Suku Asmat di Papua terkenal dengan karya kerajinan yang berupa

Show
Hasil ukiran yang sudah jadi dan siap untuk dipasarkan Ukiran Asmat adalah sebuah perpaduan antara kreatifitas, kekuatan, ketrampilan, ketelitian, dan keindahan yang bersatu menciptakan sebuah kesempurnaan Alat ukir yang dipakai khusus dan terbuat dari logam Palu kayu yang khusus dipakai untuk memukul alat ukir Ukiran Asmat biasanya bertemakan alam, kehidupan, dan kegiatan sehari-hari suku Asmat Biasanya yang memiliki keahlian mengukir ini adalah kaum pria Asmat Seorang pria sedang bekerja mengukir dengan sangat teliti Ukiran Asmat yang terkenal merupakan kerajinan tangan dari kayu yang-sangat di minati bagi wisatawan

Suku Asmat adalah suku besar yang cukup ternama di Bumi Papua. Keberadaannya sebagai suku yang mendiami wilayah pesisir selatan Papua sangat diperhitungkan dalam sejarah penyebaran masyarakat Papua. Asmat menjadi begitu ternama karena memiliki harkat hidup yang luar biasa, selain itu budaya yang dimiliki suku ini pun sangat menarik dan unik. Salah satu yang menonjol ketika membicarakan suku ini adalah hasil seni ukiran mereka yang sudah terkenal luas hingga ke mancanegara.

Seperti kehidupan pada umumnya, Suku Asmat juga membutuhkan media untuk menyatakan berbagai hal yang mereka alami dalam kehidupan. Kisah-kisah heroik, mistis, atau peraturan-peraturan adat biasanya mereka ungkapkan dalam bentuk media tertentu. Hal ini mereka lakukan dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai sarana menjaga kelangsungan tradisi, sarana belajar bagi generasi selanjutnya, dan penghormatan spiritual bagi para roh leluhur. Oleh karena itulah, ukir-ukiran menjadi tidak terpisahkan dari kehidupan Suku Asmat dan mempunyai arti penting dalam berbagai upaya mengaktualisasikan kehidupan mereka. Namun, di masa modern saat ini, banyak dari mereka yang tidak hanya mengukir untuk mengaktualisasikan hidup, tetapi juga untuk alasan komoditas.

Ukiran Asmat memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan berbagai ukiran dari daerah lain. Pengerjaan yang rapih dan detil-detil ukiran yang rumit menjadi alasan mengapa ukiran Asmat dapat tersohor hingga ke seluruh penjuru dunia. Motif-motif yang berhubungan dengan alam, makhluk hidup dan aktifitas kehidupan sehari-hari banyak ditemui di dalam ukiran Asmat. Bentuk yang umum ditemui misalnya adalah kelelawar, burung cendrawasih, dan ikan. Sedangkan bentuk aktifitas yang biasa mereka buat adalah manusia yang sedang berperang, berburu, atau mencari ikan, tidak jarang juga mereka membuat refleksi aktifitas hidup para leluhur Asmat. Yang pasti, motif maupun bentuk ini tidak akan terlepas dari kehidupan suku Asmat sendiri.

Secara umum, motif dalam ukiran Asmat memiliki beberapa makna dan tujuan. Salah satu yang paling utama adalah sebagai simbol atas kehadiran nenek moyang. Kemudian, mereka juga mengukir sebagai bentuk pernyataan perasaan hati seperti sedih atau senang. Motif-motif seperti hewan, pepohonan, dan manusia juga menunjukkan kepercayaan mereka kepada kekuatan yang dimiliki alam, dan yang terakhir adalah makna keindahan serta penghargaan atas keberadaan nenek moyang mereka. Makna-makna ini begitu dekat dengan kehidupan mereka, sehingga kita dapat menemukan berbagai unsur ukiran ini di setiap benda-benda dalam keseharian mereka.

