Belanda pertama kali mendarat di kalimantan timur tepatnya dimana

Pulau Kalimantan pernah menjadi medan perang melawan penjajah. Peristiwa ini pun dikenal dengan nama perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Belanda dan kemudian Jepang.

Peristiwa ini tepatnya terjadi di kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Akibat perlawanan terhadap penjajah, ada banyak nyawa yang berguguran.

Baca juga: Sejenak Mampir di Taman Digulis Pontianak

Nah, seperti apa perlawanan rakyat Kalimantan?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ringkasan Perjuangan Perlawanan Rakyat Kalimantan

Dikutip dari buku 'Sejarah' terbitan Grasindo, perlawanan rakyat Kalimantan berlangsung hampir selama setengah abad. Jenis perlawanannya pun terbagi menjadi dua corak, yakni ofensif (menyerang) dan defensif (bertahan).

Pertempuran ini berlangsung pada tahun 1859 karena Belanda ikut campur tangan terhadap pengangkatan raja di Kerajaan Banjarmasin. Hal ini pun ditentang oleh masyarakat dan juga bangsawan hingga menyebabkan perselisihan.

Diketahui, Belanda mengangkat pangeran Tamjidillah menjadi seorang sultan. Padahal, di sisi lain ada pangeran Hidayat yang dinilai lebih berhak namun hanya ditunjuk sebagai Mangkubumi sehingga memicu kemarahan rakyat untuk menyerang.

Tokoh Perlawanan Rakyat Kalimantan

Perlawanan rakyat Kalimantan melawan Belanda dipimpin oleh pangeran Antasari. Ia memimpin pasukan rakyat untuk mengepung benteng Belanda di Martapura dan juga Pangaron.

Kemudian, ada juga Kyai Demang Loman dan pengikutnya yang bergerak di sekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda. Sementara di pos Belanda Istana Martapura, Haji Nasrun juga melakukan penyerangan.

Pada bulan Agustus 1859, tiga tokoh setempat, Haji Buyasin, Kyai Lang Lang, dan Kyai Demang Loman bersama-sama menyerang benteng Belanda di Tabanio. Sedangkan, pangeran Hidayat tetap mengadakan perlawanan gerilya.

Sayang, di tahun 1862 pangeran Hidayat ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur. Sedangkan Pangeran Antasari diketahui meninggal dunia di tahun yang sama.

Selanjutnya, tokoh kepemimpinan dilanjutkan oleh Gusti Matsaid, Pangeran Mas Natawijaya, Tumenggung Surapati, Tumenggung Naro, Penghulu Rasyid, Gusti Matseman, dan Pangeran Perbatasari dengan melakukan perlawanan gerilya.

Perlawanan tersebut dilakukan menyebar ke berbagai wilayah guna menyulitkan Belanda. Diketahui, perlawanan itu berlangsung hingga awal abad ke-20 atau tahun 1905.

Baca juga: Ini Dia Sosok di Balik Video Nepal di Kaki Gunung Sumbing

Perlawanan Rakyat Kalimantan terhadap Jepang

Selain Belanda, rakyat Kalimantan juga melakukan perlawanan terhadap Jepang. Hal ini terjadi pada tahun 1940-an di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.

Jepang pertama kali mendarat di Kalimantan Barat pada Februari 1942. Sekitar dua tahun kemudian terjadi pembunuhan massal bermula dari informasi yang diterima pihak Jepang bahwa akan muncul perlawanan. Jepang pun mulai melakukan penangkapan pada tokoh-tokoh masyarakat.

Mulai Oktober 1943 sampai Juni 1944, Jepang melakukan eksekusi orang-orang yang ditangkap. Puncaknya terjadi pada 28 Juni 1944 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Mandor. Mandor adalah sebuah wilayah kecil yang berjarak sekitar 88 kilometer dari Kota Pontianak. Diperkirakan ribuan orang tewas dibantai tentara Jepang dalam periode itu.

Di pihak Suku Dayak terjadi juga konflik dengan tentara Jepang. Konflik dan pembantaian, akhirnya pada tahun 1944 orang-orang Dayak di Kalimantan Barat mulai melakukan perlawanan rakyat Kalimantan. Namun sayang, hal itu tidak mengancam kekuasaan Jepang sama sekali.

Belanda pertama kali mendarat di kalimantan timur tepatnya dimana

Pasukan Pendaratan Khusus Kure Ke-2 menjaga Tarakan setelah merebut pulau tersebut.

Elshinta.com - Pada 16 Desember 1941, pasukan Jepang mendarat di Miri daerah Kalimantan Utara, ke Serawak pada 24 Desember 1941, kemudian menerobos masuk ke Pontianak yang jatuh ke tangan mereka pada 28 Desember 1941. Jepang menguasai Hindia Belanda diawali dengan penaklukan Tarakan, Kalimantan Timur pada 11 Januari 1942.

Untuk merebut Tarakan yang saat itu masih dijaga oleh pasukan militer Hindia Belanda, pasukan Jepang berencana untuk mendarat dari dua sisi timur pulau. Satu bagian dari pasukan mereka, Unit Sayap Kanan (dibawah komando Kol. Yamamoto), akan mendarat di pantai dekat Sungai Amal dan menghancurkan pasukan Belanda di sana. Bagian kedua, Unit Sayap Kiri, akan mendarat lebih ke selatan di Tandjoeng Batoe (Tanjung Batu) dan maju ke barat untuk merebut baterai Peningki-Karoengan.

Pada 10 Januari 1942, setelah sebuah Dornier Do 24 milik Marine Luchtvaartdienst (MLD; Layanan Penerbangan Angkatan Laut Belanda) menemukan armada invasi Jepang yang mengarah ke Tarakan, Letkol Simon de Waal memerintahkan agar semua instalasi minyak di pulau itu dihancurkan. Pada pukul 10:00 malam, sebanyak 100.000 ton minyak telah dilalap api.

Pada pukul 03:00, 11 Januari, Sersan Mayor C.P.E. Spangenberg, yang mengkomandoi titik dukungan Sungai Amal (dengan 53 tentara) melaporkan melihat kapal-kapal pendaratan di dekat pantai. Pada saat itu, Unit Sayap Kanan dari pasukan invasi Jepang mulai mendarat di bagian timur Tarakan.

Pasukan Belanda yang telah mengatur posisi untuk mempertahankan serangan dari arah barat masih tidak yakin bahwa pasukan musuh yang telah berkonsentrasi pada bagian timur pulau itu merupakan kekuatan serangan utama. Pendaratan dan manuver pengalihan masih dipertimbangkan, bahkan ketika pasukan pendaratan Jepang lainnya sudah terlihat pada pukul 05:00 pagi oleh posisi pertahanan di Tandjoeng Batoe, di sisi selatan pulau.

Setelah berhasil mengalahkan Belanda, Jepang kemudian melakukan beberapa upaya untuk mempertahankan Tarakan, salah satunya dengan membuat sistem pertahanan. Namun, penguasaan Tarakan tidak berjalan lama dan mereka terpaksa harus meninggalkan Pulau Tarakan karena kekalahan atas serangan kolaboratif kekuatan Sekutu (Amerika, Inggris, Australia, dan Belanda). Tarakan berada di bawah pendudukan Jepang hingga Mei 1945, ketika pasukan Australia merebut pulau ini kembali.

Kurang dikenalnya Tarakan sebagai salah satu peninggalan Perang Pasifik yang merupakan bagian dalam cerita Perang Dunia II mengakibatkan sejarah yang ada di Pulau Tarakan seperti terlupakan di dalam sejarah-sejarah Indonesia. Padahal, Pertempuran Tarakan ini adalah awal mula masuknya Jepang beserta propagandanya yang memporak-porandakan rakyat Indonesia pasca kolonialisme Belanda. 

DISCLAIMER: Komentar yang tampil sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengirim, dan bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi Elshinta.com. Redaksi berhak menghapus dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.

Belanda pertama kali mendarat tepatnya di mana?

Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, dan berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Namun kedatangan Belanda diusir penduduk pesisir Banten karena mereka bersikap kasar dan sombong. Belanda datang lagi ke Indonesia dipimpin Jacob van Heck pada tahun 1598.

Kapan Jepang mendarat ke Indonesia melalui Tarakan dan Kalimantan Timur?

Jepang mendarat pertama kali pada 10 Januari 1942 di Tarakan, Kalimantan Utara. Tarakan menjadi sasaran utama invasi Jepang di Indonesia karena .... Jepang mendarat pertama kali pada 10 Januari 1942 di Tarakan, Kalimantan Utara. Tarakan menjadi sasaran utama invasi Jepang di Indonesia karena ....

Mengapa Jepang mendarat di Tarakan?

Tarakan dulunya merupakan daerah penghasil kilang minyak utama dimasa kolonial Belanda. Tarakan mengutamakan kepentingan strategis yang besar selama perang Asia-Pasifik. Hal ini pula sepertinya yang membuat bahan pertimbangan Jepang menjadikan Tarakan sebagai target utama dan akhirnya memutuskan mendarat di sana.

Jepang mendarat pertama kali di Indonesia pada tanggal 11 Januari 1942 tepatnya di pulau apa?

Jepang menguasai Hindia Belanda diawali dengan penaklukan Tarakan, Kalimantan Timur pada 11 Januari 1942. Untuk merebut Tarakan yang saat itu masih dijaga oleh pasukan militer Hindia Belanda, pasukan Jepang berencana untuk mendarat dari dua sisi timur pulau.