Hasil bumi yang dibentuk menggunung untuk dibagikan ke masyarakat pada acara Grebeg disebut

Koropak.co.id, 26 June 2022 12:21:51

Eris Kuswara

Koropak.co.id - Jawa Barat punya banyak permainan yang sarat manfaat dan selalu menghadirkan kebahagiaan bagi para pemainnya. Tak perlu barang mewah atau uang banyak untuk memainkannya. Selama ada lahan kosong, baik pekarangan rumah, lapang, atau sawah kering anak-anak bisa bebas bermain.

Selain bisa dijadikan sebagai media bersosialisasi, berbagai permainan yang jadi primadona anak-anak zaman dulu mampu mengasah kecerdasan motorik, melatih kerja sama tim, serta sebagai sarana hiburan hingga mampu menjaga kesehatan anak-anak. 

Kali ini kita akan membahas empat permainan tradisional khas Sunda yang mengandung ucing. Apa saja?

1. Ucing Sumput

Jika dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama petak umpet, lain halnya dengan bahasa Sunda. Suku Sunda mengenal permainan ini dengan sebutan 'Ucing Sumput' atau yang dalam bahasa Sunda berarti 'Kucing Sembunyi'.

Biasanya permainan ini dimainkan oleh minimal dua orang. Awalnya, para pemain akan melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi "kucing". Nantinya "kucing" tersebut bertugas mencari pemain lain yang bersembunyi.

Setelah ditentukan, pemain yang menjadi "kucing" akan berhitung sampai sepuluh sambil memejamkan mata dan menghadap tembok atau pohon. Selesai menghitung, "kucing" akan mencari para pemain yang bersembunyi. Jika berhasil menemukan pemain yang bersembunyi, selanjutnya dia harus segera menyentuh tembok sembari mengucapkan nama pemain yang ditemukan.

2. Ucing-ucingan

Permainan yang satu ini biasanya sering disebut juga 'Emeng-emengan'. Namun tak jarang ada pula yang menyebut permainan ini dengan sebutan 'Ucing Udag'. Permainan ini dimainkan lebih dari dua orang pemain.

Permainan akan diawali cingciripit, suit atau hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi kucing. Barulah setelah itu, pemain yang menjadi kucing akan berlari mengejar dan menyentuh badan lawan.


Baca: Permainan Tuk Tuk Geni, Ajarkan Anak Cara Mematuhi Orangtua

Pemain yang sudah tersentuh "kucing" secara otomatis menjadi "kucing", sementara pemain yang sebelumnya menjadi "kucing" akan terbebas dari tugasnya. Ada juga versi lainnya. Pemain yang terkena sentuhan "kucing" akan menjadi teman "si kucing" dan membantu dalam mengejar pemain lain sampai semuanya tertangkap.

3. Ucing Beling

Permainan ini dimainkan dengan menggunakan media pecahan beling atau kaca yang ditumbuk menjadi kecil. Untuk memainkannya, semua pemain membuat pecahan kaca kecil lalu membuat garis bulat di tanah dengan ukuran garisnya yang disesuaikan dengan pemain.

Permainan diawali dengan cingciripit, hompimpa, suten atau suit untuk menentukan siapa yang menjadi "kucing". Setelah ditentukan, "si kucing" akan mulai melakukan penghitungan dari 1 s.d. 10. Sementara para pemain lain menyembunyikan pecahan beling tersebut di area garis bulat yang dibuatnya tadi, namun disamarkan agar tidak terlihat oleh "si kucing" yang nanti akan mencarinya.

4. Ucing Bendrong

Permainan yang satu memiliki aturan yang hampir sama dengan ucing sumput atau petak umpet, namun menggunakan tumpukan batu atau batu bata sebagai media permainannya. Dalam memainkannya, batu atau batu bata sebanyak 8 sampai 12 buah akan ditumpuk ke atas. Setelah itu para pemain akan melakukan undian urutan melempar dengan cingciripit atau hompimpa.

Setelah ditentukan, para pemain akan berjejer dengan jarak yang disepakati bersama sesuai urutan. Selanjutnya, satu per satu pemain melemparkan batu atau batu bata ke arah tumpukan. Jika pemain dengan urutan melempar 1 berhasil meruntuhkan batu bata, maka pemain urutan 2 akan menjadi 'kucing'. 

Sementara pemain lain berlari untuk bersembunyi. Pemain yang menjadi "kucing" harus cepat menumpukkan dan menyusun kembali bata yang runtuh, lalu mencari permain yang bersembunyi. Saat "kucing" menemukan pemain, dia akan berteriak hong dan menyebut nama pemain yang sembunyi.

Selain itu, saat "si kucing" tengah mencari pemain yang bersembunyi, pemain lain juga dapat mengintai dari tempat persembunyiannya dan menunggu si kucing lengah dan jauh dari tumpukan bata, lalu berlari dan meruntuhkan bata.

Apabila bata yang tersusun runtuh sebelum semua pemain yang bersembunyi ditemukan, maka permainan akan dimulai lagi dari awal dan "si kucing" akan tetap menjadi "kucing". Semua pemain juga akan bersembunyi kembali meskipun sebelumnya dia sudah ditemukan.

