Daftar produk sementara yang dibebaskan dari kewajiban c adalah pengertian dari

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Format perjanjian perdagangan bebas juga berlangsung dalam konteks regional. Indonesia merupakan pendiri dan anggota Association of Southeast Asia Nations [ASEAN]. Pada KTT ASEAN ke IV pada tanggal 27‐28 Januari 1992 di Singapura disepakati pembentukan Asean Free Trade Area [AFTA]. AFTA merupakan kerangka perjanjian perdagangann di kawasan Asia Tenggara yang mempunyai prinsip sama dengan WTO yaitu mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara anggota untuk meningkatkan kelancaran perdagangan antar negara sesama anggota ASEAN. Implementasi AFTA telah dimulai sejak Januari 2003, dimana inti perjanjian AFTA adalah: [i] pengurangan hambatan tarif intra‐ASEAN menjadi 0‐5% selama 10 tahun sejak 1992, [ii] penghapusan hambatan non tarif dan quantitative restriction, dan [iii] Hanya komoditas yang sensitif yang terbebas dari ketentuan tersebut. Dalam kerangka AFTA untuk mencapai kawasan perdagangan bebas ASEAN tahun 1993 telah disepakati adanya mekanisme klasifikasi produk untuk pengurangan tarif atau dikenal sebagai Common Effective Preferential Tariff [CEPT], yang intinya adalah mengkategorikan produk‐produk perdagangan sebagai berikut: 1. Inclusion List [IL] adalah produk yang harus mengalami penurunan tarif, tidak dikenai restriksi kuantitatif dan hambatan non tarif 2. Temporary Exclusion List [TEL] adalah produk yang untuk sementara dibebaskan dari penurunan tarif, namun secara bertahap akan dimasukan dalam IL 3. Sensitive List [SL] adalah produk pertanian yang belum atau hanya mengalami processing sederhana seperti beras, gula, gandum, daging, dan sebagainya yang dibebaskan dari kewajiban penurunan tarif dalam jangka waktu lama 4. General Exception List [GEL] adalah produk yang secara permanen tidak dimasukan dalam skema CEPT karena alasan keamanan nasional, keselamatan manusia, pelestarian obyek arkeologi dan sebagainya Pada tahun 2003, AFTA sudah mencapai formasi tarif yang diharapkan yaitu 0‐5 %, namun demikian ternyata nilai perdagangan intra‐ASEAN memiliki proporsi kecil dibanding dengan perdagangan negara ASEAN dengan negara di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa negara negara ASEAN lebih mengutamakan perdagangan dengan negara non ASEAN dibanding intra‐ASEAN. Indonesia sendiri, nilai ekspor produk pertaniannya ke kawasan ASEAN juga merupakan sebagian kecil dari ekspor Indonesia ke seluruh dunia, [Hadi, Prayoga. et. al, 2003]. Hal ini disebabkan karena jumlah permintaan dalam ASEAN relatif kecil dan diantara negara negara ASEAN memiliki kesamaan produk ekspor. Dengan kondisi tersebut maka ASEAN sampai sekarang tidak mampu membuat trading block sendiri, namun membuka kerjasama dengan negara‐negara yang secara Indonesia dan Perjanjian Perdagangan Bebas 12

