Bagaimana hubungan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia?

JAKARTA - Hari Kemerdekaan RI dirayakan setiap 17 Agustus.

Hari ini merupakan perayaan terbesar bagi rakyat Indonesia karena dari sinilah bangsa Indonesia terbentuk.

Pada 17 Agustus 2022 Indonesia merayakan HUT Ke-77 RI. Perayaan tahun ini bertema `Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat`.

Berikut sejarah singkat bagaimana bangsa Indonesia bisa merdeka pada 17 Agustus 1945.

Baca juga :

Dilansir dari berbagai sumber, diketahui, nama Indonesia baru digunakan pertama kali saat Kongres Pemuda II, yakni 28 Oktober 1928.

Padahal, jauh sebelumnya, wilayah Indonesia ini dulu lebih populer dengan nama Nusantara. Berbagai kerajaan tersebar dalam wilayah Nusantara ini.

Nusantara ini hampir tidak pernah lepas dari para penjajah yang berasaal dari bangsa asing. Sumber daya alam yang melimpah jadi incaran.

Bangsa Portugis di tahun 1509 bahkan berhasil menguasai wilayah Malaka, Ternate dan Madura.

Salah satu perlawanan dilakukan oleh Fatahillah dari Demak yang berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis pada tahun 1602.

Kemudian, Belanda pindah ke Banten yang saat itu di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Ini tepatnya setelah penjajah dari Portugis.

Saat itu, Belanda bermaksud menguasai rempah-rempah Indonesia dan membentuk VOC.

Dalam membentuk VOC, ada beberapa perjanjian yang harus ditaati oleh Belanda seperti Perjanjian Bongaya hingga perjanjian Giyanti.

Belanda kemudian memilih Herman William Daendels sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda saat setelah VOC berakhir.

Di masanya, Ia mempekerjakan paksa masyarakat di pulau Jawa untuk bekerja membuat jalur anyer-panarukan.

Kurang lebih, Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun.

Itu tepatnya hingga Jepang masuk ke Indonesia. Serta, saat Jepang menyerang Belanda hingga menyerah tanpa syarat.

Pemerintahan Jepang berakhir setelah 3,5 tahun menjajah. Berakhir ketika tentara sekutu kalah pada Perang Dunia II.

Selain itu, dua kota di Jepang, yakni Hiroshima dan Nagasaki juga dibom oleh tentara sekutu.

Kabar kekalahan Jepang kemudian sampai ke Indonesia. Kemudian, terbentuklah BPUPKI atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Dr. Radjiman wedyodiningrat

Setelah mendengar kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945, Golongan Muda mendesak agar golongan tua cepat melakukan proklamasi kemerdekaan.

Kemudian, proses kemerdekaan Indonesia bermula dari peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa tersebut merupakan peristiwa penculikan Soekarno dan Hatta oleh golongan muda untuk mempercepat pelaksanaan proklamasi.

Setelah kembali ke Jakarta, Soekarno dan Hatta mulai menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda dan dibantu oleh Ahmad Subarjo.

Penyusunan teks proklamasi tersebut juga disaksikan oleh Sukarni, BM Diah Sudiro dan Sayuti Melik.

Teks proklamasi akhirnya dibacakan pada 17 Agustus 1945.

Setelah Indonesia merdeka, kemudian UUD 1945 ditetapkan dan disahkan menjadi dasar negara Republik Indonesia. (*)

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.Pengibaran bendera pada 17 Agustus 1945.Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).Dikibarkannya bendera Indonesia pada 17 Agustus 1945.Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta BPUPKI Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.Pada sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia. tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

tirto.id - Salah satu babak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah periode tiga setengah tahun masa pendudukan Jepang (1942-1945). Singkat memang, tapi membawa pengaruh yang signifikan bagi perjalanan republik. Masa pendudukan yang pendek ini kelak bermuara pada beberapa peristiwa penting yang salah satunya adalah terbukanya jalan bagi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jepang mulai masuk ke Indonesia pada 27 Desember 1941 setelah berhasil menguasai wilayah Kepulauan Tambelan di sekitar Laut Cina Selatan. Dua pekan berselang, yakni pada 11 Januari 1942, mereka mendarat di Tarakan dan Manado. Dua wilayah tersebut diduduki dengan serangan cepat yang membuat Belanda tidak berkutik.

