Apakah nama perjanjian yang menyebabkan kerajaan Mataram terpecah menjadi 2 yaitu Kasultanan Yogyakarta dan K Surakarta?

Apakah nama perjanjian yang menyebabkan kerajaan Mataram terpecah menjadi 2 yaitu Kasultanan Yogyakarta dan K Surakarta?
Kraton Jogja dan Solo. ©2019 Merdeka.com/Shutterstock

Merdeka.com - Solo dan Jogja merupakan dua daerah di Indonesia yang dikenal kental dengan kebudayaan dan adat Jawa. Ada dua kerajaan besar di dua daerah ini, Kraton Kasunanan Surakarta di Solo dan Kraton Kasultanan Yogyakarta di Jogja.

Dua kraton ini berasal dari akar keturunan yang sama, yakni Kerajaan Mataram Islam. Tak heran kalau ada banyak kesamaan di kedua kraton, mulai dari budaya, adat dan peninggalannya. Walau begitu, keduanya memiliki ciri khas pembeda tersendiri.

Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, Kerajaan Mataram Islam yang saat itu berpusat di Surakarta, terpecah menjadi dua. Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Sunan Pakubuwono III, sementara kraton baru, Kasultanan Yogyakarta dipimpin Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.

Perpecahan ini tidak hanya soal wilayah dan batas-batasnya saja, tapi juga berpengaruh pada beberapa aspek lain. Misalnya dari segi arsitektur, pakaian adat, hingga kesenian. Berikut perbedaan mendasar Kraton Jogja dan Solo:

2 dari 5 halaman

Jauh sebelum terpecah belah, Kerajaan Mataram Islam pertama kali didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan bersama anaknya, Panembahan Senopati di Kotagede. Kerajaan yang diberi nama Mataram Islam ini, berdiri di atas tanah hadiah dari Raja Pajang.

Seiring berjalannya waktu, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam terus berpindah. Tahun 1575-1601, pusat kraton ada di Kotagede, lalu berpindah ke Kerto di masa kepemimpinan Sultan Agung.

Dari Kerto berpindah ke Pleret di masa pemerintahan anak Sultan Agung, yang kemudian bergelar Amangkurat I. Di masa ini, Mataram Islam mengalami pemberontakan dari Trunojoyo yang membuat istana kerajaan hancur tak berbekas. Kemudian pusat kerajaan dipindah ke Kartasura dan berakhir di Surakarta, atau Solo.

3 dari 5 halaman

Apakah nama perjanjian yang menyebabkan kerajaan Mataram terpecah menjadi 2 yaitu Kasultanan Yogyakarta dan K Surakarta?
Shutterstock

Tak lama setelah Kerajaan Mataram Islam dipindah ke Surakarta, terjadi perselisihan kedudukan antara keluarga kerajaan. Atas ikut campur kolonial, akhirnya Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta.Perjanjian Giyanti dilaksanakan pada Februari 1755 di Desa Giyanti. Dari kesepakatan itu, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah baru untuk mendirikan kerajaan. Dan, lahirlah Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, ingin membuat ciri khas Yogyakarta sendiri. Ciri khas ini dibuat untuk membedakan antara Jogja dengan Solo. Mulai dari gaya arsitektur hingga bagian-bagian kraton.

4 dari 5 halaman

Apakah nama perjanjian yang menyebabkan kerajaan Mataram terpecah menjadi 2 yaitu Kasultanan Yogyakarta dan K Surakarta?
Shutterstock

Dilihat dari segi usia bangunan, Kraton Surakarta di Solo memang lebih tua. Mengikuti konsep Catur Gatra Tunggal yang sudah ada sejak awal berdirinya Kerajaan Islam, Kraton Surakarta terdiri dari Kraton (tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan), Masjid (tempat raja dan rakyat beribadah), Pasar (pusat ekonomi), dan Alun-alun (pusat hiburan rakyat).Pembangunan awal Kraton Solo dimulai tahun 1744, dan dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Mulanya, bangunan dan gaya arsitektur Kraton Solo tak jauh berbeda dengan bangunan di Kraton Jogja sekarang. Namun, di masa Pakubuwono X, terjadi restorasi besar-besaran.Restorasi ini membuat bangunan kraton menjadi bernuansa putih dan biru. Gaya arsitekturnya memadukan gaya Jawa dan Eropa. Tak heran, sampai sekarang masih banyak patung dan kereta kencana di Kraton Solo yang bernuansa Eropa.

5 dari 5 halaman

Begitu diberi wilayah untuk membangun kerajaan sendiri, Pangeran Mangkubumi turun langsung dalam pembangunan Kraton Jogja. Pangeran Mangkubumi dibantu oleh ilmuwan Belanda Theodoor Gautier dan Lucien Adam menjadi arsitek Kraton Jogja. Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I, memadukan gaya arsitektur Jawa-Eropa-Tingkok. Sedangkan untuk lanskap dan konsep tata ruangnya, tak jauh berbeda dengan Kraton Solo, yang dulu pernah ia bangun.Kalau Kraton Solo menggunakan filosofi 'Kori' untuk menyebut gapura, Kraton Jogja tidak menggunakan filosofi itu. Satu lagi yang membedakan bangunan Kraton Jogja dengan Solo, ialah Taman Sari. Dulunya, Taman Sari dijadikan tempat rekreasi keluarga kerajaan, dan tidak dimiliki di Kraton Solo.Selain itu, masih banyak lagi perbedaan antara Kraton Jogja dan Solo, baik dari segi bahasa, pakaian adat, kesenian tari, gamelan, hingga kerisnya.

