Menggunakan hukum waris Islam yang telah diturunkan Allah SWT hukumnya

Jakarta -

Hukum yang paling adil adalah hukum Islam yang didapatkan dalam Al Quran. Termasuk cara pembagian harta warisan.Dikutip dari buku berjudul "Pembagian Warisan Menurut Islam" oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni, jumlah pembagian yang ditentukan Al Quran ada 6 macam yaitu setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.

1. SetengahAshhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. 2. SeperempatAdapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta peninggalannya hanya ada dua yaitu suami dan istri.3. Seperdelapan

Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian warisan seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:"Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau )dan) sesudah dibayar utang-utangmu." (an-Nisa: 12)4. Dua per TigaAhli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta peninggalan pewaris ada empat dan semuanya terdiri dari wanita:- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.5. SepertigaAdapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan sepertiga bagian hanya dua yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu. 6. SeperenamAdapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam, ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.Akan tetapi, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur yakni:- BudakSeseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya.- PembunuhanApabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya: seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya."- Perbedaan AgamaSeorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apapun agamanya. Hal ini telah diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:

"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (HR. Bukhari dan Muslim).

Simak Video "Silaturahmi Senior Golkar Usai Peresmian Masjid Baru di Markas Partai"



(lus/erd)

PENERAPAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Dr. Komari,  S.H., M. Hum

A. PENDAHULUAN

Hukum yang berlaku di Indonesia bersifat transindental dan horizontal, artinya selain berhubungan dangan sesama manusia  dan lingkungan juga berhubungan dengan Allah SWT, lain halnya dengan hukum sekuler yang berlaaku di negara-negara barat.

Sifat hukum Indonesia tersebut dapat dilihat dalam Pancasila dan dijelaskan lagi dalam mukaddimah dan pasal 29 UUD 45. Dalam Mukaddimah “atas berkat rahmad Allah” menunjukan Allah yang menjadi sumber proklamasi dan seterusnya yang mengatur sumber kehidupan setelah proklamsi  dalam kehidupan Negara Republik Indonesia. Apalagi ditambah dengan ketentuan Dekrik Presiden  5 Juli 1959 yang kembali pada UUD 45 bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan konstitusi. Dengan demikian hukum Allah menjadi sumber hukum Indonesia sejalan dengan Pancasila.

Hukum Allah dapat diketahui dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW, dan hasil ijtihad para ahli hukum Islam, namun ketiga sumber hukum itu yang berhubungan dengan ibadah umumnya tektualnya sudah jelas dan pasti. Sedangkan yang berhubungan dengan muamalah sebagian besar tidak dibahas dan disinggung secara eksplisit. Hal yang demikiaan tidaklah berarti Allah dan rasul-Nya tidak mengatur syariat Islam secara menyeluruh, tetapi justru kebijaksanaan yang sangat luar biasa dan memberikan sepenuhnya kepada ulama’ cendikawan, pemerintah atau orang-orang keahlian menganalisa dan memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia baik secara individu, dalam masyarakat maupun dalam suatu negara. Selanjutnya para ahli tersebut  melakukan pengkajian secara kontektual atau ijtihad guna menetapkan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslakatan mayarakat dan kondisi-situasi serta kemajuan mayarakat itu sendiri.

selengkapnya KLIK DISINI

.

HUKUM KEWARISAN ISLAM MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

(KAJIAN IMPLEMENTASI PASAL 178 AYAT 2 PASAL 181, 182 DAN PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM)

Oleh : Drs.H.Djafar Abdul Muchith.SH.MHI

I. Pendahuluan

Hukum waris Islam memiliki karakteristik yang unik sebagai bagian dari syari’ah Islam yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari aqidah (keimanan). Seseorang tidak mendapatkan atau akan mendapatkan harta waris sesuai bagian yang telah ditentukan Allah di luar keinginan atau kehendaknya dan tidak perlu meminta haknya.

