Mengapa kita harus mencontoh gaya kepemimpinan khulafaur rasyidin jelaskan

Mengapa kita harus mencontoh gaya kepemimpinan khulafaur rasyidin jelaskan

Mengapa kita harus mencontoh gaya kepemimpinan khulafaur rasyidin jelaskan
Lihat Foto

Mohammad Adil Rais

Makam Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab, di Madina, Arab Saudi.

KOMPAS.com - Khulafaur Rasyidin adalah kekhilafahan Islam yang berlangsung setelah Nabi Muhammad SAW meninggal.

Dikutip dari Khulafaur Rasyidin (2019), Khulafaur Rasyidin berasal dari kata khulafah dan ar-rasyidin.

Khulafah adalah bentuk jamak dari kata khalifah yang berarti pengganti, pemimpin, atau penguasai yang diangkat.

Sedangkan ar-rasyidin adalah bentuk jamak dari ar-rasyid yang berarti orang yang mendapat petunjuk.

Ada empat Khulafaur Rasyidin. Mereka adalah sahabat-sahabat nabi yang dipilih karena kepantasan dan kelebihannya.

 Baca juga: 4 Nama Khulafaur Rasyidin

Berikut sifat para khalifah yang patut untuk diteladani:

Abu Bakar As Sidiq

Abu Bakar adalah sahabat yang paling dicintai Nabi. Ia mengorbankan harta bendanya untuk perjuangan Nabi.

Putri Abu Bakar, Siti Aisyah, dinikahkan dengan Nabi.

Gelar As Siddiq yang berarti amat membenarkan diberikan karena Abu Bakar adalah orang pertama yang membenarkan peristiwa Isra Miraj.

Abu Bakar adalah manusia yang dianggap paling agung dalam sejarah Islam setelah Rasulullah.

Berikut sifat-sifat dan sikapnya yang dikenal:

  • Akhlak yang mulia
  • Rela mengorbankan harta benda dan kekayaan
  • Penyantun
  • Tidak pernah berbuat keji
  • Bijaksana menyelesaikan masalah umat
  • Tenang dalam menghadapi kesukaran
  • Rendah hati ketika berkuasa
  • Tutur bahasa yang lembut

 Baca juga: Masa Kekhalifahan Abu Bakar As Siddiq

Abu Bakar disebut mengorbankan seluruh harta bendanya untuk menebus orang-orang yang ditawan di zamannya.

Ia memerdekakan budak muslim dengan cara membelinya. Salah satu hamba Allah yang dimerdekakannya yakni Bilal bin Rabah.

Umar bin Khattab

Umar terlahir dari keluarga duta besar dan pedagang. Ia kerap ikut orangtuanya berdagang ke luar negeri.

Ketika menginjak dewasa, Umar sering mengikuti lomba pacuan kuda. Keberaniannya membuat ia dijuluki Singa Padang Pasir.

Karena kecerdikannya berdiplomasi seperti moyangnya, ia juga mendapat julukan Abu Faiz.

Umar masuk Islam di usia 27 tahun. Sebelumnya, ia memusuhi Nabi dan para pengikutnya.

Menurut Ibnu Abbas, Umar kemudian menjadi pembela Islam. Ia melindungi anak yatim.

 Baca juga: Masa Kekhalifahan Umar bin Khattab

Di antara akhlah mulia Umar bin Khattab, yang menonjol di antaranya:

  • Perhatian kepada rakyatnya
  • Hidup sederhana
  • Menepati janji
  • Disiplin
  • Adil
  • Cermat

Usman bin Affan

Usman bin Afaan punya julukan Zunnuarain Walhijratain. Artinya memiliki dua cahaya dan dua kali hijrah.

Ia menikahi dua putri Nabi, Rukayah dan Umi Kulsum. Usman juga dua kali hijrah yakni ke Hasby dan Madinah.

Usman disegani karena berasal dari keturunan bangsa saudagar yang kaya raya.

