Sebutkan dan jelaskan Adanya latar belakang dari Sengketa Pajak di Indonesia

(2)

Hakim Ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan pemohon Banding/penggugat atau dengan terbanding/tergugat.

Institusi Pertimbangan Pajak

SECARA historis, upaya penyelesaian sengketa pajak telah ada sejak lama, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Pemerintah telah memprediksikan terkait adanya sengketa pajak sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Saat itu, sebagai solusi timbulnya sengketa pajak maka didirikan Institusi Pertimbangan Pajak (IPP) pada 1915 (Purwito dan Komariah, 2007).

Tujuan dibentuknya institusi ini adalah untuk mempertahankan hak-hak wajib pajak dan otoritas pajak di bidang perpajakan. Pembentukan tersebut tertuang dalam Staatsblad No.707/1915. Pihak-pihak yang tergabung dalam institusi ini terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan para ahli perpajakan. Institusi ini hanya berkedudukan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan pertimbangan bahwa kota ini menjadi pusat perdagangan.

Perkembangan penting selanjutnya adalah ketika diundangkannya Staatsblad 1927 No.29 yang menggantikan Staatsblad No.707/1915. Perubahan penting dari peraturan tersebut terkait jabatan Ketua IPP yang digantikan dari Menteri Keuangan ke Wakil Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa berbagai perubahan yang mempengaruhi keberadaan IPP. Akan tetapi, keberadaan institusi ini tetap dipertahankan dan diatur dalam aturan peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dengan diaturnya dalam konstitusi, IPP masih berlaku hingga pemerintah Indonesia melakukan peninjauan kembali pada 1959. Dengan diundangkannya UU No.5/1959 tentang Pengubahan ‘Regeling Van Het Beroep In Belastingzaken’, dibentuklah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).

Majelis Pertimbangan Pajak

MATERI yang tertuang dalam UU No.5/1959 sebenarnya tidak banyak perbedaan dengan Staatsblad 1927 No.29 karena hanya mengatur mengenai istilah dan sebutan. Selain itu, ada penegasan bahwa MPP memiliki kedudukan sebagai pengadilan administratif.

Dengan terbentuknya majelis ini maka kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak melekat pada MPP. MPP tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa pajak pusat, tetapi juga pajak daerah. Setelah MPP terbentuk, sengketa pajak yang terus menumpuk dapat diselesaikan di bawah kepemimpinan Soerjono Sastrohadikoesoemo (Anwar dan Subroto, 2008).

Saat itu, penggunaan nama MPP dianggap kurang sesuai karena menimbulkan intepretasi yang salah terkait fungsi badan ini yang hanya bertugas memberikan pertimbangan tanpa memutus perkara. Namun, sebutan MPP masih terus digunakan hingga didirikannya Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) melalui UU No.17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Badan Penyelesaian Sengketa Pajak

BPSP dibentuk untuk menggantikan tugas-tugas MPP yang dianggap sudah tidak memadai dan tidak sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak. Dalam Pasal 2 UU No.17/1997 ditegaskan mengenai kedudukan BPSP sebagai Badan Peradilan Pajak yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 27 UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

BPSP mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak. Tugas dan wewenang tersebut berada di luar tugas dan wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Selain memeriksa dan memutus permasalahan sengketa pajak, BPSP juga berwenang untuk menyelesaikan sengketa kepabeanan dan cukai. Adanya perluasan kewenangan BPSP dari MPP, anggota badan ini berasal dari pemerintah, para ahli perpajakan, pengusaha, dan ahli di bidang kepabeanan dan cukai. Dimasukannya materi terkait kepabeanan dan cukai dikarenakan saat itu UU Kepabeanan dan UU Cukai sudah diundangkan pada 1995.

Melihat kedudukan BPSP saat itu, ada yang mengusulkan pembentukan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pemerintah membentuk Pengadilan Pajak melalui UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak.

Pengadilan Pajak

SAAT ini, pengadilan pajak merupakan bentuk dari pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Pasal 2 UU No.14/2002, definisi pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.

Pembentukan pengadilan pajak ini mempunyai tiga pertimbangan penting (Komariah dan Purwito, 2006). Pertama, peningkatan jumlah wajib pajak diimbangi dengan pemahaman atas bidang perpajakan. Selain itu, otoritas pajak juga semakin sadar akan pelaksanaan pemerintah yang baik (good governance).