Begitu juga orang yang akan mati suatu ketika tidak perlu direncanakan pembagian hartanya setelah ia mati. Karena secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya sesuai perolehan yang telah ditentukan kecuali bila ia ingin tabarru atau wasiat. Ketentuan Nashiban Mafrudlan menunjukkan bahwa rincian sudah pasti hendaknya tidak ada suatu usaha atau kekuatan manusia yang dapat mengubahnya.

Perbedaan pendapat tentang keadilan hukum waris antara Sunni, Syiah, Hazairin dan hukum waris menurut KUH Perdata, menimbulkan pemikiran tentang sistem kewarisan Islam Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tetap mempertahankan kewarisan Sunni yakni adanya Dzawil Furdl, Ashobah dan Dzawil Arham (lihat pasal 176-193 KHI), kecuali dalam beberapa hal yang waris Sunni tidak mengatur atau tidak mengenalinya seperti ahli waris pengganti, wasiat wajibah, anak/orang tua angkat, dan sebagainya.

selengkapnya KLIK DISINI

.

Penyelesaian Waris bagi Orang Islam di Indonesia

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), di Indonesia terdapat pilihan hukum dalam penyelesaian waris bagi orang yang beragama Islam.

Pada Paragraf Ketiga Angka 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 7/1989”) dinyatakan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.[1]

Penjelasan inilah yang menjadi acuan konsep pilihan hukum dalam pembagian harta warisan bagi orang yang beragama Islam.

Pilihan hukum muncul dikarenakan ketika itu belum ada unifikasi di bidang hukum waris. Pada saat itu, masih berlaku tiga sistem hukum waris, yaitu hukum waris menurut hukum perdata barat (peninggalan Belanda), hukum waris menurut hukum adat, dan hukum waris menurut hukum Islam.

Pilihan hukum tersebut merupakan perwujudan dari kehendak para pihak yang berperkara dalam pembagian warisan untuk menentukan hukum apa yang digunakan dalam penyelesaian sengketa waris yang akan diajukan ke pengadilan.

Menurut Abdul Gani Abdullah dalam buku Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama (hal. 52), asas pilihan hukum ini berguna untuk menghindarkan dari ketidaksepahaman atau ketidaksepakatan dalam menentukan hukum dan untuk tidak bergantung pada agama masing-masing.

Dengan demikian, para pihak yang berperkara bebas untuk memilih antara hukum perdata barat, hukum adat, ataupun hukum Islam. Sehingga pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan perkara waris bergantung pada hukum apa yang dipilih. Dengan kata lain, orang Islam dapat menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Negeri dengan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau secara adat dengan menggunakan sistem hukum adat, ataupun di Pengadilan Agama berdasarkan hukum Islam.

Akan tetapi, setelah lahirnya UU 3/2006, asas pilihan hukum atau hak opsi tersebut dihapuskan. Di dalam Paragraf Kedua Penjelasan Umum UU 3/2006 dinyatakan bahwa:

“… kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.”

Dengan penghapusan pilihan hukum atau hak opsi tersebut, berarti penyelesaian sengketa atau perkara pembagian warisan bagi orang beragama Islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama dan diselesaikan berdasarkan hukum Islam.

Orang Islam tidak diperbolehkan lagi menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Negeri ataupun secara hukum adat.  

Alternatif Solusi

Berdasarkan deskripsi permasalahan yang Anda sampaikan, bahwa ahli waris dari ayah Anda adalah Ibu, anak perempuan (Anda) dan anak laki-laki.

Dan tujuan Anda sebenarnya adalah agar bagian waris untuk Ibu Anda lebih besar daripada anak-anaknya, untuk menjamin kehidupannya. Atas permasalahan tersebut, maka ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai alternatif tawaran solusi, yaitu sebagai berikut:

Pertama, yang perlu diketahui bahwa salah satu asas dalam waris Islam adalah asas Ijbari (paksaan).