 Baca juga: Masa Kekhalifahan Usman bin Affan

Beberapa sifatnya yang terkenal yaitu:

  • Tampan dan gagah
  • Tekun dan ulet
  • Pemalu
  • Sabar dan tawakal menghadapi cobaan
  • Takut azab dan siksa Allah
  • Suka membantu
  • Dermawan

Usman termasuk dalam 10 orang yang dikabarkan akan masuk surga.

Ali bin Abi Thalib

Ali adalah satu-satunya sahabat yang dididik oleh Rasul sejak kecil.

Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam setelah Khadijah, istri Rasul.

Ali dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Ia juga diketahui menguasai banyak masalah keagamaan yang mendalam.

Sifat lainnya yakni:

Baca juga: Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Talib

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Youtube

Padang Pasir

Red: Achmad Syalaby

REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah SAW merupakan seorang pemimpin yang mesti dijadikan teladan oleh setiap pemimpin Islam (al-Ahzab: 21). Rasulullah SAW juga seorang pemimpin yang hidup sederhana, tapi memiliki sifat akhlak mulia (al-Qalam: 4). Istrinya, Aisyah RA, mengatakan, akhlak Rasulullah SAW itu adalah penerapan Alquran dalam segala aspek kehidupannya (Abdul Halim Mahmud: 1990).

Syamsudin Muir, lewat artikelnya di Harian Republika berjudul Kriteria Pemimpin dalam Islam, menulis, Sayyid Husen al-'Affany menjelaskan dalam bukunya, Tarthib al-Afwah (1/81) bahwa Abu Bakar Shiddiq itu pemimpin sederhana dan adil dalam melaksanakan tugas.

Abubakar menerapkan persamaan pembagian kekayaan negara kepada seluruh rakyatnya. Ketika sakit di akhir hidupnya, beliau berwasiat, agar hartanya yang hanya sedikit itu diberikan kepada pemimpin setelahnya. Umar bin Khattab menangis menerima wasiat Abu Bakar Shiddiq itu. Karena beliau tahu, tanggung jawabnya di masa depan jauh lebih berat.

Namun begitu, Umar tetap mencontoh pendahulunya untuk hidup sederhana dalam mengemban tugas negara. Menurut dia, Allah SWT telah memuliakan umat ini dengan Islam, maka tidak perlu lagi mencari kemuliaan dengan yang lain (Atsar sahih riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Pada waktu menjadi khalifah (pemimpin), kendaraan dinas Umar bin Khattab hanya seekor unta. Pada waktu pendeta Kristen negeri Palestina, Safraneus, menyerahkan kunci negeri Palestina kepada pemimpin besar Negara Islam, Umar bin Khattab bergantian menunggang untanya dengan pembantunya menuju Palestina. Umar juga mengembalikan hadiah makanan lezat yang dikirim dari Afrika. Karena, menurutnya, makanan itu lebih baik dinikmati oleh rakyatnya.

Usman bin Affan juga berbuat adil dalam menerapkan hukum Islam. Dia dengan tegas melaksanakan hukuman cambuk atas adiknya, al-Walid bin Aqabah, yang telah melakukan pelanggaran syariat Islam. 

Ali bin Abi Thalib juga pemimpin bijaksana, sederhana, dan adil dalam bertindak. Di hari raya, makanan yang tersedia di rumahnya hanya makanan rakyat kecil, berupa hidangan daging rebus bercampur tepung (al-khazirah). Karena, menurut beliau, menyitir sabda Rasulullah SAW, seorang pemimpin itu hanya berhak menerima gaji untuk makannya dengan keluarganya, dan makannya dengan tamunya (HR Imam Ahmad).

Islam telah menetapkan syarat tertentu yang mesti terpenuhi pada diri seorang pemimpin, agar amanah besar itu tidak menjadi ajang perebutan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. 

