Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur rakyatnya dan kearifan lokal masyarakatnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Tak heran jika ada dua kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah seluruh Asia Tenggara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Lantas, apakah modal demografi bangsa Indonesia tersebut? Nilai asli Indonesia terbukti mampu mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak kejayaan, di antaranya semangat gotong royong, tolong-menolong, kemajemukan, dan budi pekerti. Semangat gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, apabila di suatu masyarakat di daerah pegunungan terjadi kerawan tanah longsor atau banjir, maka seluruh warga akan bekerja bersama-sama membuat terasering untuk menanggulangi bencana tersebut tanpa berharap upah atau imbalan. Semangat tolong-menolong dimunculkan ketika salah satu warga yang memiliki hajat. Seluruh warga tanpa dikomandoi akan menyumbangkan tenaga dan material guna menyelesaikan hajat orang tersebut. Jiwa kemajemukan sangat terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika dihadapkan pada pekerjaan bersama, tak seorang pun warga akan memandang latar belakang, suku, agama, ras atau golongan. Mereka meleburkan diri untuk memelihara keharmonisan umum. Sedangkan budi pekerti merupakan ajaran hidup yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia agar selalu menghormati dan menghargai orang lain, serta memperlakukan orang lain seperti diri sendiri. Pelajaran budi pekerti yang dulu diajarkan sekolah telah hilang. Jika dulu kenaikan kelas mensyaratkan nilai pelajaran pendididkan moral Pancasila di atas angka 7, saat ini tidak demikian. Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita, namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Kerja bakti lingkungan yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar warga dan menimbulkan rasa ikut memiliki fasum/fasos, dianggap sebagai kegiatan formalitas yang dapat ditinggalkan dengan cara membayar sejumlah uang. Ruang publik sebagai tempat berkumpulnya warga tidak dijadikan prioritas dalam program pembangunan. Saling sapa antar warga menjadi hal yang aneh, bahkan antar tetangga pun tidak kenal satu dengan lainnya. Semangat kebersamaan luntur menjadi sikap individualistis dan apatis. Beberapa tahun yang lalu, Hossein Askari dan Scheherazade Rehman membuat penelitian tentang negara yang paling Islami di dunia. Hasil penelitian mereka sangat mengejutkan dan menimbulkan banyak kontroversi karena urutan teratas negara paling Islami bukanlah berasal dari negara Islam atau negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Peringkat pertama diraih oleh Irlandia, diikuti Denmark dan Luxemburg. Sedangkan Indonesia menempati urutan 104. Lantas, apa saja kriteria negara Islami menurut penelitian tersebut? Menurut Askari, kriteria negara Islami ialah negara yang menjalankan nilai-nilai universal Islam, antara lain penegakan hukum yang kuat, persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara serta persamaan kedudukan di muka hukum. Selain itu, kriteria lainnya adalah penghargaan terhadap perbedaan dan minoritas tingkat kejujuran dan kepercayaan antar warga masyarakat, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, mengedepankan dialog dan rekonsiliasi, serta adanya pemerataan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Penegakan hukum yang kuat dapat dilihat dari tidak adanya praktik-praktik korupsi dan pungutan liar dalam kegiatan perekonomian, kepercayaan diri dan rasa aman yang tinggi pada setiap individu di luar rumah, dan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara serta persamaan kedudukan di muka hukum terlihat dari adanya kebebasan untuk berekspresi dan berwira usaha untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Masyarakat pun memiliki ketaatan yang tinggi dalam membayar pajak dan pemanfaatan fasilitas umum yang dibangun oleh pemerintah. Penghargaan terhadap perbedaan dan minoritas terlihat dari tingginya jumlah wisatawan luar negeri dan volume perdagangan dengan negara lain. Masyarakat sangat terbuka terhadap pendatang sepanjang mereka tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum dan norma sosial bermasyarakat. Tingkat kejujuran dan kepercayaan antar warga masyarakat ditunjukkan dengan rendahnya angka kriminalitas. Pencurian dan kehilangan barang pribadi sangat jarang terjadi. Bahkan orang tidak takut untuk meletakkan barang pribadinya di tempat umum. Dr. Otto Scharmer, seorang dosen di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat dan pendiri Presencing Institute, mengatakan bahwa demokrasi baru yang lebih berdaya tahan dan tangguh adalah demokrasi yang mengedepankan 4 hal, yaitu dialogis, partisipasi langsung masyarakat, turun ke bawah, dan digital. Keputusan yang diambil dalam sistem demokrasi ini berasal dari kesepakatan seluruh perwakilan masyarakat, dan bukan berasal dari satu kelompok. Di masa yang akan datang, lanjut Scharmer, dunia, negara, provinsi, kabupaten/kota, komunitas, dan lembaga akan bersama-sama membentuk global forum dalam semangat dan komitmen memilih tanpa harus menghakimi, menentukan tanpa harus menyalahkan. Juga, semangat memutuskan tanpa harus merendahkan, menonjolkan tanpa harus meniadakan, unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika), dan semangat gotong royong karena semangat inilah yang dibutuhkan masyarakat dunia untuk menuju peradaban yang kuat dan madani penuh kehangatan dan kebersamaan. Demikian pula sila-sila dalam dasar negara Pancasila yang merupakan pedoman ampuh yang tak lekang oleh waktu dan zaman. Jika kita semua meyakini bahwa Pancasila merupakan nilai luhur bangsa yang mampu mengantar kita menuju kemajuan bangsa dan nasional, maka secara konsisten kita harus mengamalkan seluruh sila Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pedoman dalam cara kita beragama. Semua orang boleh tinggal di Indonesia dan mendapat perlindungan hukum sepanjang ia memeluk agama. Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, merupakan pedoman dalam berinteraksi dengan sesama manusia, baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia. Semua warga melekat hak dan kewajiban pada dirinya sehingga harus memperlakukan secara adil dan beradab pada orang lain. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan pedoman cara kita bernegara. Kekuatan kita dalam bernegara adalah persatuan bangsa, yakni semua orang yang tinggal di Indonesia harus berpikir untuk kepentingan negara bukan mengedepankan kepentingan individu dan kelompok. Sedangkan sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, merupakan pedoman dalam berdemokrasi serta menyelesaikan konflik dan perselisihan. Walaupun dialog dan bermusyawarah memerlukan waktu yang panjang dan melelahkan, namun penyelesaian masalah melalui cara ini harus kita yakini sebagai jalan terbaik. Jika semua itu kita jalankan dengan baik, niscaya sila kelima yang menjadi tujuan nasional, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia akan dapat kita capai. Amien!
English 021-3100470 |
SURABAYA (4 Desember 2019) - Menteri Sosial RI, Juliari P. Batubara membuka kegiatan “Sarasehan Nasional Kearifan Lokal Tahun 2019” dan “Rekonsiliasi Nasional Penyaluran Bantuan Sosial Non Tunai Program Keluarga Harapan (PKH) yang berlangsung di Surabaya, Rabu (4/12) pagi. Dalam kesempatan tersebut, Menteri Sosial menegaskan bahwa nilai-nilai kearifan lokal adalah budaya yang harus dijaga, dihormati dan dihargai. Kearifan lokal (riflok) sebagai bagian dari adat istiadat lokal yang berasal dari beragam suku bangsa mencerminkan Indonesia adalah negara yang multi etnis, agama, ras dan golongan. Kebhinekaan merupakan realitas bangsa Indonesia yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Menurut Mensos yang akrab dipanggil Ari, nilai-nilai kearifan lokal tidak hanya sekedar diucapkan dari mulut tetapi harus dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. “Contoh dalam diri saya ada keturunan Batak dan Jawa, sejak lahir saya sudah disebut ‘pejabat’ peranakan Jawa-Batak dan saya menikah dengan wanita keturunan dari suku lain,” ujar