Apa yang anda diketahui tentang qiraat saba'ah

Qirâ`at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulumul Qur’an. Ilmu Qirâ`at tidak mempelajari halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Menurut bahasa قراءات “Qirâ`ât” adalah bentuk jamak dari قراءة ”Qirâ`at” yang merupakan isim masdar dari قرأ ”Qara`a” artinya “Bacaan”.

Adapun menurut istilah, ilmu qira′at adalah sebagai berikut :

هُوَ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ كَيْفِيَّةِ النُّطْقِ فِى الْكَلِمَاتِ الْقُرْاَنِيَّةِ وَطَرِيْقَةِ اَوَائِهَا اِتِّفَاقًا وَاخْتِلاَفًا مَعَ عِزٍّ وَكُلِّ وَجْهٍ لِنَاقِلِهِ.

“ Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata Al-Qur`an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama ahli Al-Qur`an) maupun yang terjadi dengan menisabkan setiap wajah bacaannya kepada seorang iman qiro’at”.

Menurut Abu Syamah al-Dimisyqi adalah ilmu qirâ`at sebuah disiplin ilmu yang mempelajari cara melafalkan kosa kata Al-Qur`an dan perbedaannya yang disandarkan pada perawi yang mentransmisikannya.

Dengan jelas dapat kita ketahui bahwa al-Dimisyqi menganggap ilmu qirâ`at sebagai sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang tata cara artikulasi dan ragam perbedaan lafal Al-Qur`an . Beliau juga menegaskan dalam definisinya bahwa sumber dari Rasulullah ﷺ.

Syekh Az-Zarqoni mengistilahkan qirâ`at dengan : “suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam dari pada imam qurro’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur`an al-Karîm dengan kesesuaian riwâyat dan tharîq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf atau pengucapan bentuknya.

Di samping itu, Ibn Al-Jazari berpendapat bahwa Qirâ`at adalah pengetahuan tentang tatacara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur`an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.

Manna’ al-Qaththan berpendapat Qirâ`at adalah salah satu mazhab dari beberapa mazhab artikulasi (kosa kata) Al-Qur`an yang dipilih oleh salah seorang imam qirâ`at yang berbeda dengan mazhabnya.

Sedangkan Muhammad Ali Ash-Shabuni merumuskan definisi qirâ`at sebagai berikut : Qirâ`at adalah satu mazhab dari beberapa mazhab artikulasi (kosa kata) Al-Qur`an yang dipilih oleh salah seorang imam qirâ`at yang berbeda dengan mazhab lainnya serta berdasarkan pada sanad yang bersambung pada Rasulullah ﷺ.

Dari uraian di atas dapat diketahui aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi disiplin ilmu qirâ`at . Objek kajian (ontology) ilmu qairaat adalah Al-Qur`an dari segi perbedaan lafal dan cara artikulasinya. Metode mendapatkan (epistimologi) ilmu qirâ`at adalah melalui riwayat yang berasal dari Rasulullah ﷺ.

Sementara nilai guna (aksiologi) ilmu qirâ`at, sebenarnya secara implicit dapat diketahui dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, yakni untuk mempertahankan keaslian materi yang disampaikan. Hal ini bisa dipahami karena fungsi sistem riwayat tidak lain untuk mempertahankan orisinilitas informasi maupun data yang dituturkan secara berantai. []

SUMBER

Ilmu qira’at adalah  salah satu ilmu yang sangat penting, karena ilmu ini berkaitan dengan tata cara membaca Al-Qur’an yang sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW, dan juga mempunyai hubungan erat dengan penafsiran Al-Qur’an. Adanya ilmu qira’at juga bukti bahwa Islam adalah agama yang luwes, bahwasanya dalam membaca Al-Qur’an sekalipun mempunyai banyak macam perbedaan antara satu dengan lainnya. Sehingga untuk mempermudah dalam memahami ilmu qira’at, para ulama memunculkan berbagai istilah penting yang harus diketahui bagi orang-orang yang ingin mengkaji ilmu qira’at. Hal tersebut dimaksudkan supaya tidak terjadi kesalahan ketika menjelaskan sebuah pembahasan yang berkaitan dengan ilmu qira’at.

Setidaknya para ulama dalam ilmu qira’at membagi menjadi dua mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam ilmu qira’at, yaitu istilah yang tidak terkait dengan bacaan qira’at dan istilah yang mempunyai kaitan dengan bacaan qira’at. Istilah yang tidak mempunyai kaitan dengan bacaan qira’at adalah istilah-istilah yang digunakan untuk mejelaskan perihal para tokoh dalam ilmu qira’at, silsilah sanad, para perawi dan sebagainya. Seperti istilah Imam, Rawi, Al-Ushul, Thariq, Farsy Al-Huruf, Al-Khilaf Wajib dan Al-Khilaf Jaiz.

Istilah imam sendiri dalam ilmu qira’at, digunakan untuk menyebut para tokoh besar dalam ilmu qira’at. Yang mana penggunaan kata imam biasanya digunakan untuk menyebut nama atau tokoh sentral dalam mazhab qira’at seperti Nafi’ al-Madani, Ibnu Katsir al-Makki, Abu Amr al-Bashri, Ibnu Amir asy-Syami, Ashim al-Kufi, Hamzah al-Kufi, Kisa’i al-Kufi. Nama-nama tersebut merupakan nama-nama besar dalam mazhab qira’at atau yang dikenal dengan sebutan qira’at sab’ah.

Adapaun istilah rawi, digunakan untuk menyebut seseorang yang telah belajar atau mengambil qira’at dari tujuh imam tersebut. Sedangkan materi yang diambil biasa disebut dengan riwayat, dalam artian bacaan yang dinisbatkan kepada orang yang mengambil atau meriwayatkan bacaan tersebut dari seorang imam. Contohnya misalnya riwayat al-Duuri yang banyak berkembang di Sudan, mengambil dari Abu Amr al-Bashri dan Al-Kisa’i, Al-Susi yang mengambil dari Imam Abu Amr al-Bashri dan lain sebagainya.

Baca juga:  Wajah Gus Dur di Kendaraan

Adapun istilah thariq mempunyai arti mata rantai atau silsilah qira’at yang berada di bawah perawi. Sedangkan al-Ushul menurut KH. Akhsin Sakho dalam kitab Mamba’ul Barokat adalah kaidah umum yang bersifat menyeluruh, yang terdapat dalam setiap surah Al-Qur’an yang berisi perihal perbedaan qira’at dalam pengaplikasiannya. Kemudian ada istilah Farsy al-Huruf yang mempunyai pengertian mengenai perbedaan qira’at yang tidak bisa diqiyaskan.

Adapun al-Khilaf al-Wajib adalah perbedaan qira’at yang ada di antara para imam qira’at, rawi dan thariq. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Qira’at Al-Qur’aniyyah karya Abdul Halim bin Muhammad al-Hadi Qabah, bahwasanya bagi seorang qari’ hukumnya adalah wajib membaca hal tersebut ketika sedang berguru dengan gurunya, tujuannya adalah supaya tidak ada yang terlewatkan ketika dalam proses periwayatan Al-Qur’an. Sedangkan al-Khilaf al-Jaiz adalah perbedaan qira’at yang dapat dipilih oleh seorang qari’ untuk dibaca dan dipelajarinya.

Selain istilah-istilah tersebut, ada juga istilah-istilah lain dalam ilmu qira’at yang mempunyai hubungan langsung dengan bacaan dalam Al-Qur’an, seperti al-Waqfu, al-Washlu, al-Ibtida’, as-Saktah, Mim al-Jam’i dan as-Sukun.

Istilah-istilah tersebut tentu saja sangat penting dan harus dikuasai oleh para pengkaji ilmu qira’at, supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Misalnya menyebut al-Duuri dan al-Susi sebagai imam qira’at, padahal beliau adalah seorang perawi. Dengan adanya istilah-istilah tersebut, juga mempermudah untuk belajar ilmu qira’at karena akan lebih memahamkan apa yang dimaksud. Oleh karena itulah, istilah-istilah yang ada dalam disiplin sebuah keilmuan harus dikuasai karena hal tersebut adalah kunci untuk mempermudah dalam belajar disipiplin keilmuan yang akan dipelajari, termasuk dalam belajar ilmu qira’at.

AL- QUR’AN diturunkan dalam satu gaya pada awalnya, tetapi Rasulullah ﷺ terus meminta Jibril sampai dia mengajarinya tujuh gaya bacaan Al-Qur’an, yang semuanya lengkap. Dalilnya adalah hadits Ibn ‘Abbas yang meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengatakan, “Jibril mengajari saya satu gaya dan saya meninjaunya sampai dia mengajari saya lebih banyak, dan saya terus memintanya lebih dan lebih. dia memberi saya lebih banyak sampai akhirnya ada tujuh gaya. ” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Pendapat ulama tentang apa yang dimaksud dengan tujuh gaya bacaan Al-Qur’an adalah bahwa ada tujuh cara membaca Al-Qur’an, di mana kata-katanya mungkin berbeda tetapi artinya sama; jika ada makna yang berbeda maka itu dengan cara variasi pada tema, tidak bertentangan dan kontradiksi.

BACA JUGA: Inilah Sahabat Rasulullah yang Paling Mahir Bacaan Alqurannya

Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan gaya bacaan merupakan dialek orang Arab, tetapi ini dibuat-buat, karena hadits ‘Umar ibn al-Khattab yang mengatakan, “Saya mendengar Hisyam ibn Hakim membacakan Surat al-Furqan dengan cara yang berbeda dari yang saya biasa membacanya dan cara Rasulullah ﷺ mengajari saya untuk membacanya. Aku hendak berdebat dengannya ketika dia sedang shalat, tapi aku menunggu sampai dia selesai shalat, lalu aku mengikatkan pakaiannya di lehernya dan menangkapnya dan membawanya ke Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Ya Rasulullah, saya mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan cara Anda mengajarkannya kepada saya.’

Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, ‘Bacalah, ‘ dan dia membacanya seperti yang saya dengar dia membacanya. Rasulullah ﷺ berkata, ‘Diwahyukan seperti ini.’ Kemudian dia berkata kepadaku, ‘Bacalah,’ jadi aku membacanya dan dia berkata, ‘Diwahyukan seperti ini.’ Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh cara yang berbeda, maka bacalah dengan cara yang paling mudah bagimu.’” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Diketahui bahwa Hisyam adalah Asadi Qurashi (yaitu, dari klan Bani Asad di Quraysh) dan ‘Umar adalah ‘Adawi Qurashi (yaitu, dari klan Bani ‘Adiyy di Quraysh). Keduanya berasal dari Quraisy dan Quraisy hanya memiliki satu dialek. Jika perbedaan ahruf (gaya) adalah perbedaan dialek , mengapa dua orang Quraisy berbeda?

Para ulama menyebutkan hampir empat puluh pendapat yang berbeda mengenai masalah ini! Mungkin yang paling benar adalah yang telah disebutkan di atas.

Tampaknya ketujuh gaya qira’ah itu terungkap dengan susunan kata yang berbeda, seperti yang ditunjukkan oleh hadits ‘Umar, karena ‘Umar keberatan dengan gaya, bukan maknanya. Perbedaan antara gaya-gaya ini bukanlah masalah kontradiksi dan pertentangan, melainkan sinonim, seperti yang dikatakan Ibn Mas’ud:

“Ini seperti salah satu dari Anda mengatakan halumma, aqbil atau ta’al (semua cara berbeda untuk mengatakan ‘Kemarilah. ‘).”

Apa yang anda diketahui tentang qiraat sabaah
Ilustrasi. Foto: Gain Peace

Adapun tujuh bacaan (qira’at sab’ah), jumlah ini tidak didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah , melainkan ijtihad Ibnu Mujahid. Orang mengira bahwa al-ahruf al-saba’ (tujuh gaya) adalah al-qira’at al-saba’ (tujuh bacaan) karena kebetulan jumlahnya sama. Tetapi angka ini mungkin saja muncul secara kebetulan, atau mungkin dilakukan dengan sengaja oleh Ibnu Mujahid untuk mencocokkan apa yang diriwayatkan tentang jumlah gaya (ahruf) menjadi tujuh.

Beberapa orang mengira bahwa gaya (ahruf) adalah bacaan, tetapi ini adalah kesalahan. Tidak ada pendapat seperti itu yang diketahui di antara para ulama.

Qira’at sab’ah adalah salah satu dari tujuh gaya, dan ini adalah gaya yang dipilih ‘Utsman untuk semua Muslim. Ketika ‘Utsman membuat salinan Al-Qur’an, ia melakukannya menurut satu gaya (harf), tetapi ia menghilangkan titik dan titik vokal sehingga beberapa gaya lain juga dapat diakomodasi. Sehingga mus-haf yang disalin pada masanya dapat dibaca menurut gaya lain, dan gaya apa pun yang diakomodasi oleh Mus-haf ‘Utsman tetap digunakan, dan gaya yang tidak dapat diakomodasi menjadi tidak digunakan.

BACA JUGA: Peneliti Sebut Bacaan Alquran Bisa Buat Jiwa Tenang

Orang-orang mulai saling mengkritik karena bacaannya berbeda, maka ‘Utsman menyatukan mereka dengan memberi mereka satu gaya Al-Qur’an. Ketujuh pembaca atau qari tersebut adalah:

  • Nafi’ al-Madani
  • 2- Ibnu Katsir al-Makki
  • 3- ‘Asim al-Kufi
  • 4- Hamzah al-Zayat al-Kufi
  • 5- Al-Kisa’i al-Kufi
  • 6- Abu ‘Amr ibn al-‘Ala ‘ al-Basri
  • 7- ‘Abd-Allah ibn ‘Amir al-Shami

Yang memiliki isnad terkuat dalam bacaan adalah Nafi’ dan ‘Asim. []

SUMBER: ISLAM ONLINE