Sebagai pemimpin, Rasulullah SAW dan Khulafa' al-Rasyidin, hingga Umar bin Abdul Aziz, telah memberikan teladan yang baik dengan hidup sederhana, adil, dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Di bawah kepemimpinan mereka, Negara Islam menjadi maju, besar, dan disegani. Dan, umat Islam pada masa itu juga hidup damai, aman, dan sejahtera.

  • jejak islam
  • khulafaur-rasyidin
  • khalifah
  • khilafah

Mengapa kita harus mencontoh gaya kepemimpinan khulafaur rasyidin jelaskan

sumber : Pusat Data Republika

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Mengapa kita harus mencontoh gaya kepemimpinan khulafaur rasyidin jelaskan


Setelah Rosululloh, Nabi Muhammad wafat, maka semua urusan dan kendali kaum Muslimin diama-nahkan dan diemban oleh empat orang sahabatnya yang paling mulia  . Mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib  .

Karena mereka semua adalah orang-orang terpilih yang senantiasa membekali dan menghiasi diri mereka dengan berbagai akhlak mulia, pada akhirnya amanat mulia tersebut mampu mereka tunaikan dengan sangat baik dan memberikan banyak manfaat kepada Islam dan kaum Muslimin. Mereka berempat inilah dalam sejarah Islam (at-Tārīkh al-Islāmī) dikenal sebagai empat khalifah yang mendapat petunjuk (al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah). Bukan hanya tercatat dalam lembaran sejarah, sejarah kekhilafahan atau kepemimpinan mereka bahkan tertulis dengan tinta emas dan dikategorikan sebagai Sejarah Islam yang gilang-gemilang. 

al-Khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah adalah orang-orang yang berbahagia karena mendapatkan jaminan masuk surga, atau yang sering diistilahkan sebagai al-mubasysyarūn bi al-jannah.

Rosululloh   bersabda:

(( أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِىٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ ))

“(Sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga adalah): (1) Abu Bakar (ash-Shiddiq); (2) ‘Umar (bin al-Khaththab); (3) ‘Utsman (bin ‘Affan); (4) ‘Ali (bin Abi Thalib); (5) Thalhah (bin ‘Ubaidillah); (6) az-Zubair (bin al-‘Awwam); (7) ‘Abdur Rahman bin ‘Auf; (8) Sa’ad (bin Abi Waqqash); (9) Sa’id (bin Zaid); dan (10) Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah.”  (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Barangsiapa yang mengamati dan memperhatikan ucapan para sahabat, niscaya ia akan menjumpai betapa dalamnya pemahaman dan luasnya ilmu mereka, Alloh   meridhoi mereka dan mereka pun ridho terhadap-Nya. Bagaimana tidak, mereka adalah umat terbaik yang Rosululloh   memerintahkan kepada kita agar berpegang teguh kepada sunnah para sahabat sebagaimana terdapat dalam hadits 

‘Irbadh bin Sariyyah   berkata:

( وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ   مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ: 

(( أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعَ وَالطَّاعَةَ وِإْنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِىٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِى عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ )) )

“Rosululloh   telah memberikan nasihat kepada kami dengan suatu nasihat yang menggetarkan hati dan mampu mencucurkan air mata. Maka kami berkata: “Wahai Rosululloh, seakan-akan nasihat ini adalah nasihat orang yang akan berpisah, oleh karena itu, berilah wasiat kepada kami!”. Beliau   bersabda:

“Aku mewasiatkan kepada kalian semua untuk selalu bertakwa kepada Alloh, mendengar dan taat, walaupun yang memerintah (pemimpin) kalian adalah seorang budak dari Habasyah (Etiopia). Siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku, maka ia akan melihat banyaknya perselisihan. Karenanya, kalian berkewajiban untuk senantiasa berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sepeninggalku, bahkan gigitlah dengan erat. Berhati-hatilah kalian terhadap hal-hal yang baru (dalam agama), karena termasuk bid’ah, dan bid’ah adalah kesesatan.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)

Dikarenakan ilmu, pemahaman dan pengetahuan mereka tentang firman Alloh   dan sabda Rosululloh  , menjadikan Sunnah al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah sebagai Sunnah yang harus diikuti dan menjadikan jalan mereka sebagai jalan keselamatan yang harus ditempuh ketika menghadapi fitnah, keburukan dan kebid’ahan. 

