Berikut ini merupakan dalil yang cenderung dikedepankan paham Qadariyah dan Muktazilah kecuali

Oleh : Ansori

(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)

A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)

Kata atau istilah Ahlussunnah wal Jama’ah diambil dari hadis Imam Thabrani sebagai berikut:

افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، الناجية منها واحدة والباقون هلكى. قيل: ومن الناجية ؟ قال: أهل السنة والجماعة. قيل: وما السنة والجماعة؟ قال: ما انا عليه اليوم و أصحابه

“orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71  atau 72 golongan, orang Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum muslimin) akan bergolong-golong menjadi 73 golongan.  Yang selamat dari padanya satu golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah assunah wal jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, dan beserta para sahabatku (diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta para sahabat).

Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya  Ziyadah at-Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :

أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون و المالكيون والحنبليون

“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama mengatakan : Sungguh kelompok tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”

Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan pada paham yag diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).

Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.

Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat) madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).

Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang tashawwuf, NU mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali at-Thusi (w,505 H/ 1111M)

B. Mengapa NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah ?

Sebagaimana di jelaskan di atas, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah pada mulanya adalah terkait dengan perbincangan masalah akidah yang menengahi dua paham yang saling bertentangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dianggap sebagai paham yang moderat yaitu meyakini ke-Maha Kuasa-an Alloh dan menghargai ikhtiyar (akal) manusia.

Demikian juga dalam bidang fikih, pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan para pengikut/muridnya dianggap paling moderat yaitu mengabungkan antara dalil naqly (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (ijtihad : ijma’ dan qiyas).

Dalam bidang tashawwuf, ajaran-ajaran al-Junaidi dan al-Ghazali  dianggap moderat, yaitu menggabungkan antara syariah/fikih dan haqiqat/substansi.

Selain dianggap sebagai model berpikir moderat (wasathiyyah) dan ihtiyath (kehati-hatian/antisapatif) dalam bidang ibadah, alasan NU mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah juga dikarenakan para sahabat Nabi perlu diikuti, karena merekalah yang mengetahui dan memahami terhapa semua yang dilakukan oleh Nabi.Oleh karena itu Nabi mengatakan : ما انا عليه اليوم و أصحابه. Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) dijamin masuk surga.

Hal ini dikuatkan oleh hadis :

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ   عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ   وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ [رَوَاه داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح  

Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.

(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)

Dengan demikian dapat dikatakan  bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menurut  NU (ASWAJA  AN-NAHDHIYYAH) adalah mengikuti pola pikir Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti pola pikir Imam Syafi’i dalam fikih (beribadah dan bermuamalah), dan mengikuti al-Junaidi dan al-Ghazali dalam bertashawwuf, yang kesemuanya pola pikirnya adalah moderat, tawasut, tawazun, atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para sahabat Nabi.

C. Implementasi (pengamalan) Ahlussunnah wal Jama’ah

Prinsip moderat yang ada dalam ASWAJA AN-NAHDHIYYAH itu dalam tataran yang lebih riil dapat dicontohkan serbagai beikut :

a. Bidang akidah

Dalam menjalani kehidupan atau menghadapi persoalan-persoalan, orang NU tidak boleh hanya bergantung pada kekuasaan Alloh (pasrah) atau sebaliknya hanya mengandalkan kemampuan akal (teori atau ilmu pengetahuan). Kaduanya harus dilakukan secara bersamaan.

 b. Bidang Fikih (Ibadah)

Dalam memegangi hukum fikih, NU tidak boleh “HANYA” berpegang/berlandaskan pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga harus memperhatikan dan mengetahui perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan (manhajiy). Motode berpikir  ini diputuskan dalam MUNAS NU di Lampung dan prinsip ini ada dalam ungkapan :

 المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

    “Tetap menjaga/ berpegang pada pendapat/tradisi lama (ulama’ terdahulu,   salafussholih) yang baik (relevan), namun tetap mengambil pendapat-pendapat baru yang baik (yang lebih relevan/susuai dengan kondisi zaman dan ilmu pengetahuan)”.

Dalam beribadah warga NU juga harus berimbang antara ibadah mahdhoh (ritual, individual, vertikal) dan ibadah ghairu mahdhah (basyariyyah, insaniyyah, ijtimaiyyah, sosial, kemanusiaan, kemasyarakatan, horisontal)

c. Bidang Tashawwuf

Dalam menjalankan ibadah, warga NU harus menggabungkan antara hakikat dan syariat. Aturan-aturan fikih (syarat dan rukun) tetap harus dipenuhi, namun di sisi lain penghayatan terhadap isi, makna, hakikat, tetap harus diperhatikan.  