Page 2

Page 18 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 18

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar nampak dari berbagai upaya negara maju yang terus menerus tidak konsisten dalam memenuhi kesepakatan terutama yang terkait dengan kepentingan negara berkembang. Indonesia terlibat aktif dalam politik perundingan karena posisinya sebagai pemimpin kelompok negara berkembang yang tergabung dalam G‐33, yang sampai sekarang konsisten untuk memperjuangkan kepentingan perlindungan pertanian negara berkembang dalam klausul Special Product [SP] dan Special Safeguard Mechanism [SSM]. SP adalah klausul agar negara berkembang mengusulkan sejumlah produk khusus untuk dikecualikan dari komitmen pengurangan tarif karena terkait dengan ketahanan pangan, kelangsungan penghidupan dan pembangunan pedesaan. Dengan dikecualikan dari pengurangan tarif maka negara berkembang mampu melindungi petani dari dampak liberalisasi perdagangan global. Dengan perlindungan ini maka akan memberi kesempatan untuk menjalankan pembangunan dan mengentaskan kemiskinan di sektor pertanian yang merupakan sumber kehidupan jutaan petani di negara berkembang. Sementara SSM adalah klausul agar negara berkembang bisa menerapkan mekanisme perlindungan dengan cara menaikan tarif ketika terjadi impor produk pertanian yang berlebih [impor surges]. SP dan SSM adalah instrumen yang cenderung defensif karena berorientasi pada kepentingan perlindungan sektor pertanian negara berkembang. Untuk itu Indonesia juga aktif terlibat dalam kelompok G‐20 yang dipimpin oleh Brazil, untuk mengusulkan klausul yang lebih ofensif yaitu pengurangan tarif dan subsidi di negara maju yang merupakan sumber ketidakadilan perdagangan pertanian secara global. Secara prinsip negara‐negara berkembang yang tergabung dalam kelompok G‐20 mendesak negara maju untuk memotong subsidi dan tarif mereka secara signifikan sementara negara berkembang akan menurunkan subsidi dan tarif lebih kecil. Sampai saat ini perundingan terus berlanjut, walaupun dibayang bayangi kegagalan karena belum adanya kesepakatan diantara negara anggota. Kemacetan perundingan ini disatu sisi memberikan kesempatan bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk terus membenahi pembangunan terutama sektor strategis seperti pertanian, namun disisi lain membuat situasi perdagangan internasional dalam kondisi status quo yang memungkinkan perdagangan bebas bergerak lebih intensif melalui jalur bilateral maupun regional. B. Perjanjian Perdagangan Bebas Regional ‐ AFTA Indonesia dan Perjanjian Perdagangan Bebas 11

   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23

Page 3

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Perdagangan produk pertanian termasuk dalam perjanjian di bidang barang, yang diatur khusus dalam perjanjian perdagangan pertanian atau Agreement on Agriculture [AoA]. AoA memuat kesepakatan untuk mengurangi hambatan perdagangan pertaniaan melalui program “reformasi” jangka panjang secara bertahap, sehingga dalam istilah WTO akan tercipta perdagangan yang adil dan berorientasi pasar [a fair and equitable market‐oriented agricultural trading system] Isi dari kesepakatan AoA adalah: [i] meningkatkan akses pasar [market access] melalui pengurangan hambatan perdagangan pertanian berupa penurunan tarif impor dan konversi hambatan non tarif menjadi tarif, [ii] pengurangan subsidi ekspor [export subsidies], dan [iii] pengurangan bantuan kepada petani dalam negeri [domestic support]. Dengan demikian prinsipnya adalah AoA menekankan semua anggota WTO untuk membuka pasar dan mengurangi berbagai subsidi yang dianggap mengganggu perdagangan internasional. Oleh karena kemampuan setiap negara berbeda beda, terutama kesenjangan antara negara maju dan berkembang maka AoA juga memuat klausul perlakuan khusus dan berbeda [special and differential treatment] yang hanya berlaku untuk negara berkembang menyangkut hal hal: [i] pemberian pengecualian dengan batas waktu tertentu dan jangka lebih lama dalam melaksanakan kewajiban‐kewajiban, [ii] keluwesan prosedur dan pelaksanaan kewajiban, [iii] bantuan teknis dan [iv] perlindungan industri domestik. Perundingan dalam WTO dilakukan melalui pertemuan tingkat menteri untuk menghasilkan kesepakatan maupun kerangka kerja perundingan. Putaran perundingan yang terakhir, yang dikenal dengan Putaran Doha [Doha Development Round], dimana isu‐isu pembangunan mulai mendapatkan tempat untuk pembahasan terutama terkait dengan kepentingan negara berkembang untuk mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda. Namun sayangnya, sampai saat ini perundingan mengalami kebuntuan karena perbedaan tajam diantara anggota. Isu pertanian adalah isu yang paling menarik perhatian karena merupakan penentu bagi tercapainya kesepakatan atas isu‐isu lainnya. Di setiap forum perundingan WTO, ketegangan politik di dalam dan di luar arena perundingan selalu terjadi terutama karena kesepakatan dalam WTO akan menentukan konfigurasi kepentingan dalam perdagangan internasional dan manyangkut hajat hidup masyarakat luas. Dalam kenyataannya, klaim keadilan dan kesetaraan dalam perundingan tidak terjadi karena negosiasi bukan lagi pada pertimbangan rasional perdagangan semata namun lebih pada politik kepentingan negara‐negara yang terlibat dalam perundingan. Hal ini Indonesia dan Perjanjian Perdagangan Bebas 10