Rosululloh   juga memerintahkan kepada kita untuk mengikuti mereka, mengambil petunjuk dan berpegang teguh dengan petunjuk mereka. 

Dari Ibnu Mas’ud  , ia berkata bahwa Rosululloh   bersabda: 

(( اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِيْ مِنْ أَصْحَابِيْ، أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ ))

“Ikutilah dua orang sepeninggalku Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR. at-Tirmidzi)

Oleh karena itu, “firqah najiyah” atau golongan selamat dari umat ini adalah siapa saja yang meniti jalan Nabi Muhammad   dan para sahabatnya  , sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdulloh bin ‘Amr  , bahwa Rosululloh   bersabda:

(( لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِيْ مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَّةً لَكَانَ فِيْ أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذٰلِكَ. وَإِنَّ بَنِيْ إِسْرائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ ))

“Sungguh kelak akan datang kepada umatku sebagaimana datang kepada Bani Israil dalam selangkah demi selangkah, hingga jika salah seorang di antara mereka menggauli ibunya dengan terang-terangan, niscaya ada di antara umatku yang berbuat demikian. Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua kelompok keagamaan. Umatku sendiri akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok keagamaan. Seluruhnya di dalam neraka kecuali satu kelompok. Mereka (para sahabat) bertanya: “Siapakah satu kelompok itu wahai Rosululloh?”. Maka beliau menjawab: “Mereka yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.” (HR. at-Tirmidzi)

Sunnah sahabat  , utamanya Sunnah al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah, berkaitan erat dengan Sunnah Rosululloh  . Jalan mereka adalah penyempurna jalan Rosululloh  . Atsar-atsar mereka adalah agama, harus diamalkan dan sebagai tempat merujuk, serta sebagai pondasi bagi timbangan keilmuan. 

Maka al-Qur’an, Sunnah Rosululloh  , dan Sunnah para sahabat   adalah timbangan yang menyeluruh, yang ditimbang di atasnya berbagai aqidah, ushul, perkataan, perbuatan dan ijtihad serta perkara agama lainnya. 

Adapun yang termasuk dalam kategori Sunnah para sahabat, khususnya Sunnah al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah yang tertera jelas dalam hadits adalah:

1. Sunnah fiqhiyyah (fiqih).

Yaitu atsar sahabat   yang terhimpun dalam perkataan dan perbuatan mereka dalam bab fiqih, baik dalam ibadah, mu’amalah maupun akhlak, yang pasti merujuk kepada penafsiran nash al-Qur’an atau Sunnah Rosululloh  , atau ijtihad sebagian mereka karena qiyas dari makna al-Qur’an dan as-Sunnah, atau berkaitan dengan salah satu ushul yang digunakan mereka.

2. Sunnah i’tiqadiyah (keyakinan).

Jika manhaj sahabat dalam fiqih dijadikan sebagai pondasi dari rambu-rambu syariat Islam, maka Sunnah i’tiqadiyyah mereka adalah pembeda antara Ahlus Sunnah dan ahlul bid’ah. Penyelisihan terhadap Sunnah mereka dalam aqidah merupakan kehinaan bagi pelakunya.

3. Sunnah Siyasiyyah (politik).

Mencakup rambu-rambu politik yang lurus dalam memimpin umat dan hukum-hukum yang berhubungan dengannya. 

