Barang yang diperdagangkan para pedagang Arab Pra Islam antara lain

Monday, 30 Nov 2020 22:45 WIB

Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

IHRAM.CO.ID,  JAKARTA -- Sebelum cahaya Islam menerangi jazirah Arab, warga Arab terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Arab Badui (kampung) dan Arab Hadhari (perkotaan). Untuk bertahan hidup, warga Arab Badui menggantungkan sumber kehidupannya dengan beternak. Mereka hidup secara nomaden atau berpindah-pindah sambil menggiring ternak mereka menuju daerah dengan curah hujan tinggi atau ke padang rumput.

Mereka mengonsumsi daging dan susu hasil ternak, membuat pakaian, kemah, dan perabot dari wol (bulu domba)serta menjualnya jika keperluan pribadi dan keluarganya sudah terpenuhi. Untuk mengukur taraf kekayaan seorang warga Arab Badui maka hitunglah jumlah hewan ternak yang mereka miliki. Karena semakin banyak hewan ternak maka semakin tinggi pula derajat sosial mereka.

Adapun warga Arab perkotaan memiliki dua bagian, yaitu penduduk yang tinggal di wilayah subur, seperti Yaman, Thaif, Madinah, Najd, Khaibar, dan Makkah. Warga di wilayah tersebut ter- biasa menggantungkan sumber kehidupannya melalui pertanian. Meski begitu, ada pula warga yang bekerja di bidang perniagaan, terutama mereka yang tinggal di Makkah. Kala itu, Makkah merupakan pusat perniagaan.

Selain memiliki profesi yang berbeda, warga Makkah juga dipandang lebih istimewa oleh orang-orang Arab lain karena kedudukan mereka sebagai warga Kota Suci (Makkah). Keistimewaan ini ternyata tertulis dalam firman Allah SWT.

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah? (QS al-Ankabut:67).

Aktivitas perdagangan ini juga dilakukan oleh kalangan bangsawan, seperti Hasyim, Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas, Abu Sufyan bin Harb, Abu Bakar, Zubair bin Awwam, bahkan Rasulullah SAW.Allah SWT juga mengabadikan perjalanan dagang yang dilakukan orang- orang Quraisy sebagai perjalanan dagang yang sangat terkenal, yaitu perjalanan musim dingin menuju Yaman dan sebaliknya, perjalanan dagang musim panas ke Syam.

Allah berfirman, Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Rabb pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.(QS Quraisy: 1-4).

Perniagaan yang telah mendarah daging bagi warga Arab membuat makin menjamurnya pusat-pusat perdagangan di berbagai wilayah di Arab, terutama Makkah dan sekitarnya. Pusat perda gangan ini bukan hanya sebagai tempat transaksi perdagangan, tetapi juga pusat pertemuan para pakar sastra, penyair, dan orator. Pusat perbelanjaan pun menjelma menjadi pusat peradaban, kekayaan bahasa, dan transaksi-transaksi global.

Selain penduduk Makkah, penduduk Yaman juga terkenal dengan perniagaan.Mereka menjadikan perniagaan sebagai mata pencaharian terbaik dalam mencari rezeki. Kegiatan bisnis mereka tidak sebatas di darat, tetapi juga merambah melintasi laut. Warga Yaman terbiasa berangkat ke daerah pesisir Afrika, seperti Habasyah, Sudan, Somalia, bahkan ke Hindia dan Pulau Jawa, Sumatra, serta negeri Asia lainnya untuk berdagang.

Setelah cahaya Islam menyinari Arab, pedagang yang melakukan perjalanan panjang ke berbagai negara tersebut bukan hanya menjajakan dagangan mereka, tapi juga menyiarkan agama yang dibawa Rasulullah SAW. Para pedagang ini pula yang memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di penjuru dunia.

Sumber ilustrasi: alif.id

Bangsa Arab sebelum Islam datang adalah bangsa bobrok. Saking bobroknya, mereka disebut bangsa jahiliah (orang-orang bodoh atau jahil). Bagaimana tidak bodoh, mereka sampai mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir karena dianggap aib keluarga. 

Kondisi semacam itu berlangsung cukup lama hingga populasi manusia tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.

Tak hanya di tatanan sosial yang bobrok. Mereka juga amoral dalam urusan berdagang. Untuk memahami situasi perdagangan era jahiliah Arab ini, Michael Bonner menulis sebuah tulisan berjudul "The Arabian Silent Trade" yang mengambil referensi dari para sejarawan, pelancong, etnograf, dan ahli hadist. 

Dalam tulisannya, disebutkan ada tiga cara jual beli di zaman jahiliah Arab. 

Pertama, cara jual beli dengan mulamasa atau sale by touching (keadaan seseorang yang harus membeli ketika sudah menyentuh barang meskipun pembeli belum membuka dan menilai atau mempertimbangkan barang yang akan dibeli). 

Cara ini populer dengan sebutan once you touch [this] item, you have bought it, sehingga banyak orang menganggap ini tidak valid karena hanya menyentuh saja tanpa ada kesepakatan. Namun namanya bangsa jahiliah maka tidak ada yang tidak valid selama mereka bisa memonopoli bersama-sama.

Kedua, munabadha atau sale by casting adalah jual beli dengan cara melempar sesuatu tanpa melihat barang yang disuka. Jika sesuatu itu mendarat di sebuah barang maka seseorang tidak boleh menawarnya. 

Cara ini jarang dipraktikkan dalam masa jahiliah Arab. Lagi-lagi pembeli akan merasa dirugikan dengan cara ini namun apa boleh buat karena sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat maka agak sulit dihindari.

Baik mulamasa dan munabadha ini jelas-jelas dilarang dalam Islam. Ketika Nabi Muhammad lahir dan mengemban tugas memperbaiki moral umatnya maka Nabi Muhammad melarangnya secara tegas karena status jual beli tersebut tidak jelas dan masih membingungkan, serta ada pihak yang dirugikan dalam praktiknya.

Tak hanya mulamasa dan munabadha yang menjadi ciri kebobrokan perdagangan era jahiliah Arab. Dalam praktik perdagangan pada masa itu telah disetir oleh kerajaan, dinasti dan kabilah yang berkuasa. Kerajaan besar seperti Bizantium dan Sasanian ini memberlakukan pajak yang cukup besar di pasar. Raja, kaum bangsawan dan patron (pemilik modal bangsawan) menentukan peraturan dan harga di pasar.

Monopoli kerajaan ini membuat pedagang biasa tidak berani melawan kuasa orang-orang berwenang. Akhirnya pedagang banyak yang menutup toko dan lebih menyerahkan saham tokonya kepada penguasa. Dominasi pasar perdagangan ini mirip dengan sekarang di mana banyak ambisi yang besar dari raja/penguasa yang berkuasa.


Page 2

Bangsa Arab sebelum Islam datang adalah bangsa bobrok. Saking bobroknya, mereka disebut bangsa jahiliah (orang-orang bodoh atau jahil). Bagaimana tidak bodoh, mereka sampai mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir karena dianggap aib keluarga. 

Kondisi semacam itu berlangsung cukup lama hingga populasi manusia tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.

Tak hanya di tatanan sosial yang bobrok. Mereka juga amoral dalam urusan berdagang. Untuk memahami situasi perdagangan era jahiliah Arab ini, Michael Bonner menulis sebuah tulisan berjudul "The Arabian Silent Trade" yang mengambil referensi dari para sejarawan, pelancong, etnograf, dan ahli hadist. 

Dalam tulisannya, disebutkan ada tiga cara jual beli di zaman jahiliah Arab. 

Pertama, cara jual beli dengan mulamasa atau sale by touching (keadaan seseorang yang harus membeli ketika sudah menyentuh barang meskipun pembeli belum membuka dan menilai atau mempertimbangkan barang yang akan dibeli). 

Cara ini populer dengan sebutan once you touch [this] item, you have bought it, sehingga banyak orang menganggap ini tidak valid karena hanya menyentuh saja tanpa ada kesepakatan. Namun namanya bangsa jahiliah maka tidak ada yang tidak valid selama mereka bisa memonopoli bersama-sama.