Sumber: Karaton Surakarta dan Kraton Jogja

[snw]

Perjanjian Giyanti, Pecah Kongsi Kerajaan Mataram, serta Berdirinya Yogyakarta dan Surakarta

Ilustrasi: Perjanjian Giyanti membagi kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. (Inibaru.id/ Triawanda Tirta Aditya)

Perebutan kekuasaan antar saudara hampir bisa dipastikan mewarnai sebuah monarki. Kerajaan Mataram Islam juga nggak bisa selamat dari perang saudara ini. Akhirnya, tercetuslah Perjanjian Giyanti yang membelah kerajaan Mataram menjadi dua; Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Inibaru.id – Kamu pernah dengar nggak sih kalau Keraton Yogyakarta dan Surakarta saudara? Yap, keduanya berasal dari satu kerajaan bernama Kerajaan Mataram Islam yang pecah kongsi.

Orang yang berjasa mendirikan Mataram Islam adalah Ki Ageng Pamanahan pada abad ke-16. Beribukota di Kotagede Yogyakarta, kerajaan ini merupakan buntut runtuhnya Kerajaan Pajang.

Sedikit gambaran betapa besarnya Mataram Islam, konon kerajaan ini pernah menyatukan sebagian besar wilayah Pulau Jawa, kecuali Kasultanan Banten dan Kasultan Cirebon. Sayang, berbagai konfik nggak bisa dihindari.

Pada 13 Februari 1755, melalui Perjanjian Giyanti, Mataram Islam pecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat. Kesepakatan ini berlangsung di Desa Jantiharjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Apakah nama perjanjian yang menyebabkan kerajaan Mataram terpecah menjadi 2 yaitu Kasultanan Yogyakarta dan K Surakarta?
Perjanjian Giyanti. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Perjanjian Giyanti merupakan puncak perselisihan di Kerajaan bercorak Islam tersebut. Hal itu tertulis dalam buku Mark R Woodward yang berjudul Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (2004).

Perjanjian ini ditandatangani oleh Mangkubumi, Pakubuwono III, dan VOC. Yap, VOC! Meski sekilas perjanjian ini seperti win-win solution dari perang saudara selama 8 tahun, tetap saja ada udang di balik batu.

Kerajaan boleh saja dibagi menjadi dua. Namun, pengangkatan para pemimpinnya harus mendapat persetujuan VOC. Kalau kongsi dagang Hindia Timur Belanda itu nggak suka, ya, jangan berharap seseorang bisa berkuasa di kerajaan.

Baca Juga:

Mengintip Pemandian Kesultanan Yogyakarta Zaman Dulu; Tamansari

Saat itu, yang diangkat menjadi raja di Kerajaan Yogyakarta adalah Mangkubumi. Dia bergelar Sultan Hamengkubuwono I dan dilantik pada 13 Februari 1755. Usai penetapannya, dia memerintahkan pendirian keraton dengan berbagai sarana untuk mendukung pemerintahan.

Daerah kekuasaan Sultan Hamengkubuwono meliputi bagian barat Sungai Opak, sedangkan Keraton Surakarta yang dipimpin Pakubuwono III berada di sebelah timur.

Perjanjian telah disepakati, tapi muncul “perang” dalam bentuk baru seperti intrik politik, perjanjian-perjanjian perkawinan, dan persaingan budaya.

Panggung Sangga Buwana di Keraton Solo. (Inibaru.id/ Inada Rahma Nidya)

Seperti yang diceritakan di awal, perang saudara yang terjadi di Kerajaan Mataram Islam-lah yang menyebabkan kerajaan terbelah menjadi dua poros. Saat itu, terjadi pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning. Dia merebut tahta dari Pakubuwono II (PB II) pada 30 Juni 1742.

Dengan terpaksa, PB II pergi dari Kartasura menuju Desa Solo karena keraton hancur. Lima bulan kemudian, PB II kembali dan merebut tahta. Peperangan yang nggak bisa dihindari membuat istana Mataram rusak parah.

Akhirnya, PB II memindahkan kerajaan ke Desa Solo. Pada 1749, PB II wafat dan digantikan putranya dengan gelar PB III.

Menukil situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada masa pemerintahan PB III, kehidupan politik Kerajaan Mataram sering goyah. Kemudian, perlawanan datang dari Raden Mas Said dan Pengeran Mangkubumi.

Sebagai informasi, PB II dan Pangeran Mangkubumi merupakan saudara. Keduanya adalah putra Amangkurat IV. Sedangkan Raden Mas Said merupakan cucu Amangkurat IV. Perselisihan ini muncul sejak 1746. Barulah pada 13 Februari 1755 perlawanan Pangeran Mangkubumi berhenti melalui kesepakatan Giyanti.

Hm, menurutmu Perjanjian Giyanti sudah tepat belum mengatasi perang saudara di Kerajaan Mataram Islam, Millens? Melihat kondisi sekarang ini, masih relevankah menyoal Perjanjian Giyanti ini? Ha-ha. (IB21/E03)

Baca Juga:

Surga Kecil di Tengah-Tengah Puadai Padi di Magelang: Svargabumi

Tags: