Jelaskan status mukmin dan kafir menurut Ahlussunnah wal Jamaah

Pengaruh DOSA BESAR terhadap Iman

Dengan matan ini Abu Ja’farath-Thahawiy menegaskan bahwa akidah yang diyakininya mengenai pengaruh dosa besar terhadap iman bukan akidah Khawarij atau Mu’tazilah dan bukan pula akidah Murji’ah. Akidah beliau adalah akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Bahwa dosa-dosa besar dapat mengabrasi keimanan seseorang sehingga tak tersisa dari iman itu kecuali sebesar dan seberat biji sawi. Bahkan bisa jadi dosa-dosa itu membuat seseorang kehilangan imannya sama sekali. Dosa-dosa yang dimaksud terakhir ini adalah syirik akbar dan kufur akbar. Allah berfirman,

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi), yang sebelummu, jika kamu berbuat syirik (akbar), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar: 65)

 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kafir (lagi), kemudian bertambahlah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa: 137)

Akidah Khawarij-Mu’tazilah

Khawarij meyakini, seorang muslim yang melakukan dosa besar, meskipun tidak meyakini kehalalan dosa besar itu, ia bukanlah muslim lagi. Kelak di akhirat akan tinggal di neraka selama-lamanya.

Sedikit berbeda dengan Khawarij, menurut keyakinan Mu’tazilah, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar, meskipun ia tidak meyakini kehalalannya, ia bukan lagi seorang mukmin. Mereka menyebut orang yang melakukan dosa besar ini sebagai orang fasik, berbeda diantara dua kedudukan, al manzilah baynal manzilatayn. Orang yang seperti ini, kelak diakhirat akan tinggal kekal di neraka selama-lamanya.

Baik Khawarij maupun Mu’tazilah memahami nash-nash “ancaman” secara berlebihan sehingga mengesampingkan nash-nash “kabar gembira”. Nash-nash ancaman itu antara lain:

 “Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi.” (QS. Hud: 106-107)

 “Adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.” (QS. Al-Qari’ah: 6-9)

Akidah Murji’ah

 Menurut Murji’ah, jika seseorang telah memiliki keyakinan tentang islam-iman di dalam hati, tidak mengapa ia melakukan berbagai perbuatan dosa. Tidak ada pengaruh dosa terhadap iman. Mereka mengeluarkan amal dari hakikat iman. Mereka mengeluarkan amal dari hakikat iman. Mereka juga tidak mengafirkan ahli kiblat sama selaki. Mereka menegasikan takfir sama sekali, kecuali orang-orang yang tidak mengaku muslim. Padahal di antara ahli kiblat ada orang-orang munafik dan oramg-orang yang kafirnya lebih parah daripada Yahudi dan Nasrani; kafir terhadap al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijmak. Murji’ah seperti halnya firqah-firqah yang lain bertingkat-tingkat.

Kesesatan Murji’ah bermula dari cara mereka memahami nash-nash “kabar gembira” secara berlebihan sehingga mengesampingkan nash-nash “ancaman”. Nash-nash kabar gembira itu antara lain:

 “Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa.” (QS. Az-Zumar: 39)

Rasulullah bersabda, “ Akan dipanggil seorang laki-laki dari umat ini pada hari kiamat didepan khalayak, kemudian bukakan baginya sembilan puluh sembilan lembaran catatan amal, yang mana setiap lembaran panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mengingkari apa yang ada padanya?’ Laki-laki tadi menjawab, ‘Tidak wahai Rabb-ku.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apakah para pencatatku yang senantiasa mengawasi menzhalimimu?’ Dia menjawab, ‘Tidak’. Kemudian Allah berkata, ‘Apakah kamu memiliki alasan? Apakah kamu memiliki kebaikan?’ Orang tadi merasa malu dan mengatakan, ‘Tidak.’ Allah berkata, ‘Sesungguhnya kamu memiliki kebaikan di sisi kami, dan tidak ada kezhaliman untukmu pada hari ini.’ Kemudian dikeluarkan untuknya sehelai bithaqah (kertas) yang tertulis padanya kalimat syahadatain. Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rabb-ku, apa artinya bithaqah ini dibandingkan dengan lembaran-lembaran itu?’

Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka lembaran-lembaran catatan amal tersebut diletakkan pada satu sisi neraca dan bithaqah pada sisi neraca yang satunya, maka terangkatlah (yakni lebih ringan) neraca yang berisi lembaran-lembaran tersebut dan turunlah (lebih berat) neraca yang berisi bithaqah.’ (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

 Akidah Ahlussunnah

Sedangkan menurut Ahlussunnah, orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar selain syirik akbar dan kufur akbar, tidak menjadi kafir kecuali jika ia menghalalkannya. Jika ia meninggal dunia sebelum bertaubat, maka statusnya diakhirat kelak adalah “tahtal masyi’ah”. Jika Allah menghendaki, ia dapat memperoleh ampunan, namun jika tidak, ia akan disiksa terlebih dahulu dineraka, lalu setelah bersih, ia akan dimasukkan ke dalam suraga. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisa: 48 dan 116)

Rasulullah saw bersabda, “… lalu Allah mengambil dari neraka dan mengeluarkan dari sana sekelompok orang yang sama sekali tidak pernah beramal baik. (saat itu) mereka telah menjadi orang hitam. Mereka dilempar kesebuah sungai dekat mulut surga, yang disebut sungai kehidupan. Kemudian mereka keluar seperti tumbuhan kecil keluar dari lumpur banjir…” (Penggalan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim)

 Kedudukan Shalat

 Selain menerangkan perbedaan akidah Ahlussunnah dengan Khawarij-Mu’tazilah-Murji’ah, matan ini juga memuat satu prinsip besar. Bahwa shalat adalah parameter keimanan seseorang. Barang siapa yang menghadap kiblat -mengerjakan shalat maksudnya- maka ia adalah seorang muslim. Sebaliknya, barang siapa yang tidak menghadapnya –tidak mengerjakan shalat sama sekali- maka ia bukanlah seorang muslim.

Rasulullah saw bersabda, “Batas antara seorang hamba dengan kemusyrikan –dalam riwayat lain: kekafiran- adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan bahwa para sahabat telah berijmak, orang yang meninggalkan shalat bukanlah seorang muslim.

 Dahulukan Husnuzhan

Matan ke-66 ini diperbincangkan oleh sebagian ulama. Jika dipahami sekilas pandang, ungkapan “kita tidak memvonis kafir seorang ahli kiblat lantaran suatu dosa selama ia tidak menghalalkannya” menimbulkan kesalahpahaman. Seseorang bisa berprasangka, Abu Jakfar ath-Thahawiy adalah seorang Murji’ah. Padahal sebenarnya beliau sedang mengantitesa pendapat Khawarij yang menyatakan kafirnya orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar. Catatan “selama tidak menghalalkannya” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah dosa-dosa amal, bukan dosa i’tiqad. Kebanyakan dosa-dosa amal tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam kecuali jika disertai dengan meyakini kehalalannya.

Ada perbedaan antara ungkapan “kita tidak mengafirkan seseorang dengan suatu dosa” dengan ungkapan “kita tidak mengafirkan seseorang dengan setiap dosa” dan dengan ungkapan “kita tidak mengafirkan ahli kiblat dengan suatu dosa”. Ungkapan yang lebih tepat, “kita tidak mengafirkan seseorang dari ahli kiblat dengan setiap dosa” sehingga memberi pengertian, ada dosa mukaffir (membuat kafir pelakunya) dan ada yang bukan mukaffir.

Kiranya Abu Jakfar ath-Thahawiy menegasikan takfir ‘am untuk setiap dosa perbuatan, bukan dosa i’tiqad. Indikasinya, beliau menggunakan kalimat “selama tidak menghalalkannya”. Sebab dosa i’tiqad, jika dilakukan (baca:diyakini), pastilah seseorang meyakini kehalalannya. Meyakini sesuatu pasti meyakini penegasian kebalikannya.

Para pelaku dosa besar seperti orang yang durhaka kepada orang tua, orang yang mencuri, orang yang berzina, orang yang meminum arak, orang yang berjudi, dan dosa-dosa besar yang lain tidaklah menjadi orang kafir lantaran  melakukan berbagai perbuatan itu, kecuali jika meyakini kehalalan/kebolehannya.

Masalah ini sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Safar al-Hawali adalah masalah yang sejak dahulu banyak sekalinorang-orang yang tergelincir didalamnya. Sebagaimana banyak orang yang menganggap benar orang yang menyimpang jauh dari agama Allah, banyak pula yang mengafirkan para ulama dan menganggap sesat orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berpegang kepada syariat. Wallahul Musta’an

Kosakata: Dosa i’tiqad=keyakinan. Takfir’am=mengkafirkan secara umum. Tahtal masyiah=dibawah kehendak Allah, artinya kehendak untuk mengampuni atau mengadzab.