Sebagaimana diterangkan Aunur Rohim Faqih dan Ahmad Sadzali dalam buku Kaidah-Kaidah Hukum Islam (hal. 49), di dalam hukum Islam mengenai hukum waris terdapat kaidah hukum yang berbunyi: “Al-Istihqaq ka al-irtsi laa yasquthu bi al-isqath”, artinya: “Kepemilikan hak seperti warisan, tidak dapat gugur (meskipun) dengan digugurkan”.

Maksud dari kaidah tersebut adalah, jika seseorang mendapatkan hak berupa warisan, maka hak tersebut tidak dapat digugurkan oleh orang yang menerimanya, meskipun orang yang menerima hak tersebut menyatakan bahwa ia mengugurkan haknya itu. Artinya, hak tersebut tetap melekat pada penerimanya.

Pada Pasal 187 ayat (2) KHI secara tegas dikatakan:

Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta waris yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak

Sedangkan mengenai besarnya bagian waris bagi ahli waris diatur di dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 182 KHI.

Kedua, sebelum harta yang ditinggalkan ayah Anda itu berstatus menjadi harta waris dan siap dibagikan ke ahli waris, maka perlu juga dipastikan terkait dengan harta bersama antara ayah dan Ibu Anda. Ketentuan mengenai harta bersama ini dapat merujuk pada Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI.

Terutama, pada Pasal 96 ayat (1) KHI dikatakan bahwa:

Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

Jika harta bersama antara ayah dan Ibu Anda telah diselesaikan, maka selanjutnya juga harus dipastikan sudah ditunaikannya sejumlah kewajiban/keperluan sebelum harta peninggalan tersebut berubah menjadi harta waris.

Berdasarkan Pasal 171 huruf e KHI, harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.

Maka sebelum harta peninggalan itu dibagikan, ahli waris harus memenuhi kewajiban dari harta peninggalan tersebut, seperti: (a) biaya perawatan ketika sakit (jika sakit); (b) pengurusan jenazah; (c) pembayaran hutang; (d) serta pemberian untuk kerabat, termasuk dalam hal ini wasiat.

Setelah semua itu sudah dipastikan, maka selanjutnya dihitung bagian masing-masing dari ahli waris.

Berdasarkan Pasal 180 KHI, Ibu Anda mendapatkan bagian sebesar seperdelapan dari harta waris. Jika terdapat harta bersama antara ayah dan Ibu Anda, maka ada kemungkinan bagian yang diperoleh oleh Ibu Anda menjadi lebih besar, karena gabungan dari pembagian harta bersama dan bagian seperdelapan dari harta waris.

Sedangkan sisanya, merupakan bagian Anda dan saudara laki-laki Anda dengan komposisi dua bagi saudara laki-laki banding satu bagi saudara perempuan (Anda).

Dengan demikian, itulah hak warisan Ibu, Anda dan saudara laki-laki Anda berdasarkan hukum Islam. Bagian-bagian ini harus diketahui oleh semua ahli waris, karena berdasarkan uraian di atas, bahwa asas kewarisan dalam Islam adalah asas Ijbari (paksaan).

Ketiga, jika setelah dilakukan pengurusan dan pembagian harta waris di atas, ternyata bagian Ibu Anda masih lebih kecil dari bagian Anda dan saudara laki-laki Anda, sementara Anda dan saudara laki-laki Anda berkeinginan agar bagian warisan Ibu lebih besar, hal tersebut tetap mungkin dilakukan.

Setelah semua bagian diketahui oleh semua ahli waris, Anda dan keluarga dapat bermusyawarah untuk memberikan bagian yang lebih besar kepada Ibu Anda, sesuai dengan kesepakatan musyawarah.

Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 183 KHI yang menyatakan bahwa

Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Dan ada baiknya, supaya memiliki kekuatan hukum, pembagian tersebut dilakukan di Pengadilan Agama dengan cara mengajukan permohonan. Inilah alternatif solusi atas permasalahan Anda.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. Abdul Gani Abdullah. Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama. Jakarta: Ditbinbopera, 1999;

  2. Aunur Rohim Faqih dan Ahmad Sadzali. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2018.

[1] Paragraf Keempat Angka 2 Penjelasan Umum UU 7/1989.