Demikian juga dalam bertsahwwuf (menjalankan amaliyah dzikir/wirid, mengikuti thoriqat) tidak boleh melupakan urusan umat dan keluarga.

Adapun menjaga tradisi (amaliyah) para sabahat, oleh NU – dalam bidang ibadah- antara lain adalah dengan tetap mempertahankan Tarawih minimal 23 rakaat, adzan Jumat dua kali, dan lain-lain serta pola pikir/metode ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat Nabi terutama khulafaurrasyidun.

Mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat, meskipun tidak dilakukan oleh Nabi, BUKAN BID’AH. Karena hadis di atas jelas bahwa Rosul memerintahkan agar berpegang kepada sunnahnya dan “sunnah” (amaliyah, tradisi, apa yang dilakukan) oleh para sahabat. Maka pengertian “bid’ah” dalam hadis وَإِيَّاكُمْ   وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ yang disampaikan oleh Rasul setelah   فعليكم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ  berarti di luar yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat.

Puncaknya yang ingin dicapai NU dari asas ASWAJA AN-NAHDHIYYAH adalah  prinsip tawasuth/moderat dan merawat sunnah Rasul dan “sunnah” para sahabat.

Wallohu a’lam bishshowab.

tirto.id - Salah satu aliran teologi yang tertua dalam Islam adalah Qadariyah. Kemunculan aliran Qadariyah tidak semata karena dinamika pemikiran dalam Islam, melainkan juga disebabkan gejolak politik pada masa Dinasti Umayyah I (661-750 M).

Pokok pemikiran para tokoh aliran Qadariyah yang paling masyhur dalam sejarah ialah pandangan bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will) untuk memutuskan perbuatannya sendiri. Hal ini membuat Qadariyah bertentangan dengan aliran Jabariyah.

Keyakinan bahwa manusia bebas berkehendak dan bertindak itu melatarbelakangi penamaan aliran ini dengan istilah Qadariyah. Secara etimologis, Qadariyah dalam bahasa Arab berakar pada kata qadara, yang berarti memiliki kekuatan atau kemampuan. Qadara pun bermakna menentukan atau menetapkan.

Ahmad Ismakun Ilyas, dalam "Sejarah Perdebatan Hakikat: Sebuah Telaah Deskriptif Analitik" yang terbit di Jurnal Al-Turas (Vol 10, No. 1, 2004), menjelaskan pengikut Qadariyah meyakini, manusia merupakan sang "pencipta" bagi perbuatannya masing-masing.

Karena itu, dalam doktrin Qadariyah, kekufuran dan perbuatan maksiat diyakini bukan bagian dari takdir Allah SWT, melainkan bersumber dari kehendak bebas manusia sendiri.

Tokoh Pendiri Aliran Qadariyah

Sosok yang dalam sejarah tercatat sebagai tokoh pendiri aliran Qadariyah adalah Ma'bad Al-Juhani dan Ghaylan Al-Dimasyq. Nama pertama lebih senior daripada yang kedua.

Ma'bad Al-Juhani yang wafat pada tahun 80 Hijriyah (699 M) lahir di Basrah dan termasuk generasi tabiin. Ia juga dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis). Adapun Ghailan yang lahir di Damaskus, dan kesohor sebagai orator sekaligus ahli debat ulung, tercatat wafat pada tahun 105 H (722 M).

Paham Qadariyah yang dipelopori kedua tokoh itu mulai muncul selepas pergantian Kekhalifahan Rasyidin ke Dinasti Umayyah. Tepatnya, era setelah perpecahan umat Islam karena terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib, dan Muawiyah bin Abu Sufyan naik takhta menjadi khalifah pertama dari Dinasti Umayyah.

Saat itu, banyak masyarakat muslim tidak setuju dengan gaya politik Muawiyah yang bertolak jauh dari pemerintahan Kekhalifahan Rasyidin. Muawiyah kerap memojokkan oposisi politiknya. Bahkan, atas kuasa anaknya, Yazid bin Muawiyah, cucu Nabi SAW, Husein bin Ali dibantai di Karbala.

Baca juga: Tragedi Karbala, Kematian Husein bin Ali, dan Terbelahnya Islam

Menjawab hal tersebut, Muawiyah pun menyatakan apabila ia tidak layak menjadi pemimpin umat Islam, maka biarlah Allah yang memutuskan, siapa yang akan menggantikannya menjadi khalifah.