Baca juga: Sejarah Jepang Mendarat dan Betapa Loyonya KNIL di Tarakan


Dalam rentang waktu yang hampir bersamaaan, Jepang juga berhasil menguasai Balikpapan pada 24 Januari 1942, Ambon pada 2 Februari 1942, dan Makassar pada 9 Februari 1942. Selain itu, mereka juga menguasai Palembang pada 15 Februari 1942 bersamaan dengan jatuhnya Singapura. Dengan demikian, daerah kaya minyak yang ada di Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan telah dikuasai Jepang seluruhnya (Wenri Wanhar, Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi (2014), hlm. 110-111). Ini adalah langkah penting sebagai bekal mereka dalam menghadapi perang di Pasifik yang memiliki arena tempur yang begitu luas.
Menghadapi kedatangan Jepang yang demikian cepat, menurut Maman S. Mahayana dalam artikel berjudul “Japanese Occupation Government Policy in Indonesia on Culture and Literature: a case study of Asia Raja Newpaper (1942-1945)”, secara umum terdapat tiga respons orang Indonesia dalam memandang kedatangan Jepang menggantikan kedudukan Belanda. Pertama, kelompok yang menyambut dan mendukung kedatangan mereka atas keberhasilannya mengusir Belanda dari Indonesia. Kedua, kelompok yang belum menentukan sikap antara mendukung atau menentang. Dan ketiga, kelompok yang sejak awal menentang kehadiran Jepang, walaupun mereka masih belum berani menunjukkannya secara langsung (hlm. 129). Selain itu, Maman juga membagi orang yang menentang pendudukan Jepang ini dalam dua kelompok; (1) kelompok yang terdiri dari keluarga amtenar, kaum bangsawan, dan pegawai pemerintahan dalam struktur negara kolonial Hindia Belanda. (2) Golongan orang-orang pergerakan yang sejak awal menempatkan pemerintah Jepang sebagai kekuatan imperialis dan perwujudan fasisme baru menggantikan kedudukan Belanda.

Silang Pendapat Golongan Tua dan Muda

Jepang mulai mengalami banyak kekalahan di front Pasifik dalam menghadapi Sekutu. Juni 1944, Angkatan Laut Jepang kalah dalam pertempuran di Laut Filipina. Satu bulan kemudian, mereka kehilangan pangkalan angkatan laut di Saipan (Kepulauan Mariana), yang berakibat pada terjadinya krisis kabinet di dalam negeri. Perdana Menteri Tojo (1941-1945) meletakkan jabatannya. Ia digantikan oleh Jenderal Koiso Kuniaki (1944-1945).
Kekalahan demi kekalahan itu terus berlangsung hingga mencapai puncaknya pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945: Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu. Peristiwa pengeboman tersebut menewaskan ratusan ribu warga. Jepang kemudian menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu. Beberapa sumber lain menyebutkan 15 Agustus 1945, ini muncul karena perbedaan zona waktu antara Jepang dan AS sebagai pusat kekuatan Sekutu di Pasifik pada waktu itu. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu membuat terjadinya kekosongan kekuasaan di Indonesia. Di satu sisi, Sekutu sebagai pemenang perang dan penguasa baru di wilayah jajahan masih belum datang. Dan di sisi lain, Jepang yang ada di wilayah republik sudah tidak memiliki kewenangan dan semangat untuk melakukan pendudukan. Menyikapi kekosongan kekuasaan tersebut, terjadilah silang pendapat yang tajam antara golongan tua dan muda. Sukarno, Hatta, dan generasi tua lainnya ragu-ragu dalam menyikapi kekalahan Jepang. Mereka takut memancing konflik lebih jauh dengan pihak Jepang yang nantinya berakibat pada pertumpahan darah yang tak berkesudahan. Selain itu, Sukarno dan Hatta juga masih terikat janji dengan Jepang ketika mereka pergi ke Vietnam untuk dilantik sebagai etua dan wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Baca juga: Sejarah Sukarno-Hatta Menjemput Janji Kemerdekaan ke Dalat


Sementara para pemimpin generasi muda menginginkan pernyataan kemerdekaan yang dramatis dan keluar dari bayang-bayang pemerintah pendudukan Jepang. Namun, tak seorang pun dari mereka berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta di sisi mereka. Hal ini bisa dipahami mengingat posisi Sukarno dan Hatta waktu itu begitu sentral dan kharismatik, tak hanya bagi kebanyakan orang Indonesia, tetapi juga di hadapan para tentara Jepang (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), hlm 443-444). Perbedaan pandangan ini kelak menyebabkan peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 pagi ke Rengasdengklok oleh golongan pemuda. Dalih para pemuda dalam penculikan ini adalah untuk mengamankan Sukarno-Hatta jika terjadi pemberontakan oleh Peta dan Heiho di Jakarta. Akan tetapi, hal ini tidak pernah terbukti dan memang hanya akal-akalan pihak pemuda agar Sukarno dan Hatta mau ikut mereka ke Rengasdengklok.Melihat gelagat yang mulai mencurigakan, Sukarno dan Hatta segera sadar bahwa ini merupakan siasat untuk memaksa mereka menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang. Keduanya tetap menolak paksaan para pemuda. Bahkan, sebagaimana ditulis oleh Haryono Rinaldi dalam artikel berjudul, “Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia”, ketika Sukarno diancam oleh Wikana—perwakilan pihak pemuda—yang mengatakan akan terjadi pertumbahan darah jika keinginan mereka tidak dilaksanakan. “Soekarno bukannya takut justru balik menggertak dengan mempersilahkan para pemuda untuk membunuhnya saat itu juga. Soekarno juga mengatakan bahwa dia tidak mau memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu karena terikat dengan kedudukannya sebagai ketua PPKI, sehingga menurutnya soal proklamasi kemerdekaan harus ditanyakan kepada wakil-wakil PPKI” (hlm. 146).

Bagaimana hubungan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia?

Infografik Mozaik Jepang Menyerah Sekutu. tirto.id/Sabit

Situasi serba tegang ini segera berubah ketika Ahmad Subardjo—yang termasuk perwakilan golongan tua—bertemu dengan perwakilan dari golongan pemuda di Jakarta. Dalam pertemuan itu dicapailah kesepakatan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus segera dilaksanakan di Jakarta. Tak lama setelah itu, Subardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, dengan diantar Jusuf Kunto (perwakilan dari pemuda) pergi Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno dan Hatta. Subardjo segera memberitahukan kesepakatannya dengan pemuda dan kondisi terkini yang sedang berlangsung di Jakarta kepada dwi tunggal republik. Setelah mendengarkan informasi dari Subardjo, Sukarno dan Hatta segera kembali ke Jakarta untuk menemui Mayor Jendral Nishimura sebagai penguasa tertinggi militer Jepang di Indonesia. Pertemuan ini untuk menjajaki sikap Nishimura mengenai rencana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam pertemuan itu juga turut hadir Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penerjemah.Sukarno dan Hatta menekankan kepada Nishimura bahwa Jendral Terauchi di Vietnam telah menyerahkan mandat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia kepada PPKI yang mereka pimpin. Oleh karena itu, melihat kondisi yang dialami oleh Jepang sekarang--menurut pandangan mereka--kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan.

Namun, Nishimura masih tetap menolak rencana proklamasi kemerdekaan karena menurutnya Jepang telah terikat pada janji untuk menjaga status quo di daerah yang didudukinya. Maka itu, Nishimura melarang Sukarno dan Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka melaksanakan proklamasi kemerdekaan.

Kebuntuan itu mendorong kepada keputusan bahwa kemerdekaan Indonesia memang harus ditentukan oleh bangsa Indonesia sendiri, terlepas dari bayang-bayang, izin, dan pengaruh Jepang yang telah kalah perang.