Laki-laki atau perempuan yang tidak boleh haram dinikahi disebut

ilustrasi menolak jabat tangan. ©2017 Merdeka.com

SUMUT | 25 Maret 2021 16:19 Reporter : Fardi Rizal

Merdeka.com - Kata muhrim sering dipakai saat menyinggung soal laki-laki yang tidak diperbolehkan untuk menyentuh langsung bagian tubuh yang ada pada wanita. Sering juga kita mendengar kata muhrim sebagai pasangan yang belum menikah secara sah dalam islam.

“Jangan sentuh saya, kita bukan muhrim. Dosa!”

“Laki dan perempuan dilarang jalan berdua saja jika bukan muhrim, karena yang ketiga adalah setan"

Kalimat-kalimat di atas adalah beberapa contoh penggunaan kata muhrim yang sering kita jumpai atau dengar di kalangan masyarakat. Sebagian besar kita pun meyakini hal itu.

Apakah muhrim yang sebenarnya seperti? Apakah pengertian muhrim dalam islam? Apakah benar laki-laki dan wanita dikatakan muhrim apabila telah menikah? Simak penjelasannya.

2 dari 5 halaman

©2016 Merdeka.com

Terjadi kekeliruan mengenai makna muhrim yang kita yakini selama ini. Bahkan arti sebenarnya sangat jauh berbeda. Mungkin sebagian besar dari kita meyakini bahwa muhrim adalah orang yang haram dinikahi karena beberapa hal tertentu. Akan tetapi semua itu salah.

Muhrim dalam arti sebenarnya bukanlah bermakna seperti itu. Muhrim adalah sebutan untuk orang yang melakukan ihram. Ketika jemaah haji atau umrah telah memasuki daerah Miqat, kemudian seseorang mengenakan pakaian ihramnya, serta menghindari semua larangan ihram, maka orang itu adalah disebut muhrim.

3 dari 5 halaman

Menurut bahasa, orang yang haram dinikahi oleh sebab tertentu, bukanlah muhrim, melainkan mahram. Dalam bahasa Arab, perbedaan harakat dapat memengaruhi suatu makna kalimat atau kata. Perlu diingat bahwa mungkin ini beda tipis secara tulisan, akan tetapi maknanya jauh berbeda. Dengan kata lain, mahram memiliki makna yang sama seperti muhrim yang kita yakini selama ini.

Pengertian dan golongan wanita yang haram dinikahi telah disebutkan dengan jelas dalam Al qur’an terutama dalam surat An Nisa ayat 23 dan ayat 24. Wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat berikut ini hukumnya haram untuk dinikahi.

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dandiharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa’:23)

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’:24).

4 dari 5 halaman

Mahram muabbad adalah orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya. Ada tiga kelompok mahram mu'abbad menurut fiqih, yaitu karena adanya hubungan nasab/kekerabatan, adanya hubungan pernikahan, dan hubungan persusuan.

Orang-orang yang tidak boleh dinikahi seorang laki-laki karena ada hubungan kekerabatan di antaranya yakni ibu, nenek dan seterusnya ke atas, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan.

Perempuan-perempuan yang menjadi mahram bagi laki-laki untuk selamanya sebab ada hubungan pernikahan antara lain adalah ibu tiri, atau perempuan yang telah dinikahi oleh ayah, menantu, mertua dan anak dari istri yang telah digauli.

Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu yang diminumnya tersebut nantinya akan menjadi darah dan daging dalam tubuhnya sehingga perempuan tersebut sudah hampir sama seperti ibunya sendiri. Perempuan itu sendiri dapat menyusui karena kehamilan dari hubungannya dengan suaminya, maka anak yang menyusu kepadanya juga terhubung dengan suaminya layaknya seorang anak terhubung kepada ayah kandungnya.

Selanjutnya keharaman-keharaman melakukan perkawinan berlaku sebagaimana hubungan nasab. Para ulama berpendapat bahwa hubungan persusuan dapat timbul setelah 5 kali persusuan dan usia anak tidak lebih dari dua tahun.

5 dari 5 halaman

Mahram Ghairu Muabbad adalah orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk waktu tertentu atau sementara dikarenakan hal tertentu. Bila hal yang menghalangi tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi.

Wanita yang termasuk dalam Mahram Ghairu Muabbad antara lain wanita yang haram dinikahi karena hubungan persaudaraan dalam pernikahan, wanita yang akan menjadi istri kelima, wanita yang sudah menikah dengan pria lain, wanita yang berada dalam masa iddah setelah proses talak, wanita yang telah ditalak tiga, wanita pezina, dan wanita yang berbeda agama disepakati oleh para ulama.

(mdk/frd)

AKURAT.CO, Manusia diciptakan Allah Swt sebagai makhluk yang memiliki hasrat dan kebutuhan yang harus dipenuhi yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Untuk memenuhi dua kebutuhan itu, agama Islam telah memberikan jalan yang diridhai Allah Swt dan bertujuan untuk menjaga harkat, martabat serta kehormatan sebagai manusia.

