Bagaimana ciri khas karya sastra angkatan Balai Pustaka

Jumat, 17 Juni 2022 18:47 WIB

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Angkatan Balai Pustaka berdiri tahun 1917 dengan ditandai berdirinya Balai Pustaka. Para penulis/pengarang dan para ahli bahasa Melayu, didaulat menjadi redaktur dari Balai Pustaka. Novel “Siti Nurbaya” karya Marah Roesli, novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar, dan novel Salah Asuhan karya Abdul Muis merupakan salah satu contoh karya sastra Angkatan Balai Pustaka.Perlu diketahui juga, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, karakteristik diartikan sebagai Sifat Khas, artinya suatu yang membedakan antara periodisasi sastra angkatan balai pustaka dengan periodisasi lainnya, dan disetiap angkatan memiliki ciri khas atau karakteristiknya masing masing, berikut ulasannya.Ada pun beberapa ciri karya sastra pada angkatan ini antara lain:•    Bercorak pasif-romantik, ini berarti bahwa cita-cita baru senantiasa terkalahkan oleh adat lama yang membeku, sehingga merupakan angan-angan belaka. Itulah sebabnya dalam mencapai cita-citanya, pelaku utama senantiasa kandas, misalnya dimatikan oleh pengarangnya.•    Menggunakan bahasa Melayu Baru, yang tetap dihiasi ungkapan- ungkapan klise serta uraian-uraian panjang.•    Para penyairnya masih banyak yang mempergunakan puisi-puisi lama, pantun, dan syair, seperti terlihat pada karya tulis Sutan Ati, Abas, dan Sutan Pamunjtak.•    Bentuk puisi barat yang tidak terlau terikat oleh syarat-syarat, seperti puisi lama, mulai dipergunakan oleh para penyair muda. Para penyair baru ini dipelopori oleh Moh. Yamin, yang mempergunakan bentuk sonata dalam kesusastraan Indonesia.•    Bentuk prosa yang memegang peranan pada masa kesusastraan angkatan Balai Pustaka adalah Roman. Roman angkatan ini bertema perjuangan atau perlawanan terhadap adat istiadat lama, misalnya kawin paksa.•    Latar belakang sosial sastra periode Balai Pustaka berupa pertentanga paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.

•    Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel periode Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah.

Ikuti tulisan menarik Rufaida khairunnisa lainnya di sini.

Jenis sastra yang dihasilkan pada periode 1920 balai pustaka ini sebagian besar adalah roman. Selain itu, ada juga jenis sastra berbentuk puisi yang berupa syair dan pantun. Puisi berupa syair dan pantun tersebut umumnya disisipkan dalam roman untuk memberi nasihat kepada pembaca.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra angkatan Balai Pustaka.
a. Gaya bahasa mempergunakan perumpamaan klise, pepatah, dan peribahasa.     Contoh: . . . . Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang-bintang yang serupa mestika, berkilauan-kilauan di langit tinggi, sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan berarak beriringiring dari barat lalu ke timur. . . . .

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,

Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dalam kutipan di atas tampak bahwa novel Sitti Nurbaya menggunakan gaya bahasa yang mengandung perumpamaan klise.

Bagaimana ciri khas karya sastra angkatan Balai Pustaka


b. Alur yang digunakan sebagian besar alur lurus. Namun, ada juga yang mempergunakan alur sorot balik, misalnya Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
c. Teknik penokohan dan perwatakannya menggunakan analisis langsung.     Contoh: . . . . Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang, dadanya cekung, serta kakinya pengkar, kepalanya besar, tetapi tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya tinggal sedikit sekeliling kepalanya itu, telah putih sebagai kapas di busur. Misai dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, tergantung pada dagu dan ujung bibirnya, melengkung ke bawah. Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil, tetapi tajam, hidungnya bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam dan kotor, yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar, seperti telinga gajah, kulit mukanya berkarut-marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar. . . . .

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,

Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dalam kutipan tersebut bentuk fisik Datuk Meringgih digambarkan secara langsung.
d. Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga. Ada juga roman yang mempergunakan metode orang pertama, misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
e. Banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan inti cerita, seperti uraian adat, dongengdongeng, syair, dan pantun nasihat.    Contoh: . . . . Jika ada sumur di ladang, tentulah boleh menumpang mandi. Jika ada umur yang panjang, tentulah dapat bertemu lagi. . . . .

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,

Balai Pustaka, Jakarta, 1988

f. Bersifat didaktis. Sifat ini berpengaruh sekali pada gaya penceritaan dan struktur penceritaannya. Semuanya ditujukan kepada pembaca untuk memberi nasihat.     Contoh: . . . . Ingat-ingat engkau di negeri orang, Samsu!” kata ibunya. Tahu-tahu membawakan diri: mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah. Janganlah disamakan saja dengan di sini; janganlah disangka masih anak orang berpangkat juga di sana, sebab engkau akan berdiri sendiri lagi, jauh daripada kami, sekalian. . . . .

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,

Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Isi kutipan di atas memberi nasihat kepada Samsul bahri
g. Bercorak romantis, melarikan diri dari masalah kehidupan seharihari yang menekan.     Contoh: . . . . Semalam ini kita dapat bersendau gurau, besok kakanda tak ada lagi, kata Samsu pula, sambil mencium punggung tangan kekasihnya yang halus itu, beberapa kali. . . . .

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,

Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa novel Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai bercorak romantis.
h. Permasalahan adat, terutama masalah adat kawin paksa, permaduan, dan sebagainya.     Contoh: . . . . ”Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih,” kata ayahku pada malam itu kepadaku. ”Pertama umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu.” . . . . ”Jika engkau sudi menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini. Akan tetapi jika tak sudi engkau, niscaya aku dan sekalian kata yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya.”

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,

Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dari kutipan di atas diketahui masalah kawin paksa yang harus dilakukan oleh Sitti Nurbaya.
i. Pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua mempertahankan adat lama, sedangkan kaum muda menghendaki kemajuan menurut paham kehidupan modern.     Contoh: . . . . ”Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,” demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. ”Di rumah gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja.” ”Penat pinggangku duduk di kursi dan berasa pirai kakiku duduk berjuntai, Hanafi,” sahut ibunya. ”Kesenangan ibu hanyalah duduk di bawah, sebab semenjak ingatku duduk di bawah saja.” ”Itu salahnya, ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu . . . brrrr!” . . . .

Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai Pustaka, Jakarta, 1987

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa antara tokoh Hanafi dan ibunya terjadi pertentangan paham mengenai letak perabotan yang ada di rumahnya.
j. Latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah. Misalnya, novel Sitti Nurbaya memiliki latar tempat di daerah Padang.
k. Cerita bermain pada zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman antah-berantah.
l. Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, masalah masih bersifat kedaerahan. Contoh: . . . . ”Uang belasting? Uang apa pula itu?” tanya Datuk Malelo dengan senyum merengut. ”Ada-ada saja kompeni itu, untuk mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu?” . . . .

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,

Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa masalah yang terjadi masih bersifat kedaerahan saja. Masalah tersebut tentang uang belasting yang terjadi di Padang.

Related Posts :