Apa makna berdzikir kepada Allah diwaktu berdiri duduk dan berbaring brainly

Dalam al-Qur`an (QS Ali Imran [03]: 193), Allah menyebutkan ciri-ciri Ulul Albab, yakni mereka yang berzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berzikir setiap waktu dan dalam kondisi apa pun.

Mereka berzikir kepada Allah di atas sajadah khidmah, lalu mereka duduk di atas sajadah qurbah (kedekatan dengan Allah). Cukuplah bagi mereka kebahagiaan, sebagaimana difirmankan Allah dalam sebuah hadits qudsi, “Aku adalah teman duduk (jalis) orang yang zikir mengingat Aku.”

Mengapa Allah menjadi teman duduk orang yang zikir mengingatNya? Sebab, zikir merupakan tanda kewalian, bukti wushul (telah sampai kepada Allah), tanda benarnya permulaan, dan murninya tujuan akhir. Dan, semua sifat terpuji bermuara dari zikir mengingat Allah.

Sufi besar, Imam al-Qusyairi ketika menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 152, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,” mengatakan bahwa sebagai balasan dari zikir Anda kepada Allah, Dia akan melimpahkan tambahan karunia-Nya kepada Anda. Jika Anda ingat kepada-Nya di dalam hati Anda, niscaya Dia akan mengingat Anda di dalam diri-Nya. Dan, jika Anda mengingat-Nya di tengah keramaian penduduk bumi, niscaya Dia akan mengingat Anda di tengah keramaian penduduk langit.

Mereka yang banyak berzikir kepada Allah, niscaya hati mereka akan senantiasa dalam keadaan jaga. Mereka akan keluar dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang, dari kegelapan ghaflah (hati yang lalai) menuju cahaya hudhur (kehadiran hati), dan dari kerugian sikap durhaka menuju keuntungan sikap taat. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya berikut ini.

“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 41-43).

Zikir, sebagaimana telah dikemukakan pada pasal sebelumnya, tidak hanya terbatas pada tasbih menyucikan-Nya, tahmid memuji-Nya, dan menyebut asma-Nya, tetapi ia mencakup segala sesuatu yang mengikat seorang mukmin dengan Rabb-nya dengan ikatan ketaatan. Dengan kata lain, zikir mencakup segala amal ketaatan seperti shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, bershalawat kepada nabi, mendalami hukum-hukum syariat, menolong orang lain, memikirkan fenomena alam, menafkahkan sebagian harta, dan lainnya. Allah telah menjanjikan kebaikan yang banyak bagi mereka yang berzikir mengingat Allah -dalam arti mengerjakan amalan-amalan ketaatan- sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya.

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Faathir [35]: 29-30)

Demikianlah kebahagiaan yang akan diraih oleh orang-orang yang senantiasa berzikir –dalam arti mengerjakan amalan-amalan ketaatan—Allah akan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang; mereka memperoleh perniagaan yang takkan merugi; dan Allah berjanji akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya.

Dalam pandangan tasawuf, zikir merupakan cara dan sarana tercepat untuk menyucikan hati dan jiwa. Sebab, zikir akan menarik penzikir ke alam cahaya. Setelah itu, zikir akan menariknya ke alam pikiran. Zikir bagi pikiran laksana sebuah lentera penerang bagi orang yang berjalan di tengah kegelapan malam hingga cahaya pagi muncul, lalu cahaya pagi itu membuatnya tidak membutuhkan lentera penerang lagi

Tentang kebahagian orang-orang yang berzikir, penyair kaum sufi, Ali `Aql berdendang dalam syairnya.

Hendaklah engkau berzikir menyebut nama Allah dengan segenap kemampuanmu.

Orang yang berzikir kepada Allah akan Dia angkat menjadi kekasih-Nya.

Bagaimana mungkin akan kulupakan Sang Kekasih, sedang hatiku berzikir menyebut nama-Nya di kala pagi dan petang. []

 
Reza Pahlevi Dalimunthe, Lc, M.Ag, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Apa makna berdzikir kepada Allah diwaktu berdiri duduk dan berbaring brainly
Ulul albab secara bahasa berasal dari dua kata: ulu dan al-albab. Ulu berarti ‘yang mempunyai’, sedang al albab mempunyai beragam arti. Kata ulul albab muncul sebanyak 16 kali dalam Alquran. Dalam terjemahan Indonesia, arti yang paling sering digunakan adalah ‘akal’. Karenanya, ulul albab sering diartikan dengan ‘yang mempunyai akal’ atau ‘orang yang berakal’. Al-albab berbentuk jama dan berasal dari al-lubb. Bentuk jamak ini mengindikasikan bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki otak berlapis-lapis alias otak yang tajam.

Penelusuran terhadap terjemahan bahasa Inggris menemukan arti yang lebih beragam.

Ulul albab memiliki beberapa arti, yang dikaitkan pikiran (mind), perasaan (heart), daya pikir (intellect), tilikan (insight), pemahaman (understanding), kebijaksanaan (wisdom).

Pembacaan atas beragam tafsir ayat-ayat yang mengandung kata ‘ulul albab’ menghasikan sebuah kesimpulan besar: ulul albab menghiasi waktunya dengan dua aktivitas utama, yaitu berpikir dan berzikir. Kedua aktivitas ini berjalan seiring sejalan.

Ulul albab berzikir, atau mengingat Allah, dalam situasi apapun: dalam posisi berdiri, duduk, maupun berbaring (Q.S. Ali Imran 3:191), memenuhi janji (Q.S. Ar-Ra’d 13: 20), menyambung yang perlu disambung dan takut dengan hisab yang jelek (Q.S. Ar-Ra’d 13: 21), sabar dan mengharap keridaan Allah, melaksanakan salat, membayar infak dan menolak kejahatan dengan kebaikan (Q.S. Ar-Ra’d 13: 22). Di sini, zikir dilakukan dengan membangun hubungan vertikal transendental (seperti mendirikan salat) dan hubungan horisontal sosial (seperti membayar infak dan menyambung persaudaraan).

Dalam berpikir, ulul albab melibatkan beragam obyek: fenomena alam, seperti pergantian malam dan siang serta penciptaan langit dan bumi (Q.S. Ali Imran 3:190-191) dan siklus kehidupan tumbuhan yang tumbuh karena air hujan dan akhirnya mati (Q.S. Az-Zumar 39: 21), fenomena sosial, seperti sejarah atau kisah masa lampau (Q.S. Yusuf 12:111).

Sebagai sebuah konsep, ulul albab perlu dioperasionalisasi atau dibumikan. Beberapa strategi berikut terbayang setelah melakukan tadabbur atas beragam ayat di atas, yaitu: (a) meningkatkan integrasi, (b) mengasah sensitivitas, (c) memastikan relevansi, (d) mengembangkan imajinasi, dan (e) menjaga independensi.

Meningkatkan integrasi. Ulul albab menjaga integrasi antara berpikir dan berzikir, antara ilmu dan iman.  Integrasi aspek zikir dan pikir ulul albab diikhtiarkan untuk diimplementasikan ke dalam tiga level islamisasi: (a) islamisasi diri, yang ditujukan untuk menjadi manusia yang saleh, termasuk saleh sosial; (b) islamisasi institusi, dengan menyuntikkan nilai ke dalam pengambilan keputusan dan desain proses bisnis; dan (c) “islamisasi” ilmu, yang sekarang lebih sering disebut dengan integrasi ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai Islam.

Mengasah sensitivitas. Berpikir membutuhkan sensitifitas (Q.S. Yusuf 12: 105-106). Fenomena yang sama dapat memberikan beragam makna jika didekati dengan tingkat sensitivitas yang berbeda. Sensitivitas bisa diasah dengan perulangan, yang sejalan dengan pesan Q.S. Al-Alaq ayat 1-5, bahwa membaca kritis dilakukan berulang (dalam ayat 1 dan 3).  Pembacaan ini pun tetap dibarengi dengan zikir:  didasari dengan ‘nama Allah’ (ayat 1) dan dengan tetap ‘memuliakan Allah’ (ayat 3).

Memastikan relevansi. Proses berpikir harus menghasilkan manfaat. Di sini, isu relevansi menjadi penting. Bisa jadi, kemampuan berpikir manusia belum sanggup membuka tabir dan memahaminya dengan baik alias berpikir fungsional. Tapi bagi ulul albab, semuanya dikembalikan pada kepercayaan bahwa Allah menciptakan semuanya dengan tujuan, tidak sia-sia (Q.S. Ali Imran 3:192).

Sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang. Apa yang dituliskan dalam Alquran tidak semuanya dapat dipahami dengan mudah pada masa turunnya. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan modern menemukan bahwa matahari bersinar (dliya’an) dan bulan bercahaya (nuuran). Pemahaman awam sebelumnya menganggap bahwa bulan pun bersinar. Bulan tidak bersinar tetapi bercahaya karena memantulkan sinar dari matahari (lihat Q.S. Yunus 10:5). Klorofil, atau zat hijau daun, yang diungkap oleh Q.S. Al-An’anm 6: 99 baru diketahui oleh pengetahuan modern jauh setelah ayat ini turun.

Mengembangkan imajinasi. Paduan aktivitas pikir dan zikir seharusnya menghasilkan imajinasi masyarakat dan umat Islam yang lebih maju (Q.S. Al-Hashr 59:18; An-Nisa 4:9). Untuk bergerak dan maju, kita perlu mempunyai imajinasi masa depan dan tidak terjebak dalam sikap reaktif yang menyita energi.  Karenanya, ulul albab harus mengikhtiarkan pikiran yang kritis, kreatif, dan kontemplatif untuk menguji, merenung, mempertanyakan, meneorisasi, mengkritik, dan mengimajinasi. Ciri kritis karakter zikir muncul ketika berhadapan dengan masalah konkret. Berzikir berarti mengingat atau mendapat peringatan. Karenanya, watak orang yang berzikir adalah mengingatkan. Di sini, bisa ditambahkan bahwa obyek berpikir juga termasuk fenomena sosial yang terhubung dengan berbagai kisah rasul (Q.S. Yusuf 12:111) juga menegaskan pentingnya aspek kritis ini karena salah satu tugas rasul adalah memberi peringatan (Q.S. Al-Baqarah 2: 119).

Menjaga independensi. Ulul albab juga seharusnya terbiasa berpikir independen. Tidak dilandasi kepentingan saat ini dan konteks kini. Landasan berpikirnya adalah nilai-nilai perenial atau abadi. Kita diminta mandiri dalam berpendapat (Q.S. Ash-Shaffat 31:102),  hanya akan diminta pertanggunjawaban atas apa yang dilakukannya (Q.S. Al-An’am 6:164), dan diminta hati-hati dalam menilai (Q.S. Al-Hujurat 49:6). Independensi ini menjadi sangat penting di era pascakebenaran ketika emosi lebih mengemuka dibandingkan akal sehat. Di sini kemandirian dalam berpikir menjadi saringan narasi publik yang seringkali sulit diverifikasi kebenaraannya.

—–

Diringkas dari presentasi pada Seminar Moderasi Islam: Memaknai dan Membumikan Konsep Ulil Albab pada 30 Oktober 2018.