Jelaskan apakah yang dilakukan indonesia menghadapi kasus natuna

Jelaskan apakah yang dilakukan indonesia menghadapi kasus natuna
Presiden Joko Widodo mengunjungi Natuna pada awal 2020.

Rencana pemerintah mempercepat pembangunan pangkalan militer di wilayah Natuna, Kepulauan Riau, adalah kebijakan terburu-buru yang tidak tepat. Seharusnya pemerintah berfokus memperkuat kerja sama regional di Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk bersama-sama menjaga Laut Cina Selatan dari klaim tak berdasar negara mana pun. Hanya dengan cara itulah kita bisa menjaga zona ekonomi eksklusif dan kekayaan laut di sana.

Tak bisa dimungkiri, rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membangun pangkalan militer di perairan Natuna berkaitan erat dengan banyaknya kapal ikan dan penjaga pantai milik Cina yang belakangan rajin masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Namun beradu kekuatan militer dengan Tiongkok bukanlah strategi jitu untuk menyelesaikan masalah. Alih-alih menjadi solusi, pembangunan pangkalan militer malah bisa menjadi sumber masalah baru.

Jangan sampai urusan Natuna ini juga dieksploitasi segelintir kalangan untuk kepentingan mereka. Apalagi jika ujungnya hanya bagi-bagi proyek dengan dalih menjaga kedaulatan negara. Atau, malah untuk berdagang senjata yang komisinya besar.

Gagasan pembangunan pangkalan militer di wilayah Natuna sebenarnya bukan hal baru. Pada 2016, setelah kunjungan ke Natuna, Presiden Joko Widodo menginstruksikan TNI untuk menjaga kedaulatan dan menegaskan penegakan hukum. Salah satunya dengan pembangunan pangkalan militer. Dua tahun kemudian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meresmikan Satuan Pertahanan Terintegrasi di Natuna.

Pembangunan pangkalan militer di sana hanya akan memprovokasi Cina untuk masuk ke konflik yang lebih panas. Jauh lebih baik jika pemerintah Indonesia membangun upaya kolektif bersama negara-negara di kawasan ASEAN. Hampir semua negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam, saat ini menghadapi potensi konflik dengan Cina akibat klaim sepihak negara itu di Laut Cina Selatan.

Upaya kolektif semacam itu penting untuk mengingatkan bahwa dominasi dan hegemoni terhadap satu kawasan perairan tertentu bukanlah tujuan yang dikehendaki bersama. Apalagi, secara hukum, klaim Cina sudah ditolak dalam perkara gugatan Filipina di Mahkamah Internasional. Otomatis sebenarnya klaim Cina sudah gugur.

Selain itu, pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pengawasan dan koordinasi berbagai pemangku kepentingan. Badan Keamanan Laut, TNI, Polisi Air, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan harus menggagas patroli bersama untuk mengawal nelayan yang berlayar di Natuna.

Cara lain adalah menghidupkan kampung nelayan. Pemerintah harus memberi subsidi agar mereka tidak meninggalkan Natuna. Ingat, kita kalah oleh Malaysia dalam sengketa kepemilikan pulau di Sipadan dan Ligitan karena pulau itu tidak diurus. Hal ini jangan sampai terulang.

Dalam menghadapi ketegangan di Natuna, pemerintah harus rasional dan berkepala dingin. Tak perlu jemawa menantang perang, karena hasilnya belum tentu sesuai dengan harapan.

Catatan:

Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 15 Januari 2020

Oleh: Luqman Hakim

Abstrak:

Republik Rakyat Tiongkok mengklaim secara historis wilayah laut Natuna utara menjadi wilayahnya. Tak heran jika sering sekali kapal Republik Rakyat Tiongkok melakukan kegiatan ilegal di wilayah tersebut, padahal berdasarkan UNCLOS 1982 laut Natuna utara merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, persoalan tersebut menimbulkan sengketa yang tidak kunjung usai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas klaim dari Republik Rakyat Tiongkok. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian hukum dengan melihat hukum yang tertulis dalam perundang-undangan dan Penulis juga menggunakan teori dari ahli Hukum Internasional untuk menganalisa rumusan masalah dalam skripsi ini. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, upaya penyelesaian sengketa laut Natuna utara berdasarkan UNCLOS 1982 adalah dengan cara win win solution (Negosiasi, Pencarian Fakta, Mediasi, Konsiliasi) jika win win solution solution tidak tercapai maka dengan win lose solution (Arbitrase Internasional dan Pengadilan Internasional). Kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia adalah mengeluarkan UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan hingga melayangkan nota protes kepada Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 2020. Salah satu solusi dari ahli Hukum Internasional adalah memperbanyak nelayan dan petugas keamanan untuk eksploitasi dan penjagaan wilayah laut Natuna utara. Adapun kendala dihadapi Indonesia adalah jika reaksi Indonesia tidak tepat maka bisa merenggangkan hubungan diplomatik serta hubungan kerjasama perekonomian dengan Republik Rakyat Tiongkok.

Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa, Perairan Natuna, UNCLOS 1982

Konflik Natuna merupakan konflik antara Indonesia dan China mengenai pulau di Indonesia, yakni Kepulauan Natuna. Hal ini berawal ketika China mengambil ikan-ikan yang berada di Zona Ekonomi Eksklusif di Indonesia, dan didampingi Coast Guard China pada tahun 2016. Hal ini menyebabkan hubungan antara Indonesia dan China memanas hingga sekarang  (2021).

Pada awalnya, China dan Indonesia merupakan Negara yang bersahabat khususnya di bidang perekonomian. Tidak dapat dipungkiri, hampir 50% barang-barang yang kita gunakan berasal dari China. Seperti: Smartphone, TV, Laptop, obat-obatan, bahkan Vaksin Covid- 19 (Sinovac). Hal ini dapat dikatakan hubungan Indonesia dan China dalam perekonomian sangat erat dan sulit untuk dipisahkan. Bisa kita rangkum, ada 2 tahapan yang terjadi ketika konflik Natuna antara Indonesia dan China.

Tahapan Konflik Natuna Indonesia-China

Pertama (Integrasi),  China dan Indonesia merupakan sahabat dalam bidang ekonomi, Indonesia dan China bekerja sama dalam bidang ekspor maupun impor baik dari Indonesia ke China, maupun China ke Indonesia.  China menganggap Indonesia sebagai sahabat nya sendiri. Tidak hanya itu, China juga berinvestasi di Indonesia dalam bidang Infrastruktur di Indonesia; Pembangunan Infrastruktur di Indonesia;  Kerja sama mitigasi bencana alam; Pencegaan pengenaan pajak Ganda. Dengan adanya kesempatan dalam bidang ekonomi, dimana ke- 2 belah pihak salling diuntungkan. Terciptalah integrasi antara China dan Indonesia.

Kedua (Disintegrasi), konflik natuna terjadi karena kapal Coast Guard China memasuki perairan Natuna pada tanggal 19  hingga 24 Desember 2019. Dimana hal ini merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, dan China memasuki ZEE Indonesia tanpa izin dari Indonesia.

China bersikeras bahwa  Natuna adalah milik China, berdasarkan badan hukum laut intetnasional di bawah PBB (UNCLOS) pada tahun 1982 menyatakan bahwa Natuna merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Meski demikian, China  dengan sengaja menabrak kapal nelayan Indonesia dengan sengaja pada tahun 2019, dan  pada tahun 2021 China mulai memasuki perairan Natuna dengan kapal perang. Ditambah lagi terdapat  perlindungan dari Coast Guard China untuk mengambil Sumber Daya Alam di Natuna. Hal ini merupakan tahap Disintegrasi Sosial antara Indonesia dan China yang menganggu kegiatan nelayan di Natuna itu sendiri dan kedaulatan Indonesia.

Bagaimana Agar Konflik Natuna Bisa Diselesaikan?

Setiap konflik selalu ada penyelesaian, dan setiap penyelesaian diperlukan tahapan-tahapan agar bisa diselesaikan . Ada tiga tahapan yang harus dilakukan antara Indonesia dan China agar konflik Natuna ini tidak berlangsung secara terus-menerus. Antara lain; Melakukan Kebijakan: Code of Conduct dengan intervensi pihak Ke- 3 (ASEAN). Dan melakukan upaya Rekonsiliasi, Rehabilitasi, dan Rekonstruksi agar konflik Natuna ini bisa diselesaikan.

Pertama (Rekonsiliasi). Memanfaatkan hubungan antar kedua negara. Indonesia dan Chinadapat melakukan  keputusan bersama, yakni usaha penangkapan ikan bersama di perairan Natuna baik dari pemerintah Indonesia dan pemerintah China,dengan interaksi Mutualisme.

