Berapa lama antibodi penyintas covid bertahan

Halodoc, Jakarta - Ketika virus dan bakteri penyebab penyakit menyerang, sistem kekebalan tubuh akan bekerja membentuk antibodi. Begitu pula ketika terinfeksi virus corona atau COVID-19, antibodi akan terbentuk. Perlu diketahui bahwa antibodi adalah sel-sel yang secara spesifik dibentuk untuk melawan virus tertentu.

Jadi, ketika seseorang yang terinfeksi COVID-19 kemudian sembuh, tubuhnya memiliki antibodi yang membentuk kekebalan, untuk mencegah infeksi ulang dari virus corona. Namun, berapa lama antibodi orang yang sembuh dari COVID-19 bisa bertahan dalam tubuh? Simak pembahasannya hingga tuntas, ya.

Baca juga: Ini Tempat yang Berisiko Tinggi Menularkan COVID-19

Setelah Sembuh dari COVID-19, Antibodi Bertahan 6-8 Bulan

Terkait berapa lama antibodi dalam tubuh orang yang sembuh dari COVID-19 bisa bertahan, para peneliti dari Oxford University berusaha menjawabnya. Menurut studi yang mereka lakukan, pengidap COVID-19 yang sudah sembuh akan kebal terhadap infeksi kedua setidaknya selama 6 bulan.

Hasil studi tersebut didapatkan dari pengamatan terhadap fenomena infeksi berulang yang terjadi. David Eyre, profesor di Oxford University, yang berperan sebagai ketua peneliti, mengatakan bahwa ia yakin dalam jangka pendek, kebanyakan orang yang sudah sembuh dari COVID-19 tidak akan terinfeksi lagi. 

Eyre juga menegaskan bahwa infeksi COVID-19 kedua kali relatif jarang terjadi. Meski belum dilakukan peer review (peninjauan oleh rekan sejawat), studi ini disebut sebagai langkah penting dalam memahami antibodi COVID-19 pada orang yang sudah sembuh. 

Selain itu, tim peneliti juga mengklaim bahwa studi ini merupakan penelitian skala besar pertama tentang seberapa besar perlindungan yang diberikan antibodi alami tubuh terhadap COVID-19, pada orang yang pernah terinfeksi. 

Studi dilakukan 30 pekan, selama April dan November 2020 dengan mengamati sebanyak 12.180 pekerja kesehatan di Rumah Sakit Universitas Oxford. Sebelum dilakukan pengamatan, semua peserta menjalani tes untuk mendeteksi adanya antibodi COVID-19, yang menandakan dia pernah terinfeksi virus corona. 

Baca juga: Mitos atau Fakta, Golongan Darah A Berisiko Tertular COVID-19

Dari hasil tes semua peserta, didapatkan 1.246 yang memiliki antibodi COVID-19 dan 11.052 yang tidak memiliki antibodi COVID-19. Lalu, setelah diamati selama sekitar 8 bulan, di antara peserta dari kelompok yang telah memiliki antibodi, tidak ada satupun yang bergejala ketika terinfeksi COVID-19 selama periode pengamatan. 

Lalu, pada kelompok peserta yang tidak memiliki antibodi, ada 89 orang yang dinyatakan positif COVID-19 dengan gejala. Namun, studi tersebut meyakini bahwa orang yang kembali terinfeksi virus corona tidak mengulangi gejala yang sama seperti ketika terinfeksi pertama kali. 

Sementara itu, dalam studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Science pada 6 Januari 2021 lalu, ditemukan bahwa kekebalan dapat bertahan selama 8 bulan. Menurut Shane Crotty, PhD., profesor di La Jolla Institute of Immunology yang ikut memimpin penelitian, timnya mengukur keempat komponen memori kekebalan, yakni:

  • Antibodi.
  • Memori sel B.
  • Sel T-Helper.
  • Sel T Sitotoksik.

