Bagaimana cara melestarikan budaya berpeci dan bersarung di lingkungan santri

Sarung sudah menjadi warisan budaya yang mengakar di antara masyarakat Indonesia. Presiden Joko Widodo dan para santri juga kerap kali mengenakan sarung dalam berbagai kesempatan. Hal itu karena sarung dinilai sebagai kekayaan budaya yang tidak dimiliki bangsa dan negara lain.

Hal inilah membuat sarung memiliki identitas yang turut mempromosikan keislaman yang menghargai tradisi, keramahan dan telah menjadi karakteristik dari masyarakat Indonesia. Dalam diskusi bersama Behaestex 68 tahun, dengan tema ‘Merawat Tradisi, Menorehkan Prestasi, Menjaga Reputasi’, masyarakat diedukasi untuk turut berpartisipasi melestarikan budaya bersarung sebagai identitas bangsa Indonesia. Ia mengajak masyarakat bangga memakai sarung.

“Melestarikan budaya bersarung sebagai identitas bangsa Indonesia tentu menjadi kebanggaan,” kata Direktur Utama PT. Behaestex Najib Abdurrauf Bahasuan, baru-baru ini.

Bahkan, kata dia, sarung kini telah menjadi salah satu pakaian bangsa Indonesia yang keberadaannya masih eksis. Hal ini tidak lain karena sarung selain dikenal sebagai busana muslim, penggunaannya juga sebagai atribut busana yang berhubungan dengan budaya dan adat istiadat.

Selain itu, kain sarung produksi Indonesia telah digunakan oleh masyarakat lainnya di berbagai dunia. Tentunya ini menjadi salah satu kebanggaan untuk bangsa Indonesia.

Menurut Najib, agar kain sarung bisa tetap eksis keberadaannya, butuh keterlibatan dan peran dari masyarakat serta pemerintah untuk mendorong industri sarung terus tumbuh dan berkembang. Salah satunya, bentuk dukungan yang diharapkan adalah menjadikan sarung sebagai pakaian yang wajib digunakan dalam berkegiatan di sekolah, instansi atau perkantoran.

“Bagaimana agar dapat menghadirkan sarung yang berkualitas dengan mempertahankan pelestarian nilai budaya kepada masyarakat bahwa sarung menjadi salah satu khasanah budaya bangsa,” jelasnya.

Dimuat di https://www.jawapos.com/lifestyle/24/06/2021/bangga-pakai-kain-sarung-jadi-identitas-budaya-bangsa-indonesia/?page=2

Dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal yang ada dalam masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang anggota masyarakat khususnya kita sebagai generasi muda dalam mendukung kelestarian budaya dan ikut menjaga budaya lokal diantaranya adalah :

1.      Mau mempelajari budaya tersebut, baik hanya sekedar mengenal atau bisa juga dengan ikut mempraktikkannya dalam kehidupan kita.

2.      Ikut berpartisipasi apabila ada kegiatan dalam rangka pelestarian kebudayaan, misalnya :

a.       Mengikuti kompetisi tentang kebudayaan, misalnya tari tradisi atau teater daerah.

b.      Ikut berpartisipasi dengan mementaskan budaya tradisonal pada acara ataupun kegiatan tertentu, seperti pada saat perayaan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa, mengadakan pementasan ketoprak yang berbau perjuangan, dan lain-lain.

3.      Mengajarkan kebudayaan itu pada generasi penerus sehingga kebudayaan itu tidak musnah dan tetap dapat bertahan.

4.      Mencintai budaya sendiri tanpa merendahkan dan melecehkan budaya orang lain.

5.      Mempraktikkan penggunaan budaya itu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya berbahasa.

6.      Menghilangkan perasaan gengsi ataupun malu dengan kebudayaan yang kita miliki.

7.      Menghindari sikap primordialisme dan etnosentrisme.

8.      Ajarkan budaya kepada orang lain

Setelah mengenal betul budaya kamu, mulai dari sejarahnya sampai macam-macam kebudayaan yang lahir dari budaya tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah memberikan pengajaran kepada orang lain agar akan ada makin banyak orang yang mengenal budaya tersebut.

a.        Mengajar di sekitar lingkungan anda

Untuk melakukan ini, kamu bisa membuka sebuah kelas khusus budaya 

b.      Mengajar di sekolah

Selain membuka kelas budaya di sekitar lingkungan anda, anda pun bisa berbagi pengetahuan tentang budaya dengan anak-anak sekolah.

