Apa tujuan iddah bagi seorang istri

Syahrudin

Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang

A. Dasar Hukum Idah

Pada tulisan terdahulu, penulis membahas tentang "idah" bagi suami. Sekarang akan membahas masalah idah bagi istri menurut KHI.

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), waktu tunggu atau masa idah diatur dalam Bab XVII pasal 153 s.d. pasal 155. Dalam UU No 1 tahun 1974 diatur pasal 11. Dalam PP No 9 tahun 1975 diatur pasal 39.

Pasal 153:

(1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. Al-Ahzab/33:49:"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya." (Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 8, 2009:21).

B.   Macam-macam Idah

Macam-macam idah istri menurut KHI, yaitu: idah karena ditinggal mati suami,  idah karena perceraian, idah karena khuluk, fasakh dan li'an, dan idah karena ditalak raj'i kemudian ditinggal mati suami dalam masa idah (A. Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 1995:310).

Di bawah ini penulis kemukakan penjelasannya.

1. Idah Karena Ditinggal Mati Suami.

Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari (ps.153 ayat (2) huruf a.

Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. Al-Baqarah/2:234:"Dan orang-orang yang mati diantara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari."(Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 1, 2009:346).

(Lihat, ps.39 ayat (1) huruf a PP No 9 tahun 1975).

Ibrahim Hosen dkk., ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, kata "yatarabbasna" dalam ayat 234 Al-Baqarah betarti beridah, yaitu perempuan yang ditalak harus menahan diri atau menanti tiga kali suci, baru boleh menikah lagi jika ia ingin menikah lagi (Ibid).

Menurut Vivi Kurniawati, dalam tulisannya "Kupas Habis Hukum Idah Wanita" (2019:11-12), dalam ayat tersebut Allah SWT., menggunakan lafadz "yatarabbasna", dimana lafadz ini kalau dalam Ilmu Ushul Fikih, melihat dari tautan ilmu bahasa Arab, meskipun lafadz menggunakan sighat fi'il mudhari yang memiliki arti khobar (pemberitaan)namun maknanya mengandung lafadz insya' yang artinya sebuah perintah bahwa seorang wanita yang dicerai suaminya hendaknya menahan diri mereka (beridah).

Ketentuan tersebut di atas berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Apabila istri tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai melahirkan (Ibid).

Pasal 153 ayat (2) huruf d menerangkan:

(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. Ath-Thalaq/65:4:"... sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya."(Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 10, 2009:181).

(Lihat, ps.39 ayat (1) huruf c PP No 9 tahun 1975).

Menurut Ibrahim Hosen dkk.,(Ibid), mengenai hal ini ada dua ulama yang berpendapat yang didasarkan pada masa terlama dari dua waktu, yaitu kalau hamil tua dan segera melahirkan maka idahnya 4 bulan 10 hari. Sedang kalau hamil muda idahnya sampai perempuan itu melahirkan.

2.Idah Karena Perceraian

Istri yang dicerai suaminya ada beberapa kemungkinan waktu tunggu, sebagai berikut:

2.1.  Dalam keadaan hamil. Apabila istri dicerai suaminya dalam keadaan hamil, maka idahnya sampai ia melahirkan kandungannya (ps.153). Dasarnya adalah QS. Ath-Thalaq/65:4.

(Lihat, ps.39 ayat (1) huruf c PP No 9 tahun 1975).

2.2. Dalam keadaan tidak hamil:

a. Apabila istri dicerai qobla al-dukhul maka tidak berlaku masa idah baginya (QS. Al-Ahzab/33:49).

b. Apabila ia dicerai suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):

- bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari (ps.153 ayat (2) huruf b. Dasarnya adalah QS. Al-Baqarah/2:228.

(Lihat, ps.39 ayat (1) PP No 9 tahun 1975).

- bagi tidak atau belum berdatang bulan masa idahnya tiga bulan atau 90 (sembilan puluh) hari (ps.153 ayat (2) huruf b. Dasarnya QS. Ath-Thalaq/65:4.

(Lihat, ps.39 ayat (1) huruf b PP No 9 tahun 1975).

- bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka idahnya tiga kali waktu suci (ps.153 ayat (5):"Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka idahnya tiga kali waktu haid."

- dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena menyusui, maka idahnya selama satu tahun. Akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka idahnya menjadi tiga kali suci. Ketentuan ini difahami dari isyarat firman Allah SWT., QS. Al-Baqarah/2:240, meski sesungguhnya ayat ini konserennya bagi istri yang ditinggal mati suaminya:"Dan orang-orang yang akan mati diantara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (mengenai apa) yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana." (Depag RI., Al Qur'an dan Tafsirnya, jilid 1, 2009;355).

3. Idah Karena Khuluk, Fasakh Dan Li'an.

Waktu idah janda yang putus perkawinannya karena khuluk (cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus perkawinan misalnya karena murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau li'an, maka waktu tunggu berlaku seperti idah talak (A. Rofiq, op.cit.:316).

4. Idah istrin Ditalak Raj'i Kemudian Ditinggal Mati Suami Dalam Masa Idah.

Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu idah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2 ) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya maka idahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung saat matinya bekas suaminya (Ibid).

Jadi, dalam hal ini, masa idah yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, akan tetapi dihitung dari saat kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa idah, dianggap masih terikat dalam perkawinan. Karena memang bekas suaminya itulah yang berhak untuk merujuknya selama masih dalam masa idah (Ibid).

C. Demikian hitungan idah istri menurut KHI.

Wallahu a'lam.

Al-‘Iddah berasal dari bahasa arab  yang artinya sama dengan al-hisab, dan al-ihsha yaitu bilangan dan hitungan.1 Dinamakan ‘iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya dihitung oleh istri dengan quru’( suci dari haidh atau haidh ) atau dengan bilangan beberapa bulan.

2. Istilah

Dikalangan para ulama fiqh dan berbagai kitab klasik didapati sedikit perbedaan pendapat dalam memberikan pengertian ‘iddah. Diantaranya:

a. Kitab Al-Wajiz

‘Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau kematian suami, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’ atau dengan hitungan bilangan beberapa bulan.

b. Kitab Mausu’ah Fiqhiyyah

‘Iddah berarti saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan rahimnya untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas kepergian sang suami.

c. Kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu

’Iddah adalah sebuah nama bagi suatu masa yang telah ditetapkan oleh agama sebagai masa tunggu bagi seorang perempuan setelah perpisahan baik berpisah lantaran ditinggal mati atau diceraikan suaminya, dan di saat itu ia tidak diperbolehkan menerima pinangan, menikah, atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya hingga masa ‘iddahnya selesai.

B. Dalil Pensyari’atan ‘Iddah

Para ulama telah sepakat mewajibkan ‘iddah bagi seorang wanita yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga masa quru’.” (QS. Al—Baqarah (2): 228)

Dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan lafadz“yatarabbashna” dimana lafadz ini kalau dalam ilmu ushul fikih melihat dari tatanan ilmu Bahasa Arab meskipun lafadznya menggunakan shighot fi’il mudhori’ yang memiliki arti khobar (pemberitaan) namun maknanya mengandung lafadz insya’ yang artinya sebuah perintah bahwa seorang wanita yang dicerai suaminya hendaknya menahan diri mereka (ber’iddah).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.Ath-Thalaq: 4)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah(2) :234)

2. As-Sunnah

Pensyari’atan ‘iddah ini juga terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah rahiyallahu ‘anha:

Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita tidak boleh berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya, yaitu (ia boleh berkabung) selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari-Muslim

Ini adalah lafadz Muslim. Terdapat tambahan dalam riwayat Abu Daud dan Nasa’I ” …dan ia tidak boleh memakai inai (pacar). “

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “ Barirah diperintahkan untuk menjalani masa ‘iddah sebanyak tiga kali haidh”(HR.Ibnu Majah)

C. Sebab Pensyari’atan ‘Iddah

Sebab-sebab yang mengharuskan seorang wanita untuk melakukan ‘iddah ada beberapa macam:

1. Meninggalnya Suami.

Seorang wanita jika ia di tinggal mati oleh suaminya, baik suami tersebut telah mencampurinya ataupun belum. Wajib baginya untuk ber’iddah.

2. Bercerai setelah dicampuri

Begitu juga dengan seorang wanita yang dicerai oleh suaminya setelah dicampuri baik dalam keadaan hamil atau tidak, maka wajib baginya untuk menjalani masa ‘iddah.

Adapun jika wanita tersebut bercerai sebelum bercampur, maka tidak ada ‘iddah baginya. Dan ini adalah kesepakatan para ulama. Didasarkan pada Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al Ahzab: 49)

3. Khulu’

Wanita yang khulu’ yaitu seorang wanita yang meminta cerai kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan harta kepada suaminya yang

disebut sebagai fidyah dan iftida). Wajib baginya ber’iddah.

4. Li’an

Li’an adalah sebuah kasus hukum dimana seorang suami yang menuduh istrinya berzina, tanpa bisa mendatangkan saksi kecuali dari diri mereka sendiri atau seorang suami yang mengingkari anak dalam kandungan istrinya). Dalam kasus cerai sebab Li’an maka si wanita ini juga wajib ber’iddah.

5. Fasakh

Yang dimaksud fasakh adalah Pembatalan akad pernikahan. Hal ini bukan dinamakan thalaq karena tidak memiliki hitungan quru seperti thalaq pada umumnya yang menyebabkan putusnya hubungan suami istri. Namun fasakh ini terjadi karena sebab putusan hakim. Contoh: pernikahan seorang wanita muslimah dengan seorang lelaki kafir

6. Khalwat (berdua-duaan)

Tanpa terjadinya jima’ (bercampur) diantara suami dan istri. Ini adalah pendapat Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah, sedangkan menurut Asy-Syafi’iyah tidak ada kewajiban ‘iddah bagi seorang wanita jika hanya sebatas khalwat tanpa terjadinya jima’.

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:

“ Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mu’min, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya (jima’) maka tidak ada masa ‘iddah bagi mereka yang perlu kamu perhitungkan….”(QS.Al-Ahzab: 49)

D. Hukum ‘Iddah

Berdasarkan berbagai ayat dan hadis yang dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa ‘iddah ini wajib dijalankan bagi setiap wanita yang dicerai ataupun ditinggal mati suaminya dengan ketentuan-ketentuan yang selanjutnya akan dijelaskan di bawah.

Kewajiban ‘iddah ini juga merupakan ijma’ kesepakatan ‘ulama dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkarinya

Kewajiban ‘iddah ini dapat juga dilihat berdasarkan ucapan Rasulullah Saw kepada Fatimah binti Qais:

“Ber’iddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum”.

1. Laki-Laki Ada ‘Iddah?

Berbeda halnya dengan kewajiban ‘iddah bagi wanita, sedangkan bagi seorang laki-laki tidak ada kewajiban ‘iddah baginya, sehingga ketika dia berpisah dengan istrinya diperbolehkan untuk menikah lagi tanpa harus menunggu dalam masa tertentu.

Hanya saja jika disana ada penyebab yang mengharuskannya menunggu, seperti seorang laki-laki yang ingin menikah dengan bibi (dari pihak ayah atau ibu) istrinya yang sedang ber’iddah atau seorang laki-laki yang telah mencerai istrinya yang keempat sedang si istri tersebut masih berada dalam masa ‘iddah, jika ia berkeinginan untuk menikah lagi, maka ia harus menunggu sampai masa ‘iddah istrinya selesai. (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr), jilid 7, hlm 626)

2. Wanita Non Muslim Ber’iddah?

Terkait apakah wanita non muslim juga berkewajiban ‘iddah atau tidak sebagaimana wanita muslimah, dalam hal ini ada dua perbedaan pendapat:

a. Hanafiyah (Tidak Wajib Ber’iddah)

Menurut kalangan Hanafiyah bahwa wanita non muslim baik yang dzimmi atau harbi tidak ada kewajiban baginya menjalankan masa ‘iddah manakala terjadi perceraian atau kematian atas suaminya.

Hanya saja untuk wanita non muslim dari kalangan ahlu kitab yang merupakan istri dari lelaki muslim wajib baginya untuk ber’iddah. Dengan dalil kuat bahwa hukum ‘iddah ini merupakan kewajiban dalam rangka menunaikan hak Allah SWT sebagai syari’ (penetap hukum agama) dan merupakan hak bagi suaminya, dan karena pemeluk ahlu kitab terkena beban hukum juga sebagaimana umat islam lainnya.

Jika wanita non muslim dari ahlu kitab ini menolak menjalankan masa ‘iddah, maka boleh dipaksa untuk ber’iddah, karena ini merupakan hak bagi suaminya yang muslim dan ada hak anak, untuk menghindari ketidakjelasan nasab garis keturunan yang muncul manakala wanita non muslim tersebut memutuskan segera menikah usai pisah.

Namun, jika sang suami meninggalkan istrinya di darul harbi (notabene sebuah negara yang berasakan kekufuran dan wilayah perang), maka sepakat kalangan hanafiyah mengatakan tidak ada kewajiban ‘iddah baginya. Karena hukum islam tidak bisa diterapkan pada seseorang yang berada pada dua wilayah yang berbeda (ikhtilaf ad darain).

b. Jumhur Ulama ( Wajib Ber’iddah)

Sedangkan menurut jumhur ulama bahwa wanita non muslim yang dzimmi wajib baginya ber’iddah sebagaimana wanita muslimah. Baik ketika dia menjadi istri bagi lelaki muslim atau lelaki yang dzimmi. Berdasarkan pada keumuman ayat yang memerintahkan untuk ber’iddah kepada setiap wanita. (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr), jilid 7, hlm 626)

E. Hikmah Pensyari’atan ‘Iddah

Sebuah pertanyaan menarik, apa hikmah di balik adanya syariat ‘iddah bagi wanita yang berpisah dengan suaminya, baik karena perceraian atau kematian? Kenapa harus ada ‘iddah?

Para ulama menjelaskan beberapa hikmah itu, antara lain :

1. Al -‘Ilmu bi Bara’ati ar-Rahim

Yang dimaksud adalah bahwa ‘iddah itu dilakukan untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin guna mengetahui dan memastikan adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang diceraikan. Untuk selanjutnya menjaga jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dari bayi tersebut.

2. Ta’dzhim ‘Aqd az-Zawaj

Ta’dzhim ‘aqd az-zawaj (menunjukkan agungnya sebuah ikatan pernikahan) maksud di sini adalah menegaskan betapa agungnya nilai sebuah pernikahan, sehingga selepas dari suaminya, seorang wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi, kecuali setelah melewati masa waktu tertentu yang dikenal dengan istilah ‘iddah.

3. Tathwil Zaman ar-Raj’ah

Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.

4. Qadha’ Haq az-Zauji

Agar isteri yang ditinggalkan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh kematian suami.

5. Ta’abbud ilallah

Selain tujuan-tujuan ‘iddah sebagaimana diungkapkan diatas, pelaksanaan ber’iddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya. Terhadap aturan-aturan Allah itulah, maka kewajiban bagi wanita muslimah untuk mentaatinya.

Sesungguhnya wanita muslimah yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Disana akan ada tenggang waktu yang harus dijalani dan dilaluinya sebelum menikah lagi dengan laki-laki lain, maka kemauan untuk mentaati aturan ber’iddah inilah yang merupakan gambaran ketaatannya kepadaNya, dan kemauan untuk taat inilah yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi (penghambaan) kepada Allah SWT yang tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun.

Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat ber’iddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilanggar.

Referensi: 

Vivi Kurniawati, Lc, Kupas Habis Hukum Iddah Wanita, Rumah Fiqih Indonesia, 2019.