Page 4

Page 16 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 16

BAB 3. INDONESIA DAN PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ”BTA Indonesia dengan USA tanpa disadari mengakibatkan hegemoni USA terhadap Indonesia. Hal ini tidak sekedar hilangnya kekuatan ekonomi tetapi juga hilangnya budaya dan akhirnya hilangnya kedaulatan bangsa”. A. Perjanjian Perdagangan Bebas Multilateral ‐ WTO Pada awalnya perdagangan dunia diatur oleh sebuah lembaga interim yang disebut General Agreement on Tariff and Trade [GATT] sejak tahun 1947. Melalui perundingan putaran Uruguay, akhirnya kelembagaan GATT disetujui untuk diubah menjadi World Trade Organization [WTO] atau organisasi perdagangan dunia. Indonesia meratifikasi pembentukan WTO melalui UU No. 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi tersebut maka Indonesia terikat untuk memenuhi kewajiban yang atas ketentuan perjanjian perdagangan bebas multilateral dalam kerangka WTO. WTO adalah badan internasional yang mempromosikan perdagangan yang bebas dengan menghasilkan peraturan perdagangan antar negara. Perdagangan bebas yang dimaksud adalah dengan mengurangi berbagai hambatan perdagangan seperti penghapusan hambatan non tarif, serta menurunkan tarif dan subsidi secara sistematis sehingga mampu mendukung kelancaran arus perdagangan barang, jasa dan investasi lintas negara. Berjalannya fungsi WTO adalah dilaksanakannya kesepakatan‐kesepakatan aturan perdagangan multilateral yang merupakan dasar hukum yang mengikat [legally binding] bagi seluruh negara anggota. Dengan demikian perjanjian perdagangan dalam WTO merupakan produk hukum sebagai acuan dalam pelaksanaan perdagangan multilateral mencakup: perdagangan barang, perdagangan jasa dan hak kekayaaan intelektual terkait perdagangan serta beberapa aturan terkait dengan perdagangan seperti anti dumping, tinjauan kebijakan perdagangan, pengamanan dan perlindungan serta mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan.

   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21

Page 5

Page 15 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 15

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Alur dari proses studi ini adalah sebagai berikut: Masukan dan Rekomendasi dari Pertemuan Petani Lintas Komoditas 17‐18 Maret 2007 di Bogor FGD dan investigasi lapangan di Karawang, Sukabumi, Malang, Ponorogo dan Brebes Draft sementara hasil studi kasus lapangan Studi literatur dari Mini workshop berbagai sumber melibatkan perwakilan internet, pustaka dll petani dari Karawang dan Sukabumi untuk verifikasi dan masukan Draft hasil akhir studi KRKP internal workshop untuk finalisasi hasil akhir studi Hasil Akhir Studi Metodologi 8

