Pernyataan berikut yang menunjukkan hubungan antara Muhajirin dan Anshar adalah

Rep: Ali Yusuf Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran telah mengabadikan bagaimana kaum Anshar membantu kaum muhajirin saat awal-awal perjuangan Islam. Pada kondisi yang sangat kritis kaum Anshar datang sebagai pahlawan Islam yang setia.

Baca Juga

"Perjuangan kaum Anshar menjadi kisah teladan bagi umat Islam yang sangat besar nilainya," kata Rafy Sapuri dalam bukunya Kisah-Kisah Teladan.

Rafy mengatakan, kesetian kaum Anshar membantu kaum Muhajirim diabadikan dalam surat al-Hasyr ayat 9 yang artinya.

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka orang Muhajirin ketika dan mereka mengutamakan orang yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Rafy mengatakan bahwa An-Nu'man Ibn Ajlan al-Anshari berkata, "Kami pun menyambut kaum Muhajirin seraya berkata," Selamat datang dan hidup bersama kami. Sungguh, kalian akan aman dari kefakiran karena kami akan membagi harta dan rumah kami untuk kalian.

"Begitulah yang terjadi. Kaum Anshar menjamin tempat tinggal bagi kaum Muhajirin ketika kaum Anshar secara ikhlas menyerahkan rumah-rumah mereka untuk kaum Muhajirin," kata Rafy.

Ada juga yang menampung kaum Muhajirin untuk tinggal di rumah-rumah mereka. Mereka tersebut tidak mau kehilangan pahala, bahkan mereka mengadakan undian agar kesempatan memberi bantuan terdistribusi dengan adil.

Ummu Ala, seorang wanita Anshar yang telah berbait kepada Rasulullah SAW menggambarkan ke Kharijah bin Zaid ibn Tsabit  bahwa Utsman ibn kaum Anshar sampai mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus ketempatan kaum Muhajirin dan kaum Anshar juga membagi hasil panen mereka kepada kaum Muhajirin. 

Mereka mengusulkan kepada Rasulullah untuk membagikan separuh hasil panen kebun kebun kurma mereka tetapi Rasulullah meminta agar mereka memberi kaum Muhajirin untuk turut serta merasakan hasil panen mereka seperlunya saja. Bahkan, kaum Anshar sempat ingin menghibahkan setiap kelebihan mereka kepada Rasulullah SAW. 

"Jika engkau menghendaki, ambilah rumah-rumah kami," kata mereka.

Mereka Rasulullah SAW mengucapkan terima kasih. Rasulullah SAW membangunkan tempat tinggal untuk para sahabatnya di tanah-tanah yang telah dihibahkan kaum Anshor dan menetapkan tanah itu bukan milik siapapun. Kaum Anshor juga banyak memberi bantuan material kepada kaum Muhajirin.

Mereka menyerahkan semua itu kepada Rasulullah SAW untuk dibagikan sekehendak beliau kepada kaum Muhajirin. Anas IBN Malik berkata, seseorang dari kaum Anshar memberikan pohon-pohon kurma yang telah siap panen Kepada beliau.

Lalu beliau memberikan semua itu kepada pembantunya, Ummu Aiman, Bunda Usman bin Zaid. Kedermawanan dan kemurahan hati kaum Anshor tampak pula dalam kesukaan Mereka memberi hadiah.

Makramah Ibn Sulaiman mengatakan, "Mangkok besar saat selalu berada di hadapan Nabi SAW Sejak pertama kali beliau tiba di Madinah hingga beliau wafat itu selain saat Ibnu badah Masih Banyak kaum Anshar yang melakukan hal serupa. Bahkan para sahabat Rasulullah juga senantiasa saling memberi."

  • Perjuangan Islam
  • Kisah Kaum Anshar
  • Kisah Nabi

Pernyataan berikut yang menunjukkan hubungan antara Muhajirin dan Anshar adalah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Jakarta -

Surah Al Anfal merupakan surah ke-8 dalam Al Quran dan termasuk dalam golongan surah Madaniyyah. Dari keseluruhan total 75 ayat, salah satu ayatnya yaitu surah Al Anfal ayat ke-72 dan membagi golongan umat muslim menjadi tiga golongan.

Berikut ini bunyi dari bacaan surah Al Anfal ayat 72 beserta dengan artinya:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Bacaan latin: Innallażīna āmanụ wa hājarụ wa jāhadụ bi`amwālihim wa anfusihim fī sabīlillāhi wallażīna āwaw wa naṣarū ulā`ika ba'ḍuhum auliyā`u ba'ḍ, wallażīna āmanụ wa lam yuhājirụ mā lakum miw walāyatihim min syai`in ḥattā yuhājirụ, wa inistanṣarụkum fid-dīni fa 'alaikumun-naṣru illā 'alā qaumim bainakum wa bainahum mīṡāq, wallāhu bimā ta'malụna baṣīr.