Salah satu benda hasil ukiran asmat yang cukup populer di dunia adalah panel-panel unik yang sering dijadikan hiasan dinding. Panel-panel ini biasanya mempunyai ukiran hewan atau garis-garis tribal khas Asmat. Benda ini menjadi begitu terkenal karena keunikannya dan kemudahannya untuk dibawa dalam jarak jauh, mengingat para wisatawan biasanya membeli panel untuk dijadikan buah tangan. Harga jual panel-panel ini pun tidak terlalu mahal, untuk satu panel berukuran paling kecil umumnya dijual seharga 200.000-300.000 rupiah. Harga ini cukup pantas karena panel-panel ini juga mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam membuatnya.

Selain panel, jenis ukiran yang begitu terkenal adalah Patung Bis (leluhur) dan Totem. Pembuatan kedua benda ini sangat berkaitan dengan kehidupan spiritual masyarakat Asmat. Mereka biasanya menggunakan satu batang utuh dari pohon dan diukir hingga menyerupai manusia yang mereka anggap sebagai leluhur. Untuk totem, biasanya dibuat dari batang pohon yang terbalik. Bagian akar ditaruh di atas karena mereka akan menggunakan akarnya yang panjang sebagai lambang kesuburan dan harus diletakkan di bagian atas totem. Kedua benda ini sangat sakral dan biasanya ditempatkan pada tempat yang juga sakral seperti Jew (Rumah Bujang) atau pintu masuk desa Asmat.

Walaupun seni ukir merupakan seni yang umum dimiliki oleh suku Asmat, namun tidak semua orang Asmat dapat menjadi pengukir. Mengukir adalah kemampuan yang diturunkan antar generasi dan umumnya hanya dilakukan oleh kaum pria. Mereka biasanya mengukir sembari para wanita bekerja di ladang. Karena mengukir adalah sebuah warisan, maka bagi keluarga yang tidak memiliki darah pengukir biasanya juga tidak akan memiliki kemampuan ini. Namun, bagi masyarakat Asmat modern kemampuan ini dapat dipelajari secara khusus. Banyak pria-pria Asmat yang secara khusus mempelajari cara mengukir, apalagi menjadi seorang pengukir kini dapat dijadikan mata pencaharian.

Bagaimanapun juga, Ukiran Asmat adalah sebuah kebanggan bagi bangsa Indonesia. Melalui ukiran ini, Indonesia khususnya Papua akan semakin dikenal di seluruh penjuru dunia. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban warga Negara Indonesia untuk menjaga kelestarian kesenian ini agar dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. [@phosphone/IndonesiaKaya]

Suku Asmat adalah suku yang berasa dari Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di pedalaman.

Pola hidup, cara berpikir, struktur sosial dan keseharian kedua kategori suku Asmat tersebut sangat berbeda. Untuk mata pencaharian misalnya, suku Asmat di pedalaman biasanya memiliki pekerjaan sebagai pemburu dan petani kebun, sementara mereka yang tinggal di pesisir lebih memilih menjadi nelayan.

Kesamaannya adalah dari ciri fisik, di mana suku Asmat rata-rata memiliki tinggi sekitar 172 cm, untuk pria dan 162 untuk perempuan. Warna kulit mereka umumnya hitam dengan rambut keriting. Kesamaan ini disebabkan karena suku Asmat masih satu keturunan dengan warga Polynesia.

Baca Juga

Suku Asmat tersebar mulai dari pesisir pantai Laut Arafuru, hingga Pegunungan Jayawijaya. Secara keseluruhan, mereka menempati wilayah Kabupaten Asmat membawahi 7 kecamatan.

Luasnya wilayah Kabupaten Asmat, membuat jarak antar kampung atau kampung dengan kecamatan menjadi sangat jauh. Belum lagi kontur tanah yang berawa-rawa, membuat perjalanan dari antar kampung lainnya bisa memakan 1-2 jam dengan berjalan kaki.

Suku Asmat sangat terkenal dengan tradisi dan keseniannya. Mereka dikenal sebagai pengukir handal dan diakui secara internasional. Ukiran ala suku Asmat sangat banyak jenis dan ragamnya. Biasanya, ukiran yang mereka hasilkan menceritakan tentang sesuatu, seperti kisah para leluhur, kehidupan sehari-hari, dan rasa cinta mereka kepada alam.

Selain seni ukir, suku Asmat menyenangi tari dan nyanyian yang biasa mereka tampilkan ketika menyambuat para tetamu, menghadapi masa panen, atau pun ritual penghormatan kepada roh para leluhur.

Suku Asmat memang sangat menghormati leluhur mereka, terlihat dari tradisi yang mereka miliki. Meski kebudayaan modern sudah banyak mempengaruhi kehidupan mereka, tapi untuk urusan tradisi dan adat istiadat masih cukup kental dan sulit dihilangkan.

Suku Asmat di Papua terkenal dengan karya kerajinan yang berupa

Rumah bujang atau Jew (asmatkab.go.id)

Rumah Bujang

Dalam tradisi masyarakat suku Asmat dikenal juga bangunan bernama Rumah Bujang atau biasa disebut dengan Jew. Rumah ini merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan suku Asmat.

Jew merupakan rumah utama, tempat segala aktivitas suku Asmat dilakukan. Saking pentingnya, ketika hendak mendirikan Jew harus diadakan upacara khusus terlebih dahulu. Hanya para pria yang belum menikah yang boleh tinggal di rumah Jew. Kecuali ketika ada acara besar, perempuan sesekali boleh masuk ke dalam Jew.

Dilansir situs Asmatkab.go.id, Tokoh adat Distrik Atsj, Matias Jakmenem menjelaskan kalau Jew merupakan salah satu rumah bujang bagi suku Asmat. Ini karena, penghuninya semua adalah kelompok laki-laki (Beorpit).

Setiap kampung memiliki Jew dan menjadi pusat kehidupan suku Asmat. Perempuan dalam kalangan masyarakat Asmat hanya boleh masuk ke dalam Jew, ketika ada pesta atau ritual adat.

Matias menyebutkan, Jew merupakan rumah inisiasi, di mana pemuda (laki-laki) dalam kalangan masyarakat Asmat mendapat inisiasi, seperti cara berperang, memuku ltifa, mencari ikan hingga kisah tentang leluhur.

Dia menyebutkan dalam bahasa Asmat, Jew berarti roh atau spirit. Maka, Jew juga bisa diartikan sebagai sukma atau jiwa yang menghidupkan dan menggerakan kehidupan bersama. Sehingga, setiap kelompok masyarakat tidak tercerai-berai.

Jew dibuat dari kayu local dan rotan serta daun nipah sebagai atap. Kulit kayu dimanfaatkan sebagai lantai rumah. Jew juga memiliki 7-10 pintu dengan satu wair ( tungku utama), serta sejumlah tungku lain di bagian kanan dan kiri.

Menurut Matias, makna pintu dan tungku perapian menunjukan jumlah keluarga atau marga di setiap kampung. Dalam adat istiadat masyarakat Asmat, setiap marga atau fam disediakan dua pintu dan dua buah tungku perapian.

Dalam tradisi masyarakat Asmat, Jew tidak dilihat dari sisi panjang dan lebar atupun besarnya Jew. Itu karena, Jew sudah diwariskan dari nenek moyang dan leluhur masyarakat Asmat.

Rumah bujang itu tidak memiliki sekat atau ruangan yang memisahkan antara tungku dan air. Perapian dan tungku justru  menjadi simbol tempat untuk masing-masing kelompok.

Pada tiang rumah Jew dilengkapi ukiran kepala perang masing-masing kelompok yang telah meninggal. Makna di balik penempatan ukiran kepala perang yang meninggal adalah sebagai pedoman bagi masyarakat Asmat dari generasi ke generasi. Dengan begitu, warisan adat tetap mengalir dalam kehidupan warga Asmat dari masa ke masa. Bahkan, ukiran kepala perang itu melambangkan warisan tradisi Asmat yang dilestarikan.

Setiap Jew yang dibuat masyarakat Asmat selalu menghadap arah matahari terbit atau sejajar dengan aliran sungai. Sementara, posisi rumah warga masyarakat berada di samping atau di bagian belakang Jew. Posisi Jew juga sebagai penanda dan symbol lingkaran hidup dan cara berkomunikasi serta kebersamaan hidup masyarakat suku Asmat. 

Baca Juga

Bahasa yang digunakan suku Asmat merupakan kelompok bahasa yang oleh para ahli bahasa disebut sebagai language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Papua. Bahasa ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi film bahasa-bahasa Papua non-Melanesia.

Ada beberapa bahasa yang digunakan oleh suku Asmat, seperti bahasa Asmat Sawa, Asmat Bets Mbup, Asmat Safan (Asmat Pantai), Asmat Sirat, dan Asmat Unir Sirau.

1. Bahasa Asmat Sawa

Bahasa Asmat Sawa dituturkan oleh masyarakat Kampung Sawa, Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Menurut pengakuan penduduk, wilayah tutur bahasa Asmat Sawa berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Asmat Tomor di sebelah timur, bahasa Asmat Yamas di sebelah barat, bahasa Asmat Buagani di sebelah utara Kampung Sawa. Di sebelah selatan Kampung Sawa digunakan bahasa Asmat Sawa.

2. Bahasa Asmat Bets Mbup

Bahasa Asmat Bets Mbup terdiri atas tiga dialek, yaitu bahasa Asmat dialek Bets Mbup, bahasa Asmat dialek Bismam, dan bahasa Asmat dialek Simay. Persentase perbedaan ketiga dialek tersebut adalah 51%-80%.

Bahasa dialek Bets Mbup dituturkan oleh masyarakat Kampung Atsi, Distrik Atsi, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Selain di kampung itu, bahasa dialek Bets Mbup juga dituturkan oleh masyarakat Kampung Biwar Laut, Yasiu, Amanam Kay, You, dan Omanasep.

Bahasa dialek Bismam dituturkan oleh masyarakat di Kampung Bismam-Ewer, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Masyarakat kampung lain yang menuturkan bahasa Asmat dialek Bismam adalah Kampung Suru, Yepem, Peer, Us, dan Beriten.

Dialek Simay dituturkan oleh masyarakat Kampung Amborep, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Kampung lain yang menuturkan bahasa Asmat dialek Simay adalah Kampung Warse, Paung, Sakam, dan Ayam.

3. Bahasa Asmat Safan

Bahasa Asmat Safan (Asmat Pantai) dituturkan oleh etnik Asmat Safan di Kampung Aworket, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Masyarakat yang berdomisili di sebelah timur, yaitu Kampung Emene, di sebelah barat, yaitu Kampung Primapun, dan di sebelah selatanKampung Aworket, yaitu Kampung Kayarin dituturkan juga bahasa Asmat Safan (Asmat Pantai). Di sebelah utara Kampung Aworket, yaitu Kampung Saman dituturkan bahasa Attojin.

4. Bahasa Asmat Sirat

Bahasa Asmat Sirat dituturkan oleh masyarakat Kampung Yaosakor, Distrik Sirets, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Menurut pengakuan penduduk, bahasa Asmat Sirat juga dituturkan oleh masyarakat Kampung Awok, Kaimo, Pos, Waganu I, Waganu II, Jinak, Pepera, dan Karpis. Di sebelah timur, yaitu Kampung Amborep dituturkan dialek Simay, di sebelah barat, yaitu Kampung Biwar Laut dituturkan dialek Bets Mbup, dan di sebelah utara Kampung Yaosakor, yaitu Kampung Kaimo dituturkan bahasa Asmat Sirat.

5. Bahasa Asmat Unir Sinau

Bahasa Asmat Unir Sirau dituturkan oleh masyarakat Kampung Paar, Distrik Unir Sirau, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Bahasa ini juga dituturkan oleh masyarakat Kampung Komor, Birip, Amor, Warer, Munu, Abamu, Tomor, Sagapo, Tii, Koba, dan Jipawer.

Dilansir Kemdikbud.go.id, di sebelah barat Kampung Paar, yaitu Kampung Erma dituturkan bahasa Asmat Kenok dan sebelah selatan, Kampung Yufri dituturkan bahasa Asmat Joirat.

Baca Juga

Seperti suku-suku yang lain di Papua, masyarakat suku Asmat juga memiliki senjata tradisional. Menurut Ahmadibo dalam website-nya, mengatakan senjata tradisional suku Asmat adalah kapak batu yang terbuat dari batu hijau dan memberikan kesan artistik. Kapak ini memiliki panjang sekitar 45 cm dengan panjang bilah batu kira-kira 20 cm, dan memiliki berat 1 kg.

Meski berukuran lebih kecil dari kapak pada umumnya, namun kapak ini sangat kuat dan menjadi salah satu benda paling berharga bagi suku Asmat. Biasanya, masyarakat Asmat menggunakan kapak batu untuk menebang pohon dan membantu mereka dalam proses membuat sagu. Bagi suku Asmat kapak batu bukan sekedar sebuah senjata, namun juga barang mewah. Ini karena, cara membuatnya yang rumit dan bahan pembuatnya merupakan batu nefrit yang sulit ditemukan.

Selain terkenal dengan ukirannya, suku Asmat juga memiliki pakaian adat yang khas. Seluruh bahan yang digunakan pakaian tersebut langsung berasal dari alam. Ini merupakan representatif kedekatan suku Asmat dengan alam sekitarnya. Tidak hanya bahan, desain pakaian tradisional suku Asmat pun juga terinspirasi dari alam.

Pakaian tradisional laki-laki dibuat menyerupai burung atau binatang lainnya karena dianggap sebagai lambang kejantanan. Sementara rok dan penutup dada bagi perempuan dibuat dengan daun sagu, sehingga sekilas mirip keindahan bulu burung kasuari.

Bagian penutup kepala juga terbuat dari daun sagu dengan bagian samping menggunakan bulu burung kasuari. Itu semua seolah menunjukkan betapa dekatnya suku Asmat dengan alamnya.

Baca Juga

Seperti daerah-daerah di Indonesia lainnya, Papua juga memiliki alat musik khas daerah. Tifa merupakan alat musik yang mirip dengan gendang, dan merupakan alat musik khas daerah Maluku dan Papua.

Alat musik ini terbuat dari kayu yang dilubangi tengahnya dengan penutup. Biasanya menggunakan kulit rusa. Hal ini dimaksudkan untuk membuat bunyi-bunyian yang indah. Alat musik ini biasa digunakan untuk acara-acara tertentu, seperti upacara adat dan yang paling sering mengiringi tari-tarian peperangan.

Layaknya sebuah genderang, tifa digunakan untuk mengobarkan semangat masyarakat saat akan melakukan perang. Tifa juga digunakan untuk mengiringi tari-tarian yang dilakukan sebelum perang.

Seni Ukir

Ukiran merupakan kesenian yang paling terkenal dari suku Asmat. Ukiran-ukiran suku Asmat tidak hanya terkenal di Indonesia namun juga di kalangan turis-turis asing. Karakteristik ukiran suku Asmat adalah polanya yang unik dan bersifat naturalis. Dari segi model, ukiran suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari sampai ukiran tiang.

Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu binatang dan orang berperahu, berburu dan lain-lain. Mengukir merupakan sebuah tradisi dan ritual yang berkaitan erat dengan spiritualitas hidup suku Asmat, di mana  kebanyakan masih menganut kepercayaan dinamisme. Mereka tidak hanya sekedar mengukir namun juga mengekspresikan cerminan dari sebuah kehidupan spiritual masyarakat suku Asmat sendiri.

Masyarakat Asmat terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri khas pada karya seni ukirnya. Begitu juga dengan kayu yang digunakan. Ada sub etnis yang menonjol ukiran patungnnya, menonjol ukiran salawaku atau perisai, ada pula yang memiliki ukiran untuk perhiasan dinding dan peralatan perang.