Kedua, semakin dibutuhkan wadah untuk menyelesaikan sengketa pajak dengan prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Ketiga, dibutuhkan badan peradilan yang dapat memeriksa dan mutus sengketa pajak yang menghasilkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Demikian penjelasan ringkas mengenai perkembangan pengadilan pajak dari masa ke masa. Nantikan dan ikuti artikel kelas pajak selanjutnya akan mengulas mengenai kedudukan dan ruang lingkup pengadilan pajak. *

Jakarta - Sengketa pajak yang tinggi masih menjadi permasalahan yang dihadapi berbagai negara di dunia. Hal tersebut berpotensi akan terus terjadi di tengah banyaknya perubahan kebijakan pajak, baik secara global ataupun domestik.

Berbagai perubahan tersebut pun membutuhkan waktu penyesuaian, sosialisasi, dan pemahaman. Akibatnya, kondisi ini menyebabkan perbedaan interpretasi atas sebuah aturan. Permasalahan tersebut pun menjadi semakin rumit saat terjadi penumpukan kasus di Pengadilan Pajak. Hal ini menyebabkan penumpukan sengketa pajak berpotensi memberikan ketidakpastian hukum, baik untuk wajib pajak ataupun otoritas pajak.

Selain itu, sengketa pajak yang terjadi secara berkelanjutan dapat menimbulkan risiko sistem peradilan yang berjalan dengan tidak efektif, potensi supremasi hukum yang melemah, serta akses terhadap keadilan yang sangat berkurang.

Suatu sengketa pajak tersebut pun terjadi tanpa alasan yang tidak jelas. Kemudian, apakah penyebab terjadinya sengketa pajak serta bagaimana cara pencegahannya? Mari kita telusuri penyebab sengketa pajak serta upaya apa yang dapat dilakukan.

Definisi Sengketa Pajak

Sengketa pajak merupakan sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat diterbitkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini termasuk juga terkait gugatan atas pelaksanaan penagihann berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.

Sengketa pajak pun menjadi hal yang dihindari oleh wajib pajak. Namun, ada saatnya wajib pajak harus menghadapi sengketa pajak. Dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak telah mengatur terkait cara penyelesaian sengketa pajak.

Penyebab Sengketa Pajak

Sengketa pajak disebabkan atas adanya kebijakan perpajakan yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang. Namun, wajib pajak merasa tidak puas atas kebijakan tersebut, sehingga mengajukan upaya hukum yang diperbolehkan sesuai UU No.14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak.

Pada umumnya, sengketa pajak terjadi saat pelaksanaan pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang selanjutnya akan memicu perbedaan perhitungan pajak atau perbedaan interpretasi aturan antara otoritas pajak dan wajib pajak.

Perbedaan pemahaman suatu peraturan tersebut umumnya terjadi saat terdapat peraturan yang belum pasti dan terdapat dalam grey area, atau aturan yang multitafsir. Apabila tidak ada pedoman peraturan yang jelas dan masih dalam grey area, otoritas pajak kerap melakukan diskresi untuk menentukan tindakan hukum atas suatu kasus pajak yang dihadapi.

Di satu sisi, diskresi telah memberikan kepastian hukum untuk kasus yang telah dihadapi saat itu. Pada sisi lainnya, diskresi pun dapat menyebabkan perbedaan perlakuan hukum bagi wajib pajak.

Sementara itu, saat peraturan bersifat multitafsir, maka situasi yang paling sering terjadi ialah pembayar pajak dan otoritas pajak akan memiliki posisi yang berbeda dalam penerapan ketentuan. Tidak diragukan lagi, kedua belah pihak tentu akan mempertahankan tiap posisinya masing-masing.

Saat kondisi ini berlanjut dan tidak ditemukan kesepakatan serta pemahaman yang sama, maka permasalahan tersebut akan diselesaikan melalui Pengadilan Pajak. Secara lebih lanjut, sengketa pajak pun cenderung terjadi saat proses pembuatan kebijakan pajak tidak partisipatif. Sebagai contoh, permasalahan tersebut telah terjadi di India. Perlu diketahui, pembentukan peraturan pajak di India cenderung bersifat straightforward dari pihak legislatif. Tindakan ini pada akhirnya akan berdampak pada kerumitan dalam pelaksanaan regulasi yang telah dibuat.