9.      Kenali Budaya

Dalam hal ini, ada berbagai macam cara yang dapat anda lakukan untuk mengenali budaya anda.

a.       Mencari tahu tentang budaya anda

b.      Mengikuti kegiatan budaya

c.       Bergabung dalam komunitas

SUMBER : http://hanydina.blogspot.co.id/2013/02/cara-menjaga-budaya-lokal.html


Jakarta -

Budaya daerah adalah budaya yang menggambarkan keadaan dan sifat di setiap daerah. Mengabaikannya bukan termasuk cara melestarikan budaya daerah di sekitar kita.

Pelestarian budaya merupakan upaya perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan warisan budaya, seperti dikutip dari buku Kemenbudpar bertajuk "Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan".

Maksud dari melestarikan budaya adalah agar nilai-nilai luhur budaya, yang ada di dalam suatu tradisi dapat tetap dipertahankan, meskipun telah melalui proses perubahan bentuk budaya.

Dikutip dari buku "Langkah Mengembangkan Generasi Muda yang Berbudaya" karya Siti Nur Aidah, contoh dari macam-macam budaya daerah Indonesia adalah:

Rumah adat

Contohnya: Rumah Joglo berasal dari Jogja, Rumah Gadang dari Sumatera Barat, Rumah Lopo dari Nusa Tenggara Timur, dan lain sebagainya.

Tarian
Contohnya: Tari Kecak khas Bali, Tari Piring khas Minangkabau, Tari Tortor khas Batak, dan lain sebagainya.

Lagu-lagu
Contohnya: lagu kicir-kicir dari Jakarta dengan khas logat betawinya, lagu Apuse dari Papua, lagu Bubuy Bulan dari Jawa Barat, dan lain sebagainya.

Musik
Contohnya: Alat musik Gamelan dari Jawa, Gondang Batak, Suling dan Keroncong khas Sunda, dan lain sebagainya.

Pakaian Adat
Contohnya: Cele dari Maluku, Songket dari Lampung, Baju Bodo dari Makassar, dan lain sebagainya.

Secara umum permasalahan dalam bidang kebudayaan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah, tentang bagaimana cara masyarakat Indonesia itu sendiri untuk memajukan dan melestarikan budayanya.

Salah satu bentuk transformasi atau perubahan bentuk budaya adalah kehadiran globalisasi. Pesatnya perkembangan globalisasi pada era ini, tidak bisa begitu saja kita hindari. Adanya globalisasi telah menawarkan gaya hidup yang konsumtif, yang bisa saja secara perlahan lahan akan menghilangkan nilai-nilai yang diajarkan dalam kearifan daerah bangsa.

Indonesia telah dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya daerah atau lokalnya. Untuk itu, dengan banyaknya warisan budaya daerah yang dimiliki bangsa Indonesia, masyarakat kita wajib untuk melestarikan budaya daerah sekitarnya.

Cara-cara Melestarikan Budaya Daerah

Cara-cara yang bisa detikers lakukan untuk melestarikan budaya daerah sekitar kita, diantaranya:

  1. Memperhatikan dan mempelajari budaya daerah. Contohnya dengan mempelajari tarian dan juga alat musik daerah sekitarmu.
  2. Menggunakan pakaian adat, sesuai dengan acara-acara tertentu.
  3. Mempelajari dan memakai bahasa daerah di lingkungan keluarga.
  4. Mengadakan dan turut serta dalam kegiatan lomba/pentas seni di daerah sekitar

Cara Menghargai Keberagaman Budaya Daerah

Banyaknya budaya yang kita miliki tidak hanya cukup untuk dilestarikan, namun budaya daerah juga perlu kita hargai. Beberapa cara untuk menghargai keberagaman budaya di sekitar kita adalah:

  1. Tidak menjelek-jelekan atau menghina suku dan ras bangsa lain .
  2. Menghormati adat istiadat daerah lain.
  3. Senantiasa untuk mau mengenal adat istiadat dari berbagai budaya suku yang ada di Indonesia.

Nah, itu tadi beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk melestarikan budaya daerah kita. Jangan lupa untuk selalu melestarikan budaya daerah kalian ya detikers!

Simak Video "Saat Sirine Sambut Peringatan Detik-Detik Proklamasi di DIY"



(pal/pal)

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pesantren, selain sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, juga mempunyai peranan penting dalam menjaga budaya lokal. Perhatian pesantren terhadap budaya lokal begitu kentara dari arsitekturnya yang mengadopsi budaya Jawa.. (baca : Abdurrahman Wahid, Memahami...) Misalnya Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang, pesantren ini menjadikan masjid sebagai titik sentral dari keseluruhan bangunan-bangunannya. Pada titik sentral ini, mulanya, seluruh kegiatan pesantren dilaksanakan. Mulai dari sekolah, mengkaji kitab kuning, hingga shalat berjamaah. Di sebelah selatan masjid, terdapat bangunan komplek induk (kamar santri yang tertua), sedangkan di sebelah Utara, terdapat rumah tempat tinggal pengasuh. Sampai saat ini, kebanyakan dari bangunan-bangunan pesantren Denanyar, mengambil posisi berhadapan dengan masjid. Arsitektur seperti ini sama persis dengan pesantren Langitan, Widang, Tuban.

Menurut Gus Dur, Bentuk arsitektur yang sedemikian rupa, bukanlah terbentuk secara tidak disengaja. Pendiri, K.H. M. Bisri Syansuri, (pendiri P.P Denanyar) secara aktif mengambil arsitekturnya dari simbol budaya Jawa yang berlandaskan pada pagelaran wayang. Santri adalah aspiran (salikun) yang berada di perjalanan menuju ke arah "kesempurnaan pandangan."

Karena proses belajar dan mengajar di pesantren bukanlah sekedar "menguasai" ilmu-ilmu keagamaan, melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup dan perilaku para santri itu nantinya setelah "kembali" dari pondok pesantren ke dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya, para kyai adalah mereka yang telah memiliki "kesempurnaan pandangan" (washilun). Dalam pengertian tasawuf, masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah antara keduanya merupakan tempat "pertempuran moral" berlangsung di antara santri yang akan diubah perilakunya oleh kyai.

Jika dianalogikan pada budaya Jawa, hubungan Kyai-Santri sama persis dengan hubungan pandawa-kurawa. Mereka adalah orang yang mencari kebenaran dan yang telah sampai pada kebenaran itu sendiri.

Hal ini semakin menegaskan bahwa pesantren tidak didesain ke Arab-araban, melainkan sarat dengan kearifan lokal. Sehingga pesantren merupakan perwujudan sintesis yang menghadirkan watak budaya nusantara. Hal itu juga terlihat dari penamaan beberapa pesantren yang didasarkan pada lokasi keberadaan pesantren. Misalnya Pesantren Langitan, Denanyar, Tambak Beras, Tebu Ireng, Krapyak dan lain sebagainya.

Selain desain arsitektur bangunannya yang sarat dengan budaya Jawa, kyai juga seringkali menganjurkan para santri untuk melakukan tradisi-tradisi "lelakon" nenek moyang. Misalnya "tirakat". Dalam pengertian ini, "tirakat" bisa berarti berpuasa sunnah atau menghindari makanan tertentu, seperti makanan yang berasal dari mahkluk bernyawa. Meskipun ajaran agama tidak pernah melarang makanan tertentu tersebut, namun pelaku "lelakon" ini sengaja menghindari agar lebih mudah menekan hawa nafsu. Karena ditengarai makanan tertentu tersebut terdapat kandungan yang dapat meningkatkan hawa nafsu.

Tidak sedikit dari sekian santri menjalani tirakat untuk melatih diri (riyadloh) dengan meninggalkan perbuatan yang bernuansa hedonis. Tujuannya yaitu untuk menekan hawa nafsu, sehingga nantinya tidak mengganggu proses pencapaian "kesempurnaan pandangan". Para santri meyakini, tirakat merupakan senjata ampuh untuk memenangkan "pertempuran moral" dalam mengubah perilaku menjadi lebih santun dan arif.

"Tirakat" juga diyakini dapat mempertajam mata hati (dzauq), sehingga akan lebih mudah menguasai ilmu yang diajarkan. Hal ini memang sangat bertolakpinggang dengan teori pendidikan modern yang menganjurkan kecukupan asupan gizi untuk menyerap ilmu pengetahuan. Di lingkungan pesantren, santri harus mempertajam mata hati dan menundukkan hawa nafsu. Dengan demikian, hati semakin bersih dan terhindar dari penyakit-penyakit yang dapat mengotori jiwa, sehingga akan lebih mudah memahamiilmu-ilmu keagamaan dan nasehat bijak dari Washilun.

Dalam budaya Jawa, tradisi "tirakat" sudah berkembang dan dilakukan oleh nenek moyang untuk memperoleh kesaktian. Yang mereka lakukan sangat beragam, diantaranya bertapa, mengembara dan lain sebagainya. Hal inilah yang terus dijaga oleh institusi pesantren, namun tetap menyesuaikan dengan ajaran agama.

Kita sebagai anggota masyarakat, mendapatkan kekayaan pengetahuan yang melimpah, paling tidak ada dua hal, yaitu peranan budaya pesantren dan kekayaan tradisi intelektual keagamaan yang dikembangkan pesantren. Jika kekayaan ini lenyap –baik seketika maupun secara perlahan—kita mengalami kerugian tak terhingga. Budaya yang kita warisi tidak akan tergantikan dengan apapun, dan tidak akan sebanding ditukarkan dengan apapun, termasuk dibandingkan dengan budaya global yang identik dengan modernitas dan pembaratan (westernisasi).

Namun, kedatangan globalisasi tidak dapat dibendung. Ia ibaratkan panser raksasa yang terus mengguling menggilas apapun yang menghalanginya. Globalisasi, sedikit banyak akan menggangu proses pelestarian budaya lokal. Jika memang globalisasi membabat habis tradisi dan budaya, kita sebagai masyarakat terancam krisis identitas. Identitas kita sebagai bangsa Timur yang khas dengan masyarakat komunikatif dan budayawan akan punah. Kita ter(di)paksa mengikuti budaya globalisasi yang notabene bukan budaya kita, melainkan budaya orang lain, budaya barat.

Pesantren, sebagai institusi pendidikan dan pelestari budaya, perlu sedikit menarik nafas dan bersiap untuk menghadapi globalisasi. Pesantren tidak boleh gagap menghadapi globalisasi, serta tidak larut tergiur dengan globalisasi.

Untuk itu, kaidah "al-muhafadhatu alal qadimish Shalih wal akhdzu bil jadidil aslah" (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil pola baru yang lebih baik) tidak cukup hanya di gaungkan saja, melainkan perlu langkah strategis untuk menerapkannya. Dalam keadaan tertentu, pesantren ter(di)paksa mengadopsi pola baru –pola global-- yang sangat bertentangan dengan tradisi lama.

Meskipun pesantren telah menunjukkan prestasi gemilang dengan mengemukanya kalangan santri pada tingkat atas, namun, institusi pesantren harus mengambil langkah strategis, pertama, investasi Sumber Daya Manusia (SDM) santri. Hal ini mutlak diperlukan. Santri yang akan hidup pada beberapa dekade mendatang, harus dipersiapkan dalam dua hal. Moral dan ilmu pengetahuan.

Pesantren sebagai institusi pendidikan akan mempersiapkan illmu pengetahuan modern yang kelak dibutuhkan santri untuk mengambil peranan penting dan bersaing di era globalisasi. Ini sesuai dengan prinsip "...wal akhdzu bil jadidil aslah".

Sedangkan fungsi pesantren sebagai pelestari budaya adalah mempersiap santri yang berpegang teguh pada identitas budaya lokal, tidak terombang-ambing oleh budaya global, hal ini sesuai dengankaidah " al-muhafadhatu alal qadimish Shalih...". Budaya lokal mutlak depertahankan demi menghindari krisis identitas di tengah global.

Saat ini, di indonesia, sedikit sekali lembaga pendidikan yang berfungsi ganda layaknya pesantren. Pada ranah inilah pesantren mampu mengambil peran dalam investasi SDM dalam rangka menghadapi Globalisasi. Selain itu, anak didik jebolan pesantren telah melewati tahap "pertempuran moral". Sehingga mempunyai keteguhan moral yang mutlak diperlukan dalam menghadapi budaya global yang hedonis dan matrealis.

Investasi SDM santri harus bervisi global, mengedapankan ilmu pengetahuan dan moral agama, serta mental pantang menyerah dan mengetahui identitas bangsa. Bukan intelektual yang tanpa moral serta krisis identitas.