Pemikiran Muawiyah tersebut sejalan dengan aliran Jabariyah (fatalisme) yang menyatakan bahwa segala urusan yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir. Muawiyah menganggap bahwa kedudukannya sebagai khalifah terjadi karena ketetapan Allah SWT. Jika Allah menghendaki untuk mencopot jabatannya, maka ia tak memiliki kuasa melawan-Nya.

Itulah kenapa, aliran Jabariyah memperoleh dukungan Muawiyah. Sementara itu, aliran Qadariyah diburu habis-habisan. Salah satu pelopor aliran Qadariyah, Ghaylan Al-Dimasyq juga sering keluar masuk penjara, hingga ia dihukum mati pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M).

Pengikut Qadariyah diburu karena mendakwahkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, serta tidak ditentukan oleh takdir. Pemikiran itu menyerang fondasi teologis yang menjadi alas legitimasi kekuasaan Dinasti Umayyah.

Pokok Pemikiran Aliran Qadariyah

Inti pemikiran aliran Qadariyah adalah kehendak bebas manusia. Artinya, manusia memiliki daya untuk memutuskan keinginannya secara mandiri, terlepas dari takdir Allah SWT.

Di saat bersamaan, aliran Qadariyah memandang bahwasanya Allah menganugerahkan akal agar manusia mempertimbangkan dengan bijaksana setiap laku yang akan diperbuatnya.

Baca juga: Sejarah Aliran Jabariyah, Pemikiran, dan Perbedaan dengan Qadariyah

Para pengikut aliran Qadariyah memosisikan akal sebagai instrumen penting; ia adalah penimbang keputusan manusia. Pandangan bahwa akal (rasio) adalah hal krusial dalam laku beragama kelak mempengaruhi aliran yang lahir di era kemudian, yakni Mu'tazilah pada 723 M.

Sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhak (2020) yang ditulis Siswanto, berikut ini dua pokok pemikiran aliran Qadariyah.

1. Melawan kezaliman dengan tangan sendiri

Aliran Qadariyah berpandangan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman dengan tangannya masing-masing.

Paham Qadariyah memuat keyakinan bahwa Allah SWT sudah memberi daya dan kekuatan kepada manusia untuk melawan kezaliman. Jika tidak melakukannya maka manusia telah berdosa karena melanggar perintah Allah SWT.

Perintah melawan kezaliman ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa melihat kemungkaran maka lawanlah dengan tangannya. Jika tak sanggup maka dengan lisannya. Jika tak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu [melawan dengan hati] adalah selemah-lemahnya iman," (H.R. Muslim).

Baca juga: Sejarah Mu'tazilah: Tokoh Aliran, Pemikiran, dan Doktrin Ajarannya

Karena paham ini, pengikut aliran Qadariyah menjadi oposisi bagi kebijakan Dinasti Umayyah yang dinilai melampaui batas-batas syariat. Disebabkan kritik dari Qadariyah itu, para pentolan aliran ini ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Dinasti Umayyah.

2. Keadilan Allah SWT dari kehendak bebas

Manusia diciptakan Allah SWT dengan kehendak bebas. Maka, ia mempunyai kemampuan mandiri untuk memutuskan perbuatan yang akan dilakukan.

Pemikiran aliran Qadariyah tersebut didasari alasan bahwa Allah SWT memberikan pilihan kepada manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, beriman atau tetap pada kekafiran. Karena itu, manusia akan dihakimi, diberi pahala atau diganjar dosa, berdasarkan pilihannya sendiri.

Dalil mereka bersandar pada firman Allah SWT di surah Al-Kahfi ayat 29:

“Barang siapa menghendaki [untuk menjadi orang beriman] maka berimanlah, dan barang siapa menghendaki [untuk menjadi orang kafir] maka kafirlah," (QS. Al-Kahfi [18]: 29).

Baca juga: Sejarah Aliran Maturidiyah, Tokoh, Pemikiran dan Doktrin Ajarannya

Aliran Qadariyah merupakan antitesa dari paham Jabariyah yang memandang bahwasanya semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh takdir.

Penganut Qadariyah menilai, jika paham Jabariyah itu benar maka berarti Allah telah berlaku tidak adil dengan menghukum manusia. Padahal, Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Adil.

Dalam keyakinan penganut aliran Qadariyah, Allah SWT tidak mungkin memberi hukuman neraka atau menganugerahkan surga untuk perbuatan yang terjadi bukan karena kehendak manusia itu sendiri.

Oleh karena itu, aliran Qadariyah berpendapat bahwasanya keadilan Allah tercapai melalui pilihan dan kehendak bebas dari manusia itu sendiri.

Baca juga artikel terkait ILMU KALAM atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/add)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA