Mengapa Islam dikatakan sebagai agama yang komprehensif brainly

Ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin sebenarnya bu­kan hal baru, basisnya sudah kuat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara etimologis, Islam berarti “damai”, se­dangkan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam”. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil’alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidu­pan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.

Rahmatan lil’alamin adalah istilah qur’ani dan istilah itu sudah terdapat dalam Al-Qur’an , yaitu sebagaimana fir­man Allah dalam Surat al-Anbiya’ ayat 107: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan liralamin)”.

Ayat tersebut menegaskan bahwa kalau Islam dilaku­kan secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, baik itu untuk orang Islam maupun untuk selu­ruh alam. Rahmat adalah karunia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua ; rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rah­man adalah bersifat amma kulla syak, meliputi segala hal, sehingga orang-orang nonmuslim pun mempunyai hak kerahmanan.

Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberi­kan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khoshshun lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim Allah akan turun semuanya. Dengan de­mikian berlaku hukum sunnatullah, baik muslim maupun non-muslim kalau mereka melakukan hal-hal yang diperlu­kan oleh kerahmanan, maka mereka akan mendapatkanya. Kendatipun mereka orang Islam, tetapi tidak melakukan ikhtiar kerahmanan, maka mereka tidak akan mendapat­kan hasilnya. Dengan kata lain, kurnia rahman ini berlaku hukum kompetitif. Misalnya, orang Islam yang tidak melakukan kegiatan ekonomi, maka mereka tidak bisa dan tak akan menjadi makmur. Sementara orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah non-muslim, maka mereka akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Karena dalam hal ini mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang ber­laku universal (amma kulla syak).

Sedangkan hak atas syurga ada pada sifat rahimnya Allah Swt, maka yang mendapat kerahiman ini adalah orang mukminin. Dengan demikian, dapat ditarik kesim­pulan bahwa rahmatan lil’alamin adalah bersatunya karunia Allah yang terlingkup di dalam kerahiman dan kerahmanan Allah.

Dalam konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-muslim memeluk agama Islam (Laa Ikrooha Fiddiin). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.

Namun dalam konteks kehidupan sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya se­cara detail dan komprehensif tergantung pada kesepaka­tan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.

Entitas Islam sebagai rahmat lil’alamin mengakui ek­sistensi pluralitas, karena Islam memandang pluralitas seba­gai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kema­juan umat manusia.

Pluralitas, sebagai sunnatullah telah banyak diabadi­kan dalam al-Qur’an, di antaranya firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 22 yang maknanya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikan itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang meng­etahui”. 

Juga firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang maknanya: “Hai manusia, sungguh kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara ka­lian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat-ayat tersebut menempatkan kemajemukan sosial sebagai syarat diterminan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.

Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain surat Al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya:

“Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu men­dapat rahmat”.

Benang merah yang bisa kita tarik dari perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks ini, Alm KH. Hasyim Muzadi mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwwah).

Pertama, Ukhuwwah Islamiyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Is­lam), baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kedua, Ukhuwwah wathaniyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, Ukhuwwah basyariyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan.

Ketiga macam ukhuwwah ini harus diwujudkan se­cara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan, sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan Lil ‘alamin akan terealisasi.

Ukhu­wwah Islamiyah dan ukhuwwah wathaniyah merupakan landasan bagi terwujudnya ukhuwwah insaniyah. Baik seba­gai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus mem­perhatikan secara serius, seksama, dan penuh kejernihan terhadap ukhuwwah Islamiyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwwah ini. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwwah dan memuliakan mereka dalam arti hubungan sosial yang baik. 

Rasulullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah, beliau menjamin kepada setiap orang, termasuk musuh yang di­taklukkannya, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja- gereja dan sinagog-sinagog boleh menyelenggarakan perib­adatan tanpa harus ketakutan.

Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya dan agama dapat dicapai dengan baik. Selama lebih 12 tahun di Makkah, perjuangan beliau penuh resiko, bahkan nyawa beliau terancam. Beliau meminta pada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum muslimin, karena waktu itu kekuatan Islam masih lemah, pada tahun ke-12 masa kenabian, be­liau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode Madinah ini pun, beliau tetap konsisten mengguna­kan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama dan kebeba­san dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan sebutan Piagam 

Hal tersebut terkandung maksud bahwa kendatipun terjadi perang, maka motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi motifnya adalah dakwah. Karena itu perang tidak bersifat ofensif tetapi defensif, yaitu semata-mata sebagai jalan (wasilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh eksplosif, tidak boleh destruktif dan harus tetap meng­hargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orangtua, dan tidak boleh meng­hancurkan linkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat Rasulullah Saw yang disampaikan kepada pasukan sahabat Rasul pada saat Perang Mu’tah dan Fath Makkah.

Islam sebagai agama yang komprehensif, secara menyeluruh dapat memandu segala lini dan bentuk kehidupan. Melalui kitab suci Al-Qur’an, Islam menjadi agama yang memandu umat dan pengikutnya secara aktual dalam mengadaptasi pada segala masa dan zaman. Al-Qura’an juga sebagai pembawa pesan hidup dan perdamaian untuk seluruh umat manusia, terlepas dari latar perbedaan warna kulit, kesukuan, ras, dan agama itu sendiri. Al-Qur’an memuat petunjuk dan tata aturan kehidupan yang komplek.

Islam dan Kedamaian Merupakan Kombinasi Sepaket

Sebagai pembawa pesan kedamaian, seyogyanya penganut dan pengikut ajaran Islam menjadi pembawa pesan kedamaian Al-Qur’an untuk seluruh umat. Dalam hal ini, umat Islam yang mengimani Al-Qur’an merepresentasikan diri dan membentuk diri sesuai dengan ajaran kitab suci Al-Qur’an, terlepas dari perbedaan mahzab-mahzab. Umat Islam ikut berperan dan bertanggung jawab atas pandangan persepsi yang terbentuk dari umat lain dalam memandang Islam sebagai agama yang rahmatan ‘lil alamin.

Mengapa Islam dikatakan sebagai agama yang komprehensif brainly

Melawan Intoleransi dengan Kasih Sayang

Merepresentasikan kasih sayang perlu diperjelas dengan tindakan. Dalam lingkup makna ini, saling mengasihi, saling menghargai, dan toleran adalah lebih dari cukup apabila dalam ranah makna berhubungan dengan sesama manusia, terlepas dari latar perbedaan warna kulit, kesukuan, ras, dan agama. Konsep habluminannas ini juga tertuang dalam Al-Qur’an. Setiap pandangan menghasilkan sintesa dan antitesa yang pembentukan sudut pandang tersebut terlahir dari masing-masing insan. Islam berdiri sebagai agama pembawa pesan damai, namun dalam implementasinya terkadang berbeda, tergantung kembali kepada karakter dan habit individu sebagai penerus pesan yang menerima ilmu dari Al-Qur’an. Maka dari itu, diperlukan kesepadanan dalam memahami Al-Qur’an sebagai panduan hidup umat Islam. Sehingga, core dari pesan perdamaian yang terkandung dapat dipahami dan diteruskan melalui implementasi dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Mulai Ramadhan ini, hingga selepas bulan suci, bahkan hingga akhir hayat, nawaitu-lah dalam belajar Al-Qur’an. Sehingga kita menjadi salah satu insan pembawa pesan perdamaian tersebut.