Para peneliti menemukan bahwa keempat faktor tersebut bertahan setidaknya selama 8 bulan setelah terinfeksi virus corona. Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa tubuh dapat "mengingat" virus corona, sehingga ketika virus kembali memasuki tubuh, memori sel B dapat dengan cepat bersiap dan memproduksi antibodi untuk melawan infeksi ulang.

Baca juga: Kacamata Bisa Cegah Virus Corona, Mitos Atau Fakta?

Itulah sedikit pembahasan mengenai berapa lama antibodi bertahan setelah sembuh dari COVID-19. Meski butuh penelitian lebih lanjut, dan segala hal tentang COVID-19 masih terus diamati hingga kini, penting untuk senantiasa menjaga kesehatan. Sudah sembuh dari COVID-19 bukan berarti seseorang bisa kebal dan tidak akan terinfeksi lagi.

Oleh karena itu, pastikan kekebalan tubuh tetap prima, dengan menerapkan gaya hidup sehat dan mematuhi protokol kesehatan pencegahan COVID-19. Jangan lupa juga untuk memeriksakan kondisi kesehatan secara rutin. Agar lebih mudah, kamu bisa gunakan aplikasi Halodoc untuk buat janji dengan dokter di rumah sakit

Berapa lama antibodi penyintas covid bertahan

Referensi:
Oxford University. Diakses Pada 2021. Prior Covid-19 Infection Offers Protection from Re-Infection for at Least Six Months. 
Science. Diakses Pada 2021. Immunological Memory To Sars-Cov-2 Assessed For Up to 8 Months After Infection.
Healthline. Diakses pada 2021. How Long Does Immunity Last After COVID-19? What We Know.

22 Juli 2020

Berapa lama antibodi penyintas covid bertahan

Tes darah di laboratorium untuk melacak Covid-19 dan terbentuknya antibodi virus corona (Picture Alliance/Zoonar/R.Kneschke-DW.com)

Riset pada pasien Covid-19 yang sembuh tunjukkan, perlindungan kekebalan tubuhnya terhadap corona turun bahkan hilang setelah dua atau tiga bulan. Ini memicu pertanyaan ilmuwan mengenai pengembangan vaksinnya.

Orang yang sembuh dari infeksi virus biasanya punya respons kekebalan dan mengembangkan proteksi terhadap penyakit bersangkutan. Sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi, yang mampu mengenali virusnya jika menyerang untuk kedua kali. Antibodi juga tahu cara memeranginya.

Namun dalam kasus virus corona SARS-CoV-2 pemicu Covid-19, penelitian terbaru yang dilakukan di rumah sakit Schwabing di München Jerman, menunjukkan adanya penyimpangan dari hal lazim itu. Clemens Wendtner, dokter kepala di rumah sakit itu, melakukan rangkaian pengujian kekebalan pasien Covid-19, yang dirawat akhir Januari 2020 dan dinyatakan sembuh. 

Tes menunjukkan turunnya jumlah antibodi pada tubuh mereka secara signifikan. Wendtner mengatakan bahwa "antibodi yang menghentikan serangan virus, menghilang hanya dalam waktu dua sampai tiga bulan pada empat dari 9 pasien yang dimonitor."

Hasil pemantauan tersebut juga serupa dengan investigasi yang sudah dilakukan di Cina. Riset di Cina juga menunjukkan, antibodi virus SARS-CoV-2 pada bekas pasien Covid-19 tidak ada lagi dalam darah mereka. Dalam kondisi seperti ini, pasien bisa kembali terinfeksi virus corona karena tidak lagi memiliki perlindungan.

Penelitian lanjutan dengan skala lebih besar masih perlu dilakukan untuk menegaskan anomali ini. Namun temuan awal ini memberikan indikasi, bahwa gelombang kedua infeksi mungkin terjadi, di mana pasien juga kemungkinan mengembangkan kekebalan normal. Hal ini akan mengubah cara para pakar menangani Covid-19, termasuk melonggarkan tindakan social distancing.

Tes antibodi pada pasien COVID-19

Saat ini ada beberapa cara untuk mendiagnosa infeksi SARS-CoV-2. Salah satunya tes PCR, yang melacak indikasi keberadaan virus dengan menangkap langsung material genetikanya. Cara lainnya dengan mendeteksi adanya antibodi. Tes jenis ini memberikan informasi tidak langsung menyangkut adanya infeksi.

Tes antibodi massal virus corona sangat berguna, karena memberikan data status imunitas komunal. Tes antibodi juga bisa mengungkap kasus Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala atau gejalanya ringan. 

Tapi, jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa pasien dalam jangka waktu beberapa bulan kehilangan lagi antibodi virus corona bisa dikonfirmasi dalam tes lanjutan, ini berarti kita bisa kembali ke situasi awal pandemi, di mana setiap orang berisiko terinfeksi.

Salah satu cara untuk meredam penyebaran virus adalah dengan mengembangkan "herd immunity" alias kekebalan kelompok dalam populasi. Tapi hingga kini para pakar masih berdebat menyangkut persentase yang diperlukan untuk itu.

Satu kelompok menyebut, herd immunity Covid-19 akan tercapai jika 60% populasi sudah kebal terhadap virusnya. Kelompok lain bahkan menyebutkan kuotanya bisa sampai 90% populasi hingga dapat tercapai kekebalan kelompok.

Tapi dengan hasil riset terbaru itu, yang mengindikasikan kekebalan bisa hilang lagi dalam beberapa bulan, artinya gelombang kedua infeksi bisa saja terjadi. Herd immunity tidak terbentuk, dan berbagai kebijakan baru harus dijabarkan ulang.

Tes efektivitas kekebalan tubuh

Yang juga menarik dari riset ilmuwan di Cina yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature Medicine, adalah perbedaan efektivitas imunitas pada pasien Covid-19 yang sembuh. Disebutkan dalam hasil riset itu, pasien yang tidak menunjukkan gejala sakit, mengembangkan kekebalan tubuh yang lebih lemah, dibanding pasien dengan gejala berat.

Riset di Cina memfokuskan diri pada 37 pasien tanpa gejala dan 37 pasien Covid-19 dengan gejala lebih berat. Penulis laporan menyebutkan, pada kedua kelompok lebih 90% menunjukkan adanya penurunan jumlah antibodi penetral virus corona. Namun pada kelompok pasien asimptomatik, menurunnya jumlah antibodi berlangsung lebih cepat dibanding pasien dengan gejala sakit.

Penelitian lebih lanjut dengan ekstraksi antibodi 175 bekas pasien dalam jaringan sel di laboratorium yang disebut tes “in vitro“, menunjukkan hampir semua pasien punya proteksi sel dari serangan virus corona. Namun belum diketahui, apakah efektivitas antibodinya sama, jika berada dalam tubuh atau “in vivo“.

Sebagai perbandingan, antibodi virus corona jenis lainnya, bertahan hingga minimal satu tahun dalam tubuh. Misalnya virus SARS yang mewabah 2003 di Asia Tenggara, atau virus MERS yang mewabah 2012 di kawasan Timur Tengah.

Implikasi pada pengembangan vaksin

Semua data dan hasil riset terbaru yang dilaporkan punya implikasi pada pengembangan vaksin untuk melawan SARS-CoV-2. Sejauh ini ada 130 kandidat vaksin yang sedang menjalani tes praklinis atau tes klinis di seluruh dunia. 

Pengembangannya dapat dilakukan dengan cara konvensional dengan virus mati atau yang dilemahkan, maupun dengan metode baru yang disebut vaksin DNA atau RNA menggunakan informasi genetika virusnya.

Tapi jika antibodi alamiah menghilang sangat cepat, dipertanyakan berapa lama keampuhan respons vaksin terhadapmSARS-Cov-2? Sejauh ini memang belum ada vaksin yang terbukti ampuh dan mendapat izin edar. Semuanya kini harus melewati lagi rangkaian tes, sebelum bisa menemukannya. 

(as/ae/Dw.Com)