Kedua, munabadha atau sale by casting adalah jual beli dengan cara melempar sesuatu tanpa melihat barang yang disuka. Jika sesuatu itu mendarat di sebuah barang maka seseorang tidak boleh menawarnya. 

Cara ini jarang dipraktikkan dalam masa jahiliah Arab. Lagi-lagi pembeli akan merasa dirugikan dengan cara ini namun apa boleh buat karena sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat maka agak sulit dihindari.

Baik mulamasa dan munabadha ini jelas-jelas dilarang dalam Islam. Ketika Nabi Muhammad lahir dan mengemban tugas memperbaiki moral umatnya maka Nabi Muhammad melarangnya secara tegas karena status jual beli tersebut tidak jelas dan masih membingungkan, serta ada pihak yang dirugikan dalam praktiknya.

Tak hanya mulamasa dan munabadha yang menjadi ciri kebobrokan perdagangan era jahiliah Arab. Dalam praktik perdagangan pada masa itu telah disetir oleh kerajaan, dinasti dan kabilah yang berkuasa. Kerajaan besar seperti Bizantium dan Sasanian ini memberlakukan pajak yang cukup besar di pasar. Raja, kaum bangsawan dan patron (pemilik modal bangsawan) menentukan peraturan dan harga di pasar.

Monopoli kerajaan ini membuat pedagang biasa tidak berani melawan kuasa orang-orang berwenang. Akhirnya pedagang banyak yang menutup toko dan lebih menyerahkan saham tokonya kepada penguasa. Dominasi pasar perdagangan ini mirip dengan sekarang di mana banyak ambisi yang besar dari raja/penguasa yang berkuasa.


Barang yang diperdagangkan para pedagang Arab Pra Islam antara lain

Lihat Money Selengkapnya


Page 3

Bangsa Arab sebelum Islam datang adalah bangsa bobrok. Saking bobroknya, mereka disebut bangsa jahiliah (orang-orang bodoh atau jahil). Bagaimana tidak bodoh, mereka sampai mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir karena dianggap aib keluarga. 

Kondisi semacam itu berlangsung cukup lama hingga populasi manusia tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.

Tak hanya di tatanan sosial yang bobrok. Mereka juga amoral dalam urusan berdagang. Untuk memahami situasi perdagangan era jahiliah Arab ini, Michael Bonner menulis sebuah tulisan berjudul "The Arabian Silent Trade" yang mengambil referensi dari para sejarawan, pelancong, etnograf, dan ahli hadist. 

Dalam tulisannya, disebutkan ada tiga cara jual beli di zaman jahiliah Arab. 

Pertama, cara jual beli dengan mulamasa atau sale by touching (keadaan seseorang yang harus membeli ketika sudah menyentuh barang meskipun pembeli belum membuka dan menilai atau mempertimbangkan barang yang akan dibeli). 

Cara ini populer dengan sebutan once you touch [this] item, you have bought it, sehingga banyak orang menganggap ini tidak valid karena hanya menyentuh saja tanpa ada kesepakatan. Namun namanya bangsa jahiliah maka tidak ada yang tidak valid selama mereka bisa memonopoli bersama-sama.

Kedua, munabadha atau sale by casting adalah jual beli dengan cara melempar sesuatu tanpa melihat barang yang disuka. Jika sesuatu itu mendarat di sebuah barang maka seseorang tidak boleh menawarnya. 

Cara ini jarang dipraktikkan dalam masa jahiliah Arab. Lagi-lagi pembeli akan merasa dirugikan dengan cara ini namun apa boleh buat karena sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat maka agak sulit dihindari.

Baik mulamasa dan munabadha ini jelas-jelas dilarang dalam Islam. Ketika Nabi Muhammad lahir dan mengemban tugas memperbaiki moral umatnya maka Nabi Muhammad melarangnya secara tegas karena status jual beli tersebut tidak jelas dan masih membingungkan, serta ada pihak yang dirugikan dalam praktiknya.

Tak hanya mulamasa dan munabadha yang menjadi ciri kebobrokan perdagangan era jahiliah Arab. Dalam praktik perdagangan pada masa itu telah disetir oleh kerajaan, dinasti dan kabilah yang berkuasa. Kerajaan besar seperti Bizantium dan Sasanian ini memberlakukan pajak yang cukup besar di pasar. Raja, kaum bangsawan dan patron (pemilik modal bangsawan) menentukan peraturan dan harga di pasar.

Monopoli kerajaan ini membuat pedagang biasa tidak berani melawan kuasa orang-orang berwenang. Akhirnya pedagang banyak yang menutup toko dan lebih menyerahkan saham tokonya kepada penguasa. Dominasi pasar perdagangan ini mirip dengan sekarang di mana banyak ambisi yang besar dari raja/penguasa yang berkuasa.


Barang yang diperdagangkan para pedagang Arab Pra Islam antara lain

Lihat Money Selengkapnya


Page 4

Bangsa Arab sebelum Islam datang adalah bangsa bobrok. Saking bobroknya, mereka disebut bangsa jahiliah (orang-orang bodoh atau jahil). Bagaimana tidak bodoh, mereka sampai mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir karena dianggap aib keluarga. 

Kondisi semacam itu berlangsung cukup lama hingga populasi manusia tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.

Tak hanya di tatanan sosial yang bobrok. Mereka juga amoral dalam urusan berdagang. Untuk memahami situasi perdagangan era jahiliah Arab ini, Michael Bonner menulis sebuah tulisan berjudul "The Arabian Silent Trade" yang mengambil referensi dari para sejarawan, pelancong, etnograf, dan ahli hadist. 

Dalam tulisannya, disebutkan ada tiga cara jual beli di zaman jahiliah Arab. 

Pertama, cara jual beli dengan mulamasa atau sale by touching (keadaan seseorang yang harus membeli ketika sudah menyentuh barang meskipun pembeli belum membuka dan menilai atau mempertimbangkan barang yang akan dibeli). 

Cara ini populer dengan sebutan once you touch [this] item, you have bought it, sehingga banyak orang menganggap ini tidak valid karena hanya menyentuh saja tanpa ada kesepakatan. Namun namanya bangsa jahiliah maka tidak ada yang tidak valid selama mereka bisa memonopoli bersama-sama.

Kedua, munabadha atau sale by casting adalah jual beli dengan cara melempar sesuatu tanpa melihat barang yang disuka. Jika sesuatu itu mendarat di sebuah barang maka seseorang tidak boleh menawarnya. 

Cara ini jarang dipraktikkan dalam masa jahiliah Arab. Lagi-lagi pembeli akan merasa dirugikan dengan cara ini namun apa boleh buat karena sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat maka agak sulit dihindari.

Baik mulamasa dan munabadha ini jelas-jelas dilarang dalam Islam. Ketika Nabi Muhammad lahir dan mengemban tugas memperbaiki moral umatnya maka Nabi Muhammad melarangnya secara tegas karena status jual beli tersebut tidak jelas dan masih membingungkan, serta ada pihak yang dirugikan dalam praktiknya.

Tak hanya mulamasa dan munabadha yang menjadi ciri kebobrokan perdagangan era jahiliah Arab. Dalam praktik perdagangan pada masa itu telah disetir oleh kerajaan, dinasti dan kabilah yang berkuasa. Kerajaan besar seperti Bizantium dan Sasanian ini memberlakukan pajak yang cukup besar di pasar. Raja, kaum bangsawan dan patron (pemilik modal bangsawan) menentukan peraturan dan harga di pasar.

Monopoli kerajaan ini membuat pedagang biasa tidak berani melawan kuasa orang-orang berwenang. Akhirnya pedagang banyak yang menutup toko dan lebih menyerahkan saham tokonya kepada penguasa. Dominasi pasar perdagangan ini mirip dengan sekarang di mana banyak ambisi yang besar dari raja/penguasa yang berkuasa.


Barang yang diperdagangkan para pedagang Arab Pra Islam antara lain

Lihat Money Selengkapnya