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Anfal: 72).

Mengutip dari tafsir Kementerian Agama (Kemenag), kandungan dari surah Al Anfal ayat 72 menjelaskan kegiatan yang bisa menjadi bukti keislaman seseorang, yakni berhijrah. Selain itu, dalam ayat ini disebutkan tiga golongan kaum muslimin beserta hubungan ketiganya. Tiga golongan ini di antaranya:

1. Golongan pertama adalah kaum yang disebut memperoleh derajat tertinggi dan mulia di sisi Allah, yaitu kaum Muhajirin. Kaum ini pula yang melakukan hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke Madinah hingga rela berkorban memperjuangkan agama Islam melawan kaum musyrikin yang kejam.

Kaum musyrikin tersebut bahkan tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan dan penganiayaan kepada kaum Muhajirin. Namun, semua kekerasan dan kekejaman yang mereka terima seolah tidak mampu menggoyahkan keimanan mereka sedikitpun.

Sebab itulah, kaum ini diberi sebutan keistimewaan oleh Allah yaitu beriman, berhijrah, dan berjuang dengan harta dan benda di jalan Allah.

2. Golongan kedua adalah kaum Anshar di Madinah yang memeluk agama Islam. Kaum ini berjanji kepada Rasulullah SAW dengan kaum Muhajirin untuk siap berkorban dengan harta benda mereka di jalan Allah.

Hingga kemudian, Rasulullah menanamkan rasa ukhuwah Islamiah antara kedua golongan ini dan membuat kaum Anshar memandang kaum Muhajirin sebagai saudara kandung. Artinya tidak ada lagi perbedaan hak dan kewajiban di antara mereka dan melahirkan hubungan saling tolong-menolong.

Oleh sebab itu, Allah memberikan dua sebutan kepada mereka, yaitu memberi tempat kediaman dan penolong. Hal ini pula menjadi alasan mengapa mereka dinamai Kaum Anshar.

3. Golongan terakhir adalah kaum Muslimin yang tidak melakukan hijrah ke Madinah. Mereka adalah orang-orang yang menetap di negeri yang dikuasai oleh kaum musyrikin.

Menurut tafsir Kemenag, kaum ini tidak dapat disamakan dengan kedua golongan Muhajirin dan Anshar karena mereka tidak berada di kalangan masyarakat Islam.

Hubungan antara kaum Muhajirin dan Anshor dengan kaum ketiga ini hanya diikat dengan keimanan saja. Namun, apabila mereka ditindas, diberi kekerasan, hingga dipaksa agar meninggalkan agama mereka oleh kaum musyrikin maka mereka wajib dibantu oleh dua kaum muslimin yang lain.

Bahkan diadakan serangan atau peperangan bila dibutuhkan, kecuali bila antara kaum mukminin dan kaum musyrikin itu ada perjanjian damai atau perjanjian tidak saling menyerang.

Itulah penjelasan mengenai isi surah Al Anfal ayat 72 beserta tiga golongan umat Islam yang dikandungnya. Semoga bermanfaat dalam menambah wawasan ke-Islaman kita semua, aamiin.

Lihat juga Video: Polri Selidiki Wanita Penghina Al-Qur'an & Pembakar Bendera Merah Putih!

(nwy/nwy)

TERJADINYA PERSAUDARAAN ANTARA KAUM MUHAJIRIN DENGAN KAUM ANSHAR

Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurât/49 ayat 10, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr. Persaudaraan antara kaum Muhajirîn dan kaum Anshâr yang deklarasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.

Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan[1]. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirîn di daerah baru.

Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshâr dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân, surat al-Hasyr/59 ayat 9 :

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).

Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenceritakan:

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshâr berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam !” Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak”. Orang Anshâr itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung –Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]

Baca Juga  Kedatangan Utusan Thayyi’

Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshâr membantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshâr. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr.

Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Mâlik,[2] dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshâr dan satu lagi dari Muhajirin.

Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshâr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshâr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.

Imam Bukhâri meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshâr karena persaudaraan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan dzawil-arhâm (kerabat yang bukan ahli waris) tidak.

Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu kisah ‘Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu dengan Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu . Sa’ad Radhiyallahu anhu berkata kepada ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu : “Aku adalah kaum Anshâr yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya”.

Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual-beli?”

Lalu Sa’ad Radhiyallahu anhu menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya.[4]

Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. [al-Anfâl/8 : 75]

Dan firman-Nya :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). [al-Ahzâb/33 : 6] .

Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.