Silakan tonton berbagai video menarik di sini:

hasil bumi yang dibentuk menggunung untuk dibagikan ke masyarakat pada acara Grebeg disebutplis kak jawab nanti ku jadikan jawaban tercerdas

(≡^∇^≡)​

Grebeg adalah perayaan rutin yang diadakan masyarakat Jawa untuk memperingati suatu peristiwa penting. Perayaan utamanya diadakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Grebeg menjadi acara terakhir dalam perayaan tahunan Sekaten. Grebeg juga dilakukan oleh pemerintahan lokal dan masyarakat pedesaan. Tujuan perayaan Grebeg adalah sebagai ucapan syukur terhadap kemakmuran yang diberikan kepada masyarakat. Ini dilambangkan dengan mempersembahkan gunungan secara berpasangan. Gunungan ini tersusun dari hasil bumi yang dirangkai pada kerangka berbentuk menggunung dan kemudian dibawa berkeliling. Setelahnya, masyarakat akan berebut isi dari Gunungan.[1] Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta melakukan Grebeg secara turun-temurun. Grebeg dijadikan sebagai wisata budaya bagi para turis lokal maupun mancanegara.[2]

Hasil bumi yang dibentuk menggunung untuk dibagikan ke masyarakat pada acara Grebeg disebut

Grebeg Maulud di Keraton Surakarta

Keraton Yogyakarta menyelenggarakan Grebeg sebanyak tiga kali dalam setahun. Ketiganya yaitu Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilakukan pada awal bulan Syawal untuk memperingati berakhirnya puasa pada bulan Ramadan. Grebeg Maulud dilaksanakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Grebeg Besar dilaksanakan untuk memperingati bulan Zulhijah. Grebeg dianggap sebagai lambang kedermawanan dan perlindungan Sultan Yogyakarta terhadap masyarakatnya. Persembahan yang diberikan berupa gunungan yang dibawa berkeliling dengan 10 pasukan yang mengawalnya.[3] Grebeg di Keraton Yogyakarta diadakan dengan mengenakan pakaian dengan bentuk menyerupai pasukan kerajaan. Selain itu, anggota keluarga dan para abdi dalem Keraton mengenakan pakaian adat Yogyakarta.[4]

Penyelnggaraan Grebeg di Keraton Surakarta dilakukan oleh para keturunan Sunan Kalijaga. Mereka akan berkumpul di Kadilangu Demak untuk mempersiapkan acara Grebeg. Sesajen untuk Grebeg dipersiapkan sejak tanggal 9 Zulhijah oleh utusan Keraton Surakarta yang dipimpin oleh putra mahkota. Penyerahannya dilakukan dengan menggunakan Bahasa Jawa krama inggil.[5]

Dalam Grebeg di Keraton Yogyakarta, persembahan utamanya adalah gunungan yang terdiri dari enam macam. Satu gunungan diberikan ke Pura Pakualaman dan lima gunungan dibawa ke Masjid Besar Kauman untuk diperebutkan oleh warga.[6] Gunungan Grebeg merupakan hadiah dari sultan yogyakarta kepada orang-orang yang datang ke Keraton Yogyakarta agar dimakan bersama. Masyarakat Jawa meyakini adanya berkah sultan dalam gunungan grebeg.[7]

Keraton Surakarta juga mempersembahkan gunungan dalam perayaan Grebeg, Gunungan ini berawal dari dakwah Wali Songo di Pulau Jawa yang berlandaskan pada Al-Qur'an surah An-Nahl ayat 16. Salah satu metode dakwah yang digunakan adalah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan masyarakat termausk kesenian dan budayanya.[8] Gunungan Grebeg dianggap sebagai bentuk kermawanan dan berkah raja kepada masyarakatnya sekaligus sebagai media dakwah Islam. Makna yang dimilikinya adalah kesederhanaan, kesatuan, keseimbangan, dan keselarasan. Jumlah gunungan yang diperebutkan antar tujuh hingga dua belas pasang.[9]

Tradisi Grebeg dimaknai sebagai bagian dari dakwah Islam yang mengandung nilai-nilai pelestarian lingkungan. Konsep keselarasan lingkungan di dalamnya merupakan warisan dari Sunan Kalijaga, sehingga ziarah ke makamnya menjadi salah satu bagian dari acara Grebeg. Masyarakat Jawa juga melakukan Grebeg sebagai kesadaran tentang alam semesta dalam pandangan Islam dan identitas bangsa.[10]

  1. ^ Soelarto, Bambang (1993). Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-413-830-4.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  2. ^ Brata 2009, hlm. 60.
  3. ^ Hasan 2013, hlm. 162.
  4. ^ Hasan 2013, hlm. 164.
  5. ^ Purwadi 2012, hlm. 67.
  6. ^ Brata 2009, hlm. 62.
  7. ^ Brata 2009, hlm. 67.
  8. ^ Adib dan Suddhono 2018, hlm. 291-292.
  9. ^ Adib dan Suddhono 2018, hlm. 292.
  10. ^ Purwadi 2012, hlm. 75.
  • Adib, A., dan Suddhono, K. (2018). "Paradigma Budaya Islam-Jawa dalam Gerebeg Maulud Keraton Surakarta". Alqalam. 35 (2): 271–296. doi:10.32678/alqalam.v35i2.1081. ISSN 2620-598X.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  • Brata, Nugroho Trisnu (Desember 2009). "Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton, Sebuah Kajian Antropologi". Sejarah dan Budaya. 2 (2): 59–68. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-26. Diakses tanggal 2020-09-30.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Hasan, Renta Vulkanita (2013). "Grebeg Maulud dalam Representasi Busana dan Motif Batik di Keraton Yogyakarta". Corak. 1 (2): 161–166. doi:10.24821/corak.v1i2.2321. ISSN 2685-4708.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Purwadi (2012). "Kesadaran Lingkungan dan Upacara Grebeg di Makam Sunan Kalijaga". Ibda': Jurnal Kebudayaan Islam. 10 (1): 65–76.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
 

Artikel bertopik budaya ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Grebeg&oldid=21241503"