Para khalifah Rosululloh   telah menjalani politik tersebut selama 30 tahun setelah wafatnya beliau  , dimulai oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq   dan diakhiri dengan kekhalifahan Hasan bin ‘Ali  .

Karakter utama dari kekhalifahan para khalifah tersebut adalah dengan mengikuti jejak Rosululloh   dalam politik, baik secara nash (konteks) atau ijtihad dari pemahaman mereka terhadap nash. Masa ini termasuk perpanjangan masa nubuwwah dalam politik hukum dan kepemimpinan umat. 

Oleh karena itu, Sunnah sahabat dalam politik merupakan sumber utama (mashdar) dari syariat Islam yang berkaitan dengan politik Islam. 

4. Sunnah ‘Ilmiyyah (teoritis).

Para sahabat adalah orang pertama yang belajar manhaj dan teori keilmuan dari Rosululloh  , dan mereka membuat rambu-rambu pergerakan ilmiah dan ijtihad mereka sesuai dengan timbangan ilmu tersebut. 

Oleh karena itu, Rosululloh   bersabda:

(( مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِيْ ))

“Mereka yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.”

Maka mengikuti mereka dalam keilmuan merupakan pangkal dalam mengikuti manhaj golongan yang selamat, manhaj Rosululloh  . 

Sebaliknya, menyelisihi mereka adalah penyelisihan jalan keselamatan, bukan jalan yang ditempuh oleh Rosululloh  . 

5. Kaidah-kaidah agama yang menyeluruh.

Bila kita menelisik Sunnah sahabat dengan seksama, maka akan ditemukan kaidah menyeluruh dalam syariat, aqidah, politik dan manhaj ilmiah. Dan hal ini sangat berguna sekali bagi kaum Muslimin yang ingin meniti agama yang benar dan dengan cara atau metode yang benar pula.

Sebaik-Baik Generasi Islam

Para shahabat, termasuk al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah, merupakan generasi kaum Muslimin yang terbaik, seperti yang diriwayatkan dalam hadits dari ‘Imran bin Hushain   dan lainnya, disebutkan bahwa Rosululloh   bersabda:

(( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ))

“Sebaik-baiknya umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian yang datang sesudah mereka, (tabi’in) dan kemudian yang mengikuti mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

‘Aisyah   berkata:

“Seseorang datang menemui Nabi Muhammad   lalu bertanya, “Siapakah orang yang terbaik?”, maka Nabi   menjawab, “Generasi yang aku hidup bersama mereka (sahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi’in), kemudian generasi sesudahnya lagi (tabi’ut tabi’in).” 

 ‘Imran   berkata: 

“Saya tidak ingat lagi, apakah setelah menyebutkan generasinya (sahabat), apakah beliau menyebutkan dua generasi ataukah tiga.”

Oleh karena itu, sangat tepat dan sungguh benar sekali apa yang pernah diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud   ketika menceritakan kepribadian para sahabat   tersebut, di mana ia berkata:

“Sesungguhnya Alloh telah meneliti hati para hamba-Nya, maka didapati bahwa hati Muhammad   adalah sebaik-baiknya hati mereka. Akhirnya Alloh pun memilihnya dan mengangkatnya menjadi Rosul-Nya. Setelah itu, Alloh meneliti kembali hati para hamba-Nya, didapati bahwa hati para sahabat adalah sebaik-baiknya hati para hamba-Nya. Maka Alloh menjadikan mereka sebagai para pendamping Nabi-Nya dan berperang demi agama-Nya. Oleh karena itu, siapa saja yang dikategorikan baik oleh kaum Muslimin, maka ia baik menurut Alloh. Sebaliknya, siapa yang dilihat buruk oleh kaum Muslimin, maka menurut Alloh juga buruk.” 

Di lain kesempatan Ibnu Mas’ud   berkata:

( مَنْ كَانَ مُسْتَنّاً فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لاَ تُؤمنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ، أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ ، كَانُوْا وَاللهِ أَفْضَلَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ، وَأَبَرَّهَا قُلُوْباً، وَأَعْمَقَهَا عِلْماً، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، وَتَمَسَّكُوْا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلاَقِهِمْ وَدِيْنِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلىَ الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ ) 

“Barangsiapa hendak mengambil teladan, maka berteladanlah kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, karena orang yang masih hidup belum tentu akan selamat dari fitnah, maka berteladanlah kepada para sahabat Rosululloh. Demi Alloh, mereka adalah generasi umat yang paling mulia, paling jernih hatinya, paling dalam ilmunya dan yang paling sedikit merasa keberatan (dalam menjalankan taat). Mereka adalah generasi yang dipilih Alloh untuk menyertai (perjuangan) Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Oleh karena itu, ketahuilah keagungan mereka, ikutilah sunnah-sunnahnya serta teladanilah akhlak dan cara beragama mereka semampu kalian, karena mereka berada di atas jalan yang lurus.”

Ibnu Taimiyyah   berkata:

“Ungkapan Ibnu Mas’ud   di atas adalah ungkapan yang sangat tepat lagi tuntas, karena menggambarkan tentang kejujuran niat dan tujuan mereka. Di samping itu, dijelaskan pula tentang kedalaman dan keluasan ilmu mereka dan ketidakmungkinan mereka untuk memberatkan diri dalam berbicara (tentang suatu hal) tanpa didasari ilmu.”

Maka, siapakah yang lebih sesat daripada orang yang di dalam hatinya ada kedengkian terhadap generasi kaum Muslimin terbaik dan penghulu para wali Alloh   sesudah para nabi (yaitu para sahabat Rosululloh)? 

Bahkan bila ada golongan sesat tersebut –dan memang ada, tepatnya golongan Syi’ah Rafidhah–, maka dalam tabiat ini, orang-orang Yahudi dan Nasrani justru lebih utama dan jauh lebih baik dari mereka. 

Mengapa demikian?

Karena ketika orang-orang Yahudi ditanya, “Siapakah penganut agama kalian yang terbaik?”. Mereka menjawab dengan serentak, “Para sahabat Musa.”. Begitu pula ketika orang-orang Nasrani ditanya: “Siapakah penganut agama kalian yang terbaik?”. Dengan spontan mereka menjawab, “Para sahabat Isa.”. 

Namun ketika orang-orang Syi’ah Rafidhah ditanya: “Siapakah penganut agama kalian yang paling keji dan jahat?”, maka dengan bangga mereka menjawab, “Para sahabat Nabi Muhammad!”.

Na’ūdzu billahi min dzālika!

Keutamaan dan keistimewaan para sahabat secara umum dan  al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah secara spesifik, adalah disebabkan karena keberadaan Rosululloh   di tengah-tengah mereka untuk mengajar dan membimbing mereka, kapan dan dimana pun mereka berada. Di samping itu, juga karena keimanan yang benar dan kecerdasan para sahabat untuk menerima ilmu yang diajarkan Rosululloh  . 

Saat disebut para sahabat Rosululloh   di hadapan Hasan Basri  , maka ia berkata:

(( أُوْلٰئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ  ، كَانُوْا أَبَرَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، قَوْمًا اِخْتَارَ هُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ؛ وَإِقاَمَةِ دِيْنِهِ، فَتَشَبَّهُوْا بِأَخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ ))

“Mereka adalah para sahabat Muhammad  , kelompok umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit takallufnya. Mereka adalah kaum pilihan Alloh untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan mereka, karena sesungguhnya mereka senantiasa berada di atas petunjuk yang lurus.”

Mereka berada di atas petunjuk yang lurus sebab mereka dibimbing dan diarahkan oleh wahyu. Sungguh, al-Qur’an turun selaras dengan pendapat yang mereka usulkan. Hal demikian sebagaimana terjadi dalam beberapa peristiwa pada ‘Umar bin al-Khaththab  . 

