Aktor pemain yang baik adalah yang dapat memainkan a tokoh b. lakon c. utama d watak

A.   Pendahuluan

Pada hakikatnya sastra merupakan suatu karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media dalam mengungkapkan peristiwa-peristiwa hidup dan kehidupan yang terjadi di masyarakat, baik secara nyata maupun tidak nyata. Suatu karya sastra, juga tidak bisa lepas dari keadaan lingkungan sosial pengarangnya. Hal itu dikarenakan sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi,1990). Sastra tidak saja lahir dari fenomena-fenomena kehidupan yang lugas, tetapi juga dari kesadaran pengarangnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang fiktif, juga harus dapat menyampaikan misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu, sebuah karya sastra sebagai suatu rekaan pada hakikatnya adalah suatu struktur. Struktur tersebut dibina oleh unsur-unsur karya sastra. Maksudnya, fungsi unsur-unsurnya itu saling mendukung satu sama lain (Gunatama, 2005). Pengarang dalam menciptakan karya sastra, tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkeinginan menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, perasaannya terhadap sesuatu berdasarkan pengalaman lahir maupun batinnya. Selebihnya suatu karya sastra selalu ditempatkan pada posisi seimbang antara teks dan penciptanya. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan sastrawan adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu.

Sejalan dengan hal tersebut, Wiyanto (2002) mengungkapkan bahwa karya sastra pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama. Ketiga karya sastra tersebut memiliki ciri khasnya masing-masing. Namun, drama tetap memiliki keistimewaan tersendiri karena dapat menggambarkan kehidupan manusia secara jelas dan komplet. Drama merupakan suatu cerita yang disusun untuk dipertunjukkan oleh pemain di atas panggung (Hamilton dalam Brahim,1968). Selain itu, drama juga dapat dikatakan sebagai cerita yang diambil dari kehidupan manusia yang terdiri atas sikap, sifat, dan konflik yang ada dalam kehidupan tersebut, kemudian ditulis dalam sebuah naskah serta dipentaskan di atas panggung dan ditonton oleh khalayak luas.

Tidak hanya itu, drama juga merupakan karya sastra yang memiliki keunikannya sendiri dan melibatkan semua keterampilan berbahasa Indonesia. Drama dikatakan melibatkan semua keterampilan berbahasa karena dalam drama juga diselipkan kemampuan berbahasa, seperti menyimak, menulis, membaca, dan berbicara. Bahkan, drama juga melibatkan unsur-unsur kesenian yang ada, seperti seni tari, seni musik, dan seni rias, karena dalam setiap permainan atau pementasan drama unsur-unsur seni lainnya selalu berusaha membantu dan melengkapi pementasan drama demi kesempurnaan pementasan drama itu sendiri. Keunikan dan kemenarikan suatu drama juga dilihat dari isi cerita yang ada dalam drama itu sendiri. Begitu banyak jenis cerita yang dapat dimainkan dalam suatu drama dan hal itulah yang semakin membuat drama itu semakin diminati oleh penonton yang terdiri dari jenjang usia yang beraneka ragam, tidak terkecuali oleh para remaja.

Pada kenyataannya, kemampuan peserta didik dalam bermain drama masih dapat dikatakan sangat rendah. Peserta didik terlihat masih sangat sulit melakukan penghayatan dan menggunakan mimik/ekspresi yang sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Peserta didik masih terlihat belum maksimal bila ditinjau dari segi penghayatan, mimik/ekspresi, gerak-gerik, intonasi/nada/lafal, dan blocking atau posisi pemain. Peserta didik masih kebingungan dalam melakukan penghayatan dan mimik yang sesuai dengan peran yang dimainkkannya. Intonasi/nada/lafal yang diucapkannya dalam bermain drama juga belum terdengar jelas dan belum maksimal.

Rendahnya kemampuan peserta didik dalam bermain drama tidak hanya disebabkan oleh minimnya rasa percaya diri yang dimiliki peserta didik, tetapi model pembelajaran yang digunakan guru secara tidak langsung juga dapat memengaruhi keberhasilan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Pada saat melakukan wawancara, beliau juga mengatakan lebih sering memberikan teori dibandingkan dengan praktik secara langsung. Hal tersebut dikarenakan alokasi waktu yang disediakan cukup minim, sehingga guru hanya bisa menyampaikan teori-teori yang ada dalam pembelajaran drama. Model pembelajaran yang digunakan pun tidak tentu. Terkadang beliau menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan menggunakan model pembelajaraan kooperatif. Hal inilah yang secara tidak langsung dapat membuat nilai dan minat peserta didik dalam seni peran semakin menurun dan memudar.

Kemampuan bermain drama merupakan salah satu kemampuan untuk mengapresiasikan karya sastra yang dapat membantu peserta didik menciptakan intelektual dan emosional. Beberapa masalah yang muncul dalam pembelajaran bermain drama. Peserta didik sering menganggap bermain drama sebagai suatu momok pembelajaran yang selalu membuat khawatir dan menegangkan. Oleh karena itu, peserta didik menjadi tidak memiliki ketertarikan dalam pembelajaran bermain drama sehingga tidak dapat menghafalkan teks dengan baik. Sebagai motivator dan fasilitator, guru harus berusaha menarik perhatian peserta didik agar lebih tertarik dan bersemangat dalam pembelajaran bermain drama. Untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang diharapkan, perlu dipikirkan metode, teknik, maupun pendekatan yang produktif.

Melalui karya-karya sastra peserta didik dibimbing untuk melakukan kegiatan mendengarkan atau menyimak, misalnya dengan mendengarkan karya sastra yang dibacakan. Pada saat peserta didik memerankan penggalan cerpen atau drama, berarti mereka dibimbing melakukan kegiatan berbicara. Pembacaan puisi dan cerpen merupakan contoh implementasi dalam keterampilan membaca. Sementara itu, ketika peserta didik harus membuat kritik ataupun resensi, berarti peserta didik dibimbing untuk melakukan keterampilan menulis.

Dalam kegiatan bersastra, bermain drama adalah salah satu wujud pembelajaran berbicara sastra dalam pementasan drama. Bermain drama bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam posisi dan situasi tertentu. Bermain drama merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar dan dengan diskusi tentang peran dalam suatu kelompok. Dalam hal ini yang perlu untuk diperhatikan adalah bahwa bermain drama semuanya berfokus pada pengalaman kelompok, bukan pada perilaku guru. Kelompok harus berbagi dalam menentukan masalah, membawakan situasi, mendiskusikan hasil, dan mengevaluasi seluruh pengalaman. Ketiga pembelajaran di atas membentuk hubungan erat antara kemampuan berbahasa sebagai tujuan yang akan dicapai, kemampuan bersastra sebagai media, dan bermain drama sebagai salah satu materi pembelajaran.

Pembelajaran bermain drama harus lebih banyak bersifat aplikatif, yaitu berupa pelatihan kegiatan mengekspresikan karya sastra. Kegiatan itu dapat memungkinkan peserta didik untuk mau, gemar, dan pada akhirnya mampu berekspresi melalui bermain drama. Keterlibatan peserta didik dalam bermain drama dapat menciptakan perlengkapan emosional dan intelektual. Selain itu dari kegiatan bermain drama bisa pula menciptakan suatu rasa kebersamaan dalam kelas. Namun adakalanya beberapa peserta didik dapat memberikan reaksi negatif dalam partisipasinya, sehingga terkadang hasil yang benar-benar bermanfaat tidak dapat tercapai dengan maksimal. Oleh karena itu, kemampuan dalam bermain drama bukanlah suatu kemampuan yang dapat diajarkan melalui uraian dan penjelasan semata. Pembelajaran berbicara melalui bermain drama ini justru akan tampak bagus apabila disertai dengan latihan dan pementasan.

Dengan bermain drama, peserta didik dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam dirinya maupun orang lain. Hal ini sesuai dengan kompetensi dasar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yakni bermain drama sesuai dengan naskah yang ditulis peserta didik.

Salah satu pembelajaran sastra di sekolah yang dapat dipakai sebagai media untuk mengekspresikan diri adalah kompetensi bermain drama. Bermain drama merupakan pembelajaran sastra yang berbeda dari pembelajaran sastra yang lain. Seseorang dikatakan berhasil bermain drama apabila dapat memerankan tokoh sesuai dengan karakter dalam naskah drama serta dapat menyampaikan dialog dengan gerak-gerik dan mimik yang tepat sesuai dengan watak tokoh.

Manusia sebagai individu mempunyai kebutuhan berkomunikasi dan berekspresi. Secara naluriah, ia didesak oleh suatu kebutuhan mengungkapkan berbagai perasaan, tanggapan, pendapat dan sikap, serta pengalaman batinnya. Kebutuhan berekspresi dan komunikasi itu terutama dipenuhi dengan bahasa. Salah satu media komunikasi ekspresi itu diantaranya adalah bermain drama. Bermain drama adalah media komunikasi dan pengungkap ekspresi estetis, yang berhubungan dengan pengaturan rasa, seperti rasa senang, kagum, rasa rindu, rasa kasih sayang, rasa sedih, murung, atau rasa resah dan gelisah. Bermain drama melahirkan suatu aktivitas yang dilakukan dalam mengungkap rasa, cipta, dan karsa yang ada dalam diri setiap manusia sehingga mampu menggugah perasaan batin orang yang menikmatinya. Cerita yang diperankan umumnya bersumber dari kehidupan manusia. Pelaku dalam cerita tersebut mungkin diperankan oleh orang yang sama, tetapi pada umumnya diperankan oleh orang lain (Elizar 2006:31).

Pembelajaran bermain drama di sekolah mempunyai arti penting bagi pemupukan hidup bergotong royong dan belajar tanggung jawab akan kewajiban yang diserahkan kepadanya. Dengan memilih lakon tertentu, bermain drama dapat menimbulkan rasa cinta tanah air dan bangsa (Brahim 1968:156).

Rahmanto (1988:90) mengemukakan tujuan utama bermain drama adalah untuk memahami bagaimana suatu tokoh diperankan dengan sebaik-baiknya dalam suatu pementasan. Dengan menghayati berbagai macam peran, peserta didik akan memiliki wawasan yang lebih luas tentang hidup dan kehidupan yang dihadapinya. Melalui bermain drama, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeran tenggelam dalam peran yang dimainkannya dan melibatkan dirinya secara emosional (Komara 2009).

Dalam bermain drama, peserta didik memahami perasaan takut, kecewa, sedih, marah, cemburu, dan sebagainya. Saat memerankan tokoh tertentu, ia menghayati dan memahami perasaan-perasaan tokoh yang diperankan. Misalnya, ketika ia melakukan pemeranan yang melibatkan perasaan, ia mulai belajar untuk berempati dengan perasaan orang lain. Kegiatan bermain drama sangat penting sehingga materi tersebut secara khusus tertuang dalam kurikulum. Hal tersebut terdapat pada butir standar kompetensi mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan bermain drama. Kompetensi dasarnya adalah bermain drama sesuai dengan naskah yang ditulis peserta didik.

Guru dapat memilih untuk melakukan pembelajaran tentang bermain drama karena bermain drama merupakan kegiatan yang efektif untuk meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menggunakan bahasa Indonesia. Dengan bermain drama, keterampilan berbahasa yang meliputi empat keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dapat ditingkatkan. Misalnya, jika peserta didik membawakan dialog berarti dia mengembangkan keterampilan berbicara. Lawan bicara dalam berperan berarti menyimak dialog lawan bicaranya, sedangkan penonton berarti melatih keterampilan menyimaknya. Dalam membaca naskah bermain drama berarti melatih keterampilan membaca peserta didik. Untuk mengembangkan keterampilan menulis, guru bisa mengembangkan teknik sederhana, misalnya menugasi peserta didik untuk meringkas cerita yang disimak.

Fenomena yang terjadi dalam pembelajaran bermain drama di sekolah, menunjukan keterampilan bermain drama yang dimiliki oleh peserta didik masih rendah. Hal ini disebabkan oleh guru kurang memberikan pelatihan bermain drama, seperti berlatih vokal, ekspresi, dan penampilan. Guru juga kurang kreatif dalam memilih metode dan teknik yang tepat dalam membelajarkan keterampilan bermain drama sehingga peserta didik kurang tertarik terhadap pembelajaran bermain drama.

Selain itu peserta didik kurang percaya diri ketika bermain drama. Peserta didik biasanya memilih peran yang sesuai dengan karakter mereka. Ketika peserta didik dihadapkan pada peran lain, mereka kurang percaya diri dan malu-malu dalam membawakan karakter tokoh yang diperankan.

Pada dasarnya, manusia sebagai individu mempunyai kebutuhan berekspresi. Secara naluriah, ia didesak oleh suatu kebutuhan mengungkapkan berbagai perasaan, tanggapan, pendapat dan sikap, serta pengalaman batinnya. Sebagai individu, manusia mempunyai kebutuhan berkomunikasi dan berekspresi. Salah satu media komunikasi ekspresi itu diantaranya tertuang dalam pembelajaran bermain drama.

Bermain drama merupakan salah satu bagian dari kompetensi berbicara dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan yang harus dikuasai oleh peserta didik. Selain sebagai salah satu media komunikasi, melalui bermain drama peserta didik dapat mengungkapkan perasaannya dalam wujud ekspresi estetis yang berhubungan dengan rasa yaitu senang atau kagum, rasa sedih, rasa resah, rasa kasih sayang dan cinta.

Kenyatan di lapangan menunjukkan bahwa  masih terdapat beberapa permasalahan yang dialami peserta didik dan guru sehingga mempengaruhi kurangnya pencapaian kompetensi. Berbagai permasalahan yang dihadapi peserta didik, yaitu (1) peserta didik masih belum maksimal dalam memahami materi yang diberikan oleh guru, (2) peserta didik masih kurang memperhatikan dan menyimak materi yang diberikan oleh guru di depan kelas karena proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dianggap membosankan, (3) kurangnya sarana dan prasarana dalam pembelajaran sastra di sekolah, terutama untuk keterampilan bermain drama, (4) kurangnya buku penunjang atau sumber pembelajaran yang relevan, sehingga peserta didik kurang mampu mengembangkan pengetahuannya terhadap konsep bermain drama, (5) peserta didik kurang mendapat pengalaman secara langsung dalam pembelajaran bermain drama, dan (6) peserta didik belum optimal dalam bermain drama, terutama aspek penghayatan dan ekspresi peserta didik dalam menyampaikan dialognya.

Ekspresi peserta didik belum menunjukkan adanya keterampilan bermain drama yang baik dan benar, selain itu dialog-dialog antartokoh masih terkesan kaku dan unsur kreativitas di dalamnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Sehingga keterampilan bermain drama yang dihasilkan oleh peserta didik belum bisa dinikmati secara nyaman oleh pengamatnya. Untuk meningkatkan keterampilan bermain drama padapeserta didik, guru harus memiliki dan memahami berbagai teknik pembelajaran yang tepat  sehingga peserta didik dapat bermain drama dengan baik, namun kenyataannya masih ada beberapa permasalahan yang diakibatkan oleh guru sehingga mempengaruhi hasil pembelajaran peserta didik. Beberapa permasalahan yang dilami oleh guru yaitu (1) guru sangat minim pengetahuan tentang pembelajaran bermain drama, seperti menentukan karakter pemainnya, bagaimana cara agar peserta didik mampu memunculkan ekspresi yang tepat, (2) guru tidak bisa melaksanakan pembelajaran yang efektif dalam bermain drama karena minimnya waktu pembelajaran sastra di sekolah, sehingga guru bingung menentukkan teknik apa yang cocok dengan pembelajaran ini, dan (3) kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pementasan drama.

Berdasarkan beberapa permasalahan yang dialami oleh peserta didik dan guru dalam pembelajaran bermain drama, perlu dilaksanakan pembelajaran dengan teknik pembelajaran yang tepat. Guru dapat menerapkan pembelajaran bermain drama dengan beberapa metode dan teknik pembelajaran. Teknik-teknik ini diharapkan dapat membantu peserta didik agar lebih mudah mengekspresikan tokoh dalam drama dengan baik dan peserta didik mampu mengembangkan atau mengimprovisasi cerita sesuai dengan ide yang muncul dalam pikirannya.

Salah satu teknik yang diyakini dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam bermain drama adalah teknik kreatif dramatik. Teknik kreatif dramatik pada dasarnya terdiri atas berbagai permainan yang menyenangkan dan mampu membuat peserta didik berlatih bermain drama secara tertib dan aktif serta kreatif. Teknik ini terdiri atas berbagai macam keterampilan yang dapat membantu peserta didik dalam penguasaan bermain drama seperti berlatih ucapan/dialog, tanya jawab langsung, improvisasi, dan yang terakhir yaitu kontes peran. Teknik ini dapat diterapkan dalam penguasaan bermain drama karena dapat memudahkan peserta didik dalam menyampaikan ekspresi tokoh yang akan mereka bawakan.

Dengan teknik teknik kreatif dramatik dan sayembara diharapkan peserta didik mampu menghayati dan mengekspresikan tokoh yang dibawakannya secara optimal. Teknik kreatif dramatik yang dilakukan berorientasi pada sayembara. Sayembara menjadi motivasi peserta didik agar terus berlatih dan bisa menyajikan kompetensi bermain drama dengan baik dan tepat karena peserta didik akan cenderung terus berlatih agar mendapatkan hasil yang optimal. Penerapan teknik kreatif dramatik dan sayembara pada pembelajaran bermain drama diharapkan dapat meningkatkan penguasaan peserta didik terhadap keterampilan bermain drama sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai, peserta didik mampu bermain drama sesuai dengan aspek bermain drama, dan mampu menghayati tokoh yang diperankan sehingga peserta didik dapat berekspresi dengan baik.

Gervais (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Exploring Moral Values with Young Addlescent Trough Process Drama menunjukkan adanya perubahan perilaku atau moral ke arah yang lebih baik setelah dilakukan kajian tentang hubungan antara drama dan pendidikan moral pada remaja. Menurut penelitiannya dengan dilaksanakannya pembelajaran bermain drama dapat membentuk karakter peserta didik secara tidak langsung. Dalam studi ini proses drama didefinisikan sebagai drama pendidikan untuk mengeksplorasi nilai-nilai moral peserta didik. Hasil lain yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa melalui proses dramatis, peserta didik tidak hanya dapat melihat kehidupan mereka sendiri dalam konteks sosial, tetapi juga penindasan struktural masyarakat di mana mereka tinggal dan belajar. Sehingga dengan penelitian ini peserta didik tidak hanya belajar bermain drama saja melainkan belajar bagaimana proses untuk menjalani kehidupan yang baik.

Penelitian yang dilakukan Gervais dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu sama-sama mengkaji tentang bermain drama peserta didik, hanya saja kajiannya berbeda. Gervais lebih menekankan pada proses bermain drama untuk menjelajahi nilai moral peserta didik, sedangkan dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada metode untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam bermain drama yaitu menggunakan teknik kreatif dramatik.

Fraser (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Relational Pedagogy and Power in Drama Teaching menunjukan tentang bagaimana cara mengajar drama yang memiliki power sehingga peserta didik dapat melaksanakan pembelajaran dengan cara yang menyenangkan. Peserta didik menjadi antusias karena pelajaran yang diberikan guru menjadi tidak membosankan. Hal itu menunjukan bahwa penelitian yang dilakukan Fraser menyebabkan peningkatan dalam pembelajaran bermain drama.

Kerekes (2010) dalam penelitiannya yang berjudul The King’s Carpet: Drama Play In Teacher Education mengkaji tentang memulai sebuah proyek bermain drama untuk menambah pengalaman peserta didik SD menginternalisasi dan belajar konsep-konsep matematika. Temuan-temuan dari studi kasus ini adalah pemahaman tentang dampak bermain drama sebagai metode pembelajaran dalam matematika. Secara khusus, proyek bermain drama mengungkapkan kekuatan mengintegrasikan masalah berpose, pemecahan masalah, contoh kehidupan nyata dengan peserta didik aktif belajar, dan kolaborasi.

B.   Bermain Drama

1.    Pengertian Drama

Drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan, beraksi, atau action (Waluyo, 2001:2). Menurut Ferdinant Brunetierre, drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Belthazar Vertagen, drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak (Harymawan, 1993:1-2). Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas (Waluyo, 2001: 1). Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa drama adalah sebuah rangkaian cerita yang berisi konflik manusia, berbentuk dialog, yang diekspresikan melalui pentas dpertunjukan dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan para penonton.

Dewasa ini pengertian drama sering disamkaan dengan teater. Menurut santoso dalam Suwarni (2003:10) teater adalah istilah lain dari drama, tetapi mempunyai arti yang lebih luas dari pada drama yaitu merupakan proses dari pementasan yang meliputi proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman dan penikmatan publik. Drama belum mencapai kesempurnaan apabila belum ke tahap teater dalam bentuk pementasan sebagai perwujudanya.

Drama mempunyai arti yang sangat luas. Perkataan ”drama” berasal dari bahaswa Yunani ”draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama berarti perbuatan tindakan atau reaksi. Drama berarti perbuatan tindakan action (Waluyo 2002:2). Berbagai macam pendapat para pakar, ahli, maupun ilmuan mengenai pengertian drama yang meninjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pemikiran dan temuan itu menghasilkan beragam simpulan tentang pengertian drama, yang pada hakikatnya adalah saling melengkapi pendapat satu sama lain. Dalam Dictiobary of World Literature, drama berarti segala pertunjukan yang memakai mimik (any kind of mimetic performance). Dalam pemakaian sehari-hari arti drama sangatlah luas sekali, pengertian yang timbul dari kata ”drama” terutama ialah: pertunjukan, dan adanya lakon yang dibawakan dalam pertunjukan itu (Purwanto 1968:51-52).

Menurut Waluyo (2002:1) drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat. Kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin mereka sendiri. Drama adalah potret kehidupan manusia potret suka duka, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia. Menurut Suharianto (2005:58) drama semula berasal dari Yunani yang berarti perbuatan atau pertunjukan. Berbeda sekali dari Suharianto, Wiyanto (2005:126) yang memandang drama dari seni sastra, berpendapat bahwa drama jika dipandang dari seni sastra merupakan naskah drama karya sastrawan yang kebanyakan berupa percakapan, yaitu percakapan antar pelaku. Hal ini berbeda sekali dengan pendadapat-pendapat yang sudah terdahulu.

Pengertian drama yang sudah dikenal selama ini hanya diarahkan kepada dimensi seni pertunjukan atau seni lakon, ternyata memberikan citra yang kurang baik terhadap drama, khususnya bagi masyarakat Indonesia. konsepsi drama adalah peniruan atau tindakan yang tidak sebenarnya, berpura-pura diatas pentas, menghasilkan idiom-idiom yang menunjukkan bahwa drama bukanlah dianggap ”serius dan berwibawa” (Hasanuddin 1996:3). Adapun jenis drama dapat di golongkan dari berbagai macam tinjauan para ahli maupun sastrawan. Sama halnya dengan pengertian drama diatas, beberapa tinjauan mengenai jenis drama bersifat saling melengkapi satu sama lain. Jenis drama dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu drama senagai sastra (naskah drama) dan drama sebagai tontonan (drama pentas).

Bentuk karya sastra drama dapat dipandang sebagai seni sastra, namun juga dapat dipandang sebagai seni tersendiri, yaitu seni drama. Yang dimaksud drama dalam seni sastra tidak lain adalah naskah drama karya sastrawan, yang umumnya berupa percakapan, yakni percakapan antar pelaku (Wiyanto 2005:126-127). Selain percakapan para pelaku, naskah drama juga berisi penjelasan mengenai gerak-gerik dan tindakan yang dilaksanakan oleh pelaku. Naskah drama juga dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau ragam tutur (Waluyo 2003:6).

Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu jenis sastra atau drama sebagai sebuah kesenian yang mandiri. Naskah drama merupakan salah satu jenis sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa, sedangkan pementasan drama adalah salah satu jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekorasi dan panggung), seni kostum, seni rias, seni tari, dan lain sebagainya.

Dalam kaitannya dengan pendidikan watak, drama juga dapat membantu mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam diri peserta didik, memeperkenalkan kehidupan manusia dari kebahagiaan, keberhasilan, kepuasan, kegembiraan, cinta, kesakitan, keputusasaan, acuh tak acuh, benci dan kematian. Drama juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kepribadian yang kompleks, misalnya ketegaran hati, imajinasi, dan kreativitas (Endraswara, 2005: 192).

2.   Klasifikasi Drama

Klasifikasi drama dapat digolongkan dari berbagai tinjauan. Sama halnya dengan pengertian drama, beberapa tinjauan tentang klasifikasi drama bersifat saling melengkapi. Pembahasan tentang bermain drama dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD merancukan antara drama naskah dan drama pentas. Menurut Waluyo (2003:2-6) drama naskah disebut juga sastra lakon. Drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau ragam tutur. Drama pentas adalah kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung, seni kostum, seni rias, dan sebagainya). Klasifikasi drama didasarkan atas jenis streotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Menurut Waluyo (2003:38-44) berbagai jenis drama dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut.

a.     Tragedi (Drama Duka atau Duka Cerita)

Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana yang besar. Dengan kisah tentang bencana ini, penulis naskah mengharapkan agar penontonnya memandang kehidupan secara optimis. Pengarang secara bervariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang ketidaksempurnaan manusia. Cerita yang dilukiskan romantis atau idealistis, sebab itu lakon yang dilukiskan seringkali mengungkapkan kekecewaan hidup karena pengarang mengharapkan sesuatu yang sempurna.

b.    Melodrama

Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. Alur dan penokohan seringkali dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan penonton.

c.    Komedi (Drama Ria)

Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang.

d.    Dagelan (Farce)

Dagelan disebut juga banyolan. Dagelan adalah drama kocak dan ringan, tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik dan perkembangan cerita sang tokoh. Isi cerita dagelan biasanya kasar, lentur, dan vulgar. Alurnya longgar dan struktur dramatiknya bersifat lemah.

3.   Drama sebagai Sastra (Naskah Drama)

Seni sastra (naskah drama) akan menjadi seni drama (tontonan drama) jika naskah tersebut dimainkan. Tontonan drama amat unik, karena bukan hanya melibatkan aktor saja, melainkan melibatkan berbagai seniman. Sedangkan gedung pementasan drama sebenarnya tempat berkumpulnya para seniman: sastrawan, aktor, komponis, pelukis, dan lain-lain (Wiyanto 2005:129). Para seniman itu bekerjasama sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk mewujudkan seni drama yang akan dinikmati keindahanya oleh penonton. Selain melibatkan banyak seniman, tontonan drama juga mengandung banyak unsurunsur yang tidak dapat dipisahkan dari keutuhan pementasan drama.

Beragam pendapat menurut sastrawan menyebutkan seni pentas dalam kesastraan di Indonesia bermacam-macam. Diantaranya adalah seni drama (tontonan drama), teater, bermain drama, bahkan bermain drama. Kesemua ini memiliki maksud dan tujuan yang sama. Pertunjukkan atau tontonan tersebut dalam realitanya memiliki unsur yang mendukung secara bersama-sama. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari unsur-unsur yang terdapat didalamnya seperti adanya; teks atau naskah yang dipentaskan, laku pentas dengan sarana pendukungnya, dan adanya penonton. Kesemuannya itu menjawab kesamaan istilah atau nama dalam menyebutkan suatu seni pertunjukkan (seni pentas) adalah sama maksud dan sama arti.

4.   Unsur-unsur Pembangun Drama Pentas

Adapun unsur-unsur pembangun drama dalam sebuah pagelaran drama/teater yang penting dan berkorelasi. Penjabaran teori unsur-unsur yang terdapat dalam pementasan drama menurut para dramawan sangat luas sekali. Dalam hal ini Suharianto (2005:59-73) menggolongkan ada empat unsur pembangun drama sebagai berikut.

a.    Tata Pentas dan Dekorasi

Tata pentas atau dekorasi dalarn pertunjukkan drama biasanya disesuaikan dengan kebutuhan penonton dan lakonya untuk memberikan kenyamanan penonton dan juga dapat membantu memudahkan pengimajinasian seorang aktor sekalipun.

b.    Lakon atau Cerita

Lakon atau cerita merupakan unsur yang esensial dalam sebuah drama. Berangkat dari lakon/cerita inilah para pelaku menampilkan diri di depan penonton, baik dengan geraknya (acting) maupun wawankatanya (dialog). Selanjutnya dari perpaduan antara lakon, gerak dan wawankatanya itulah kita sebagai penikmatnya dapat menyaksikan sebuah drama.

    Dalam sebuah drama, secara struktural lakon atau cerita terdiri atas lima bagian, yaitu: 1) pemaparan atau eksposisi → penjelasan situasi awal suatu cerita, 2) pengawatan atau kompilasi → bagian yang menunjukkan konflik yang sebenarnya, 3) puncak atau klimaks → puncak ketegangan cerita, titik perselisihan tertinggi protagonis dan antagonis, 4) peleraian atau anti klimaks → bagian pengarang mengetengahkan pemecahan konflik, dan 5) penyelesaian atau kongkulasi → bagian cerita yang berfungsi mengembalikan lakon pada kondisi awal (Suharianto 2005:59).

c.    Pemain

Pemain atau pemeran adalah orang-orang yang harus menerjemahkan dan sekaligus menghidupkan setiap kata dari sebuah naskah drama. Pemain berfungsi sebagai alat pernyataan watak dan penunjang tumbuhnya alur cerita. Dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pemain adalah setiap orang yang terlibat dalam sebuah pagelaran, misalnya sutradara, aktor/ aktris, dan staf artistik (Suharianto 2005:61).

Pemain (aktor) bertugas menghafalkan percakapan yang tertulis dalam naskah drama. Seorang aktor juga harus menafsirkan watak tokoh yang diperankan, seraya mencoba memeragakan gerak-geriknya. Pemain atau aktor harus berlatih berulang-ulang supaya peragaan yang dibawakanya benar-benar sesuai dengan yang dikehendaki naskah drama.

d.    Tempat

Yang dimaksud tempat dalam drama adalah gedung, lapangan, atau arena lain yang dipergunakan sebagai tempat pertunjukan. Dalam hal ini, tempat tidak hanya dibutuhkan oleh para pemain, namun juga oleh para menonton. Oleh karena itu, tempat yang memenuhi syarat akan sangat mendukung terjadinya sebuah pagelaran yang baik (Suharianto 2005:62).

e.    Penonton atau Publik

Penonton atau publik adalah merupakan bagian yang sempurna, lengkap di dalam sebuah pagelaran drama pertunjukan dengan lakon itu sendiri. Sebab, tanpa adanya penonton tidak pernah akan ada drama dalam arti yang sesungguhnya. Banyak sedikitnya penonton menjadi sebuah ukuran keberhasilan pertunjukan drama. Jika penonton merasa puas, maka pertunjukan drama tersebut bisa diartikan sukses besar. Sebaliknya, bila penontonya sedikit dan umumnya penonton kecewa dengan pertunjukan yang di pentaskan, maka pertunujukan itu dapat dikategorikan gagal total.

Menurut Suharianto (1982:62) pagelaran drama pada hakikatnya adalah sebuah proses berkomunikasi antara peneliti naskah (sebagai komunikator), penonton/ publik/audience (sebagai komunikan), dan pemain (sebagai mediator). Dengan demikian, unsur penonton merupakan unsur yang sangat penting keberadaannya, agar proses berkomunikasi dapat berlangsung sempurna. Proses berkomunikasi yang interaktif membutuhkan komunikan (penonton) yang aktif. Dengan demikian, penonton drama yang baik adalah penonton yang aktif dan bisa bersikap apresiasi yang positif.

f.     Tata Rias dan Busana

Untuk menciptakan peran sesuai dengan tuntutan lakon yang akan dibawakan, tata rias atau seni menggunakan kosmetik sangatlah diperlukan. Adapun fungsi pokok rias adalah untuk membantu seorang tokoh dalam mengubah watak baik dari segi fisik, psikis, dan sosial. Tujuan utama fungsi bantuan rias adalah untuk memberikan tekanan terhadap peran yang akan dibawakan oleh seorang aktor. Seperti halnya rias, tata busana juga akan membantu seorang aktor dalam membawakan peran sesuai dengan tuntutan lakon melalui latihan penyesuaian diri dengan rias dan kostum yang dipakainya.

g.   Tata Lampu

Tata lampu bertujuan untuk memberikan pengaruh psikoiogis seorang aktor dan sekaligus berfungsi sebagai ilustrasi (hiasan) serta sebagai penunjuk waktu suasana pentas yang berlansung.

h.    Ilustrasi Musik dan Tata Suara

Ilustrasi musik dalam sebuah pertunjukkan dapat juga menjadi bagian dari lakon, akan tetapi yang paling banyak adalah sebagai ilustrasi atau sebagai pembuka. Sedangkan tata suara berfungsi untuk memberikan efek suara yang akan membantu seorang aktor untuk menguatkan penghayatan peran. Suara yang jelas dalam pengucapan dialog akan membuat penonton dapat menangkap jalan cerita drama yang dipertunjukkan. Adapun ucapan yang jelas adalah ucapan yang bisa terdengar setiap suku katan-nya.

5.   Hakikat Bermain drama

Dramatisasi atau bermain drama adalah kegiatan mementaskan lakon atau cerita. Biasanya cerita yang dilakonkan sudah dalam bentuk drama. Guru dan peserta didik terlebih dahulu harus mempersiapkan naskah atau skenario, pelaku, dan perlengkapan pementasan. Melalui dramatisasi, peserta didik dilatih untuk mengekspresikan perasaannya dan pikirannya dalam bentuk bahasa lisan. Hamzah (2011:28) menyatakan bahwa bermain drama merupakan suatu kemampuan untuk mengenal perasaanya sendiri dan perasaan orang lain agar memperoleh cara berperilaku baru untuk mengatasi/memecahkan masalah.

Ketidakmampuan guru dalam menyampaikan pengajaran bermain drama salah satunya adalah berkaitan dengan penggunaan teknik yang digunakan seringkali kurang tepat. Hal itu dapat mengakibatkan materi yang disampaikan tidak maksimal diterima oleh peserta didik. Oleh adanya permasalahan tersebut, penelitian tentang kemampuan bermain drama telah banyak dilakukan. Pustaka yang mendasarinya adalah hasil karya penelitian bermain drama dan drama terdahulu yang relevan dengan penelitian ini baik kemiripan objek atau landasan teori. Penelitian bermain drama tergolong penelitian yang menarik.

Bermain drama merupakan salah satu cara mengekspresikan suatu karya sastra yang terproyeksikan dalam pementasan drama. Peran juga merupakan bagian penting dalam sebuah seni drama. Peran dalam KBBI (2007 : 641) adalah (1) pemain, (2) tukang lawak, (3) perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.

Menurut Rendra (2007 :108), peran dalam sebuah sandiwara bisa dibedakan dalam tiga jenis : (1) peran utama, peran yang menjadi pusat perhatian dalam sandiwara; (2) peran pembantu, peran yang cukup penting, tetapi bukan yang menjadi pusat perhatian; dan (3) peran tambahan, peran yang diciptakan untuk memeriahkan atau meramaikan gambaran suasana.

Menurut Waluyo (2003 : 109) berperan adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon drama. Gambaran sisi kehidupan manusia memang sering dijadikan objek bagi seni peran. Dari setiap sisi kehidupan tersebut diberi alur yang dramatis, sehingga akan terlihat nyata seakan penonton mengalami sendiri. Dalam bermain drama unsur utamanya adalah seorang aktor atau pemain. Untuk menghidupkan peran, seorang aktor harus menghayati dan memahami perannya dalam drama tersebut.

Menurut R. Boleslavsky (dalam Tarigan 1985 : 108), teknik dasar berperan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat berperan itu antara lain : (1) konsentrasi, (2) ingatan emosi, (3) mewujudkan ingatan emosi dalam laku dramatis yaitu perbuatan yang bersifat ekspresif dan emosi, (4) laku dramatis itu harus menggambarkan watak seseorang manusia yang khas dan unik, (5) observasi untuk membentuk watak, (6) pemeranan harus menggunakan irama (tempo atau kecepatan).

Bermain drama menurut Moulton (dalam Hasanuddin 1996:2) adalah menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung. Penonton dapat menyaksikan kejadian yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya melalui bermain drama. Menurut Waluyo (2007:4) bermain drama adalah perpaduan berbagai jenis seni yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Bermain drama menurut D.L Burton (dalam Ahmadi 1990:143) adalah bahasa, ritme, dan tontonan. Menurut Hornby (dalam Tarigan 1985:71) bermain drama adalah suatu lakon yang dipentaskan di atas panggung.

Sternberg (1999) mengemukakan pendapatnya tentang bermain drama yang dapat dipergunakan dalam berbagai bidang. Misalnya, dalam sebuah adegan bermain drama seseorang dituntut untuk memainkan sebuah karakter yang tidak terkalahkan (kenapa tidak). Lalu hasilnya, orang tersebut mampu mengulanginya dalam kehidupan yang nyata, dan peran apapun yang mereka harapkan dapat terwujud. Bermain drama adalah penentuan untuk memberikan sebanyak apapun pengalaman kepada seseorang dalam situasi yang sulit. Ketika seseorang melakukan latihan berulang-ulang sepenuhnya ia akan merasakan hal yang sama saat bermain drama dan berpengaruh dalam kehidupan yang sebenarnya. Hal ini dilakukan agar drama yang dilakukan dapat menimbulkan perasaan yang lain di hati penonton. Selain itu juga dengan penampilan yang baik, penonton akan dapat merasakan, mengerti, dan hanyut dalam setiap lakon yang ditampilkan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bermain drama adalah suatu seni yang menyajikan cerita kehidupan manusia yang dipentaskan di atas panggung. Oleh karena itu, aspek yang paling penting untuk dinilai dalam bermain drama adalah pelafalan, intonasi, ekspresi, dan improvisasi. Keempat aspek itulah yang akan menentukan baik tidaknya pertunjukkan dalam bermain drama.

Menurut Boleslavky bermain drama berorientasi pada terciptanya pemain yang kuat dan berwatak, maksudnya ketika mereka bermain drama, pemain dapat menciptakan ilusi yang benar bagi penontonnya. Menurut Waluyo (2003:109), bermain drama adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon drama. Sejauh mana keterampilan seorang pemain dalam memerankan tokoh ditentukan oleh kemampuannya meninggalkan egonya sendiri dan memasuki serta mengekspresikan tokoh yang dibawakan, jadi modal dasar dari kegiatan bermain drama ini adalah manusia itu sendiri yang didalamnya ditunjang dengan gerak/laku, suara, dan sukma.

Bermain drama berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap, dan nilai yang mendasarinya. Hal ini diungkapkan Rahmanto  (1988:89) bahwa dengan menghayati berbagai macam peran, peserta didik akan memiliki wawasan yang lebih luas tentang hidup dan kehidupan yang dihadapinya. Sedangkan menurut Basoeki (1982:42), bermain drama adalah seni menafsirkan, jadi bukan seni mencipta, maksudnya seorang pemeran menafsirkan secara alami berdasarkan kehidupan yang ada dari semua bagian dalam bermain drama dengan mempergunakan tubuhnya, pemikirannya, dan perasaannya. Dengan tubuhnya, seorang aktor melingkupi semua yang dapat dilakukannya untuk dilihat atau didengar, misalnya duduk, bangun, jalan, keluar, masuk bergerak mempergunakan tangan, kaki, badan, muka, mata, dan sebagainya. Dengan pemikirannya, seorang aktor melingkupi semua yang dapat dilakukan dengan otaknya. Dengan perasaannya, seorang aktor mempergunakan kemampuan untuk mengkhayalkan sesuatu, meneliti sesuatu, memberi reaksi terhadap sesuatu, mengingat dan menghafal sesuatu. Perasaan aktor yang memberi emosi dan penjiwaan menimbulkan keyakinan kepada orang yang melihat drama tersebut.

Menurut Boleslavsky (dalam Harymawan 1988:30), bermain drama adalah memberi bentuk lahir pada watak dan emosi aktor, baik dengan laku atau ucapan. Menciptakan sebuah peranan berarti menciptakan keseluruhan hidup sukma manusia di atas pentas, baik fisik, mental, maupun emosional. Bermain drama berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap, dan nilai yang mendasarinya. Hal ini diungkapkan Rahmanto (1988:89) bahwa dengan menghayati berbagai macam peran, peserta didik akan memiliki wawasan yang lebih luas tentang hidup dan kehidupan yang dihadapinya.

Salah satu bagian dari bermain drama adalah pemeran. Bermain drama, pemeran bertugas untuk memerankan tokoh yang dibawakan. Menurut Waluyo (2003:109), memerankan tokoh adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon. Sejauh mana keterampilan seorang pemeran dalam memerankan tokoh ditentukan oleh keterampilannya meninggalkan egonya sendiri dan memasuki serta mengekspresikan tokoh yang dibawakan.

Dalam bermain drama, peserta didik memahami perasaan takut, kecewa, sedih, marah, cemburu, dan sebagainya. Saat memerankan tokoh tertentu, ia menghayati dan memahami perasaan-perasaan tokoh yang diperankan. Misalnya, ketika ia melakukan permainan yang melibatkan perasaan, ia jadi mulai belajar untuk berempati dengan perasaan orang lain.

Bermain drama berbeda dengan bermain drama. Dalam drama biasanya cerita yang dilakonkan sudah dalam bentuk drama. Guru dan peserta didik harus mempersiapkan naskah atau skenario, pelaku, dan persiapan pementasan. Bermain drama lebih kompleks daripada bermain drama karena membutuhkan perlengkapan pementasan yang lebih kompleks juga seperti pelaku tokoh atau pemeran drama, kostum, setting, dan penonton.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bermain drama adalah kegiatan membawakan peran tertentu dengan menghayati tokoh yang dibawakan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya bermain drama adalah kegiatan membawakan peran tertentu dalam sebuah drama sesuai dengan tema yang dipilih, meninggalkan egonya sendiri dan memasuki serta mengekspresikan tokoh yang dibawakan. Sukses atau tidaknya sebuah drama dilihat dari sukses tidaknya seorang pemeran menguasai karakternya. Oleh karena itu, perlu adanya latihan dan teknik yang dapat menunjang keberhasilan seorang pemeran (actor) dalam kepiawaiannya bermain drama.

6.   Pembelajaran Drama

Seni drama (sandiwara) adalah bagian dari pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang mempunyai nilai-nilai pendidikan yang meliputi nilai kewarganegaraan, kebangsaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, dan segi pemahaman dan pemakaian Bahasa Indonesia (Purwanto 1968:142). Di samping itu melalui pengajaran drama, manfaat pengajaran drama bagi peserta didik di antaranya adalah dapat mengantarkan peserta didik menuju kekedewasaan yang dilakukan dengan mengajak peserta didik berlatih mengalami berbagai macam pengalaman hidup dalam naskah yang dibawakan. Jadi pembelajaran drama di sekolah sangat penting diberikan kepada peserta didik, karena disamping itu peserta didik akan dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, menikmati dan memanfaatkan karya sastra (drama) untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (BNSP 2006).

Pembelajaran drama di sekolah dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1) pembelajaran teks drama yang termasuk sastra, dan 2) pementasan drama yang termasuk bidang teater (Waluyo, 2007: 162). Dalam pembelajaran teks drama yang termasuk sastra, pementasan drama dilakukan di kelas oleh guru bahasa Indonesia. Disarankan agar dilakukan pementasan, meskipun hanya sekali dalam satu semester dan berupa pementasan sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk melatih keterampilan peserta didik mulai dari pementasan kecil, sebelum akhirnya menyajikan pementasan yang lebih besar (teater sekolah).

Dalam pembelajaran drama, peserta didik tidak cukup jika hanya diberi pengetahuan tentang drama, tetapi mereka harus mampu untuk mengapresiasi (unsur yang termasuk afektif), dan mementaskan (psikomotor) (Waluyo, 2007:167). Jadi dalam pembelajaran, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dapat diperoleh secara merata oleh peserta didik. Dalam setiap pengajaran, termasuk pengajaran drama, tujuan harus dapat diketahui secara jelas. Hal ini agar proses pembelajaran lebih terfokus, sehingga apa yang menjadi tujuan dari pembelajaran tersebut dapat tercapai.

7.   Tujuan Pembelajaran Bermain Drama

Pembelajaran bermain drama terdapat di dalam kurikilum tingkat satuan pendidikan (BNSP 2006) dengan standar kompetensi mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan bermain drama (bermain drama), serta kompetensi dasar bermain drama dengan naskah yang ditulis peserta didik, dan bermain drama dengan cara improvisasi sesuai dengan kerangka naskah yang ditulis peserta didik. Sedangkan tujuan pembelajaran bermain drama di sekolah dimaksudkan agar peserta didik lebih meningkatkan kemampuan mengapresiasi karya sastra (drama) yang dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, rnenikmati clan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, menghargai sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (BSNP 2006).

Berbicara mengenai tujuan pengajaran, kita tidak akan lepas dari tokoh populer, yaitu Benjamin S Bloom. Waluyo (2007:167) mengatakan bahwa untuk merumuskan lebih jelas mengenai tujuan pembelajaran sesuai dengan teori Bloom, maka perlu diketahui penjelasan rinci kawasan-kawasan tujuan mengajar beserta contoh nyata kerja operasional yang berguna untuk menyusun tujuan instruksional khusus. Ketiga domain tujuan mengajar menurut Benjamin S Bloom adalah sebagai berikut.

a. Kawasan afektif yang meliputi: 1) Pengetahuan, pengetahuan akan hal umum (mendefinisi, mengingat, membedakan, mendapat), pengetahuan akan hal khusus (mengenal kembali informasi, mengenali contoh dan gejala), mengetahui tentang cara dan alat (gaya, format, mengingat bentuk), pengetahuan akan arah dan urutan (perbuatan, proses, dan gerakan, urutan, arah), penggolongan dan kategori (mengingat daerah, ciri, kelas, tipe, set), pengetahuan akan kriteria (kriteria dasar, teori, dan antar hubungan), pengetahuan akan metodologi (mengingat kembali: teori, dasar dan antar hubungan). 2) Pemahaman, terjemahan (arti, contoh, abstraksi, kata, kalimat), penafsiran (menafsirkan memesan lagi, membedakan, membuat, menerangkan, mempertunjukkan), perhitungan/ramalan (menghitung, berpendapat, mengisi, menggambarkan kemungkinan, menyimpulkan). 3) Penerapan, penerapan prinsip-prinsip, menganalisakan (simpulan, metode, teori, gejala), menghubungkan, memilih, mengalihkan, menggolongkan, mengorganisasikan, dan menyusun kembali. 4) Analisis, analisis unsur, analisis hubungan, analisis prinsip-prinsip organisasional. 5) Sintesis, hasil komunikasi meliputi untuk (menuliskan, menceritakan, menghasilkan mengubah, membuktikan kebenaran), hasil dari rencana rangkaian atau rangkaian kegiatan yang diusulkan, asal mula dari hubungan abstrak. 6) Evaluasi, yang meliputi: pertimabangan mengenali kejadian internal, pertimbangan mengenai kriteria abstrak.

b. Kawasan kognitif yang meliputi : 1) Menerima (receiving), menyangkut minat peserta didik terhadap sesuatu. Misalnya menerima pelajaran drama yang di tandai dengan minat atau perhatian positif terhadap drama. Mendapatkan perhatian, mempertahankan, dan memerintah atau mengatur perhatian peserta didik. 2) Responding (menjawab mereaksi), artinya ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan drama. 3) Menaruh penghargaan (valuing), pada tingkat ini peserta didik mampu memberikan penilaian terhadap drama yang akan atau sudah dipentaskan (di baca). 4) Mengorganisasikan sistem nilai. Nilai-nilai dalam diri seseorang bersifat kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat kait-mengkait, sehingga menjadi sistem nilai. 5) Mengadakan karakteristik nilai. Kemampuan tertinggi dalam kawasan afektif adalah dalam mengkarakteristikkan nilai-nilai. Unsur-unsur kawasan afektif antara lalin: a) Minat, artinya kecendrungan yang agak menetap, dimana subjek merasa tertarik dan senang berkecimpung dalam kegiatan suatu bidang. Unsur minat meliputi, penerimaan, respon, dan nilai. b) Apresiasi, adalah pernyataan seseorang yang secara sadar tertarik dan senang kepada suatu hal, mampu menyatakan penghargaan didalamnya, dan memandang hal yang dipilihnya itu mengandung nilai dalam kehidupannya. c) Sikap, adalah kecendrungan dimana subjek menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai objek yang berharga (baik) atau tidak berharga (jelek). d) Nilai, adalah hakikat daru suatu hal yang menyabababkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. e) Penyesuaian diri, merupakan interelasi (antar hubungan) antar seseorang dengan yang lainya dalam hubungan sedemikian rupa.

c. Kawasan psikomotorik yang meliputi : 1) Persepsi (stimulus, menyentuh bentuk sesuatu, merasakan sesuatu, merasakan sesuatu, membantu dan memegang, dan mendiskriminasi tanda-tanda). 2) Kesiapan (mental, fisik, dan kesiapan dalam merespon). 3) Respon terpimpin (imitasi, trial and error, mengikuti, mengadakan eksperimen). 4) Mekanisme (memilih, melatih, merencanakan, merangkaikan). 5) Respon yang komplek (adaptasi, penggunaan skill, melaporkan atau menjelaskan) (dalam Waluyo, 2007: 167-169).

Dalam pembelajaran drama, pementasan drama memasuki kawasan psikomotorik, akan tetapi dijiwai oleh aspek kognitif dan afektif. Ketiga hal tersebut menyatu dalam diri aktor yang bermain drama. Keseimbangan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik akan melahirkan suatu acting yang baik.

8.   Keterampilan Bermain Drama

Drama naskah belum lengkap jika belum diperankan atau dipentaskan. Berperan adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon drama (Waluyo, 2007: 114). Sejauh mana keterampilan seorang aktor dalam berperan, baru dapat dilihat setelah ia memerankan dan mengekspresikan tokoh yang dibawakannya. Keterampilan bermain drama adalah keterampilan seseorang dalam memerankan suatu peran atau karakter tokoh yang ada di dalam drama. Kemampuan memerankan karakter tokoh dalam bermain drama tidak terlepas dari dialog dan gerakan, karena inti dari sebuah drama adalah pada kedua aspek tersebut.

Manusia sebagai makhluk sosial, pada umumnya menyukai hal-hal yang berbau imitasi, artinya suka meniru-niru apa yang dilihatnya dalam pergaulan. Imitasi ini bisa meniru kebiasaan orang lain, penampilan orang lain, cara berbicara orang lain dan sebagainya. Dalam hal ini berarti seseorang sudah mulai melakukan kegiatan meniru. Sebagai contoh dapat dilihat ketika seorang anak bermain pasar-pasaran dengan teman-temannya.

Disadari atau tidak, anak tersebut sudah melakukan permainan drama. Ketika anak-anak bermain pasar-pasaran, seorang anak memerankan karakter tokoh penjual yang mempunyai keterampilan untuk merayu pembeli, ada seorang anak yang memerankan pembeli, memerankan tukang masak dan sebagainya (Harymawan, 1993: 44). Seorang aktor dapat menggambarkan karakter seorang tokoh secara maksimal. Harymawan (1993:45) menyatakan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh seorang aktor ketika memerankan sebuah karakter tokoh. Ketiga hal tersebut adalah mimik, gestur, dan diksi.

a. Mimik. Mimik adalah pernyataan atau perubahan muka: mata, mulut, bibir,hidung, kening. Mimik juga dapat diartikan sebagai ekspresi wajah. Tanpa mimik atau ekspresi, permainan drama akan terasa kurang lengkap.Meskipun bermacam-macam gerakan sudah bagus, suara telah jadi jaminan, dan diksi juga mengena, tetapi ekspresi mata kosong saja, maka dialog yang diucapkan kurang meyakinkan penonton, karena itu, permainannya menjadi hambar atau datar saja.

b. Gestur. Gestur atau plastik merupakan cara bersikap dan gerakan-gerakan anggota badan. Gestur juga dapat diartikan sebagai sikap. Gestur atau plastik juga dapat diartikan sebagai gerakan tubuh. Sikap dan gerak dengan sendirinya akan terpengaruh oleh mimik dan pada umumnya bergantung juga pada tanda yang sama, tak setegas dan seprinsipil mimik.

c. Diksi. Yang dimaksud diksi di sini merupakan cara penggunaan suara atau ucapan. Diksi memberikan kebebasan pada aktor untuk menghidupkan individualitasnya dalam peranan, karena diksi tidak ditentukan oleh pengarang naskah drama. Diksi ditentukan oleh aktor itu sendiri. Oleh karena itu, diksi dapat mempengaruhi arti dari suatu kalimat (Harymawan, 1993: 46-48).

9.   Teknik Bermain Drama

Yang dimaksud dengan teknik bermain drama adalah cara atau metode yang digunakan agar pemeran dapat menyatukan dan mendayagunakan secara professional segala peralatan ekspresi yang dimiliki oleh pemeran (Achmad 1990:61). Menurut Rendra (1976:8) bahwa dalam bermain drama ada dua hal yang mendasarinya, yaitu teknik dan bakat. Bermain drama tanpa teknik hanya akan menjadi gairah yang asyik tapi tidak komunikatif, sedangkan bermain drama tanpa bakat tidak akan menjadi suatu permainan yang memiliki keindahan. Oleh karena itu, teknik dan bakat haruslah dimiliki oleh seorang aktor agar permainan menjadi komunikatif.

Berikut ini adalah teknik dasar yang perlu dipelajari dalam bermain drama (Rendra 1976:12-78); 1) teknik muncul, 2) teknik memberi isi, 3) teknik pengembangan, 4) teknik membina puncak-puncak, 5) teknik timing, 6) teknik penonjolan, 7) keseimbangan peran, 8) pengaturan tempo permainan, 9) latihan sikap badan dan gerak yakin, 10) teknik ucapan, dan 11) latihan menanggapi atau mendengarkan. Selain teknik yang dikemukakan oleh Rendra, ada beberapa teknik yang dikemukakan oleh Leksono (2007:29-33) mengenai teknik bermain drama yaitu: 1) teknik muncul, 2) teknik moving, 3) teknik crossing, 4) blocking, 5) keseimbangan, 6) respon, dan 7) permainan tempo.

Dalam sebuah pementasan, untuk seorang pemeran (actor) yang masih baru pasti akan mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan segala teknik bermain drama. Namun secara perlahan, jika teknik itu dipelajari secara terus menerus maka akan memudahkan seorang aktor dalam bermain drama. Oleh karena itu, perlu adanya kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang aktor ketika bermain drama. Boleslavky mengemukakan bahwa kemampuan yang harus dipelajari seorang aktor ketika bermain drama adalah sebagai berikut.

a. Konsentrasi, adalah pemusatan perhatian pada berbagai aspek dalam mendukung kegiatan seni perannya. Pemusatan perhatian ini amat perlu dilakukan, karena jika tidak, pemain akan tetap hadir sebagai dirinya sendiri dan bukan sebagai tokoh yang diperankannya.

b. Kemampuan mendayagunakan kemampuan emosional, yaitu kemampuan seorang pemain untuk menumbuhkan bermacam-macam bentuk emosional dengan kemampuan dan kualitas yang sama baiknya, di dalam berbagai situasi.

c. Kemampuan laku dramatik, yaitu kesanggupan pemain di dalam melakukan sikap, tindakan, serta perilaku yang merupakan ekspresi dari tuntutan emosi.

d.  Kemampuan membangun karakter, yaitu kesanggupan pemain drama untuk lebur ke dalam suatu pribadi lain dan keluar dari dirinya sendiri selama bermain drama.

e. Kemampuan melakukan observasi, yaitu kesanggupan pemain drama untuk melakukan pengamatan terhadap sikap aktivitas manusia di dalam kehidupan sehari-hari.

f.  Kemampuan menguasai irama, yaitu kesanggupan pemain untuk menguasai tempo permainan, sehingga pementasan memberikan suspence kepada penonton (dalam Hasanuddin, 1996:175-179).

10.  Langkah-Langkah Bermain Drama

Untuk menampilkan sebuah pagelaran drama, ada beberapa hal penting yang harus di perhatikan berkaitan dengan sukses dan tidaknya sebuah pagelaran drama yang baik. Untuk mewujudkan sebuah pementasan drama yang baik hendaknya melakukan persiapan-persiapan dari prapementasan, saat pementasan, dan sesudah pementasan. Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap bermain drama yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran.

a. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternatif pemecahan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain drama dan paling menentukan keberhasilan. Bermain drama akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.

b. Memilih partisipan/peran. Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.

c. Menyusun tahap-tahap peran. Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.

d. Menyiapkan pengamat. Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat ini dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shaftel (1967), agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkan?

e. Pemeranan. Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Merka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain drama tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain drama sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain drama dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.

f.  Diskusi dan evaluasi. Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain drama, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

g. Pemeranan ulang. Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternative pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.

h. Diskusi dan evaluasi tahap dua. Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam menghadapi masalah kehidupan.

i. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan, tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain drama ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temannya. Mareka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain drama ialah terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain drama, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

Pada usia anak sekolah dasar, anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menurut kemampuan intelektual atau kemampuan atau kemampuan kognitif. Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris(mau memperhatikan kepentingan orang lain). Usia peserta didik SD merupakan usia yang efektif dalam pembentukan watak dan emosi. Dengan model pembelajaran bermain drama dapat membantu peserta didik untuk membentuk watak dan pola pikir yang maju. Selain itu, pembelajaran drama dapat membantu peserta didik untuk dapat bekerjasama dengan peserta didik lain.

Shaffel dan Shaffel ( dalam Waluyo 2003 : 189 ) mengemukakan sembilan tahapan dalam bermain drama yang dapat dijadikan pedoman dalam pengajaran : (1) memotivasi kelompok, (2) memilih pemeran (casting), (3) menyiapkan pengamat, (4) menyiapkan tahap-tahap peran, (5) pemeranan (pentas di depan kelas), (6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas), (7) pemeranan ulang, (8) diskusi dan evaluasi II, (9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Jadi, berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan tahapan dalam bermain drama sama dengan tahapan bermain drama.

Seorang pemain harus bisa menghayati setiap situasi yang diperankan dan mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh itu sebagai jiwanya sendiri, sehingga penonton yakin bahwa yang ada di pentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan. Untuk menjadi pemain yang baik memerlukan proses latihan yang cukup matang. Oscar Brocket dalam Waluyo (2003:116-119) mengemukakan beberapa latihan yang harus dilakukan sebelum bermain drama, yaitu: 1) latihan tubuh, 2) latihan suara, 3) observasi dan imajinasi, 4) latihan konsentrasi, 5) latihan teknik, 6) latihan sistem akting, dan 7) latihan untuk memperlentur keterampilan. Latihan-latihan dasar tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seoarng pemain dalam memerankan sebuah drama.

Untuk menjadi seorang pemain yang baik, tidak hanya latihan dasar yang harus dikuasai oleh seorang pemain tetapi ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk memaksimalkan seorang pemain ketika bermain drama. Djaja Kusuma dalam Tarigan (1985:98-100) mengemukakan langkah-langkah bermain drama terdiri dari tiga tahap yaitu: 1) tahap persiapan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu memilih cerita, mempelajari naskah, memilh pemain, dan sebagainya, 2) tahap latihan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu latihan membaca, latihan blocking, latihan karya, latihan umum, 3) malam perdana, yaitu pada saat pementasan.

Rendra juga mengemukakan teori acting (bermain drama), yang disebut dengan teori jembatan keledai, yang meliputi 11 langkah, yang disebutnya sebagai teknik menciptakan peran. Sebelas langkah tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mengumpulkan tindakan-tindakan pokok yang harus dilakukan oleh sang peran dalam drama itu.

b. Mengumpulkan sifat-sifat watak sang peran, kemudian dicoba dihubungkan dengan tindakan-tindakan pokok yang harus dikerjaknnya, kemudian ditinjau, manakah yang harus ditonjolkan sebagai alasan untuk tindakan tersebut.

c. Mencari dalam naskah, pada bagian mana sifat-sifat pemeran itu harus ditonjolkan.

d. Mencari dalam naskah, ucapan-ucapan yang hanya memiliki makna tersirat untuk diberi tekanan lebih jelas, hingga maknanya lebih tersembul keluar.

e. Menciptakan gerakan-gerakan air muka, sikap, dan langkah yang dapat mengekspresikan watak tersebut di atas.

f. Menciptakan timing atau aturan ketepatan waktu dengan sempurna, agar gerakan-gerakan dan air muka sesuai dengan ucapan yang dinyatakan.

g. Memperhitungkan teknik, yaitu penonjolan ucapan, serta penekanannya, pada watak-watak sang peran itu.

h. Merancang garis permainan yang sedemikian rupa, sehingga gambaran tiap perincian watak-watak itu, disajikan dalam tangga menuju puncak, dan tindakan yang terkuat dihubungkan dengan watak yang terkuat pula.

i. Mengusahakan supaya perencanaan tersebut tidak berbenturan dengan rencana atau konsep penyutradaraan.

j.  Menetapkan bussiness dan blocking yang sudah ditetapkan bagi sang peran dan diusahakan dihapal agar menjadi kebiasaan oleh sang peran.

k. Menghayati dan menghidupkan perannya dengan imajinasi melalui jalan pemusatan perhatian pada pikiran dan perasaan peran yang dibawakan. Proses ini, boleh dikatakan proses meleburkan diri, encounter, di mana terjadi penjiwaan mantap (Rendra 1976:69-72).

Dari beberapa langkah tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemain harus menghayati setiap situasi yang diperankan dan mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan sehingga penonton yakin bahwa yang dipentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan.

Agar drama bersifat komunikatif dibutuhkan aktor yang mempunyai kepekaan-kepekaan tersebut. Pembawaan peran harus tepat agar penonton ikut terlibat dalam suasana pentas. Penonton tidak akan merasa bahwa lakonnya itu dibuat-buat. Keseluruhan lakon harus ditampilkan. Pemain diharapkan mampu menentukan mana yang harus dilakukan didalam pentas dengan baik. Djajakusumah (dalam Tarigan 1985:98-105) menyebutkan tiga tahapan utama dalam bermain drama, yaitu tahap persiapan, tahap latihan, dan malam perdana. Dalam bermain drama setiap orang harus memperhatikan langkah-langkah dalam bermain drama.

Menurut Djajakusumah (dalam Tarigan 1985:98) langkah-langkah bermain drama secara umum memiliki tiga tahapan yaitu, (1) tahap persiapan, (2) tahap latihan, (3) malam perdana. Dalam pembelajaran drama bagi peserta didik, ketiga tahapan tersebut dapat ditambahkan dengan pasca pementasan. Secara rinci keempat tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

a.     Tahap Persiapan.

Persiapan sebelum pertunjukkan adalah hal yang paling wajib dilakukan terlebih dahulu, agar tidak ada kekurangan dan mampu memberikan suatu pertunjukkan yang memuaskan dan berjalan dengan baik. Dalam tahap ini ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut.

1)     Memilih Cerita

Pada langkah ini merupakan kegiatan memilih cerita yang nantinya dipentaskan sesuai dengan maksud pementasan. Pemilihan naskah cerita juga harus memenuhi baik tidaknya tema, plot, struktur, dan lain-lain. Kesemuanya ini harus sudah ditentukan dengan sebaik-baiknya. Masalah yang akan dibahas harus ditentukan. Dalam setiap pementasan pasti akan ada yang diselesaikan dan diambil solusi. Masalah tersebut nantinya yang akan menjadi topik pembahasan dalam lakon drama yang akan dipentaskan nantinya.

2)    Mendapatkan ijin tertulis dari pengarang

Mendapatkan ijin dari pengarang suatu cerita itu sangatlah penting. Pengarang memiliki hak atas karyanya secara penuh dan kita tidak akan melanggar hak pengarang dan menyalahi aturan hukum. Jika pementasan tersebut menggunakan naskah pengarang naskah, maka hendaknya sudah mendapatkan izin dan menyelesaikan masalah imbalan (honorarium) pengarang.

3)    Memilih Sutradara

Sutradara bertugas untuk mengatur jalannya pertunjukkan. Tugas seorang sutradara sangatlah berat. Oleh karena itu, haruslah dipilih orang yang tepat untuk menghasilkan karya yang menaik dan kreatif. Seorang sutradara harus mengatur dan mengarahkan setiap pemain. Para pemain menempatkan diri mereka dan berjalan, melintasi panggung, keluar dan duduk menurut permintaan sutradara (Taylor 1984: 29). Selain itu memberikan penjelasan dan pemanasan tentang bermain drama yang perlu dilakukan.

Dalam menentukan sutradara haruslah berhati-hati dan teliti. Seorang sutradara haruslah yang bertanggung jawab, dapat dipercaya, berani, jujur, mempunyai kemauan yang besar, dan bisa memimpin. Fungsi sutradara sangat menentukarr keberhasilan suatu pementasan drama. Sutradara merupakan seorang pengarah tentang bagaimana pementasan harus dilakukan. Ia bertanggung jawab penuh penginterpretasikan naskah yang akan dipentaskan, dan menentukan corak serta warna pementasan yang akan mendukung suatu pementasan drama. Seorang sutradara juga berfungsi untuk mengkoordinasi dan mengarahkan segala unsur pementasan drama (pemain dan properti), memberikan penafsiran pokok atas naskah, dan dengan kecakapan sutradara dapat mewujudkan suatau pementasan drama yang total (maksimal).

4)    Sutradara memilih Pendamping

Pendamping di sini bukanlah pendamping hidup, melainkan orang yang membantu sutradara di balik layar. Orang-orang yang dipilih juga harus orang-orang yang mengerti bidang yang akan diisi. Tugas mereka yaitu mengatur setiap detil pertunjukkan mulai dari tata lampu, dekorasi panggung, kostum pelaku, dan tata rias untuk pelaku. Dan setiap bidang tersebut harus sesuai denga keahlian mereka agar hasilnya juga sempurna. Para pembantu itu diantaranya antara lain perencana set (dekorasi, penata cahaya), pemimpin panggung (motornya pementasan), dan asisten sutradara yang dapat mewakili atau menggantikan sutradara sewaktu-waktu jika diperlukan.

5)    Mempelajari Naskah

Setiap pemain wajib untuk mempelajari naskah tersebut. Naskah ada yang mudah untuk dipahami namun ada pula yang membutuhkan kajian lebih dalam. Jadi, sutradara dan semua pemain perlu kiranya menambah wawasan tentang latar belakang pengarang untuk  memahami lebih dalam lagi naskah yang digunakan (Leksono 2007: 42). Langkah ini bertujuan agar dapat mengenal tema, konflik, suspense dan klimaks yang terdapat dalam naskah yang akun dipentaskan. Langkah tersebut antara lain; menentukan cara yang sebaik-baiknya dalam mementaskan cerita, rnenganalisis setiap tokoh beserta wataknya serta hubungannya satu sama lain, menganisis pendidikan serta latar belakang setiap tokoh, merencanakan floorplan atau rencana pentas yang berhungan dengan dekorasi lampu, jendela, dan sebagainya.

6)    Menyusun Buku Kerja

Buku kerja juga merupakan tanggung jawab sutradara. Dari buku kerja tersebut sutradara bisa memberikan catatan-catatan dalam mnegatur pertunjukkan, dan kelak akan berguna untuk dokumentasi. Buku ini berisi catatan-catatan sutradara misalnya gerak, mimik, napas, dan tanda-tanda bagi pemain seperti: tanda-tanda lampu, efek suara, musik, dan lain-lain.

7)    Sutradara memilih Pelaku

Pemain haruslah dipilih dari orang yang dapat memegang roll atau peranan yang dapat mengekspresikan tokoh yang nantinya akan dimainkan olehnya. Pemilihan pemain dapat juga dengan melalui casting. Seperti yang ditulis pada langkah memilih sutradara bahwa tugas sutradara juga sangat berat. Selain mengatur jalannya pertunjukkan, seorang sutradara harus bisa menenmpatkan pemain pada posisi yang tepat. Dengan kata lain, tokoh yang diberikan pada pemain itu memang tepat dan cocok dengan pemain tersebut, atau pemain tersebut mampu untuk menghidupkan karakter tokoh yang dimainkan.

b.    Tahap Latihan.

Pada tahap latihan, semuanya harus bekerja dengan maksimal. Pelaku maupun yang berada di balik layar harus bekerja sama untuk menghasilkan karya yang baik. Oleh karena itu, diperlukan latihan yang intensif agar ketika harus tampil bisa menyajikan suatu pertunjukkan yang memuaskan penonton. Adapun latihan-latihan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1)    Latihan Membaca

Tujuan dalam membaca menurut Rivers (dalam Ahmadi 1990: 23) ada beberapa tujuan dalam membaca salah satunya menunjukkan bahwa pembaca memerlukan instruksi untuk dapat melaksanakan sesuatu atau ingin melaksanakan aktivitas menyenangkan seperti bermain drama.  Oleh karena itu, setiap pemain harus berlatih membaca agar tahu apa yang harus mereka tampilkan dan apa yang akan mereka ucapkan. Latihan ini bertujuan supaya pemain dapat mengetahui hubungan satu sama lain serta konflik, suspense, dan klimaks yang terdapat di dalam naskah drama.

2)    Latihan Blocking

Latihan ini bertujuan untuk menentukan bloking setiap pemain, yakni gerak dan pengelompokan pemain. Sedangkan setiap gerak, mimik, haruslah mempunyai arti dalam pengekspresian lakon yang dibawakan pemain dengan wajar dan mempunyai alasan yang tepat. Pada tahap ini pelaku harus bisa menguasai panggung agar tidak hanya berdiri di satu tempat selama adegan berlangsung. Di sini sutradara yang bijaksana harus mampu mengatur pergerakan pelaku dengan baik tanpa membingungkan pelaku.

3)    Latihan Karya

Pelaku harus sudah mampu menghafal dialog di luar kepala. Pada tahap ini pelaku harus bisa mengembangkan interpretasi dan gerak laku disinkronisasikan, gerak-gerak kecil harus mampu menggambarkan watak tokoh. Para pelaku juga harus dibiasakan menggunakan properti yang akan digunakan dalam pertunjukkan itu nantinya. Dalam latihan karya pemain dipastikan sudah hafal teks beserta gerak laku yang singkron yang nantinya akan menggambarkan watak serta karakter yang dibawanya dengan wajar.

4)    Latihan Pelicin

Latihan ini juga bisa disebut dengan latihan lengkap atau running merupakan latihan secara keseluruhan, mulai dari dialog dan pengaturan pentas tanpa adanya selingan atau interupsi. Banyaknya latihan ditentukan panjang atau sulitnya naskah dan kemampuan serta kerjasama antara para pendukung lakon tersebut (Taylor 1984 : 22). Pada latihan ni setiap pelaku benar-benar menjalani atau memerankan hidup mental-fisik tokoh yang diperankan. Latihan pelicin bertujuaan agar pemain benar-benar menjalani dan memerankan dengan baik dalam menghayati suka-duka, perjuangan, kejayaan, serta kegagalannya yang akan nampak pada diri tokoh yang akan diperankan olehnya.

5)    Latihan Umum

Latihan ini sangat diperlukan sebelum melakukan pementasan. Di sini tugas sutradara telah selesai. Sekarang giliran para pendamping sutradara yang akan bertugas. Dan pada latihan ini pelaku dan pendamping sutradara dibiasakan untuk menghadapai layaknya pertunjukkan yang sebenarnya. Latihan umum merupakan merupakan latihan akhir guna mempersiapkan semua kebutuhan pentas dari kesiapan para pernain, para karyawan pentas, dan lain-lain. Latihan ini diadakan untuk membiasakan para pemain dengan respon dan seaksi dari para penonton agar padasaat pementasan yang sebenarnya mereka tidak gugup dan benar-benar sudah siap.

c.     Malam Perdana/Pementasan

Malam perdana adalah malam yang peling dinantikan. Setelah bekerja keras selama ini, hasilnya akan ditentukan pada malam ini. Klimaks dari jerih payah selama berhari-hari, dan penonton pun mengharapkan pertunjukkan yang memuaskan dan berhasil dengan baik.

Jadi dapat diambil simpulan bahwa dalam bermain drama langkah atau tindakan yang diambil sama dengan bermain drama. Bermain drama membutuhkan dua tahap, yaitu persiapan yang terdiri dari penentuan masalah, memahami isi naskah, reading, pemilihan peran, hingga latihan. Kemudian tahap memainkan yang terdiri dari pementasan dan mengevaluasi. Ada yang membedakan antara langkah-langkah bermain drama dengan langkah-langkah drama, yaitu pada langkah pertama. Dalam bermain drama langkah pertama yang akan dilakukan adalah menentukan masalah, namun dalam langkah-langkah drama yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan naskah.

Pementasan atau malam perdana merupakan klimaks dari hasil latihan yaing telah ditempuh selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan mungkin sampai mencapai berbulan-bulan lamanya untuk mementaskan hasil karya berupa gerak akting/berpura-pura yang berupa pementasan drama. Dalam pementasa drama akting baru mungkin terjadi apabila dalam hati ada kehendak. Kehendak (niat) itu harus dilengkapi dengan imajinasi (membayangkan sesuatu). Untuk menyuburkan imajinasi dalam diri dapat dilakukan dengan sering mengapresiasi puisi dan mengapresiasi lukisan (Wiyanto 2000:60).

Pada saat bermain drama, imajinasi bagi aktor merupakan hal yang sangat penting karena aktor harus pura-pura menjadi orang lain. Dalam berpura-pura itu seorang aktor harus dapat menampilkan pengimajinasian yang wajar, artinya seorang aktor tidak menampilkan pengimajinasian yang berlebihan. Dalam situasi yang demikian, aktor membutuhkan ingatan visual (imajinasi). sehingga kepura-puraannya tidak diketahui oleh penonton. Aktor juga harus dapat meyakini bahwa yang main di panggung adalah kenyataan.

d.    Pasca-pementasan

Dalam pasca-pementasan, pementasan yang sudah berlangsung diadakan penilaian-penilaian terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam drama seperti; kinesik (gerak tubuh), penggunaan lafal pemain, penggunaan tekanan, bahasa, intonasi dan mimik. Terdapat juga saran dan kritikan terhadap pementasan yang sudah berlangsung dengan tujuan mengerti kekurangan-kekurangan pementasan guna refleksi terhadap pementasan selanjutnya. Pada tahap tindak lanjut yang harus dilakukan adalah dengan menindak lanjuti kekurangan-kekurangan yang telah disimpulkan pada saat evaluasi pascapementasan, dengan cara memperbaiki, melakukan latihan-latihan, agar saat pementasan selanjutnya lebih maksimal dan terarah.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa langkah-langkah bermain drama meliputi tahap persiapan, tahap pelatihan, tahap penampilan, dan yang terakhir adalah tahap penilaian/evaluasi. Adapun langkah bermain drama dalam tulisan ini, yaitu: (1) tahap persiapan. dalam tahap ini persiapan yang dilakukan adalah persiapan naskah, (2) tahap pelatihan, (3) tahap penampilan. pada tahap penampilan, peserta didik memerankan naskah secara utuh di depan kelas, (4) pasca pementasan.

11.   Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Bermain Drama

Ada beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam bermain drama. Menurut Santoso (2008:203), hal-hal yang harus diperhatikan dalam bermain drama adalah penghayatan, mimik, gesture, lafal, intonasi, dan volume suara. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap aspek penilaian bermain drama, sehingga komponen-komponen tersebut saling mendukung satu sama lain untuk membantu memperlancar seorang pemain ketika bermain drama. Seorang pemain tidak bisa disebut sempurna penghayatannya jika tidak ditunjang dengan mimik dan gesture yang tepat. Begitu pula dengan intonasi, seorang pemain tidak dapat dikatakan tepat intonasi dan lafalnya jika volume suara yang dihasilkan tidak dapat terdengar sampai jauh.

a.    Penghayatan

Menghayati berarti memahami secara penuh isi drama (Doyin 2008:73). Sedangkan menurut Wirajaya (2008:72) penghayatan adalah kedalaman pemaknaan terhadap isi dialog, karakter tokoh, dan karakter keadaan/situasi (susah, senang, dan lain-lain). Misalnya seseorang berperan sebagai preman maka saat itu seorang pemain tidak lagi menjadi dirinya sendiri melainkan menjadi preman. Dengan pemahaman itulah maka seoarang pemain dapat menyatukan jiwa tokoh dengan jiwanya sendiri.

b.    Mimik

Mimik diartikan sebagai ekspresi gerak-gerik wajah (air muka) untuk menunjukkan emosi yang dialami pemain (Wiyanto 2002:14). Wirajaya (2008:72) menambahkan, mimik adalah ekspresi raut muka yang menampakkan karakter atau watak tokoh yang diperankan. Leksono (2007:23) juga mengemukakan bahwa mimik merupakan bagian dari ekspresi wajah untuk menemukan karakter yang diinginkan.

c.    Gesture

Gesture adalah gerak-gerak besar yang dilakukan, yaitu gerakan tangan, kaki, kepala, dan tubuh pada umumnya yang dilakukan pemain (Wiyanto 2002:14). Gerak ini adalah gerak yang dilakukan secara sadar. Gerak yang terjadi setelah mendapat perintah dari diri/otak kita untuk melakukan sesuatu, misalnya saja menulis, mengambil gelas, jongkok, dan sebagainya.

d.    Lafal/Artikulasi

Lafal adalah kejelasan ucapan (Doyin 2008:81). Dalam hal ini jangan sampai ada bagian dialog/kata yang kurang jelas pengucapannya sehingga menimbulkan kerancuan pemaknaan atau menjadi kurang enak didengar. Artikulasi yang dimaksud adalah pengucapan kata melalui mulut agar terdengar dengan baik dan benar serta jelas, sehingga telinga pendengar/penonton dapat mengerti pada kata kata yang diucapkan.

e.    Intonasi

Intonasi berkaitan dengan dialog terhadap kata-kata yang dianggap penting dan pembedaan nada untuk bentuk dialog tanya, seruan, perintah, permohonan, dan sebagainya (Wirajaya 2008:72). Intonasi antara lain menyangkut: 1) Tekanan Dinamik (keras-lemah). Mengucapkan dialog pada naskah dengan melakukan penekanan-penekanan pada setiap kata yang memerlukan penekanan. 2) Tekanan Nada (tinggi). Mengucapkan kalimat/dialog dengan memakai nada/aksen, artinya tidak mengucapkan seperti biasanya, maksudnya adalah membaca/mengucapkan dialog dengan suara yang naik turun dan berubah-ubah. Jadi yang dimaksud dengan tekanan nada ialah tekanan tentang tinggi rendahnya suatu kata. 3) Tekanan Tempo. Tekanan tempo adalah memperlambat atau mempercepat pengucapan. Tekanan ini sering dipergunakan untuk lebih mempertegas apa yang kita maksudkan. (Doyin 2008:77).

f.     Volume Suara.

Volume suara yang baik adalah yang dapat terdengar sampai jauh. Volume suara yang baik dapat diperoleh jika kita melakukan latihan vokal. Ada beberapa langkah dalam melakukan latihan vokal seperti 1) Latihan peregangan. Latihan peregangan pada otot leher, mulut, dada maupun perut, tidak jauh berbeda seperti senam ringan, pelenturan, atau pemanasan olah raga. 2) Latihan pernafasan. (a) Pernafasan dada. Teknisnya latihan pernafasan ini, ketika kita bernafas dengan hitungan sampai 4, udara disimpan di dalam rongga dada, kemudian dihembuskan melalui mulut. Hal tersebut diulang beberapa kali. (b) Pernafasan perut. Teknis dan hitungannya sama dengan pernafasan dada, hanya ketika menarik nafas, udara disimpan di dalam rongga perut. Ketika melakukan pernafasan perut, disaat menarik nafas, perut membusung atau mengembung. (c) Pernafasan diafragma. Teknisnya, ketika menarik nafas, udara disimpan di rongga diafragma, yaitu sekat antara rongga dada dan rongga perut mengembang ketika menarik nafas (Leksono 2007:14-15).

Untuk menjadi seorang pemeran, diperlukan keterampilan dasar-dasar peran seperti kesadaran indra, ekspresi, improvisasi, pernapasan laku, vokal, dan karakterisasi (Massofa 2009).

a.    Kesadaran indra

Kesadaran indra meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan. Kesadaran ini diperlukan untuk menciptakan alasan bagi laku yang dilakukan pemeran di atas pentas. Proses itu terjadi karena indra menangkap objek rangsangan dan melahirkan tanggapan. Tanggapan yang muncul dari dalam diri itu menjadi alasan suatu perbuatan. Sebelum tanggapan dalam perbuatan nyata terwujud, reaksi batin terhadap rangsangan itu menjadi pengalaman batinnya.

b.    Ekspresi

Ekspresi berkaitan dengan keterampilan pemeran mengekspresikan perasaan dan emosi manusia, baik emosinya sendiri maupun emosi orang lain. Seorang pemeran diharapkan mempunyai koleksi emosi agar dengan mudah berimprovisasi ketika memerankan seorang tokoh. Ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk laku (gerak) dan vokal (suara). Gerak (gesture) adalah gerak-gerak besar yang pemeran lakukan. Gerak ini adalah gerak yang pemeran lakukan secara sadar. Gerak yang terjadi setelah mendapat perintah dari otak untuk melakukan sesuatu, misalnya saja menulis, mengambil gelas, jongkok, dsb. Hal yang perlu dicatat untuk olah vokal adalah bukan berbicara keras, tetapi berbicara jelas.

Hadi (1988:119) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ekspesi adalah hasil pengungkapan rasa hati melalui berbagai media manusia, baik mata, wajah, tubuh, anggota-anggota tubuh maupun suara. Dalam Achmad (1990:65) disebutkan bahwa teori lama tentang berperan adalah bertolak dari latihan mimik (ekspresi wajah). Dewasa ini teori tersebut sudah tidak digunakan lagi. Pada umumnya sekarang kita menggunakan apa yang disebut bermain dari dalam, yang berprinsip apabila seorang pemeran dapat menghayati dan merasakan gejolak batin yang sedang dialami oleh tokoh yang dimainkan, dengan sendirinya akan lahir ekspresi wajah sesuai dengan peranannya pada saat itu. Oleh karenanya, seorang pemeran dituntut untuk benar-benar menghayati, mendalami, dan merasakan apa yang diinginkan oleh tokoh yang akan dimainkan.

c.    Improvisasi

Improvisasi mencakup tiga pengertian, yaitu 1) menciptakan, merangkai, memainkan, menyajikan, sesuatu tanpa persiapan; 2) menampilkan sesuatu dengan mendadak; 3) melakukan sesuatu begitu saja secara spontan dan apa adanya. Tujuan berlatih improvisasi adalah agar pemeran memiliki rangsangan spontanitas. Selain itu, latihan ini dapat menciptakan akting yang wajar, tidak dibuat-buat, dan tampak natural. Waluyo (2003:56) menyebutkan bahwa improvisasi sebenarnya berarti spontanitas. Drama-drama tradisional dan drama klasik kebanyakan bersifat improvisasi. Dalam teater mutakhir kata improvisasi digunakan untuk memberi nama jenis drama mutakhir yang mementingkan gerakan-gerakan (acting) yang bersifat tiba-tiba dan penuh kejutan. Sedangkan Wiyanto (2005:15) menyebutkan bahwa improvisasi adalah gerakan-gerakan atau ucapan-ucapan penyeimbang untuk lebih dapat menghidupkan peran. Improvisasi biasanya digunakan untuk melatih kepekaan pemeran sehingga pemeran dapat memerankan tokoh yang dibawakan lebih hidup dan realistis.

d.    Pernapasan

Pernapasan berkaitan erat dengan sikap rileks. Ketegangan urat leher dan bahu harus dihindari. Penguasaan pernapasan akan menghasilkan dua hal: 1) menjaga stabilnya suara, sekaligus memberikan kemungkinan kepada pemeran untuk membuat vokal menjadi lentur sesuai dengan tuntutan peran; 2) menciptakan akting yang wajar dan memikat.

e.    Vokal

Untuk menjadi seorang pemeran yang baik, maka pemeran mernpunyai dasar vokal yang baik pula. Baik di sini diartikan sebagai: 1) dapat terdengar (dalam jangkauan penonton, sampai penonton, yang paling belakang), 2) jelas (artikulasi/pengucapan yang tepat), dan 3) tidak monoton.

Achmad (1990:83) mengungkapkan bahwa artikulasi yang baik adalah pengucapan yang jelas. Setiap suku kata terucap dengan jelas meskipun diucapkan dengan cepat sekali. Artikulasi erat hubungannya dengan gerak bibir dan lidah. Jika waktu berbicara bibir dan lidah ikut bergerak, maka akan menghasilkan artikulasi yang baik. Dalam Depdiknas (2003:66) disebutkan bahwa artikulasi adalah lafal atau pengucapan kata. Artikulasi adalah pengucapan kata melalui mulut agar terdengar dengan baik dan benar serta jelas, sehingga telinga pendengar/penonton dapat mengerti pada kata kata yang diucapkan.

Disebutkan pula beberapa sebab yang mengakibatkan terjadinya artikulasi yang kurang/tidak benar, yaitu:  (1) Cacat artikulasi alam. Cacat artikulasi ini dialami oleh orang yang berbicara gagap atau orang yang sulit mengucapkan salah satu konsonon, misalnya pengucaan huruf r, dan sebagainya. (2) Artikulasi jelek. Artikulasi jelek bukan disebabkan karena cacat artikulasi, melainkan terjadi sewaktu waktu disebabkan karena belum terbiasa pada dialog, pengucapan terlalu cepat, gugup, dan sebagainya. Hal ini sering terjadi pada pengucapan naskah/dialog. Misalnya: kehormatan menjadi kormatan, menyambung menjadi mengambung, dan sebagainya. (3) Artikulasi menjadi tidak tentu. Hal ini terjadi karena pengucapan kata/dialog terlalu cepat, seolah olah kata demi kata berdempetan tanpa adanya jarak sama sekali.

Agar vokal tidak terasa monoton, datar, dan membosankan, maka harus ada intonasi. Yang dimaksud intonasi di sini adalah tekanan-tekanan yang diberikan pada kata, bagian kata atau dialog. Intonasi berkaitan dengan dialog terhadap kata-kata yang diangap penting dan pembedaan nada untuk bentuk dialog tanya, seruan, perintah, permohonan, dan sebagainya. Menurut Achmad (1990:62), apa yang diucapkan pemeran di atas pentas selalu memberikan informasi tentang pikiran, sikap, watak, penjelasan tentang cerita, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan cerita yang diperankan. Penampilan vokal atau suara dari pemeran akan menggambarkan juga watak dari tokoh yang diperankan.

f.     Karakterisasi

Karakterisasi berkaitan dengan bagaimana seorang pemeran memposisikan dirinya pada seorang tokoh. Untuk itu, seorang pemeran harus mengetahui keseluruhan diri tokoh yang akan diperankan, meliputi ciri fisik, ciri sosial, ciri psikologis, dan ciri moral.

Karakterisasi adalah suatu usaha untuk menampilkan karakter atau watak dari tokoh yang diperankan. Tokoh-tokoh dalam naskah adalah orang-orang yang berkarakter. Jadi seorang pemeran yang baik harus bisa menampilkan karakter dari tokoh yang diperankannya dengan tepat. Dengan demikian penampilannya akan menjadi sempurna karena ia tidak hanya menjadi figur dari seorang tokoh saja, melainkan juga memiliki watak dari tokoh tersebut.

Agar pemeran dapat memainkan tokoh yang berkarakter seperti yang dituntut naskah, maka pemeran harus terlebih dahulu mengenal watak dari tokoh tersebut. Suatu misal, pemeran mendapat peran menjadi seorang pengemis. Pemeran harus mengenal secara lengkap bagaimana sifat-sifatnya, tingkah lakunya, dsb. Apakah tokoh seorang yang licik, pemberani, atau pengecut, alim, ataukah hanya sekadar kelakuan yang dibuat-buat.

12.   Aspek Penilaian dalam Bermain Drama

Bermain drama merupakan suatu kegiatan memerankan tokoh yang ada dalam naskah melalui alat utama yakni percakapan (dialog), gerakan, dan tingkah laku yang dipentaskan. Dalam bermain drama, terdapat beberapa aspek yang dapat dinilai untuk menunjukkan kemampuan seseorang dalam melakukan pementasan drama. Saptaria (2006:49-51) menjabarkan aspek-aspek yang menjadi penilaian dalam sebuah pementasan dalam bermain drama sebagai berikut.

a.    Pelafalan

Menurut KBBI (2002:623) lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa saat mengucapkan bunyi bahasa. Didalam pelafalan mencakup poin-poin yang mendukung dalam bermain drama yaitu artikulasi (kejelasan pengucapan), jeda dan intonasi (yang berfungsi sebagai pemenggalan kata atau kalimat sehingga menjadi intonasi pengucapan yang sesuai dengan konteks pembicaraan). Artikulasi yang baik dan jelas nantinya akan berkaitan dengan pelafalan yang berhubungan dengan olah vokal. Seorang pemain atau tokoh hendaknya memiliki vokal yang baik, jelas, dan mudah untuk dipahami.

b.    Intonasi

Intonasi adalah naik-turunnya lagu kalimat. Seorang tokoh atau pemain drama dalam melakukan dialog harus menggunakan intonasi agar permainan drama yang dipentaskan tidak terasa monoton, datar, dan membosankan. Ada tiga macam tatanan intonasi, yaitu: (1) tekanan dinamik (keras-lemah); (2) tekanan nada (tekanan tentang tinggi rendahnya suatu kata); dan (3) tekanan tempo (memperlambat atau mempercepat pengucapan).

c.    Ekspresi

Menurut KBBI (2002:291) ekspresi adalah (1) pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb); (2) pandangan air muka yang memperlihatkan perasaan seseorang. Ekspresi keluar secara alamiah, baik itu berbentuk perasaan atau ide secara khas. Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi dan dapat menyampaikan keadaan emosi dari seseorang kepada orang yang mengamatinya. Menurut Saptaria (2006:50) aktivitas ekspresi merupakan bagian dari pikiran dan perasaan kita. Impuls-impuls, perasaan, aksi, dan reaksi yang dimiliki mengendap dan menghasilkan energi dari dalam yang selanjutnya keluar dalam bentuk presentasi katakata, bunyi, gerak tubuh, dan infeksi (perubahan nada suara).

Ekspresi merupakan pelajaran pertama bagi seorang aktor, dimana ia berusaha untuk mengenal dirinya sendiri. Kemampuan ekspresi menuntut teknik-teknik pengendalian tubuh, mulai dari relaksasi, kepekaan, konsentrasi, daya aktivitas, dan kepenuhan diri (pikiran, perasaan, tubuh yang seimbang) dari seorang aktor harus terpusat pada pikirannya. Dasar dari kemampuan ekspresi adalah ketika seorang aktor berhubungan dengan lingkungan sosialnya dengan orang lain bermacam ragam.

d.    Improvisasi

Improvisasi adalah (1) menciptakan, merangkai, memainkan, menyajikan, sesuatu tanpa persiapan; (2) menampilkan sesuatu dengan mendadak; (3) melakukan begitu saja. Improvisasi juga dapat diartikan menciptakan plot yang sangat singkat dan mewujudkan dengan dialog yang tidak direncanakan dan dilatih sebelumnya. Improvisasi melibatkan dua atau lebih aktor terlibat didalamnya. Teknik ini digunakan sebagai eksperimen dengan suara, karakter, adaptasi dengan lingkungan yang berbeda, emosi serta variasi gerakan tubuh. Dengan latihan improvisasi yang benar, pemain drama akan mampu menciptakan akting wajar tetapi kuat mengesankan (Saptaria, 2006:51).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang dinilai dalam bermain drama yaitu aspek pelafalan, intonasi, ekspresi, dan improvisasi. Keempat aspek tersebut harus dijadikan acuan oleh guru untuk menilai keterampilan siswa dalam bermain drama.

D.   Penutup

Usia peserta didik SD merupakan usia yang efektif dalam pembentukan watak dan emosi. Dengan model pembelajaran bermain drama dapat membantu peserta didik untuk membentuk watak dan pola pikir yang maju. Selain itu, pembelajaran drama dapat membantu peserta didik untuk dapat bekerjasama dengan peserta didik lain.

Tredapat berapa kendala dalam pembelajaran drama yang bersumer pada guru, peserta didik dan sarana dan perasarana pendidikan. Secara umum, kendala itu meliputi ( 1) belum dimanfaatkannya bahan pengajaran drama secara maksimal, (2) aspek afektif peserta didik yang cenderung diabaikan dalam pembelajaran apresiasi drama, (3) pembelajaran apresiasi drama lebih mementingkan hasil sebagai produk daripada proses, (4) peserta didik selalu merasa bosan dan jenuh dalam belajar apresiasi drama, dan (5) terbatasnya pemahaman guru bahasa dan sastra Indonesia dalam apresiasi drama. Masalah-masalah itu perlu dicarikan solusinya, dengan menggunakan model pembelajaran yang dapat menciptakan suasana belajar yang lebih aktif, kreatif, demokratis, kolaboratif dan konstruktif.

Upaya yang dilakukan guru untuk mengatasi kendala-kendala dalam pembelajaran apresiasi drama yang berasal dari guru antara lain: guru aktif mengikuti kegiatan KKG, workshop dalam rangka memperluas diri menyusun dan mempersiapkan perangkat pembelajaran yang akan digunakan sewaktu mengajar termasuk penyusunan RPP, guru benar-benar memanfaatkan waktu, memahami standar KTSP, memberikan tugas pada peserta didik di luar jam pelajaran.

Kendala yang bersumber dari peserta didik dapat diatasi dengan terns melatih rasa percaya diri, berlatih memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Kendala yang bersumber dari saran-prasarana diatasi dengan cara menyuruh peserta didik membawa perlengkapan atau peralatan-peralatan sederhana yang dimiliki yang berkaitan dengan materi pembelajaran apresiasi drama yang akan dilaksanakan. Demi terlaksananya pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, guru perlu memilih model pembelajaran yang tepat. Model bermain drama dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat dipilih. Diharapkan pula guru mampu memanfaatkan sarana dan prasana dengan baik.

Daftar Pustaka

Achmad, Kasim. 1990. Pendidikan Seni Teater. Jakarta: PT. Tema Baru.

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang : Yayasan Asih Asah Asuh.

Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semrang Press.

Angkowo, Robertus dan Kosasih, A. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta: PT Grasindo.

Anitah W, Sri dkk. 2009. Materi Pokok Strategi Pembelajaran SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Anni, Catharina Tri. 2007. Psikologi Belajar. Semarang: UPT Unnes Press.

Arsyad, Azhar. 2007. Media Pembelajaran. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.

Asmara, Adhy. 1983. Apresiasi Drama Untuk S.L.A. Yogyakarta : Nur Cahaya.

Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Refrensi.

Basoeki, Priyo. 1978. Kreatif Dramatik (Permainan Drama). Semarang: Effhar Offset.

Basoeki, Priyo. 1982. Studi Bahasa dan Sastra Drama. Semarang: Effhar Offset.

Brahim, 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: PT. Gunung Agung.

Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Chasiyah, dkk. 2009.Perkembangan Peserta Didik.Surakarta:Inti Media Surakarta.

Dahlan, MD. 1990. Model-Model Mengajar. Bandung: Diponegoro.

Daryanto. 2010. Media Pembelajaran: Peranannya Sangat Penting dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.

Depdikbud.1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdikbud.

DEPDIKNAS. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga. Jakarta :Balai Pustaka.

Djamarah, Saeful Bahri dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Doyin, Mukh. dan Wagiran. 2009. Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan Karya Ilmiah. Semarang: UNNES Press.

Doyin, Mukh. 2008. Seni Baca Puisi. Semarang: Bandungan Institute.

Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan teori Pembelajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.

Fraser, Deborah. 2007. Negotiating the Spaces: Relational Pedagogy and Power in Drama Teaching. International Journal of Education & the Arts.

Gervais. 2006. Exploring Moral Values with Young Addlescent Trough Process Drama. International Journal of Education & the Arts. April 2006. Vol. 7 Nomor 2. Kanada: University of Alberta.

Gunatama, Gede. 2005. Puisi (Teori, Apresiasi, dan Pemaknaan). IKIP Negeri Singaraja.

Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.

Hamzah. A. Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung : CV. Rosda Bandung.

Haryadi.1997. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Harymawan, RMA. 1993. Dramaturgi. Bandung: BIT PT Remaja Rosdakarya.

Hasanuddin. 1996. Drama, Karya dalam Dua Dimensi Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis. Bandung: Angkasa.

Hasibuan dan Moedjiono. 2009. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Herryanto, Nar dan H.M Akib Hamid. 2008. Statistika Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Iru, La dan La Ode Safiun Arihi. 2012. Analisis Penerapan Pendekatan, Metode, Strategi dan Model-Model Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.

Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Flores. Nusa Indah.

KTSP. 2006. Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar SD/MI. Jakarta: BP Cipta Jaya.

Kurnia, Inggridwati. 2007. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Depdiknas.

Kusumah, Wijaya. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Indeks.

Leksono, Widyo. 2007. Pembelajaran Teater untuk Remaja. Semarang: Cipta Prima Nusantara.

Leksono, Widyo. 2007. Pembelajaran Teater Untuk Remaja. Semarang: CV Cipta Prima Nusantara.

Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning : Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.

Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning. Mempraktikan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Widiasarana.

Luxemburg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT Gramedia Widya Sarana Indonesia.

Madya, Suwarsih. 2006. Teori dan Praktik Tindakan (Action Research). Bandung: Alfa Beta.

Moleong, L. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Rosdakarya

Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Munir. 2012. Multimedia: Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Neelands, Jonothan. 1993. Pendidikan Drama Pedoman Mengajarkan Drama. Semarang: Dahara Prize.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE

Nurhadi dan Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Oktober 2007. Vol. 8 Nomor 14. Selandia Baru: Universitas Waikato.

Poerwanti, Endang dkk. 2008. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Pratiwi, Yuni. 2008. Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.

Prayitno, Elida. 1989. Motivasi dalam Belajar. Jakarta: Dirjendikti.

Prigawidagda, Suwarna. 2002. Strategi Penguasaan Bahasa. Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara

Purwanto, F.X. 1968. Drama Dalam Pendidikan. Jakarta: P.T. Gunung Agung.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Rendra, WS. 1976. Tentang Bermain Drama. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Rendra. 1982. Tentang Bermain Drama. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Rendra. 2007. Seni Drama Untuk Remaja. Jakarta : Burung Merak Press.

Rendra. 2007. Seni Drama Untuk Remaja. Jakarta: Burungmerak Press.

Roestiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rieneka Cipta.

Rohani, Ahmad. 1997. Media Instruksional Edukatif. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Sadiman, Arief S,dkk. 2005. Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sanaky, Hujair AH. 2011. Media Pembelajaran. Yogyakarta : Kaukaba

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Santoso, Gunawan Budi dkk. 2008. Terampil Berbahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Saptaria, Rikrik El. 2006. Acting Handbook: Panduan Praktis untuk Film dan Teater. Badung: Rekayasa Sains.

Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Semi, Atar. 1990. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya.

Silberman, Melvin L. 2004. Active Learning : 101 Cara Belajar Peserta didik Aktif. Bandung : Nusamedia dan Nuansa.

Silberman, Melvin. 2011. Aktif Learning (101 Cara belajar peserta didik aktif). Bandung: Nusamedia.

Skillbeck, Malcolm. 1976. School Based Curriculum Development and Teacher Education. Mimeograph: OECD.

Slavin, Robert E. 2010. Cooperative Learning : Teori, Riset, dan Praktik. Bandung : Nusamedia

Solchan. 2009. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Subana dan Sunarti. 2011. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia: Berbagai Pendekatan, Metode Teknik, dan Media Pembelajaran. Bandung: CV Pustaka Setia.

Subyantoro. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Rumah Indonesia.

Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Undip.

Sudjana S., D. 2001. Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.

Sudjana, N dan Rivai, A.1990. Media Pengajaran. Bandung: C.V. Sinar Baru Bandung.

Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 2010. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sudjana, Nana. 2005. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharianto, S. 2005. Dasar-dasar Teori Sastra. Semarang: Rumah Indonesia.

Sukirman. 2012. Pengembangan Media Pembelajaran. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sumitro, dkk. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Supriyadi. 2006. Pembelajaran Sastra yang Apresiatif dan Integratif di Sekolah Dasar. Jakarta: DIrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.

Tarigan, H.G. 2008. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur.1986. Berbicara Sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Taylor, Loren E. 1984. Drama Formal dan Teater Remaja. Yogyakarta : PT Hanindita.

Tilaar, H.A.R. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tim Dewan Skripsi. 2011. Panduan Penyusunan Skripsi Mahasiswa S1 PGSD.

Tim Penyusun Kamus Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun Panduan Pengajaran Mikro. 2009. Panduan Pengajaran Mikro. Yogyakarta: Unit Program Pengalaman Lapangan Universitas Negeri Yogyakarta.

Tim Penyusun Panduan Tugas Akhir. 2008. Panduan Tugas Akhir. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Tim Penyususn KKN-PPL UNY. 2008. Panduan KKN-PPL. Yogyakarta: Unit Program Pengalaman Lapangan Universitas Negeri Yogyakarta.

Uno, Hamzah B. 2011. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Wagiran. 2007. Bahan Perkuliahan Telaah Kurikulum Bahasa Indonesia. Semarang : UNNES.

Wahyuni, Sri dan Abd. Syukur Ibrahim. 2012. Asesmen Pembelajaran Bahasa. Bandung: Refika Aditama.

Waluyo, Herman J. 2001. Drama “Teori Pembelajarannya”. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya Yogyakarta.

Waluyo, Herman J. 2003. Drama dan Teori Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Waluyo, Herman J. 2003. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: PT Haninditra Graha Widya.

Waluyo, Herman J. 2007. Drama, Naskah, Pementasan, dan Pengajarannya. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.

Waluyo, Herman J. 2008. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: PT. Hanindita.

White, John. 1990. Educational and The Good Life. London: Educational Studies. Kogan Page.

Wirajaya, Asep Yudha dan Sudarmawati. 2008. Berbahasa dan Bersastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Wiriaatmadja, Rochiati. 2009. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Wiyanto, Asul. 2002. Kesusastraan Sekolah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.

Wiyanto, Asul. 2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Wiyanto, Asul. 2004. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Grasindo.

Wiyanto, Asul. 2005. Terampil Bermain Drama. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

WS, Hasanuddin. 1996. Drama Karya Dalam Dua Dimensi : Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis. Bandung : Angkasa.

Aktor pemain yang baik adalah yang dapat memainkan a tokoh b. lakon c. utama d watak