Bagaimana Statuta Roma mengatur Kejahatan terhadap kemanusiaan

Jurisdiksi International Criminal Court (ICC)

The International Criminal Court (ICC) is an independent judicial body with jurisdiction over persons charged with genocide, crimes against humanity and war crimes.

Jika diterjemahkan secara bebas, ICC adalah badan peradilan independen yang memiliki jurisdiksi terhadap individual yang diduga melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan/atau kejahatan perang.

ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma 2002. Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma 2002 menegaskan bahwa jurisdiksi tindak pidana yang menjadi kewenangan ICC adalah:

  1. Genosida;

  2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;

  3. Kejahatan perang;

  4. Agresi.

Pasal 11 ayat (1) Statuta Roma 2002 kemudian menambahkan bahwa:

The Court has jurisdiction only with respect to crimes committed after the entry into force of this Statute.

Sehingga, ICC hanya memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma 2002 pada 1 Juli 2002.[1]

ICC memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah negara pihak Statuta Roma 2002 atau kejahatan yang dilakukan oleh warga negara pihak Statuta Roma 2002 sebagaimana diterangkan Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 2002.

Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma 2002, negara non-pihak atau yang tidak meratifikasi Statuta Roma 2002 dapat membuat deklarasi untuk menerima jurisdiksi ICC, khusus untuk perkara terkait.

Selain itu, ICC hanya memiliki jurisdiksi terhadap orang perseorangan,[2] dengan batasan umur yang ditentukan Pasal 26 Statuta Roma 2002:

The Court shall have no jurisdiction over any person who was under the age of 18 at the time of the alleged commission of a crime.

Yang berarti bahwa ICC tidak memiliki jurisdiksi terhadap individu yang berumur di bawah 18 tahun ketika melakukan kejahatannya.

Penjelasan di atas merupakan uraian singkat mengenai cakupan kejahatan, waktu, wilayah, dan golongan perseorangan yang berada dalam jurisdiksi ICC.

Pelaksanaan Jurisdiksi ICC

Pasal 17 ayat (1) huruf a Statuta Roma 2002 berbunyi:

Having regard to paragraph 10 of the Preamble and article 1, the Court shall determine that a case is inadmissible where:

  1. The case is being investigated or prosecuted by a State w hich has jurisdiction over it, unless the State is unwilling or unable genuinely to carry out the investigation or prosecution;

Sesuai ketentuan tersebut, ICC akan menyatakan perkara tertentu tidak dapat diterima, salah satunya, jika perkara tersebut sedang diinvestigasi atau dituntut oleh negara yang memiliki jurisdiksi untuk menanganinya, kecuali negara tersebut memang tidak berkeinginan (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk melakukan investigasi atau penuntutan.

The ICC is intended to complement, not to replace, national criminal systems; it prosecutes cases only when States do not are unwilling or unable to do so genuinely.

Pernyataan tersebut menegaskan posisi ICC sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma 2002, bahwa jurisdiksi ICC hanyalah bersifat complementary atau melengkapi sistem hukum nasional, sehingga sepanjang negara yang memiliki jurisdiksi masih berkeinginan dan mampu memproses perkara pidana tersebut, maka ICC tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili.

Ketiadaan Hukum dalam Mengadili

Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma 2002 menegaskan bahwa:

In order to determine inability in a particular case, the Court shall consider whether, due to a total or substantial collapse or unavailability of its national judicial system, the State is unable to obtain the accused or the necessary evidence and testimony or otherwise unable to carry out its proceedings.

Dengan demikian, Statuta Roma menjelaskan bahwa salah satu tolak ukur bahwa sebuah negara tidak mampu (unable) adalah tidak adanya sistem hukum nasional.

lack of substantive or procedural penal legislation rendering system “unavailable”

Sehingga, hal tersebut menjawab pertanyaan Anda, bahwa salah satu indikasi negara yang tidak mampu memproses perkara pidana adalah ketiadaan hukum yang berlaku, seperti yang Anda tanyakan.