‘Umar bin al-Khaththab   pernah mengusulkan agar tawanan perang Badar dipenggal, lalu al-Qur’an turun memberikan persetujuan. Ia berpendapat agar istri-istri Nabi Muhammad   berhijab, lalu al-Qur’an turun memberikan persetujuan. Ia berpendapat untuk menjadikan tempat Nabi Ibrahim   saat berdiri mendirikan Ka’bah sebagai tempat shalat, lalu al-Qur’an turun memberikan persetujuan. 

‘Umar bin al-Khaththab   berkata kepada istri-istri Nabi   pada waktu berkumpul dengan mereka sebab rasa cemburu di antara mereka kepada beliau  , “Apakah kalian akan menghentikan tindakan kalian atau Robbnya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kalian?”. Lalu al-Qu’ran turun bersesuaian dengan pendapat ‘Umar   tersebut. 

Alloh   berfirman:

“Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Robbnya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (QS. at-Tahrim [66]: 5) Ketika ‘Abdulloh bin Ubay bin Salul, gembong munfik wafat, Nabi Muhammad   berdiri hendak menyalatinya, lalu ‘Umar   menarik baju beliau agar tidak melakukannya seraya berkata, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ia seorang munafik!”. Lalu beliau tetap menyalatinya, maka Alloh   menurunkan firman-Nya  kepada beliau   yang berbunyi:

“Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Alloh dan Rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. at-Taubah [9]: 84)Demikianlah ilmu dan pemahaman para sahabat, mereka pantas menyandang gelar para ulama. 

Mujahid   berkata:

“Ulama adalah para sahabat Nabi Muhammad  .”

Perhatikanlah bagaimana para mufasir dari kalangan sahabat dan tabi’in menafsirkan dua ayat di bawah ini!

Alloh berfirman  :  

“Dan orang-orang yang diberi ilmu yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Robb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’ [34]: 6)Qatadah   berkata:

“Mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad  .”

Alloh   berfirman:

“Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. al-Baqarah [2]:121)

Ibnu ‘Abbas   berkata:

( يَتَّبِعُوْنَهُ حَقَّ اتِّبَاعَهُ، يُحِلُّوْنَ حَلاَلَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ حَرَامَهُ وَلاَ يُحَرِّفُوْنَهُ عَنْ مَوَاضِعِهِ )

“Mereka mengikuti al-Kitab dengan sebenar-benarnya, menghalalkan apa yang dihalalkannya, mengharamkan apa yang diharamkannya, tidak merubah kata-kata dari makna yang sebenarnya.”

Qatadah   berkata:

( هَؤُلاَءِ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ آمَنُوْا بِكِتَابِ اللهِ فَصَدَّقُوْا بِهِ وَأَحَلُّوْا حَلاَلَهُ وَحَرَّمُوْا حَرَامَهُ وَعَمِلُوْا بِمَا فِيْهِ )

“Mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad   beriman dan membenarkan kitabulloh, mengghalalkan apa yang dihalalkannya, mengharamkan apa yang diharamkannya, beramal dengan apa yang ada di dalamnya.”

Ilmu yang bermanfat adalah ilmu yang diamalkan oleh pemiliknya. Beginilah keadaan para sahabat. Sebelum belajar al-Qur’an, keimanan telah menancap pada diri mereka. 

Saat satu surat turun kepada Nabi Muhammad  , mereka belajar dengan sungguh-sungguh perkara yang halal dan haram, perintah dan larangan. Mereka tunduk dan menaatinya, kemudian mereka menerapkan dan melaksanakan dalam kehidupan mereka. Sementara muncul orang-orang dari generasi berikutnya, mereka belajar al-Qur’an mulai dari surat al-Fatihah hingga an-Nas sebelum datang keimanan. Sehingga mereka tidak mengetahui perkara halal dan haram, perintah dan larangan. Mereka tidak tunduk dan patuh, bahkan mereka membaca tanpa memahaminya. 

Keilmuan dan pemahaman mereka luar biasa. Ilmu mereka valid dan otentik. Keadaan mereka dalam menuntut ilmu seperti orang-orang yang mendatangi sumber air yang jernih lagi bening. Para sahabat mengambil ilmu dari sumber kenabian. Silsilah sanad mereka tidak diragukan kebenarannya. Sebab, sanad mereka dalam berbagai disiplin ilmu dari Nabi Muhammad   dan beliau   meriwayatkan dari Malaikat Jibril   secara langsung dengan sanad yang shahih lagi terpercaya. 

Di samping itu akal mereka cerdas dan cemerlang, lisan mereka berbahasa Arab dengan sangat lancar dan fasih bagaikan air yang mengalir. Maksud dan makna yang benar ketika memahami al-Qur’an dan as-Sunnah tertancap dalam fithrah dan akal mereka yang bersih. Mereka tidak membutuhkan kaidah-kaidah ushul, baik ushul fiqih atau uhsul tafsir, atau kaidah bahasa. 

Saat mereka membahas agama, kita mendapatkan pada mereka dua perkara; yaitu: Pertama, Alloh   berfirman begini dan Rosululloh   bersabda begini; dan Kedua, maknanya adalah seperti ini. 

Dan para sahabat   adalah umat yang paling bahagia karena memperoleh kedua hal tersebut.

Walaupun para ulama “sedikit” berbeda pendapat dalam menentukan pembagian atau stratifikasi para shahabat. Namun mereka bersepakat dan berkeyakinan kuat, bahwa sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib  , yaitu al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah. 

Setelah itu adalah sahabat-sahabat yang termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga secara tegas, kemudian kaum Muhajirin, setelah itu adalah kaum Anshar dan kemudian para sahabat lainnya.

Di antara ulama, ada yang membagi para sahabat menjadi lima tingkatan, ada yang membagi menjadi dua belas tingkatan dan ada pula yang membaginya lebih dari dua belas tingkatan. 

Namun yang populer adalah klasifikasi dan stratifikasi yang dikemukakan oleh Imam al-Hakim  , yang membaginya menjadi dua belas tingkatan, yaitu: 

  1. Sahabat yang mula-mula masuk Islam ketika di Mekkah, seperti empat khalifah (al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah).
  2. Sahabat yang masuk Islam sebelum terjadinya musyawarah penduduk Mekkah di Darun Nadwah.
  3. Sahabat yang berhijrah ke Habasyah.
  4. Sahabat yang mengikuti bai’at al-‘Aqabah al-‘Ūlā (pertama).
  5. Sahabat yang mengikuti bai’at al-‘Aqabah ats-Tsāniyah (kedua), dimana mayoritas mereka adalah kaum Anshar.
  6. Sahabat yang berhijrah yang mula-mula bertemu dengan Nabi   di Quba’ sebelum beliau memasuki Madinah.
  7. Sahabat yang ikut serta dalam perang Badar.
  8. Sahabat yang berhijrah di antara perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.
  9. Sahabat yang mengikuti ba’iat ar-Ridwan di Hudaibiyah.
  10. Sahabat yang berhijrah di antara Hudaibiyah dan Fathu Mekkah atau penaklukan kota Mekkah, seperti Khalid bin al-Walid   dan ‘Amr bin al-‘Ash
  11. Sahabat yang masuk Islam saat Fathu Makkkah.
  12. Sahabat anak-anak (kecil) yang menyaksikan Nabi   saat Fathu Makkah, haji wadā’ dan berbagai kesempatan lainnya.

Dari klasifikasi dan stratifikasi tersebut serta berdasarkan kajian riwayat, sangat jelas dipahami bahwa al-khulafā’ al-rāsyidīn al-arba’ah termasuk sahabat yang utama dan terbaik.