   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20

Page 6

Page 14 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 14

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Tujuan dari studi ini adalah : 1. Menyediakan informasi tentang implikasi FTA/BTA terhadap sektor pertanian dan kehidupan petani terutama untuk memperkuat fleksibilitas dan perlindungan terhadap petani 2. Menghimpun persepsi, pandangan dan masukan petani dalam arah dan proses kebijakan perdagangan produk pertanian terutama untuk mendorong partisipasi petani dalam advokasi kebijakan dan kampanye untuk kesadaran publik Studi ini mengunakan metode qualitative research, yang dilakukan pada bulan April‐ Juli 2007 dengan menggunakan beberapa teknik seperti: 1. Focus Group Discussion [FGD] bersama kelompok petani komoditas utama pertanian yaitu petani padi, sayuran dan buah buahan 2. Investigasi Lapangan dan Pasar untuk menambah informasi yang didapatkan dari proses FGD 3. Studi literatur dari berbagai sumber terkait dengan isu FTA/BTA FGD dan investigasi lapangan dilakukan di komunitas petani yaitu: 1. Kelompok Petani Padi di Desa Cikuntul, Kabupaten Karawang 2. Kelompok Petani Sayuran di Desa Cipeuteuy, Kabupaten Sukabumi 3. Kelompok Petani Bawang Merah di Desa Kedunguter Brebes 4. Kelompok Petani Apel di Desa Tulungrejo, Batu Malang 5. Kelompok Petani Jagung di Desa Pangkal, Ponorogo Metodologi 7

   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19

Page 7

BAB 2. METODOLOGI Studi ini merupakan bagian dari upaya untuk advokasi kebijakan dan kampanye untuk mempromosikan perdagangan yang adil. Pelaksana studi ini adalah Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan [KRKP], yang merupakan jaringan antar kelompok masyarakat sipil yang bekerja untuk mempromosikan kedaulatan pangan di Indonesia, dimana perdagangan yang adil merupakan salah satu pilar dari kedaulatan pangan. Sejak dua tahun terakhir, KRKP bekerjasama dengan Sekertariat Bersama Indonesia Berseru [SBIB] yang merupakan kelompok kerja untuk kampanye perdagangan adil kepada publik secara luas. Studi ini merupakan kerja kolaboratif antara KRKP dan SBIB dengan dukungan OXFAM GB. Sejak awal studi ini didesain untuk lebih memperdalam fakta fakta lapangan terkait dengan kehidupan petani terutama implikasi dari situasi perdagangan bebas, yang digerakkan oleh berbagai kesepakatan baik dalam kerangka multilateral, regional maupun bilateral. Studi ini berfokus pada dua hal, yaitu: [i] studi kasus lapangan yang dilakukan di beberapa komunitas petani untuk beberapa produk utama seperti beras, jagung, sayuran, bawang merah dan buah buahan, [ii] studi literatur untuk memberikan informasi yang melengkapi konteks dan kerangka kesepakatan perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia baik dalam konteks multilateral, regional maupun bilateral. Dalam proses studi, petani terlibat dalam memberikan masukan mulai dari proses diskusi lapang, verifikasi dan perumusan hasil dari studi terutama terkait dengan pandangan dan rekomendasi petani untuk perubahan kebijakan. Untuk itu beberapa hasil dari diskusi petani sebelum studi dilakukan, yaitu pertemuan petani lintas komoditas di Bogor pada tanggal 18‐19 Maret 2008 juga dimasukan sebagai bagian untuk masukan dalam hasil studi.

Page 8

BAB 1. PENDAHULUAN “Petani Indonesia tanpa proteksi, harus bertarung dengan produk petani negara maju yang penuh subsidi di pasar bebas, yang sesungguhnya penuh dengan situasi ketidakseimbangan” Sejarah menunjukkan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional secara keseluruhan. Sektor pertanian memiliki peranan besar sebagai penyerap tenaga kerja secara ekstensif, penyedia bahan baku untuk industri dan terutama adalah penyedia pangan penduduk Indonesia yang berjumlah 219,9 juta jiwa [BPS,2005]. Pada tahun 2005 pertanian menyumbangkan 13,5% dari total Produk Domestik Bruto [PDB] dan menyerap 41,8 juta tenaga kerja atau 44,04% dari total tenaga kerja secara nasional [BPS, 2005]. Dengan peranan tersebut sektor pertanian merupakan sumber penghidupan mayoritas rakyat yang memiliki kontribusi besar bagi pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Petani Indonesia yang sebagian besar petani dengan skala usaha kecil merupakan pilar utama pembangunan pertanian. Menurut BPS [2005], dari komposisi PDB Pertanian, sub‐sektor tanaman pangan dan hortikultura memiliki sumbangan paling besar yaitu mencapai 49,43% dari total PDB Pertanian, dibanding sub‐sektor lain seperti perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Data tersebut mencerminkan bahwa sektor tanaman pangan dan hortikultura yang disokong oleh petani dengan skala usaha kecil justru memberikan kontribusi terbesar dalam pembangunan pertanian secara keseluruhan. Namun demikian, ironisnya sumbangan besar sektor pertanian yang tercermin dalam gambaran diatas tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan pelaku utama pembangunan pertanian, yakni para petani yang tinggal di pedesaan. Berdasarkan data BPS [2005], angka kemiskinan mencapai 35,10 juta jiwa, dimana 64,7% kemiskinan terkonsentrasi di pedesaan. Dari berbagai berita di media massa bahkan terungkap berbagai kasus kerawanan pangan yang terjadi di pedesaan, tempat dimana sumber pangan banyak tersedia. Realitas kemiskinan dan kerawanan pangan

Page 9

Page 6 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 6

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar 30 perwakilan petani dari berbagai komoditas yang hadir dalam pertemuan petani lintas komoditas pada bulan Maret 2007 di Bogor. Harapan kami semoga, hasil studi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak terutama yang peduli untuk memperjuangkan kepentingan petani dan sektor pertanian di Indonesia. Pertanian adalah sumber penghidupan, untuk alasan itulah maka diperlukan kekuatan bersama untuk membangun pertanian dan pangan yang berkeadilan dan berdaulat di Indonesia. Penulis David Ardhian Koordinator Peneliti Kata Pengantar vi

Page 10

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar PENGANTAR PENULIS Penelitian lapangan yang berlangsung sepanjang bulan Maret sampai Mei 2007, serta studi dokumen yang sangat panjang dan baru selesai akhir tahun 2007 merupakan upaya dari KRKP untuk lebih memahami dinamika persoalan yang dihadapi petani terutama terkait dengan dampak pasar bebas. Dokumen ini merupakan rangkuman dari hasil riset dan studi literatur untuk memperjelas keterkaitan antara berbagai komitmen pemerintah Indonesia dalam perjanjian perdagangan bebas baik pada tingkat multilateral, regional maupun bilateral terhadap keterpurukan sektor pertanian dan kehidupan petani di Indonesia. Telah banyak literatur pendukung tentang perjanjian perdagangan bebas namun masih belum banyak yang memaparkan bagaimana transmisi pengaruhnya terhadap petani pada tingkat lokal. Studi ini lebih banyak memperdalam kasus kasus komoditas utama terutama pada sentra sentra produksi pertanian andalan, yang kini tertekan oleh pasar bebas akibat dari liberalisasi sektor pertanian. Studi ini juga mengelaborasi pendapat dan pandangan petani sebagai pelaku utama dan pilar pembangunan pertanian akan situasi yang dihadapi mereka serta upaya upaya yang perlu diperjuangkan bersama pada masa yang akan datang. Bagi KRKP, studi ini sangat penting karena akan memperkuat fakta fakta lapangan untuk mendorong terwujudnya perdagangan yang adil terutama di sektor pertanian. Hasil studi ini juga merupakan komitmen KRKP untuk terus memperjuangkan kepentingan perlindungan petani dari pasar bebas, terutama untuk memperbesar dan memperluas berbagai klausul fleksibilitas dan perlindungan dalam berbagai komitmen perjanjian perdagangan internasional. KRKP percaya bahwa petani dan pertanian Indonesia memiliki potensi yang luar biasa besarnya untuk dikembangkan bagi kemakmuran rakyat serta mampu menyokong kedaulatan pangan bangsa, jika dikelola dengan semangat keadilan dan kemandirian. Untuk itu studi ini merupakan bagian bagi upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada KRKP, SBIB dan Oxfam GB atas dukungan mereka selama proses penelitian dan penulisan dokumen ini. Terima kasih kepada saudari Anita P.S atas dukungan dalam studi dokumen, saudara Napiudin dan Debby Ardhina atas fasilitasi proses diskusi lapangan yang sangat baik. Tak lupa kepada saudara Said Abdullah atas desain layout akhir dari dokumen ini. Studi ini bisa berlangsung karena kontribusi aktif dari berbagai kelompok petani seperti Serikat Petani Gunung Biru [Batu], Forum Petani Karawang, Jarmaskor Gunung Salak Sukabumi, Kelompok Petani Jagung di Ponorogo, IPPHTI Brebes, serta Kata Pengantar v

Page 11

Page 7 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 7

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar DAFTAR ISI halaman Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………….. iii Pengantar Penulis …………………………………………………………………………………… iv Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………. v BAB 1. PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………. 1 BAB 2. METODOLOGI ………………………………………………………………………………. 6 BAB 3. INDONESIA DAN PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ………………….. 9 A. Perjanjian Perdagangan Bebas Multilateral‐WTO ......................... 9 B. Perjanjian Perdagangan Bebas Regional‐AFTA .............................. 11 C. Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral [FTA/BTA] ....................... 13 D. Status Beberapa FTA/BTA di Indonesia ......................................... 16 BAB 4. IMPLIKASI PASAR BEBAS BAGI PETANI: KASUS‐KASUS LAPANGAN .. 23 A. Situasi Petani dalam Era Pasar Bebas .................................. 23 B. Studi Kasus Lapangan ........................................................... 27 BAB 5. ANALISA DAN REKOMENDASI .......................................................... 51 A. Analisis .......................................................................................... 51 B. Rekomendasi ................................................................................. 54 Daftar Pustaka ............................................................................................. 56 Daftar Isi v

Page 12

To view this page ensure that Adobe Flash Player version 10.0.0 or greater is installed.

Besides, it's possible to view a simplified version of the flippdf book on any device, or you can view flippdf mobile version

Page 13

Page 1 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 1

Oxfam GB

Page 14

Page 2 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 2

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas: Studi Implikasi Perjanjian Perdagangan Bebas [FTA] Terhadap Kehidupan Petani Tim Peneliti: David Ardhian Napiudin Debby Ardhina Anita Primaswari Wardhani Editor: David Ardhian Penelitian ini dilakukan atas kerjasama: Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan [KRKP] Sekretariat Bersama Indonesia Berseru [SBIB] Atas dukungan: Oxfam GB ©KRKP2007 Kinjengdom Studio Untuk media yang lebih baik

Page 15

Page 1 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 1

Oxfam GB

Page 16

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Berbagai produk buah‐ buahan petani Indonesia dijual berderet dengan buah impor yang harganya lebih murah. Hal tersebut berbagai kebijakan proteksi dan subsidi yang selama ini dinikmati petani menjadi dihapuskan, sehingga produk pertanian domestik harus bertarung dengan produk pangan impor. Dengan kata lain petani Indonesia tanpa proteksi, harus bertarung dengan produk petani negara maju yang penuh subsidi di pasar bebas, yang sesungguhnya penuh dengan situasi ketidakseimbangan. Secara kongkret hal ini bisa kita amati di pasar pasar dalam negeri, membanjirnya produk pangan impor dari berbagai negara mulai di supermarket, swalayan, pasar tradisional bahkan pedagang kaki lima. Situasi ini membuat pertanian dan petani Indonesia tertekan terutama ketika kebijakan pembukaan pasar secara liberal, tidak sebanding dengan kebijakan insentif dan dukungan kepada petani bahkan berbagai perangkat proteksi terhadap sektor pertanian justru dihapuskan. Ruang yang masih dimiliki adalah dimensi pembangunan dalam kerangka perundingan perdagangan multilateral sektor pertanian dalam WTO, atau dikenal sebagai Doha Development Agenda [DDA]. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk memperjuangkan klausul proteksi terhadap produk produk pertanian strategis terutama yang menyangkut ketahanan pangan, penghidupan rakyat dan pembangunan pedesaan. Indonesia secara aktif memimpin kelompok negara berkembang dalam perundingan putaran Doha, untuk mengusulkan agar produk khusus [special product] dikecualikan dalam komitmen penurunan tarif dan diperkenankan untuk menerapkan mekanisme Pendahuluan 3

Page 17

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar di pedesaan tersebut seakan memberikan bukti bahwa peran penting pertanian belum memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan pelaku utamanya. Dinamika perkembangan pertanian Indonesia di atas, tidak bisa dilepaskan dari perubahan lingkungan strategis dalam dua dasa warsa terakhir, terutama terkait dengan gelombang globalisasi ekonomi dengan liberalisasi perdagangan sebagai pilar utamanya. Liberalisasi perdagangan adalah sebuah proses yang mendorong kelancaran arus pertukaran barang, jasa dan investasi lintas negara, dengan menghapuskan berbagai hambatan perdagangan, baik dalam bentuk tarif, non tarif atau berbagai peraturan yang menghambat laju perdagangan lintas negara. Pasar bebas merupakan ideologi dan orientasi utama dalam liberalisasi perdagangan. Implikasi dari liberalisasi perdagangan adalah semakin terbatasnya ruang dan peran negara dan semakin besarnya kekuatan pasar untuk menentukan arah kebijakan negara dan kehidupan warga negara. Hal tersebut nampak dalam bentuk liberalisasi dan privatisasi berbagai sektor kehidupan, yang sebelumnya merupakan domain dari pemerintah seperti sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan. Hal ini memberikan kontribusi besar terhadap perubahan dalam sektor pertanian terutama kehidupan petani. Liberalisasi perdagangan dalam rangka menuju pasar bebas, semakin nyata sejak Indonesia menjadi anggota organisasi perdagangan dunia [WTO] pada tahun 1995. Salah satu klausul dalam WTO adalah perjanjian di sektor pertanian atau dikenal sebagai Agreement on Agriculture [AoA], dimana menekankan kepada seluruh anggota untuk menghapuskan hambatan non tarif menjadi tarif untuk kemudian diturunkan secara sistematis dan bertahap atas dasar perundingan. Komitmen terhadap AoA berpengaruh besar terhadap liberalisasi di sektor pertanian, terutama semakin terbukanya pasar pertanian dalam negeri oleh produk pertanian impor. Sejalan dengan hal tersebut berbagai komitmen perdagangan bebas dalam tingkat regional berkembang mengacu pada komitmen pada tingkat multilateral, seperti kesepakatan perdagangan bebas pada tingkat ASEAN [AFTA] dan Asia Pacific [APEC]. Dalam konteks Indonesia, krisis moneter berubah menjadi krisis ekonomi dan politik pada tahun 1996‐1998 membuat liberalisasi perdagangan berlangsung lebih cepat dari apa yang sudah terjadwal dalam kesepakatan multilateral [WTO]. Kemerosotan ekonomi dan belenggu hutang luar negeri membuat pemerintah Indonesia memenuhi kesepakatan dengan IMF, dimana sektor pertanian tidak terlepas dari sasaran liberalisasi kebijakan seperti yang ditekankan IMF. Percepatan liberalisasi disektor pertanian ditandai dengan pencabutan berbagai subsidi untuk petani, penurunan tarif impor bahan pangan secara drastis terutama beras dan gula serta penghapusan monopoli Bulog dalam impor bahan pangan. Pendahuluan 2

Page 18

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar pengamanan [special safeguard mechanism] dengan menaikan tarif ketika terjadi penurunan harga produk pertanian dalam negeri akibat impor berlebih. Namun demikian perjuangan ini tidak mudah karena terus mendapatkan tentangan dari kelompok negara maju, yang terus memaksakan kehendak untuk memperluas akses pasar mereka ke negara berkembang. Isu pertentangan tersebut merupakan satu dari beberapa perbedaan tajam antara negara maju dan berkembang yang mengakibatkan kebuntuan dalam perundingan. Sampai saat ini perundingan yang berlangsung belum mampu menghasilkan kesepakatan walaupun telah berlangsung hampir lebih dari satu dekade. Kebuntuan ini tidak menyurutkan jalan bagi perluasan pasar bebas di berbagai kawasan, namun sebaliknya justru membuat pasar bebas terdispersi secara intensif dalam bentuk berbagai kesepakatan perdagangan bebas [Free Trade Agreement/FTA] baik pada tingkat kawasan maupun secara bilateral [Bilateral Trade Agreement/BTA]. Menjamurnya berbagai kesepakatan perdagangan bebas [FTA/BTA], ketika kemacetan perundingan multilateral adalah menggambarkan bahwa negara maju mulai mencari peluang untuk mempercepat arus liberalisasi perdagangan dengan cara lain. Dengan FTA, negara maju lebih leluasa dan efektif untuk menekan negara berkembang agar secepatnya membuka pasar. Secara politis, FTA terutama dalam format kerjasama bilateral [BTA] seringkali dikaitkan dengan isu‐isu lain non perdagangan seperti kepentingan politik luar negeri negara maju. Dari uraian di atas, maka pertanian dan petani Indonesia menghadapi tantangan yang besar terkait dengan perdagangan bebas. Di tengah berbagai masalah domestik, belenggu pasar bebas menjadi salah satu permasalahan serius yang patut mendapat perhatian. Pemerintah Indonesia yang telah menjalin kesepakatan perdagangan bebas pada tingkat ASEAN [AFTA], ASEAN plus three, dan berbagai kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dengan negara maju seperti ASEAN‐EU. Pada tingkat perdagangan bebas secara bilateral pemerintah telah membangun kesepatan dengan China dan Jepang, serta menuju proses dengan Amerika Serikat dan Australia. Hal ini merupakan sebuah sinyal bahwa intensitas perdangangan bebas termasuk produk pertanian akan semakin berkembang. Dalam situasi tersebut maka studi ini bermaksud untuk melakukan kajian lapangan dan literatur mengenai implikasi FTA/BTA terhadap kehidupan petani. Berbagai kajian substantif dan akademis tentang FTA/BTA telah banyak dilakukan, sehingga studi ini akan memfokuskan pada kajian lapangan terutama kasus kasus lapangan yang dialami oleh petani dari berbagai komoditas pertanian. Studi literatur dilakukan untuk memberikan informasi tambahan mengenai konteks dan kerangka perdagangan bebas yang dilakukan serta implikasinya bagi sektor pertanian. Pendahuluan 4

Page 19

Page 12 - Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Bebas

P. 12

Petani Indonesia Dalam Belenggu Pasar Studi ini memiliki dua dimensi, satu sisi menggambarkan potret kehidupan petani dari beberapa komoditas pertanian utama dalam terkait dengan perubahan lingkungan strategis dalam konteks perdagangan bebas, dan sisi lain merupakan pembelajaran bagi petani untuk memahami dan turut berpartisipasi dalam memberikan masukan dan pandangan terkait dengan realitas kehidupan mereka. Hasil studi ini diharapkan akan memberikan jalan bagi petani untuk terlibat lebih jauh dalam perdebatan publik dan penentuan kebijakan terutama terkait dengan pembangunan pertanian secara umum dan khususnya FTA. Hasil studi juga diharapkan memberikan masukan bagi kelompok masyarakat sipil untuk kerja kerja advokasi kebijakan dan kampanye kepada publik secara luas akan implikasi FTA bagi kehidupan petani dan rakyat Indonesia secara umum. petani Indonesia tanpa proteksi, harus bertarung dengan produk petani negara maju yang penuh subsidi di pasar bebas, yang sesungguhnya penuh dengan situasi ketidakseimbangan Pendahuluan 5

   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17

Video yang berhubungan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA