bertumbuhnya Tax Ratio
  • Bertambahnya jumlah Wajib Pajak baru yang memenuhi kewajibannya.
  • Rendahnya jumlah tagihan atau tunggakan pada wajib pajak.
  • Minimnya jumlah pelanggaran dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari partisipasi masyarakat. Negara berwenang memungut pajak dari rakyatnya karena pajak digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat. 

Sistem pemungutan pajak yang dipakai saat ini adalah self assessment system yaitu sistem pemungutan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan utang pajaknya yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya. 

Pemberian kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya diimbangi dengan instrumen pengawasan, untuk keperluan itu fiskus diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak. 

Pajak menjadi sumber penerimaan dan pendapatan negara terbesar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya kontribusi sektor pajak terhadap penerimaan negara pada tahun 2016 yaitu sebesar 74, 6 % dari total pendapatan negara. Bahkan pada APBN tahun 2018 pajak menjadi penyumbang pendapatan negara sebesar 85%.

Penerimaan pajak inilah yang digunakan untuk meningkatkan pembangunan Indonesia mulai dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan berbagai sektor lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal inilah yang disebut sebagai fungsi budgetair (anggaran) pajak yaitu pajak berperan dalam membiayai berbagai pengeluaran negara.

Baca juga Apakah Zakat Dikenakan Pajak?

Pajak dan Pembangunan

Peran pajak dalam meningkatkan pembangunan diberbagai sektor kehidupan tentu tidak dapat dipungkiri, namun tidak banyak rakyat yang menyadari hal tersebut. Hal ini dikarenakan manfaat pembayaran pajak tidak langsung diterima, namun tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini hampir seluruh rakyat Indonesia telah memperoleh manfaat pajak.

Pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan berkualitas, akses transportasi dan mobilitas yang mudah melalui pembangunan infrastruktur jalan yang mendorong perekonomian adalah sekumpulan manfaat pajak. 

Peran pajak dalam membiayai berbagai pengeluaran negara khususnya dalam pembangunan dapat dioptimalkan apabila setiap warga negara yang merupakan wajib pajak sadar akan kewajibannya. 

Kepatuhan bayar pajak rendah

Sampai saat ini dapat dilihat bahwa kepatuhan membayar pajak oleh wajib pajak masih rendah. Sebagaimana disampaikan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga bahwa kepatuhan pajak masyarakat Indonesia dapat dilihat dari tingkat tax ratio yang masih 10,3%. 

Kepatuhan masyarakat terhadap pajak sangat dipengaruhi oleh kesadaran masyarakatnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran pajak bagi warga negara Indonesia. 

Pandangan bahwa membayar pajak merupakan wujud kecintaan kepada tanah air sebagaimana dianut oleh warga Jepang juga rasa tanggung jawab untuk berkontribusi mewujudkan kesejahteraan sebagaimana yang dianut warga Australia harus ditanamkan dalam diri warga negara Indonesia. 

Baca juga Pajak Penghasilan Atas Hadiah

Bonus demografi pajak

Sejalan dengan tujuan meningkatkan kesadaran pajak, maka keberadaan generasi muda yang akrab disapa generasi milineal menjadi sangat penting untuk mendukung tujuan tersebut. Sebagaimana data menunjukkan bahwa pada tahun 2045 Indonesia mengalami bonus demografi yaitu penduduk usia produktif mencapai angka mayoritas di Indonesia. 

Bonus demografi yang dipenuhi oleh generasi milenial ini harus dioptimalkan untuk mendukung budaya sadar pajak yang diharapkan dapat menciptakan wajib pajak yang patuh pajak.

Faktanya, saat ini Indonesia tengah menerapkan kebijakan pengelolaan keuangan defisit. Artinya, pengeluaran lebih besar daripada pemasukan yang didapatkan. Secara lebih sederhana, Indonesia tidak memiliki cukup uang untuk menjalankan roda kehidupannya.

Maka dari itu, pemerintah terpaksa harus meminjam uang baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Melakukan pengelolaan utang dengan penuh hati-hati memang merupakan pilihan terbaik dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan sebuah negara, dalam rangka memperbaiki dan memajukan negara.

Referensi:

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002

Hussein Kartasasmita, Reformasi Undang-undang Perpajakan, Jakarta, 1988

Disclaimer:

Artikel ini merupakan karya peserta pelatihan simulasi pajak hasil kerjasama Politeknik Negeri Bali dengan PT Mitra Pajakku. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. 

Informasi ini BUKAN merupakan saran atau konsultasi perpajakan. Segala aturan yang terkutip dalam artikel ini sangat mungkin ada pembaharuan dari otoritas terkait. Pajakku tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat adanya keterlambatan atau kesalahan dalam memperbarui informasi dalam artikel ini.