Maka, terhadap situasi yang demikian, ICC dapat melaksanakan jurisdiksi untuk mengadilinya.

Jurisdiksi Terhadap Kejahatan Sebelum Berlakunya Statuta Roma 2002

Berkaitan dengan pertanyaan Anda, bagaimana jika kejahatan tersebut dilakukan sebelum berlakunya Statuta Roma 2002? Maka, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Statuta Roma 2002 yang kami terangkan di atas, ICC tidak memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan tersebut.

Dalam artikel yang kami akses dari laman Human Rights Watch berjudul The Mandate of the International Criminal Court, untuk kejahatan yang terjadi sebelum berlakunya Statuta Roma 2002, maka dibutuhkan alternatif penegakan hukum lain, seperti penuntutan oleh sistem hukum nasional, pembentukan badan peradilan internasional yang bersifat ad hoc, atau penuntutan oleh negara lain yang punya jurisdiksi, termasuk negara yang menerapkan jurisdiksi universal.

Universal jurisdiction refers to the assertion of jurisdiction over offences regardless of the place where they were committed and the nationality of the perpetrator or the victim.

Jika diterjemahkan secara bebas, jurisdiksi universal adalah jurisdiksi negara terhadap suatu tindak pidana, terlepas dari tempat dimana tindak pidana tersebut dilakukan dan kewarganegaraan dari pelaku maupun korban tindak pidana tersebut.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. How the Court works, diakses pada 14 September 2020, pukul 16.45 WIB;

  2. Joining the International Criminal Court Why does it matter? , diakses pada 16 September 2020, pukul 16.51 WIB;

18-02-2009 / B.K.S.A.P.

Pada Agustus 2006, perwakilan Parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi atau aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan pula Parliamentarian for Global Action (PGA) Indonesia chapters, dimana Sekretariat Internasional PGA selama ini sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana Internasional. Demikian terungkap dalam Diskusi yang dibuka Koordinator PGA Indonesia Chapter Theo L. Sambuaga, Selasa (17/2), di gedung DPR RI, Jakarta Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court-ICC) didirikan berdasarkan statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” dikota Roma. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan tersebut yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression). Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal of Rwanda (ICTR). Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanent (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma). Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independent dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjuan multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB (Pasal 2 Statuta Roma). Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan Negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional. Keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan keamanan PBB atau rujukan Negara saja, tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh Negara. Peran Indonesia Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonseia terlibat secara aktif dengan menirimkan delegasi untuk mengikuti konferensi diplomatik di Roma pada bulan Juli 1998, ketika Statuta Roma itu disahkan. Pada saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statute Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Indonesia juga menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma. Tahun 1999, Indonesia menyampaikan pernyataan positif kepada komite ke-6 majelis umum pbb dalam pandangannya mengenai statuta roma. Indonesia menyatakan bahwa “partisipasi universal harus menjadi unjung tombak ICC” dan bahwa “pengadilan menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh bansa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial dan budaya”. Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam piaga PBB yang meliputi persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulan Negara dan kesatuan wilayah. Dalam hal ini, Indonesia menegaskan bahwa mahkamah berusaha untuk melengkapi dan bukan menggantikan mekanisme hukum nasional. Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarno Puteri mengesahkan rencana akhis nasional tentang hak-hak asasi manusia (RANHAM) 2004-2009. rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi statute roma pada tahun 2008. untuk melaksanakan prancangan tersebut, presiden membentuk sebuah komite nasional. Dalam beberapa kesempatan, Pemerintah juga menyatakan bahwa Statute Roma sedang dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan. Dirjen HAM Departemen Hukum dan Ham Harkristuti Harkrisnowo menegaskan dengan diratifikasinya Statuta Roma akan menambah dan memperkuat hukum formal Indonesia. (as)