Keputusan bersama ini merupakan Code of Conduct yang harus dilakukan antara Indonesia dan China, supaya ke- 2 bela pihak bisa melakukan  perundingan secara damai. Jika keputusan antara Indonesia dan China berhasil,  Indonesia dapat mengajak negara lain yang  mengakui kedaulatan Indonesia untuk mengubah konflik menjadi keuntungan antara ke- 2 belah pihak. Sehingga dengan adanya manajemen ini, China dan Indonesia bisa berunding secara damai untuk mencapai reintegrasi yang sifatnya berkelanjutan.

Kedua (Rehabilitasi). Pihak yang paling terdampak adalah Indonesia, banyak Sumber Daya Alam di Natuna di rampas, bahkan di klaim oleh China. Oleh karena itu, diperlukan bantuan kekuatan TNI, Polri, Bakamla, beserta jajaranya untuk menjaga kedaulatan laut di Indonesia dengan cara:

1. Berjaga-jaga apabila China melanggar perundingan yang dibuat bersama.

2. Melaksanakan  pembatasan kegiatan masyarakat dan penutupan kawasan konflik untuk sementara waktu.

3. Melakukan upaya pembatasan masyarakat Natuna diluar rumah untuk periode waktu tertentu, khususnya warga di Natuna. Agar proses pemantauan dan penjagaan oleh aparat TNI, dan Polri, beserta jajaranya bisa berjalan dengan lancar.

4. Penyelamatan, evakuasi, identifikasi korban konflik khususnya para nelayan di Natuna, yang kegiatan nya diganggu oleh kapal China atau Coast Goard China.Dan untuk pihak China sendiri, China bisa mundur dari perairan Natuna dan tidak mengklaim lagi bahwa Natuna milik China, karena pada dasarnya sudah diatur dalam UNCLOS (1982) dibawah naungan PBB,  hal tersebut merupakan konsensus bersama berskala internasional, dan berjanji agar tidak melakukan hal-hal yang merugikan nelayan di Natuna maupun Indonesia. Sehingga ke- 2 belah pihak bisa saling diuntungkan dan konflik bisa terhenti.

Ketiga (Rekonstruksi). Indonesia dan China merupakan mitra sekaligus sahabat dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, China dan Indonesia bisa mengkaji ulang konsensus yang dibuat, agar upaya yang dilakukan untuk reintegrasi bisa terus berjalan. Adapun konsensus- konsensus yang harus di kaji ulang, yakni:

1. Kerja sama di bidang ekonomi. Kerja sama ini membahas komitmen-komitmen. Dengan cara berkomitmen untuk saling mendukung dan memajukan perkonomian antara China dan Indonesia. Salah satunya  pengusaha asal China  bisa berinvestasi di sektor-sektor penting di Indonesia. Contohnya:  wisata, teknologi, dan infrastruktur. Hal demikian bisa memberikan dampak positif bagi ke- 2 belah pihak yang didasarkan kepada keputusan bersama, dan konsensus-konsensus bersama secara internasional.

2. Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, China memiliki keunggulan di bidang transportasi. Karena, China berhasil menciptakan sebuah transportasi yakni: menciptakan kereta terbanyak, terpanjang, dan tercepat di dunia. Oleh karena itu, kerjasama dibidang infrastruktur juga bisa dilakukan agar kegiatan perekonomian di Indonesia bisa meningkat setelah infrastruktur di Indonesia itu sendiri merata.

3. Kerjasama Mitigasi Bencana Alam. Indonesia merupakan negara yang didominasi lautan.  China bisa membantu Indonesia dalam menangani masalah-masalah secara cepat dan tuntas di perairan, dan juga membantu  tugas Basarnas dan SAR Indonesia dalam mitigasi bencana.

4.  Pencegahan Pengenaan Pajak Ganda. Dalam mengekspor atau mengimpor barang di negara yang berbeda, tentu akan dikenakan pajak. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan bersama ini diharapkan tidak terjadi pembayaran pajak yang tinggi atau berulang.

5. Kerjasama di bidang farmasi. Selama pandemi Covid-19, Indonesia memerlukan bantuan negara lain untuk menangani pandemi. Dengan adanya China, Indonesia bisa menggunakan vaksin Sinovac kepada masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia bisa dengan mudah menyelesaikan masalah pandemi Covid- 19.

Sehingga, dengan adanya  konsensus yang telah dibuat ke- 2 belah pihak. Diharapkan bisa mempererat kembali rasa persahabatan  antara Indonesia dan China.