Apa maksud sanksi primum remedium

KAMUS HUKUM PAJAK

DALAM Naskah Akademik (NA) Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah menyatakan penggunaan ketentuan asas ultimum remedium dalam Pasal 44B UU KUP yang saat ini berlaku masih terbatas.

Keterbatasan tersebut mengakibatkan pemulihan kerugian pada pendapatan negara menjadi tidak optimal. Sebab, pembayaran kerugian pada pendapatan negara dan/atau sanksi pada saat perkara telah dilimpahkan ke pengadilan atau pada saat persidangan tidak membatalkan tuntutan jaksa. Kondisi tersebut dinilai pemerintah menyebabkan asas ultimum remedium tidak berlaku bagi terdakwa.

Adapun asas hukum ultimum remedium sangat melekat dalam sistem hukum pidana perpajakan di seluruh dunia. Negara yang menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon sama-sama menganut prinsip ultimum remedium.

Lantas, apakah yang dimaksud dengan asas ultimum remedium?

Beberapa ahli di bidang hukum pidana berpendapat hukum pidana merupakan ultimum remedium. Artinya, hukum pidana menjadi jalan terakhir dan tidak boleh digunakan pada tahapan awal penegakan hukum (Elgar, 2004).

Kemudian, Faure, Oudijk, dan Schaffmeister (1994) mengemukakan bahwa hukum pidana hanya diterapkan kepada seseorang yang melanggar hukum dengan tingkatan berat. Sanksi pidana atas pelanggaran yang dilakukan tersebut lebih berat daripada jenis sanksi lainnya. Oleh karena itu, sanksi hukum pidana sebaiknya diterapkan jika jenis sanksi lainnya tidak mampu menyelesaikan permasalahan pelanggaran hukum.

Bemmelen (1984) menyatakan pidana dan proses pemidaan harus dipandang tidak hanya sebagai sarana untuk perbaikan pelanggaran hukum yang dilakukan. Hukum pidana dianggap sebagai sarana untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Oleh karena itu, penggunaan hukum pidana harus dijadikan sarana terakhir (ultimum remedium) dan harus dibatasi penggunaannya.

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, tidak terdapat definisi ultimum remedium secara eksplisit. Namun demikian, di Indonesia, penerapan asas ultimum remedium sudah muncul sejak era reformasi pajak jilid pertama pada 1983 dengan penyampaian secara implisit.

Asas ultimum remedium tersebut tercermin dari rumusan Pasal 8 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).  Dengan pasal tersebut, wajib pajak berhak menghentikan berlanjutnya proses pemeriksaan ke tahap penyidikan setelah mengakui kesalahan dan melunasi kekurangan pajak berikut denda administrasinya.

Sementara itu, berdasarkan pada hukum positif yang berlaku, asas ultimum remedium tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 44B ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007. Pasal a quo mengatur atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan. Penghentian penyidikan tersebut dapat dilakukan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.

Simpulan

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan ultimum remedium ialah jalan terakhir dalam melakukan penegakan hukum. Sanksi pidana diberikan hanya jika sarana atau instrumen penegakan hukum lainnya tidak lagi berfungsi. Meskipun menjadi upaya terakhir, hukum pidana memiliki peran penting dalam mendukung penegakan hukum adminisrasi.

Indonesia - Berbicara mengenai hukum, terdapat suatu asas, yaitu Ultimum Remedium. Asas Ultimum Remedium sangat melekat pada sistem hukum pidana perpajakan yang ada di seluruh dunia. Negara yang menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental dan juga Anglo-Saxon merupakan negara yang sama-sama menganut prinsip Ultimum Remedium.  

Pengertian Asas Ultimum Remedium

Pada dasarnya, Ultimum Remedium memiliki pengertian bahwa hukum pidana hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.

Menurut para ahli, Faure, Oudijk, dan Schaffmeister (1994) menyatakan bahwa hukum pidana hanya diterapkan kepada seseorang yang melanggar hukum dengan tingkatan yang tergolong berat. Sanksi pidana atas pelanggaran yang dilakukan merupakan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan jenis sanksi lainnya. Maka dari itu, sanksi pidana hendaknya dapat diterapkan apabila jenis sanksi lainnya sudah tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan dari pelanggaran hukum yang dilakukan.

Asas Ultimum Remedium Dalam Perpajakan

Dalam kebijakan yang mengatur mengenai Undang-Undang (UU) perpajakan di Indonesia, definisi dari Ultimum Remedium sendiri tidak dijelaskan secara eksplisit, Namun, penerapan atas asas Ultimum Remedium di Indonesia telah muncul sejak masa reformasi pajak jilid pertama pada 1983 dan disampaikan secara implisit.

Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pada Pasal 8 ayat (3) tercermin bahwa Wajib Pajak memiliki hak untuk dapat menghentikan keberlanjutan proses pemeriksaan menjadi tahap penyidikan setelah Wajib Pajak mengakui kesalahan yang diperbuat dan melunasi kekurangan pajak sesuai denda administrasinya.

Dan berdasarkan dengan Undang-Undang KUP Pasal 8 ayat (4) juga dijelaskan ketentuan bahwa meskipun Direktur Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) yang telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat bahwa Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, maka dengan kesadarannya sendiri, Wajib Pajak dapat mengungkapkan ketidakbenaran pengisian dalam Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebelumnya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan dapat juga mengakibatkan:

  1. Pajak-pajak yang masih harus dibayarkan, jumlahnya menjadi lebih besar atau lebih kecil
  2. Kerugian berdasarkan dengan ketentuan perpajakan menjadi lebih besar atau kecil
  3. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil
  4. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.

Dalam masa pandemi Covid-19 ini juga, para ahli hukum pajak telah sepakat terkait dengan asas Ultimum Remedium, bahwa pajak bukan bertujuan untuk memidana Wajib Pajak, tetapi lebih kepada menghimpun perolehan pajak bagi keperluan negara, termasuk juga untuk keperluan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Hukum pidana, termasuk juga ke dalam hukum pidana perpajakan pasalnya selalu memberikan derita dan kesusahan tersendiri bagi yang dijatuhkan sanksi pidana, karena hal tersebut sanksi pidana jarang digunakan. Pidana juga berperan sebagai hukum pembantu bagi hukum administrasi maupun hukum perdata, yang memiliki arti bahwa hukum pidana turut membantu, namun juga tetap dijadikan sebagai sarana terakhir yang digunakan.

Namun sayangnya, persoalan makna dari Ultimum Remedium itu sendiri masih dianggap belum jelas dalam norma yang mengatur mengenai perpajakan dan seharusnya dapat disempurnakan kedepannya agar memberikan kepastian dan keadilan dalam hukum, khususnya hukum dalam perpajakan.  

Kesimpulan

Apabila dilihat melalui paparan mengenai makna dari asas Ultimum Remedium yang sangat melekat pada hukum pidana, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana ini seharusnya dapat menjadi jalan terakhir dalam proses penegakan hukum. Pemberian sanksi pidana dapat dilakukan apabila sarana untuk penegakan hukum lainnya sudah tidak lagi berfungsi. Meskipun menjadi jalan atau upaya terakhir, namun hukum pidana memiliki peran penting dalam mendukung penegakan hukum administrasi, hal ini juga berlaku dalam hukum yang menangani kasus perpajakan.

Elsa Priskila Singal



Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui kejahatan yang bagaimana yang tergolong sebagai kejahatan kerah putih (money laundering) damn bagaimana primum remedium dalam hukum pidana dapat menanggulangi kejahatan kerah putih (money laundering), yang mana dengan metode penelitian hukum normaif disimpulkan: 1. Kejahatan-kejahatan yang tergolong dalam white collar crime atau kejahatan kerah putih berdasarkan 3 (tiga) tipologi pelakunya yaitu dilihat dari status sosial pelaku, apakah berasal dari status ‘terhormat’ atau tidak; tindak kejahatan yang dilakukan memerlukan keahlian di bidang ‘komputerisasi’ atau tidak; tindak kejahatan yang dilakukan pelaku bertujuan untuk menguntungkan individu atau kelompok, maka kejahatan kerah putih (white collar crime) itu banyak jenisnya antara lain: pencucian uang (money laundering); Korupsi; Penyuapan; Penghindaran/penggelapan Pajak; Penipuan dan Terorisme. 2. Primium remedium diartikan sebagai hukum pidana yang diberlakukan sebagai pilihan utama, hukum pidana sebagai alat utama dalam penegakan hukum, bukan lagi menjadi obat terakhir melainkan obat pertama untuk membuat jera orang yang melakukan pelanggaran yang bersifat pidana. Dengan demikian ancaman pidana yang tercantum dalam aturan-aturan yang mengatur tentang kejahatan kerah putih khususnya tindak pidana pencucian uang (money laundering) merupakan primum remedium, obat utama dan pilihan utama yang dapat menjadi upaya untuk penanggulangan kejahatan kerah putih khususnya kejahatan money laundering yaitu ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Kata kunci: primum remedium; kejahatan kerah putih;


  • There are currently no refbacks.

Apa maksud sanksi primum remedium

Source image: https://peacockjohnston.co.uk/criminal-law/

Hukum Pidana menurut Prof. Moeljatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di seluruh negara, dengan mengadakan dasar-dasar aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

Yang membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain adalah adanya sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman penderitaan/Nestapa terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang baik yang menimbulkan korban (with victim) maupun maupun yang tidak menimbulkan korban (without victim) guna memperbaiki tingkah laku manusia terutama pelaku kejahatan (penjahat), Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) menjabarkan macam-macam pemberian sanksi pidana di Indonesia yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan, dan pidana tambahan. 

Sistem Hukum Pidana di Indonesia mengenal asas Ultimum Remedium dan Primum Remedium dalam kaitannya dengan pemberian sanksi pidana. Lalu apa sebenarnya arti dari kedua asas tersebut?

Primum Remedium dalam kasus hukum pidana dapat dikatakan sebagai satu-satunya hal yang dapat dilakukan kecuali dengan menerapkan hukum pidana tersebut, tidak ada alternatif lain sebagai dasar atau fondasi untuk menegakkan suatu hukum. Contoh dari Primum Remedium ini adalah ketika terdapat seseorang yang melakukan tindak pidana terorisme, maka berdasarkan asas Primum Remedium tidak ada alternatif lain seperti sanksi administratif maupun sanksi perdata melainkan akan diberikan hukuman pidana secara langsung sesuai dengan Undang-Undang tentang Terorisme.

Selain dari Undang – Undang mengenai terorisme, ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai Primum Remedium ini dapat pula dilihat dalam Undang-Undang mengenai tindak pidana korupsi, Undang-Undang tentang pengedaran obat – obatan terlarang dan beberapa Undang-Undang lainnya yang mengatur tentang tindakan kejahatan yang memiliki dampak besar bagi kepentingan publik sehingga dalam hal pemberian sanksi atau hukuman tidak perlu lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain selain sanksi pidana.

Ultimum Remedium merupakan kebalikan dari Primum Remedium, menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Penemuan Hukum Sebuah pengantar”, Ultimum Remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia, yang mengatakan hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan dianggap masih terdapat suatu alternatif penyelesaian lain selain menerapkan suatu aturan hukum pidana. Contohnya adalah ketika seseorang menggunakan obat-obatan terlarang atau narkoba. orang tersebut dapat meminta dirinya untuk direhabilitasi dan tidak dikenai pasal pidana penggunaan obat-obatan terlarang, selagi orang tersebut adalah kapasitasnya hanya sebagai pengguna yang dapat dikategorikan sebagai korban namun tentu dengan berbagai pertimbangan dan beberapa prosedur yang berlaku. 

Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks Ultimum Remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir. Artinya, pemberian sanksi diutamakan dengan pemberian sanksi administratif atau sanksi perdata. apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka pemberian sanksi pidana baru dapat dipertimbangkan sebagai senjata terakhir atau Ultimum Remedium.

Selain dikenal dalam hukum pidana, Ultimum Remedium juga dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya “Hukum Penyelesaian Sengketa” mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya biasanya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi dinilai sebagai ultimum remidium setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil seperti Musyawarah.

Referensi:

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Mertokusumo, Sudikno. 2006. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.