Pada masa kepemimpinan siapa Muhammadiyah meningkat dalam bidang pendidikan

Oleh: Diki Hermawan

Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Rusia

Pendidikan adalah ruh bagi Muhammadiyah. Sejarah persyarikatan jelas merekam bahwa KH. Ahmad Dahlan memulai dakwahnya terlebih dahulu lewat pendidikan pada tahun 1911. Barulah pada 1912 Muhammadiyah lahir sebagai sebuah organisasi untuk menjaga keberlangsungan, memperluas gerakan, meningkatkan partisipasi dan memperbesar dampak usaha dakwah yang dimulai oleh KH. Ahmad Dahlan.

KH. Ahmad Dahlan mentransformasi Islam sebagai gagasan pembebasan dan pembaruan. KH. Ahmad Dahlan sadar bahwa masalah utama umat Islam pada waktu itu adalah keterbelakangan dalam bidang kebudayaan, ekonomi dan kesehatan. Sebab Islam hanya dijadikan ritual. Meminjam istilah Paulo Freire dalam buku berjudul Pedagogy of the Oppressed, apa yang dilihat oleh KH. Ahmad Dahlan adalah umat dengan kesadaran semi-intransitif. Umat Islam kelihatan tidak berdaya melawan kolonialisme. Umat Islam menjadikan agama sebagai pelarian dari keterpurukan dan ketertinggalan. Maka ada empat yang setidaknya harus dilakukan KH. Ahmad Dahlan waktu itu, di antaranya ialah memberi makan orang miskin, menolong orang-orang sakit, memelihara anak yatim, dan memberantas kebodohan. Perpaduan antara praktik keislaman dan misi sosial inilah yang kini dikenal dengan istilah teologi pembebasan.

Praktik keislaman tidak dapat dilakukan dengan cara lama. Selain belajar ilmu agama umat Islam juga harus diajarkan mengenai makna kebenaran, keadilan, dan jati diri umat sebagai manusia merdeka. Suatu gagasan yang masih jarang saat itu. Maka KH. Ahmad Dahlan membuka seluas-luasnya akses terhadap pendidikan dan pengetahuan modern bagi para santri dan jamaahnya. KH. Ahmad Dahlan mungkin menyadari bahwa pendidikannya haruslah menghasilkan karakter lulusan “ulama-intelektual” sekaligus “intelektual-ulama”. Karakter manusia yang bukan hanya menjalankan syariat Islam dengan sebenar-benarnya tapi juga mampu menjadi agen-agen kritis yang memahami keadaan dan melakukan upaya-upaya transformasi sosial.

Prof. Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mengatakan bahwa organisasi ini harus kembali kepada Khittah. Ia menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat. Muhammadiyah berlepas diri dari keterlibatan dalam politik praktis kekuasaan. Namun Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki modal yang sangat besar untuk melakukan perjuangan politik sosial yang lepas dari nafsu berkuasa. Isu-isu yang diperjuangkan oleh Muhammadiyah, yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat tidak bisa lepas dari tarik menariknya dengan pengaruh dan kekuasaan dan politik.

Pedagogi Kritis Muhammadiyah dan Neoliberalisasi Pendidikan

Henry Giroux pakar pendidikan kritis dalam seminarnya tahun 2015 bertajuk Where is the Outrage? Critical Pedagogy in The Dark Times, menyatakan bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari politik. Pendidikan adalah episentrum untuk mendiskusikan isu-isu yang menjadi dampak dari kerja-kerja kekuasaan dalam masyarakat. Pendidikan harus menjadi laboratorium bagi generasi muda untuk memikirkan kembali, mengajukan pertanyaan, menganalisis keadaan, dan menarik kesimpulan terhadap isu-isu yang menjadi realita di masyarakat.

Kini keadaan telah semakin serius menuntut Muhammadiyah dengan semua sumber daya amal usaha pendidikannya. Bukan sekadar untuk meningkatkan kualitas, tetapi juga untuk kembali menjalankan fungsi dan wasiat sejarahnya sebagai alat perjuangan untuk mengkritisi keadaan. Jati diri pendidikan Muhammadiyah yang lahir sebagai usaha dakwah untuk memperjuangkan pencerahan dari kebodohan dan pembebasan dari ketertindasan harus dirawat sampai saat ini, hingga sepanjang hayat persyarikatan.

Muhammadiyah mesti bereaksi secara sistemis menjawab tantangan zaman terhadap dan menggunakan gerakan pendidikannya. Bereaksi untuk menyelamatkan gerakan pendidikannya agar kembali melaksanakan fungsinya sebagai pusat pendidikan, kaderisasi, dakwah, dan pelayannan dalam rangka mencerdaskan kehidupan umat manusia, sebagaimana amanat Pasal 4: Pedoman Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 01/PED/I.0/B Tahun 2018. Bukan justru ikut terseret dalam paradigma pendidikan neoliberal yang meniscayakan pemenuhan kebutuhan persaingan pasar, yang pada akhirnya membuat kita tertekan dan tercecer menjadi tidak berdaya.

Persyarikatan kita juga sekaligus mesti bereaksi untuk menggunakan pendidikannya sebagai alat dalam merespon isu-isu sistem kapitalisme dan neoliberalisme yang mengancam kehidupan publik. Isu-isu tersebut harus masuk ke dalam lingkungan sekolah untuk dibahas dan dianalisis dengan kacamata ideologi Muhammadiyah. Sekolah-sekolah Muhammadiyah harus mampu menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi agen kritis yang bukan hanya cerdas dalam berpikir dan tajam dalam mengkritisi keadaan, tapi juga teguh imannya, serta lurus orientasinya.

Pedagogi kritis bisa menjadi solusi bagi Muhammadiyah untuk secara sistematis merespon ancaman terhadap gerakan pendidikannya. Konsep, praksis, model, dan metode yang pedagogi kritis fokuskan dapat digunakan bukan sekadar untuk memperbaiki keadaan atau meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi juga untuk mengembalikan pendidikan Muhammadiyah kembali pada fungsinya dan melaksanakan wasiat sejarahnya, sebagai sarana perjuangan kritis mengubah keadaan, mencerahkan, dan membebaskan.

Prinsip-prinsip Pedagogi Kritis

H.A.R Tilaar dalam buku Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia menjelaskan prinsip-prinsip pedagogi kritis yang berkembang seiring berkembangnya sejak setelah Perang Dunia I hingga kini. Prinsi-prinsip tersebut di antaranya adalah pemberdayaan kelompok-kelompok yang termarjinalkan, kritik terhadap paradigma pendidikan tradisional banking education, kritik terhadap pendidikan yang dipengaruhi oleh tekanan politik ekonomi, mempromosikan pendidikan sebagai rekonstruksi studi kultural dan ideologi masyarakatnya, mempromosikan pendidikan sebagai sarana menumbuhkan pemimpin-pemimpin organik yang menjadi agen transformasi sosial, menjadikan pendidikan sebagai sebuah gerakan penyadaran dan pemberdayaan siswa serta masyarakatnya, dan masih banyak lagi substansi yang diangkat oleh pedagogi kritis.

Berdasarkan sedikit saja prinsip utama dari substansi pedagogi kritis, senafas dengan perjuangan pendidikan Muhammadiyah yang memang telah kritis sejak lahirnya. Bahkan KH. Ahmad Dahlan lebih dahulu mengonsep pendidikan sebagai gerakan dakwahnya dibandingkan mapannya pedagogi kritis sebagai salah satu konsep mainstream pedagogik dan pendidikan. Penerapan prinsip-prinsip pedagogik kritis layak menjadi alat baru yang digunakan persyarikatan dalam mengupgrade dan menghidupkan kembali daya kritis pendidikan Muhammadiyah.

Pedagogi Kritis adalah Peta Jalan Pendidikan Jangka Panjang?

Sejarah membuktikan bahwa pendidikan Muhammadiyah dimulai dari sebuah implementasi nyata visi pemikiran kritis KH. Ahmad Dahlan terhadap keadaan. Muhammadiyah memulai dakwahnya dengan menggerakkan pendidikannya sebagai alat mengkritisi dan mengubah keadaan.

Persoalannya adalah hal itu sudah terjadi lebih dari seabad yang lalu. Kini gerakan pendidikan kita dihadapkan dengan banyak persoalan yang perlu kita satu per satu kita perbaiki. Sekaligus di saat yang sama menghadapi tantangan zaman baru yang begitu cepat berubah menuju akhir globalisasi.

Tugas kitalah kader persyarikatan untuk hidup menghidupi Muhammadiyah dengan membereskan dan berupaya selalu meningkatkan kualitas gerakan pendidikan Muhammadiyah. Gerak cepat dan sistematis perlu kita tempuh segera, karena ancaman, perubahan, dan dinamika zaman adalah sebuah keniscayaan yang datang dengan kecepatan yang tak dapat kita kejar.

Revitalisasi gerakan pendidikan Muhammadiyah adalah sebuah proyek jangka panjang yang harus dibaktikan oleh kader-kadernya dengan tulus ikhlas, tanpa mengejar kepentingan lain apalagi mencari hidup di Muhammadiyah. Pedagogi kritis dapat menjadi solusi, alat dalam revitalisasi gerakan pendidikan Muhammadiyah. Persoalannya adalah, apakah kita mau bekerja membereskan keadaan?

Editor: Fauzan AS

Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga ialah Kyai Haji Hisyam. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah salah satu murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, yang juga adalah seorang abdi dalem ulama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.     

K.H. Hisyam lahir di Kauman Yogyakarta, tanggal 10 November 1883 dan wafat 20 Mei 1945. Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.     

Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi dan manajemen organisasi pada zamannya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarah­kan pada masalah pendidikan dan penga­jaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini tercermin dari pendidikan putra-putrinya yang disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu disebut, sebagai bevoegd yang akhirnya menjadi guru di HIS Met de Qur’an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi mena­matkan studi di Europese Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang untuk mengajar HIS Gubernemen.    

  Tak ayal lagi bahwa dunia pendidikan pada periode kepemimpinan K.H. Hisyam mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan juga bahwa ketertiban dalam administrasi dan organisasi juga semakin mantap. Hal ini terjadi barangkali karena K.H. Hisyam pada periode kepemimpinan sebe­lumnya telah menjadi Ketua Bahagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.     

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.     

Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada moder­nisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
 

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebab­kan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.     

Berkat perkembangan pendidikan Muham­madiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupa­kan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan. Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.