Ari. Aktualisasi dan implementasi nilai-nilai riflok secara nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat menjadi sangat penting mengingat riflok mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Aktualisasi riflok dalam kehidupan sehari-hari merupakan cermin ideologi Pancasila. Pancasila merupakan cara terbaik untuk kembali menguatkan jati diri bangsa dari gangguan dan ancaman ideologi asing. Hal tersebut sesuai dengan arahan Presiden RI, Jokowi Widodo. “Presiden selalu mengingatkan agar ideologi kita pegang teguh dalam setiap kebijakan dan perilaku kita. Ideologi adalah perekat bangsa ini, supaya bangsa ini tidak menjadi pecundang,” tegas Mensos. Pemerintahan Joko Widodo adalah pemerintahan yang menjunjung tinggi keberagaman dan terus mendorong agar nilai-nilai riflok tetap lestari dan diwariskan ke anak cucu kita. Upaya ini dilakukan untuk mencetak anak-anak kita menjadi generasi yang unggul. Pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri tanpa dukungan masyarakat. Oleh karena itu, dalam arahannya, Mensos mengajak para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan agar memperkuat persatuan dan kesatuan di daerahnya masing-masing. “Kalau ada yang mencurigakan, segera cari sumbernya. Ada gerakan-gerakan yang tidak lazim, segera didiskusikan sehingga daerah yang berpotensi konflik dapat dicegah,” ujar Ari. Di tempat yang sama, Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial, Harry Hikmat mengatakan bahwa selain menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, peran media juga harus dimanfaatkan karena pengaruh media sosial saat ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat khususnya pada generasi muda. Seiring dengan pergeseran budaya menuju arah modernisasi, semakin banyak tantangan perbedaan kemajemukan yang dihadapi bangsa ini, khususnya generasi muda. “Generasi muda kita jumlahnya 129 juta jiwa, namun apa yang harus kita wariskan dari negara ini kepada mereka sekarang mengalami sedikit degradasi,” ujar Mensos Ari. Pengaruh teknologi dan informasi saat ini masif sekali. Media sosial dan aplikasi-aplikasi message dengan bebasnya masuk dan mempengaruhi generasi muda kita. Ari mengatakan jika saat ini, orang dengan sangat mudah terpengaruh oleh berita-berita yang belum tentu kebenarannya. “Kita memasuki Post-Truth era,” tutur Mensos. Post-Truth adalah gejala yang hadir bersama hoaks, dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif. Opini publik dapat dibentuk melalui hoaks sehingga anak-anak muda sekarang mudah sekali terpengaruh oleh informasi-informasi di media sosial yang kelihatannya benar, padahal tidak. Oleh karena itu, Mensos sangat menghimbau agar berhati-hati terhadap perkembangan generasi muda sekarang. “Mau ke arah lebih baik, atau begini-begini saja, atau bahkan mundur?” tanya Ari. Jika ingin ke arah Indonesia yang lebih baik ke depan, Mensos menyerukan agar kita memulainya dari diri sendiri, “Ayo mulai dari diri sendiri. Saya orang Indonesia dengan Suku Jawa, Suku Batak, Suku Bugis, Suku Asmat, Suku Ambon, Suku Sunda, tapi orangnya orang Indonesia, bukan saya orang Batak, titik. Saya orang Indonesia suku Jawa." Tidak ada negara seperti Indonesia, negara yang kaya akan beragam suku bangsa, adat istiadat sehingga penting dan menjadi tugas kita semua melestarikan budaya dan memelihara persatuan kesatuan bangsa. Kegiatan sarasehan riflok yang saat ini masih berlangsung, menurut Mensos, sangat penting di tengah kehidupan bernegara yang terus mendapat tantangan. Di beberapa daerah, akhir-akhir ini banyak sekali terjadi konflik sosial yang sebenarnya bisa dihindari apabila rasa menghargai dan menerima perbedaan jauh lebih diutamakan. Ribuan tahun yang lalu, bahkan sampai dengan hari ini, Bangsa Indonesia telah hidup bersama bergandengan tangan. Para pejuang, nenek moyang telah berjuang membela negara Indonesia. "Oleh karena itu, tidak ada kata lain selain menjaga perdamaian, persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai cermin ideologi Pancasila," pungkas Mensos Ari.
Dimas Puguh; Karlina Irsalyana |