Cara Pencegahan Sengketa Pajak

Sebagai bentuk respon permasalahan dan penumpukan sengketa yang terjadi di suatu negara, diperlukan adanya upaya strategis ataupun suatu skema pencegahan secara efektif dan efisien. Secara garis besar, terdapat lima upaya strategis yang mampu diimplementasikan.

Pertama, perumusan produk hukum yang berkualitas. Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentu harus jelas, pasti, dan tidak multiftafsir. Perubahan aturan pajak ini awalnya perlu berfokus pada muatan materi peraturan yang ada di dalam grey area.

Untuk dapat membentuk peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berkualitas, diperlukan pertanggungjawaban yang melibatkan para pemangku kepentingan. Keterlibatan atau representasi masyarakat sebagai pihak eksternal dalam proses perumusan kebijakan pajak ialah hal yang krusial dan menjadi tuntutan. Selain itu, sinergi antarinstansi yang berkepentingan pun diperlukan.

Kedua, simplifikasi pajak. Pada prinsipnya, simplifikasi pajak perlu diletakkan dalam perspektif gambaran besar dari tujuan pengadaan suatu sistem atau kebijakan pajak tersebut. Adapun, simplifikasi pajak yang dilakukan perlu dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan pajak.

Simplifikasi pajak dapat dilakukan pada empat aspek, di antaranya ialah aturan pajak, kebijakan pajak, administrasi pajak, dan mekanisme kepatuhan atau interaksi antara pemungut pajak, wajib pajak, dan otoritas pajak.

Ketiga, penerapan compliance risk management (CRM). Kerangka CRM ialah pendekatan yang sistematis untuk mengelola kepatuhan wajib pajak. Pada konteks upaya pencegahan dan penyelesaian sengketa pajak, penerapan CRM ini dimanfaatkan untuk memetakan tingkat risiko dan sifat perilaku sebagai dasarnya.

Dengan mengetahui profil risiko wajib pajak akan memudahkan otoritas pajak dalam menentukan strategi untuk melakukan pencegahan agar ketidakpatuhan dapat diminimalkan. Saat perilaku ketidakpatuhan berkurang, jumlah sengketa pajak pun akan berpotensi menurun.

Keempat, penerapan advance ruling, Advance ruling ialah suatu prosedur yang dilakukan wajib pajak untuk memperoleh konfirmasi tertulis dari otoritas pajak sebelum melakukan transaksi-transaksi khusus. Konfirmasi ini sehubungan dengan konsekuensi pajak yang akan timbul dalam pelaksanaan transaksi tersebut.

Dalam implementasinya, otoritas pajak memberikan fasilitas berupa konsultasi kepada wajib pajak yaitu aspek perpajakan yang timbul atas transaksi yang akan dilakukan oleh wajib pajak. Dengan kata lain, advance ruling digunakan untuk memberikan early certainty pada wajib pajak.

Kelima, pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi ini tidak hanya terbatas pada tujuan optimalisasi penerimaan pajak, tetapi juga ditekankan untuk membantu penciptaan proses administrasi yang sederhana dan pelayanan terhadap wajib pajak yang lebih baik.

Pemanfaatan teknologi informasi yang dilakukan dengan mengintegrasikan sistem perpajakan dan pemanfaatan kecerdasan buatan dapat menjadi alat untuk pencegahan dan penyelesaian sengketa pajak. Dalam penggunaan teknologi informasi, wajib pajak pun akan terbagi dalam beberapa kriteria dengan basis risiko.

Banding dan Gugatan Pajak Dalam Sengketa Pajak

Banding ialah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Adapun, gugatan ialah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagiha pajak atau keputusan yang diajukan gugatan sesuai dengan peraturan perundang-undang perpajakan yang berlaku. Banding merupakan upaya hukum atas suatu keputusan perpajakan sedangkan gugatan ialah upaya hukum atas keputusan perpajakan dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pertimbangan Hal Dalam Sengketa Pajak

Sengketa pajak ialah hal yang menakutkan bagi wajib pajak. Oleh karena itu, wajib pajak sebisa mungkin menghindari sengketa pajak. Alasannya ialah penyelesaian sengketa pajak perlu menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Bahkan, beberapa kasus sengketa pajak dapat menghabiskan waktu hingga puluhan tahun.