Caranya adalah dengan melaksanakan pernikahan antara laki-laki dan perempuan.

Pernikahan adalah salah satu sunah Rasulullah saw juga sebagai jalan untuk menyempurnakan agama seseorang. Tidak hanya itu, pernikahan merupakan fase suci yang di dalamnya terdapat akad (ijab dan kabul) sehingga menyebabkan bolehnya mengambil kenikmatan jasmani dan rohani antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) menurut syariat.

Untuk melaksanakan suatu pernikahan, seseorang harus paham siapa saja laki-laki atau perempuan yang dibolehkan untuk menikah dan yang diharamkan untuk menikah.

Bagi perempuan yang haram untuk dinikahi oleh seorang laki-laki karena suatu sebab tertentu disebut mahram. Haramnya perempuan untuk dinikahi tersebut digolongkan menjadi dua macam mahram. Pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu).

Hurmah mu’abbadah terjadi karena sebab hubungan kekerabatan, hubungan permantuan (mushaharah) dan hubungan sepersusuan. Di dalam Al-Qur'an Allah Swt berfirman:

ISTIMEWA


Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 23).

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan berlaku sebaliknya, yaitu haram bagi mereka menikahi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, dan seterusnya.

Secara lebih rinci, mereka yang haram dinikahi disebabkan karena sepersusuan ada 7 macam yaitu, ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, saudara susuan ayah, saudara susuan ibu, dan anak perempuan susuan (yang menyusu pada istri).

Sedangkan perempuan yang haram dinikahi karena hubungan permantuan ada 4 macam yaitu istrinya ayah, istrinya anak laki-laki, ibunya istri (mertua), dan anak perempuannya istri (anak tiri).

Demikianlah aturan menikah dalam agama Islam demi kebaikan umatnya. Jika hubungan darah yang menyebabkan haramnya menikah dilanggar, dikhawatirkan akan menyebabkan sesuatu hal yang lebih berat (madharat) di kemudian hari.

Wallahu a'lam.[]

Oleh : Abdul Rachman, M.H.I (Penghulu KUA Kec. Lubuklinggau Utara II Kota Lubuklinggau)

Isteri bukan mahram? Sepintas kita merasa bingung dengan kata-kata ini, masa sih isteri bukan mahram. Jika isteri bukan mahram, maka konsekuensinya kita tidak boleh berdua-duaan dong dengan isteri? Padahal jelas isteri kita sah-sah saja digauli, dicumbu, bahkan disetubuhi. Lho wong namanya isteri berarti sudah kita nikahi? Begitulah kira-kira ungkapan yang ada dibenak kita.

Namun sebenarnya ungkapan bahwa isteri kita bukan mahram, mungkin perlu diperjelas maksud dan pengertiannya. Mengingat istilah mahram yang digunakan dalam hubungan suami isteri berbeda hukumnya dengan istilah mahram sebagaimana umumnya.

Mahram itu pada dasarnya bermakna wanita yang haram untuk dinikahi untuk selamanya. Misalnya ibu, nenek, saudara kandung, bibi, keponakan dan seterusnya. Sebagaimana wanita yang haram dinikahi, maka ada kebolehan untuk terlihat sebagian aurat, juga ada kebolehan untuk berduaan, sentuhan kulit dan seterusnya.

Sedangkan istilah 'bukan mahram' bermakna wanita yang boleh dinikahi. Namun selama belum dinikahi, ada larangan-larangan, yaitu tidak boleh berduaan, bersentuhan kulit dan lainnya. Kalau sudah dinikahi, maka semua larangan itu menjadi tidak berlaku. Dan biasanya, istilah bukan mahram sudah tidak berlaku lagi.

Sepertinya penjelasan singkat di atas sudah jelas ataukah masih bingung dalam membedakan status mahramnya isteri? Kalau masih merasa bingung juga, saya akan coba jelaskan lagi dengan versi sebuah cerita yang dituturkan oleh seorang ustadz yang ditanya oleh salah satu jama’ahnya selepas pengajian yang membahas seputar mahram.

Sambil memakai sepatu di serambi masjid seusai pengajian, laki-laki setengah baya itu duduk di samping saya seraya menyapa dengan santun. “Mohon maaf Ustadz, afwan mau tanya, soalnya tadi tidak sempat bertanya waktu pengajian berlangsung”, begitu dia mengawali pertanyaannya.

“Ya, silahkan”, jawab saya sambil sibuk memakai sepatu juga.

“Begini ustadz, dari penjelasan ustadz di pengajian tadi, terus terang saya agak bingung. Yang bikin saya bingung adalah pernyataan ustadz bahwa isteri kita itu ternyata bukan mahram kita, ya?”, katanya.

“Ya, benar sekali”, jawab saya balik mantab.

“Nah, pernyataan ustadz itu yang bikin saya bingung ustadz. Kalau dikatakan bahwa isteri itu bukan marham, kenapa kita boleh berdua-duaan dengan isteri? Kan bukan mahram? Bukankah wanita yang bukan mahram itu tidak boleh diajak berdua-duaan?”, tanyanya penasaran.

Saya bilang, “Wah, sebenarnya di awal pengajian tadi saya sudah jelaskan masalah ini. Barangkali Anda agak terlambat sehingga tidak kebagian penjelasannya”.

“Iya, mohon maaf sekali ustadz, tadi saya memang terlambat datang ke masjid. Jadi mohon khusus buat saya dijelaskan sekali lagi”, katanya memohon.

“Jadi begini sebenarnya, istilah mahram itu pada dasarnya adalah status hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diharamkan terjadinya pernikahan antara keduanya. Misalnya, Anda ini tidak boleh menikahi ibunda sendiri, sebab antara Anda dan ibunda Anda itu hubungannya mahram. Artinya haram terjadi pernikahan”, tutur saya sambil menatap wajah laki-laki itu.

“Begitu juga Anda haram menikahi anak perempuan Anda sendiri, termasuk juga saudari perempuan Anda sendiri. Sebab Anda punya hubungan kemahraman dengan keduanya”, sambung saya.

“Oh, begitu ya”, dia menimpali dengan serius.

“Nah, sekarang saya bertanya, kira-kira isteri Anda itu mahram apa bukan dengan Anda?, tanya saya.

“Hmm, ya mahram lah. Ya kan Ustadz?”, jawabnya agak ragu.

“Coba pikirkan baik-baik, mahram adalah wanita yang haram untuk dinikahi, bukan?”, tanya saya lagi.

“Iya, iya ustadz.”, jawabnya.

“Nah, isteri Anda itu haram dinikahi apa tidak?”, tanya saya lagi menegaskan.

“Wah, haram nggak ya, ustadz?”, jawabnya sambil memiring-miringkan kepala sambil senyum-senyum rada bingung.

“Lho kok malah bertanya ke saya. Pernikahan Anda dengan isteri Anda itu sah apa tidak sah?", pancing saya.

“Ya tentu sah dong ustadz, masak tidak sah sih?”, jawabnya mulai mantap dan tegas.

“Kalau sah, berarti halal apa tidak?”, pancing saya lagi.

“Ya, halal dong, ustadz”, jawabnya sambil tersenyum penuh.

“Nah, berarti Anda itu halal apa haram menikahi isteri Anda?”, tanya saya sekali lagi.

“Halaaaal!!”, jawabnya mantab

“Ya sudah, berarti 'Anda paham ya bahwa isteri Anda itu ternyata bukan mahram Anda. Betul tidak?,” tantang saya.

“Hmm, iya juga sih. Eee, tapi masak sih isteri saya bukan mahram saya? Kalau bukan mahram saya, berarti saya tidak boleh dong berduaan dengan isteri saya?”, jawabnya kembali ragu.

“Siapa bilang tidak boleh, ya boleh, halal dan sah 100 persen. Isteri Anda itu halal bagi Anda. Mau disentuh, mau dicium, mau dipeluk, mau diapain aja ya halal-halal saja. Tetapi asal tahu saja bahwa isteri Anda itu bukan mahram Anda. Sebab kalau mahram malah tidak boleh digauli, bukan? Masak Anda menggauli ibu Anda sendiri, kan haram hukumnya”, jawab saya.

“Oooh, gitu ya ustadz”, jawabnya.

“Anda harus bisa bedakan istilah mahram dengan isteri. Isteri itu isteri dan tentu saja bukan mahram, artinya bukan wanita yang haram dinikahi. Isteri itu halal untuk dinikahi, maka halal hukumnya untuk digauli, dicumbu, bahkan disetubuhi.”, kata saya sambil mengambil nafas.

“Sedangkan ibu, saudari atau anak perempuan Anda itu mahram, tidak boleh dinikahi, tidak boleh digauli, tidak boleh dicumbu apalagi disetubuhi. Itu haram hukumnya. Tetapi boleh berduaan, bersentuhan kulit, termasuk bepergian dengan ibu, saudari atau anak perempuan anda sendiri. Jelaskan bedanya?”, tanya saya mengakhiri kalimat.

“Iya, jelas sekali ustadz. Sekarang baru jelas bahwa arti mahram itu adalah wanita yang tidak boleh dinikahi. Isteri saya adalah wanita yang saya nikahi, berarti isteri saya memang bukan mahram saya. Dan saya juga bukan mahramnya isteri saya. Wah, iya ya benar juga. Selama ini saya pikir mahram tidak seperti itu”.

"Assalamu ‘alaikum", sapa saya sambil mengajak bersalaman.

"Wa 'alaikumussalam", jawabnya sambil menjabat tangan saya.

Kalau mencermati isi cerita di atas mengkin para pembaca sudah merasa jelas apakah isteri kita mahram atau bukan? Dan tentunya sudah merasa tidak penasaran lagi karena saya yakin sudah tahu jawaban yang sebenarnya..

Mudah-mudahan dengan penjelasan singkat di atas dan ditambah dengan penjelasan versi sebuah cerita tidak merasa bingung lagi dalam membedakan status mahramnya isteri. Wallahu a'lam bishshawab.

Editor: Amrullah, S.Ag., M.M

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA