Apa yang dimaksud dengan ilmu tajwid serta berikan satu dalil yang dianjurkan ketika membaca Alquran dengan ilmu tajwid?

Ilmu tajwid adalah ilmu yang mempercayai panjang pendeknya huruf yang dibaca di dalam Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim yang taat.

Namun bagaimana hukum membaca Al-Quran dengan tajwid dan mempelajari ilmu tajwid?

Mengenai hal ini masih terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara para ulama, namun sebagian besar ulama mewajibkan untuk mempelajari ilmu tajwid agar bisa membaca Al-Qur’an dengan lebih baik lagi.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “…dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil.” (Al Muzzammil: 4)

“Dan kami membacanya dengan tartil (teratur dengan benar).” (Al Furqan: 32)

Tartil adalah membaca huruf dengan baik dan mengerti tempat dimana akan berhenti membaca.

Baca juga:

Allah juga kembali berfirman, “Orang-orang yang telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al Baqarah: 121)

Begitu pula dengan beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan dari membaca Al-Qur’an dengan ilmu tajwid.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya bagaimana bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menjawab bahwa bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu dengan panjang-panjang kemudian dia membaca “Bismillahirrahman arrahiim” memanjangkan (bismillah) serta memanjangkan (ar rahmaan) dan memanjangkan ar rahiim.” (HR. Bukhari)

Rasul juga menganjurkan untuk mempelajari cara membaca Al-Qur’an dari orang tertentu yang bacaannya dianggap lebih baik dibandingkan dengan bacaan para sahabat Muslim lainnya.

Baca juga:

Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mintalah kalian bacaan Al Qur’an dari Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur ketika Ibnu Mas’ud menuntun seseorang membaca Al Qur’an. Maka orang itu mengucapkan:

“Innamash shadaqatu lil fuqara-i wal masakin.”

Dengan meninggalkan bacaan panjangnya, maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu katakan,

“Bukan begini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat ini kepadaku.” Maka orang itu jawab, “Lalu bagaimana Rasulullah membacakan ayat ini kepadamu wahai Abu Abdirrahman?” Maka beliau ucapkan:

“Innamash shadaqaatu lil fuqaraa-i wal masaakiin.”

Dengan memanjangkannya. (HR. Sa’id bin Mansur)

Begitu pula dengan beberapa ulama yang menganjurkan untuk membaca Al-Qur’an dengan menggunakan ilmu tajwid.

Baca juga:

Fatwa Ibnu Al Jazary

Tidak diragukan lagi bahwa mereka itu beribadah dalam upaya memahami Al Qur’an dan menegakkan ketentuan-ketentuannya, beribadah dalam pembenaran lafadz-lafadznya, menegakkan huruf yang sesuai dengan sifat dari ulama qura’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Annasyr 1/210)

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Adapun orang yang keliru yang kelirunya itu tersembunyi (kecil) dan mungkin mencakup qira’at yang lainnya, dan ada segi bacaan di dalamnya, maka dia tidak batal shalatnya dan tidak boleh shalat di belakangnya seperti orang yang membaca “as sirath” dengan ‘sin’, pergantian dari “ash shirath, karena itu qira’at yang mutawatir. (Majmu’ Fatawa 22/442 dan 23/350)

Fatwa Asy Syaikh Makki Nashr

Telah sepakat seluruh umat yang terbebas dari kesalahan tentang wajibnya tajwid mulai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai zaman sekarang ini dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi pendapat ini. (Nihayah Qaul Mufid hal. 10)

Baca juga:

Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albany

Ketika ditanya tentang perkataan Ibnul Jazary tersebut di atas, maka beliau mengatakan kalau yang dimaksud itu sifat bacaannya di mana Al Qur’an itu turun dengan memakai tajwid dan dengan tartil maka itu adalah benar, tapi kalau yang dimaksud cuma lafadz hurufnya maka itu tidak benar. (Al Qaulul Mufid fii Wujub At Tajwid, hal. 26)

Itulah beberapa penjelasan mengenai hukum mempelajari ilmu tajwid. Ilmu tajwid sangat dianjurkan untuk dipelajari agar bacaan kita jadi lebih baik. Demikianlah artikel yang singkat ini.

Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan dan keimanan kita kepada Allah SWT. Aamiin.

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Alquran sebagai  kalam Ilahi merupakan bacaan mulia yang menjadi pedoman bagi umat manusia membedakan mana yang benar dan batil. Hal tersebut menjadikan bagi setiap pembaca Alquran untuk membacanya sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan atau tidak asal-asalan saat membacanya.

Dalam firman Allah SWT pada surat Al Muzzammil ayat 4 disebutkan:اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

“Atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.”

Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya Al-Qur’an al-Azhim yang dimaksud membaca Alquran dengan tartil yaitu “bacalah Alquran degan perlahan, sebab itu akan membantu dalam memahami dan merenunginya.”

Menurut KH Ahmad Fathoni, salah satu Ulama pakar qiraat sab’ag dan ilmu rasm Utsmani berpendapat dalam bukunya Metode Maisuro, yang dimaksud dengan “perlahan-lahan” dalam ayat tersebut yaitu “membaca Alquran dengan tartil yang unggul”. Tak hanya diperintahkan untuk membaca dengan “tartil”, namun harus dengan “tartil yang benar-benar berkualitas”.

Dalam kitab Hidâyatul Qâri ilâ Tajwidi Kalâmil Bâriy karya ‘Abdul Fattah As Sayyid ‘Ajami Al Marsafi mengutip perkataan dari Ali bin Abi Thalib bahwa yang dimaksud dengan tartil yaitu:تجويد الحروف ومعرفة الوقوف

“Membaguskan bacaan huruf-huruf Alquran dan mengetahui hal ihwal waqaf”.

Oleh karenanya, untuk dapat membaca Alquran dengan tartil, harus melalui kaidah-kaidah atau cara-cara yang telah disusun para ulama tajwid. Sehingga seseorang bisa membacanya dengan fasih dan benar.

Apabila seseorang membaca Alquran tanpa ilmu tajwid maka dikhawatirkan akan terjadi kesalahan serta dapat mengubah makna ayat Alquran yang dibacanya.

Maka tidak heran jika Ibnu Al Jazari berpendapat bahwa membaca Alquran dengan tajwid adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Hal ini tersebut merupakan penjagaan terhadap keaslian Alquran. Lebih jelasnya beliau mengatakan dalam Manzhumah Al-Jazariyyahnya:

“Membaca Alquran dengan bertajwid hukumnya wajib. Siapa yang membacanya dengan tidak bertajwid maka dia berdosa, karena dengan tajwidlah Allah SWT menurunkan Alquran dan dengan tajwid pula Alquran sampai dari-Nya  kepada kita.”

Adapun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana hukum mempelajari tajwid dan hukum membaca Alquran dengan menggunakan tajwid? Apakah keduanya memiliki hukum yang sama?

Merujuk pada pendapat dari Ibnu Jazari dalam Nazhamnya yang terkenal:والأخذ بالتجويد حتم لازممن لم يجوّد القرآن ءاثم

“Membaca Alquran bertajwid adalah wajib # dan berdosa bagi pembaca yang tidak bertajwid.”

Berdasarkan pendapat Ibnu Jazari di atas, hukum membaca Alquran dengan tajwid serta tartil adalah fardhu ain bagi setiap umat Muslim.

Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa hukum mempelajari ilmu tajwid terbagi menjadi dua. Pertama, hukumnya sunnah bagi masyarakat umum. Kedua, hukumnya fardhu ain bagi masyarakat khusus (dalam hal ini bagi orang yang belajar mengajar Alquran).

Karenanya di setiap kota atau daerah harus ada sekelompok orang yang mempelajari ilmu tajwid dan mengajarkan kepada masyarakat. Jika tidak ada satu orangpun yang mempelajari ilmu tajwid di daerah tersebut, maka seluruh penduduknya berdosa.

Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Âtiyah Qâbil Nasr dalam kitabnya Ghâyatul Murîd ‘Ilmit-Tajwid, bahwa hukum tersebut disandarkan pada firman Allah SWT dalam surat At Taubah ayat 122: وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

Sudah kewajiban bagi setiap Muslim untuk membiasakan diri berinteraksi dengan Alquran. Baik itu membaca, menghafal, mengkaji kandungan maknanya bahkan mengamalkan isi kandungan Alquran tersebut. 

Karena membaca Alquran bernilai ibadah di sisi Allah. Allah memberikan pahala bagi siapa saja yang membaca Alquran pada setiap hurufnya. Dalam kitab Riyadh as-Shalihin, salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda: عن ابن مسعودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم: «مَنْ قَرَأ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا، لاَ أقول: ألم حَرفٌ، وَلكِنْ: ألِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيمٌ حَرْفٌ». رواه الترمذي، وقال: «حديث حسن صحيح». “Dari Ibnu Mas’ud RA, katanya, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang membaca sebuah huruf dari Kitabullah -yakni Alquran, maka dia memperoleh satu kebaikan, sedang satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang seperti itu. Saya tidak mengatakan bahwa Alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif adalah satu huruf, lam satu huruf dan mim juga satu huruf.” (HR Tirmidzi) Menurut Timirdzi hadis hasan sahih.

(Isyatami Aulia/ Nashih)

Apa yang dimaksud dengan ilmu tajwid serta berikan satu dalil yang dianjurkan ketika membaca Alquran dengan ilmu tajwid?

Mus'haf Al Tajwid, Al-Qur'an dengan huruf yang diwarnai sesuai hukum tajwid.

Tajwid (bahasa Arab: تجويد, translit. tajwīd‎) secara harfiah bermakna melakukan sesuatu dengan elok dan indah atau bagus dan membaguskan,[1] tajwid berasal dari kata jawwada (جوّد-يجوّد-تجويدا) dalam bahasa Arab. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur'an maupun bukan.

Adapun masalah-masalah yang dikemukakan dalam ilmu ini adalah makharijul huruf (tempat keluar-masuk huruf),[2] shifatul huruf (cara pengucapan huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang dan pendek ucapan), ahkamul waqaf wal ibtida’ (memulai dan menghentikan bacaan), dan al-Khat al-Utsmani.

Pengertian lain dari ilmu tajwid ialah menyampaikan dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan ayat Al-Qur'an. Para ulama menyatakan bahwa hukum bagi mempelajari tajwid itu adalah fardu kifayah tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca Al-Qur'an adalah fardu ain atau wajib kepada lelaki dan perempuan yang mukalaf atau dewasa.

Dalil tentang tajwid

Adapun dalil dalil yang mewajibkan membaca Al-Qur'an dengan tajwid antara lain:

  1. ada pun dalil yang pertama diambil dari Al-Qur'an. Allah swt berfirman yang artinya “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)” [QS:Al-Muzzammil (73): 4]. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).
  2. yang kedua dalil as sunah (hadis). Dalam hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a. (istri Nabi S.A.W.), ketika dia ditanya tentang bagaiman bacaan dan salat Rasulullah S.A.W., maka dia menjawab: “Ketahuilah bahwa Baginda S.A.W. salat kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika dia salat tadi, kemudian Baginda kembali salat yang lamanya sama seperti ketika dia tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika dia salat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah S.A.W. dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu.” (Hadis 2847 Jamik At-Tirmizi).
  3. yang ketiga adalah dalil ijma ulama. Telah sepakat para ulama dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang, bahwa membaca Al-Qur'an dengan bertajwid adalah sesuatu yang fardu dan wajib.

Hukum taawuz dan basmalah

Istiazah atau taawuz (تعوذ) adalah lafaz: "A'uzubillahi minasy syaitaanir rajiim" (ﺍﻋﻮﺬ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ الشيطان ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ).

Manakala basmalah adalah lafaz: "Bismillahir rahmaanir rahiim" (ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺤﻤﻦ ﺍﻟﺮﺤﻴﻢ).

Terdapat empat cara membaca istiazah, basmalah, dan surat:

  1. memutuskan istiazah (berhenti) kemudian baru membaca basmalah,
  2. menyambungkan basmalah dengan surah tanpa berhenti,
  3. membaca istiazah dan basmalah terus-menerus tanpa henti,
  4. membaca istiazah, basmalah, dan awal surat terus-menerus tanpa berhenti.

Terdapat empat cara membaca basmalah di antara dua surat. Tiga daripadanya adalah harus dan satu lagi adalah tidak harus. Yang harus adalah:

  1. memisahkan basmalah dengan surat,
  2. menghubungkan basmalah dengan awal surat,
  3. menghubungkan kesemuanya.

Bacaan bagi yang tidak harus pula adalah:

  1. menghubungkan akhir surat dengan basmalah lalu berhenti. Kemudian, barulah membaca surat yang seterusnya tanpa basmalah. Walau bagaimanapun, tidak harus membaca demikian karena ditakuti bahwa ada yang menganggap basmalah adalah salah satu ayat daripada surat yang sebelumnya.

Hukum mim mati

Hukum mim mati adalah salah satu tajwid yang terdapat dalam Al-Qur'an. Hukum ini berlaku jika mim mati bertemu huruf-huruf tertentu.

Hukum mim dan nun tasydid

Hukum mim dan nun tasydid juga disebut sebagai wajibal ghunnah (ﻭﺍﺟﺐ ﺍﻟﻐﻨﻪ) yang bermakna bahwa pembaca wajib untuk mendengungkan bacaan. Maka jelaslah yang bacaan bagi kedua-duanya adalah didengungkan. Hukum ini berlaku bagi setiap huruf mim dan nun yang memiliki tanda syadda atau bertasydid (ﻡّ dan نّ).

Contoh: ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻨﱠﺔ ﻭَﺍﻟﻨﱠﺎﺱِ

Hukum alif lam makrifah

Alif lam makrifah adalah dua huruf yang ditambah pada pangkal/awal dari kata yang bermakna nama atau isim. Terdapat dua jenis alif lam makrifah yaitu kamariah dan syamsiah.

Alif lam kamariah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah, seperti: alif/hamzah (ء), ba' (ب), jim (ج), ha' (ح), kha' (خ), 'ain (ع), ghain (غ), fa' (ف), qaf (ق), kaf (ك), mim (م), wau (و), ha' (), dan ya' (ي). Hukum alif lam kamariah diambil dari bahasa Arab yaitu al-qamar (ﺍﻟﻘﻤﺮ) yang artinya adalah bulan. Maka dari itu, cara membaca alif lam ini adalah dibacakan secara jelas tanpa meleburkan bacaannya.

Alif lam syamsiah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah seperti: ta' (ت), tha' (ث), dal (د), dzal (ذ), ra' (ر), zai (ز), sin (س), syin (ش), sod (ص), dhod (ض), tho (ط), zho (ظ), lam (ل), dan nun (ن). Nama asy-syamsiah diambil dari bahasa Arab (ﺍﻟﺸﻤﺴﻴﻪ) yang artinya adalah matahari. Maka dari itu, cara membaca alif lam ini tidak dibacakan melainkan dileburkan kepada huruf setelahnya.

Hukum idgham

Idgham (ﺇﺩﻏﺎﻡ) adalah berpadu atau bercampur antara dua huruf atau memasukkan satu huruf ke dalam huruf yang lain. Maka dari itu, bacaan idgham harus dilafazkan dengan cara meleburkan suatu huruf kepada huruf setelahnya. Terdapat tiga jenis idgham:

  1. Idgham mutamathilain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﻤﺎﺛﻠﻴﻦ - yang serupa) ialah pertemuan antara dua huruf yang sama sifat dan makhrajnya (tempat keluarnya) dal bertemu dal dan sebagainya. Hukum adalah wajib diidghamkan. Contoh: ﻗَﺪ ﺩَﺨَﻠُﻮاْ
  2. Idgham mutaqaribain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﻘﺎﺭﺑﻴﻦ - yang hampir) ialah pertemuan dua huruf yang sifat dan makhrajnya hampir sama, seperti ba' bertemu mim, qaf bertemu kaf dan tha' bertemu dzal. Contoh: ﻧَﺨْﻠُﻘڪُﻢْ
  3. Idgham mutajanisain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﺠﺎﻧﺴﻴﻦ - yang sejenis) ialah pertemuan antara dua huruf yang sama makhrajnya tetapi tidak sama sifatnya seperti ta' dan tha, lam dan ra' serta dzal dan zha. Contoh: ﻗُﻞ ﺭَﺏﱢ

Hukum mad

Mad berarti melanjutkan atau melebihkan. Dari segi istilah ulama tajwid dan ahli bacaan, mad bermakna memanjangkan suara dengan lanjutan menurut kedudukan salah satu dari huruf mad. Terdapat dua bagian mad, yaitu mad asli dan mad far'i. Terdapat tiga huruf mad yaitu alif, wau, dan ya' dan huruf tersebut haruslah berbaris mati atau saktah. Panjang pendeknya bacaan mad diukur dengan menggunakan harakat.

Hukum ra'

Hukum ra' adalah hukum bagaimana membunyikan huruf ra' dalam bacaan. Terdapat tiga cara yaitu kasar atau tebal, halus atau tipis, atau harus dikasarkan dan ditipiskan.

Bacaan ra' harus ditebalkan (tafkhim) apabila:

  • Setiap ra' yang berharakat atas atau fathah.
Contoh: ﺭَﺑﱢﻨَﺎ
  • Setiap ra' yang berbaris mati atau berharakat sukun dan huruf sebelumnya berbaris atas atau fathah.
Contoh: ﻭَﺍﻻَﺭْﺽ
  • Ra' berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah atau kasrah.
Contoh: ٱﺭْﺟِﻌُﻮْﺍ
  • Ra' berbaris mati dan sebelumnya huruf yang berbaris bawah atau kasrah tetapi ra' tadi berjumpa dengan huruf isti'la'.
Contoh: ﻣِﺮْﺻَﺎﺪ

Bacaan ra' yang ditipiskan (tarqiq) adalah apabila:

  • Setiap ra' yang berbaris bawah atau kasrah.
Contoh: ﺭِﺟَﺎﻝٌ
  • Setiap ra' yang sebelumnya terdapat mad lain.
Contoh: ﺧَﻴْﺮٌ
  • Ra' mati yang sebelumnya juga huruf berbaris bawah atau kasrah tetapi tidak berjumpa dengan huruf isti'la'.
Contoh: ﻓِﺮْﻋَﻮﻦَ

Bacaan ra' yang harus ditebalkan (tafkhim) dan ditipiskan (tarqiq) adalah apabila setiap ra' yang berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah dan kemudian berjumpa dengan salah satu huruf isti'la'.

Contoh: ﻓِﺮْﻕ

Isti'la' (ﺍﺳﺘﻌﻼ ﺀ): terdapat tujuh huruf yaitu kha (خ), ghain (غ), shad (ص), dhad (ض), tha (ط), qaf (ق), dan zha (ظ).

Kalkalah

Kalkalah (ﻗﻠﻘﻠﻪ) adalah bacaan pada huruf-huruf kalkalah dengan bunyi seakan-akan berdetik atau memantul. Huruf kalkalah ada lima yaitu qaf (ق), tha (ط), ba' (ب), jim (ج), dan dal (د). Kalkalah terbagi menjadi dua jenis:

  • Kalkalah kecil yaitu apabila salah satu daripada huruf kalkalah itu berbaris mati dan baris matinya adalah asli karena harakat sukun dan bukan karena wakaf.
Contoh: ﻴَﻄْﻤَﻌُﻮﻥَ, ﻴَﺪْﻋُﻮﻥَ
  • Kalkalah besar yaitu apabila salah satu daripada huruf kalkalah itu dimatikan karena wakaf atau berhenti. Dalam keadaan ini, kalkalah dilakukan apabila bacaan diwakafkan tetapi tidak dikalkalahkan apabila bacaan diteruskan.
Contoh: ٱﻟْﻔَﻟَﻖِ, ﻋَﻟَﻖٍ

Makhraj huruf

Sifat huruf

Wakaf

Wakaf dari sudut bahasa ialah berhenti atau menahan, manakala dari sudut istilah tajwid ialah menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di akhir perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan. Terdapat empat jenis wakaf yaitu:

  • ﺗﺂﻡّ (taamm) - wakaf sempurna - yaitu mewakafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan yang dibaca secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, dan tidak memengaruhi arti dan makna dari bacaan karena tidak memiliki kaitan dengan bacaan atau ayat yang sebelumnya maupun yang sesudahnya;
  • ﻛﺎﻒ (kaaf) - wakaf memadai - yaitu mewakafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, tetapi ayat tersebut masih berkaitan makna dan arti dari ayat sesudahnya;
  • ﺣﺴﻦ (Hasan) - wakaf baik - yaitu mewakafkan bacaan atau ayat tanpa memengaruhi makna atau arti, tetapi bacaan tersebut masih berkaitan dengan bacaan sesudahnya;
  • ﻗﺒﻴﺢ (Qabiih) - wakaf buruk - yaitu mewakafkan atau memberhentikan bacaan secara tidak sempurna atau memberhentikan bacaan di tengah-tengah ayat, wakaf ini harus dihindari karena bacaan yang diwakafkan masih berkaitan lafaz dan maknanya dengan bacaan yang lain.

Tanda-tanda wakaf

  1. Tanda mim ( مـ ) disebut juga dengan Wakaf Lazim, yaitu berhenti di akhir kalimat sempurna. Wakaf Lazim disebut juga Wakaf Taamm (sempurna) karena wakaf terjadi setelah kalimat sempurna dan tidak ada kaitan lagi dengan kalimat sesudahnya. Tanda mim ( م ), memiliki kemiripan dengan tanda tajwid iqlab, tetapi sangat jauh berbeda dengan fungsi dan maksudnya;
  2. tanda tho ( ) adalah tanda Wakaf Mutlaq dan haruslah berhenti.
  3. tanda jim ( ) adalah Wakaf Jaiz. Lebih baik berhenti seketika di sini walaupun diperbolehkan juga untuk tidak berhenti.
  4. tanda zha ( ) bermaksud lebih baik tidak berhenti;
  5. tanda sad ( ) disebut juga dengan Wakaf Murakhkhas, menunjukkan bahwa lebih baik untuk tidak berhenti namun diperbolehkan berhenti saat darurat tanpa mengubah makna. Perbedaan antara hukum tanda zha dan sad adalah pada fungsinya, dalam kata lain lebih diperbolehkan berhenti pada wakaf sad;
  6. tanda sad-lam-ya' ( ﺻﻠﮯ ) merupakan singkatan dari "Al-washl Awlaa" yang bermakna "wasal atau meneruskan bacaan adalah lebih baik", maka dari itu meneruskan bacaan tanpa mewakafkannya adalah lebih baik;
  7. tanda qaf ( ) merupakan singkatan dari "Qiila alayhil waqf" yang bermakna "telah dinyatakan boleh berhenti pada wakaf sebelumnya", maka dari itu lebih baik meneruskan bacaan walaupun boleh diwakafkan;
  8. tanda sad-lam ( ﺼﻞ ) merupakan singkatan dari "Qad yuushalu" yang bermakna "kadang kala boleh diwasalkan", maka dari itu lebih baik berhenti walau kadang kala boleh diwasalkan;
  9. tanda Qif ( ﻗﻴﻒ ) bermaksud berhenti! yakni lebih diutamakan untuk berhenti. Tanda tersebut biasanya muncul pada kalimat yang biasanya pembaca akan meneruskannya tanpa berhenti;
  10. tanda sin ( س ) atau tanda Saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ) menandakan berhenti seketika tanpa mengambil napas. Dengan kata lain, pembaca haruslah berhenti seketika tanpa mengambil napas baru untuk meneruskan bacaan;
  11. tanda Waqfah ( ﻭﻗﻔﻪ ) bermaksud sama seperti wakaf saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ), tetapi harus berhenti lebih lama tanpa mengambil napas;
  12. tanda Laa ( ) bermaksud "Jangan berhenti!". Tanda ini muncul kadang-kala pada penghujung mahupun pertengahan ayat. Jika ia muncul di pertengahan ayat, maka tidak dibenarkan untuk berhenti dan jika berada di penghujung ayat, pembaca tersebut boleh berhenti atau tidak;
  13. tanda kaf ( ) merupakan singkatan dari "Kadzaalik" yang bermakna "serupa". Dengan kata lain, makna dari wakaf ini serupa dengan wakaf yang sebelumnya muncul;
  14. tanda bertitik tiga ( ... ... ) yang disebut sebagai Wakaf Muraqabah atau Wakaf Ta'anuq (Terikat). Wakaf ini akan muncul sebanyak dua kali di mana-mana saja dan cara membacanya adalah harus berhenti di salah satu tanda tersebut. Jika sudah berhenti pada tanda pertama, tidak perlu berhenti pada tanda kedua dan sebaliknya.

Lihat pula

  • Fathah
  • Kasrah
  • Dammah
  • Sukun
  • Syaddah
  • Wasal
  • Harakat
  • Huruf syamsiah dan kamariah

Referensi

  1. ^ Khazanah tajwid
  2. ^ "Makhorijul Huruf Arab Hijaiyyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-24. Diakses tanggal 2012-07-20. 

"Makhorijul Huruf Arab Hijaiyyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-24. Diakses tanggal 2012-07-20.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tajwid&oldid=21773509"